“Mungkin, kau bisa anggap ini sebagai hadiah dari teman lama.” Ujarnya sambil tersenyum. Hanya saja, senyum yang terlihat sangat tulus itu tidak serta membuatku percaya kalau dia memang temanku. Maksudku, aku bahkan tidak ingat kalau aku pernah bertemu dengannya sebelum ini.
“Kau lupa padaku?”
“Apa? Maksudku, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Astaga, Sousuke!” gerutunya kemudian mengangkat Yuuki dan menaruh anak gadisku itu tepat di pundaknya. Apa-apaan dia? Bahkan Kuroda-san saja tidak pernah melakukan hal seperti itu.
Karena diperlakukan untuk hal yang tidak biasa, anak itu ha,pir saja menangis, tapi aku segera menenangkannya dan mengatakan kalau akan segera ke wahana lain dan membeli jajanan lain yang belum dia makan.
“Wah, anak yang pintar.”
“Hentikan menggodanya.”
“Kenapa? Dia baru selesai menangis?”
“Anak-anak memang selalu menangis, bukan?”
“Benarkah?” ujarnya tidak yakin, setelah itu kulihat dia menongak dan membuat Yuuki melihat ke arahnya, “hei, tuan putri, benarkah anak-anak sepertimu sering menangis?
Yuuki menggeleng. Mulutnya terkatup rapat, sementara pipinya menggembung dengan sedikit udara di sana. Anak itu, tidak pernah sedekat ini dengan orang asing, terutama dengan orang yang baru dia lihat.
“Kenapa? Apa Papa –mu yang mengajarkan ini? Mengajarkan agar kau jadi kuat?” tanyanya dan dijawab anggukan oleh anak itu.
“Hei, kau ini gadis cantik, putri sebuah kerajaan dan ayah juga ibumu adalah raja dan ratunya. Apa kau pernah dengar seorang putri jadi kesatria?”
“Mulan.”
“A—ah, Mulan, ya ...?”
Aku terkekeh saat mendengar bagaimana Yuuki menjawab pertanyaan itu dengan sangat cepat dan tepat sasaran sampai membuat pria yang menggendongnya bengong tak bisa bersuara apapun lagi selama beberapa menit.
“Jadi tuan sok akrab,” aku mengawali, “siapa kau?”
“Setelah mengobrol panjang lebar, kau masih belum ingat siapa aku?” ujarnya seolah kami benar-benar teman lama.
Sebelah alisku naik cukup tinggi saat dia mengatakan itu, dan jelas saja hal itu membuatku tidak habis pikir dengan apa yang dia maksud. Teman lama? Ayolah, aku bahkan tidak ingat siapa di—
“Pasti sekarang kau sedang berpikir kalau ini kali pertama kita bertemu, kan?”
“Ba—bagaimana kau?”
“Aku sudah paham dengan isi kepalamu ini.” Ujarnya sambil menjentikkan jarinya tepat di dahiku, jelas itu membuatku meringis karena sakit, meski rasanya tidak benar-benar sakit.
“Ingatanmu ini benar-benar buruk sejak dulu, ya!”
“Sembarangan! Ingatanku masih berfungsi dengan baik, aku bahkan masih bisa ingat kejadian waktu aku masih SD, SMP, bahkan SMA!”
“Kalau ingatanmu sebagus itu, lalu kenapa kau tidak ingat padaku?”
“Mana aku tahu kalau kau tidak memperkenalkan dirimu!”
“Astaga, kau benar-benar tidak berubah.” Ujarnya sambil mendesah.
“Hei, ka—“
“Kau ingat, Heisuke,Nagi, Jiro, atau Tomori?” ujarnya mengabsen satu persatu teman-temanku waktu SMP di Kyoto. Aku mengangguk saat mendengar nama-nama itu disebut, “kalau begitu kau juga pasti ingat aku?”
Sekali lagi aku menaikkan sebelah alisku tinggi saat dia mengatakan kalau aku pasti mengingatnya. Sebentar ... dari semua nama teman-temanku, memang ada satu nama lagi yang belum dia sebutkan. “KenKen ...?”
Dia tersentak, dia bahkan berkedip beberapa kali saat dia melihatku.
“Ada yang salah?” tanyanya setelah dia melihat responku.
Tunggu dulu, dia ..., “Arata Kenichi?”
“Wah, ingatanmu kuat ya?”
Sial. Dia mengejekku?!
Bagaimana aku bisa melupakan orang seperti dia? Dia ... Arata Kenichi, teman sekolahku waktu aku masih tinggal di Kyoto—di rumah Kogure, paman dan bibiku. Hanya saja, setelah aku berhenti sekolah di Kyoto dan kembali ke Kobe, aku kehilangan kontak dengan teman-teman lamaku karena aku tidak memiliki ponsel waktu itu. Tapi, saat aku pindah ke Tokyo dan mulai bekerja di kantor pusat, aku bertemu dengan seorang pria bernama Arata Kenichi.
Arata Kenichi adalah salah satu teman wakil direktur waktu itu dan yang aku ingat, beberapa kali dia mengajakku minum di bar, meski kami tidak pernah berakhir apapun, karena dia selalu mengatakan kalau dia adalah seorang Beta, dan tentu saja, seorang Beta tidak akan terpengaruh dengan feromon yang kukeluarkan. Terbukti dengan selama aku kenal dia di Tokyo, dia tidak pernah berniat menyentuhku.
Hanya saja, setelah kami kembali berpisah yang aku ditarik ke kantor cabang di Kansai, aku juga kembali kehilangan kontak dengannya. Hingga hari ini, di tempat yang sangat tidak kuduga, aku bertemu dengannya.
_