Aku merasakan perutku di sentuh dan rasanya seperti menggelitik.
“Kuroda-san ...?” panggilku saat aku berbalik dan melihat Kuroda-san masih bangun dan sengaja mengusap-usap perutku seperti perut itu sudah besar dan menggemaskan untuk dimainkan.
“Tidurlah, aku tidak akan mengganggu lagi.” Ucap Kuroda-san sambil memejamkan matanya, berpura tidur.
Hanya saja, pertanyaanku tentang kenapa dia langsung memelukku tadi saat aku dan Yuuki kembali dari restoran untuk membeli makan malam kami. Dan untuk mengetahui hal itu, aku mencoba berbalik dan menghadap ke arahnya.
“Kuroda-san,”
“Hm?”
Kuroda-san meresponku, tapi dia tidak membuka matanya sama sekali.
“Hei, buka matamu.” Aku mengguncang bahunya, berharap dia bangun dan memperhatikanku. “Kuroda-san~”
“Kenapa? Tidurlah, ini sudah pukul satu pagi.”
“Kau belum menjawab kenapa inspektur Oogaki tiba-tiba di sini?”
“Dia hanya ingin ikut dan menengok Yuuki.” Jawabnya.
“Dengan pakaian seperti itu?”
“Memang kenapa dengan pakaiannya?”
Aku mengernyit. “Lihat dia, kau tidak ingat bagaimana inspektur Oogaki kalau dia datang untuk menginap di sini? Dia akan membawa koper besar berisi pakaian dan hal-hal lainnya, tapi dia tidak membawa apapun, selain pakaian yang dia pakai.”
“Biarkan saja.”
“Biarkan apanya? Ini sangat aneh!”
“Apanya yang aneh, sudahlah tidur.” Lagi, Kuroda-san menyuruhku tidur, seperti tidak ingin menjawab pertanyaanku.
“Baiklah, kalau kau tidak ingin menjawabku, aku akan mencari tahu sendiri!”
“Mencari tahu pada siapa?”
“Siapa saja yang bisa membuatku tahu kenapa kau dan inspektur bertingkah aneh.”
Tapi, semakin Kuroda-san mendengar ancamanku, Kuroda-san langsung tersenyum seperti mengejekku. “Aku benar-benar benci padamu.”
“Tidak masalah.” Jawabnya kemudian mengeratkan pelukannya padaku.
“Hei, lepas! Aku ti—“
“Jangan berisik, nanti Yuuki bangun.”
“Kau benar-benar menyebalkan.” Gerutuku, tapi Kuroda-san, dia malah memelukku semakin erat lalu mendaratkan sebuah ciuman lain di keningku.
“Aku tahu ....” jawabnya, dan itu semakin membuatku sebal.
Hanya saja, aku tidak benar-benar marah padanya. Aku hanya kesal karena sepertinya memang ada sesuatu yang coba Kuroda-san sembunyikan, tapi, jika dia melakukan hal seperti ini, mungkin hal itu memang tidak perlu aku tahu.
“Kuroda-san,” panggilku lagi, “kenapa tadi memelukku?” tanyaku coba memancing.
“Hanya ingin.”
“Benarkah?”
“Tidak suka?”
Aku menggeleng. “Kuroda-san jarang sekali memelukku, lagi pula, akhir-akhir ini kau sangat sibuk dan kita juga lebih sering bertengkar bahkan untuk hal-hal receh.” Ujarku dan membalas pelukannya.
“Kau yang membuatku terus seperti orang kebingungan.” Ucapnya kemudian menaikkan tangannya dan mengelus leherku.
Kuangkat wajahku, kulihat Kuroda-san tersenyum padaku kemudian dia menarik wajahku untuk mendekat padanya kemudian mengecup bibirku seulas.
“Tidurlah.” Ujarnya.
Dia menyuruhku untuk tidur, tapi karena dia sudah membuatku bangun, aku tidak bisa tidur lagi setelah ini. Jadi, aku bangun dan membalik tubuhku agar bisa berada di atasnya. Kutaruh tanganku di sebelah kepalanya agar bisa menahan berat badanku.
“Kau sedang mengandung.” Ucapnya.
“Apa yang sedang mengandung tidak boleh melakukan s*x?”
Kuroda-san tertawa kecil, kupikir dia akan mengabaikanku dan menyuruhku untuk tidur. Tapi ternyata tidak, dia malah merangkul pinggangku, menggelitiknya hingga aku harus menahan sedikit tawa, tapi jelas aku tidak ingin tertawa di saat seperti ini.
Tangan Kuroda-san menyentuh kulit pinggangku dan menegakkan setengah badannya untuk menciumku. Sudah sangat lama kami tidak berciuman seperti ini, jadi kubalas ciuman itu sambil meremas kedua bahunya, sementara tangan Kuroda-san sibuk membuka pakaianku, tapi sebelum Kuroda-san benar-benar membuka kaos yang kupakai, buru-buru aku melepas ciuman kami.
"Tidak di kasur." Bisikku.
"Lalu?" Saat pertanyaan itu keluar, aku melirik Yuuki yang sudah sangat pulas.
Seperti paham apa yang dimaksud, Kuroda-san bangun dan menggendongku ke dalam kamar mandi. Di dalam sana, Kuroda-san langsung menelanjangiku, bahkan tanpa pemanasan dia langsung memasukkan penisnya.
Perlahan tapi pasti, Kuroda-san terus mendorong keluar dan masuk penisnya secara sporadis di dalam tubuhku.
"Ngh—"
"Tahan suaramu, Yuuki bisa bangun." Kuroda-san memperingati.
Tapi, seperti apapun dia memperingatkan aku agar tidak bersuara, aku tetap menjerit, mendesah bahkan mengerang cukup keras.
Bagaimana tidak, p***s panjang dan besar milik Kuroda-san terus menumbuk titik paling dalam tubuhku, terus mengobrak-abrik bagian dalam itu hingga rasanya perutku terasa sangat penuh. Kami bahkan tidak ingat kalau aku sedang mengandung. Tidak!
"Ngh, Kuro—da—ngh...,"
"Apa?"
"Bayi—bayinya—ah, ngh...ah, ah...."
"Tenang saja."
Itu kalimat terakhir Kuroda-san sebelum dia kembali menggenjotku semakin dalam dan kuat, tapi saat kami mencapai klimaks, dia mencabut penisnya dan menumpahkan semua pejuhnya di lantai kamar mandi, meski ada sedikit yang tercecer dan menempel di pangkal pahaku.
Aku nyaris jatuh karena kehabisan tenaga, tapi Kuroda-san menahanku, menyalakan keran air panas dari shower dan membantuku untuk duduk di pangkuannya sambil terus diguyur oleh air panas yang mengalir dari keran shower di atas kepala kami.
Aku memeluknya dengan sisa tenagaku, aku tidak tahu bagaimana wajahnya sekarang, tapi saat aku memeluknya, aku merasakan Kuroda-san mencium pucuk kepalaku yang kutaruh di dadanya, sementara tangannya, lagi-lagi mengelus perut datarku.
"Sousuke," panggilnya, tapi aku tidak punya tenaga bahkan untuk menjawabnya, "aku menyayangimu ...."
_