“Shouhei, kau tidak makan makananmu semalam?” tanya ibu sambil membereskan barang bawaannya. Sebenarnya tidak banyak yang akan dia bawa, memangnya apa bawaan wanita kalau pergi ke tempat yang jauh dari rumah? Bedak? Lipstik? Deodoran? Parfum? Hanya itu, kan? Dan kurasa tak ada yang perlu dikhawatirkan kalaupun dia harus lupa membawa salah satu dari itu, karena sebelum dia berangkat pun, dia sudah sangat rapi.
“Aku sudah makan.”
“Akan apa?”
“Mi instan.”
“Kau tahu aku tidak suka kalau kau makan makanan seperti itu, kan?”
“Aku tahu, tapi hanya menemukan makanan itu di dapur.” Jawabku dan ibu langsung diam.
Dia terus melakukan pekerjaan rumah paginya seperti memasak telur dadar dan memanggang potong roti untuk kami sarapan.
Sudah dua tahun kami tinggal di sini dan hanya tersisa enam bulan lagi aku akan lulus dari tempat ini dan tinggal di Tokyo lagi seperti rencana awalku bersama Hiro.
Ngomong-ngomong soal Hiro ... kulihat tanganku yang masih diperban. Sudah lebih dari satu minggu sejak kejadian itu, dan aku tidak bisa melupakannya begitu saja.
Melupakan bagaimana aku bisa lepas kendali atas kesadaranku sendiri dan hampir saja memperkosa seorang anak yang bahkan tidak sadar kalau dia sendiri adalah Omega.
“Kau, masih sering berhubungan dengan Hiro?” tanya ibu tiba-tiba/
“Ah, iya. Dia selalu mengirimiku pesan dan menanyakan kabarmu.”
“Perbanmu, kapan dokter akan melepasnya?”
“Hari ini, tapi kurasa aku tidak akan punya waktu ke rumah sakit. Jadi, aku akan melakukannya sendiri di klinik sekolah dan datang ke dokter untuk kontrol sabtu nanti.”
Aku tidak heran jika ibu khawatir soal perban di tanganku ini mengingat seperti apa aku waktu itu. Hari itu, setelah aku hilang kendali, Hiro mengatakan kalau aku terus bertingkah aneh, aku seperti terus mencari bau Omega itu, dan terus ingin melukai diriku sendiri, karenanya dokter berinisiatif untuk mengikat tangan dan kakiku sambil terus menyuntikkan suppressant cair dan membuatku tenang. Dan yang paling parah, tetap saja luka di tanganku ini.
Saat aku sadar, ternyata lukanya sudah dijahit dan mereka bilang kalau mereka bisa melihat tulangku dari sana. aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa kekuatan yang kupakai untuk melukai diriku sendiri.
Bahkan hari itu, aku masih ingat bagaimana Hiro ketakutan.
“Aku akan pesan makanan, kau tiba di rumah jam berapa?”
“Tidak usah, aku bisa cari makanan sendiri.”
“Kau yakin?”
“Aku masih punya stok mi instan di rak.”
“Hei, sudah kukatakan kalau aku tidak suka kalau aku melihatmu makan makanan seperti itu!” tunjuk ibu tepat di depan hidungku, “aku akan pesankan makanan untukmu, beri tahu aku kapan kau pulang malam ini.”
“Hm.”
Tak ada percakapan apapun lagi, ibu juga langsung pergi setelah mengatakan itu dan membawa sarapan yang dia buat dan memakannya sambil jalan seperti biasanya, sementara aku? Aku melanjutkan makanan seolah tidak peduli kalau ini sudah cukup terlambat.
Hanya saja, dari semua hal yang kupikirkan, adalah tentang bagaimana kabar anak itu sekarang? Bagaimana dia melewati harinya?
Lagi pula, sejak kejadian itu aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Aku ... kupikir aku ingin mengunjunginya di rumah sakit setelah ini, hanya saja, di rumah sakit mana dia dirawat? Entahlah, kurasa aku akan menanyakannya ke sekolahnya setelah jam pelajaran usai nanti.
Setelah menyelesaikan sarapanku, aku mulai berjalan ke sekolah, mengikuti pelajaran seperti biasanya dan baru pergi ke sekolah di mana anak itu belajar setiap hari.
Mengingat di mana aku bertemu dia saat dia berkubang lumpur seperti kerbau yang baru saja membajak sawah. Aku tahu karena memang jarak sekolahnya dengan sekolahku tidak terlalu jauh dan karena jalan utama untuk lewat ke sekolah itu hanya ada satu jalur yang kutahu, jadi kurasa anak itu tidak akan pergi ke mana pun di luar pengawasanku. Hanya saja ...,
“Pindah?” ulangku tak percaya dengan yang diucapkan oleh penjaga sekolah itu saat aku tiba di sana.
“Boleh kutahu dia pindah ke mana?”
“Aku tidak tahu, karena sejak kejadian itu, Iharasi langsung dicabut dari sekolah ini oleh orang tuanya dan kudengar dia juga tidak meminta surat pemindahan juga dari sekolah untuk di transfer ke sekolah lain.”
“Boleh, aku minta alamat rumahny—“
“Kobe.”
Teriak seorang remaja lelaki, mungkin seumuran denganku, berjalan bersama seorang pria lain yang juga seumuranku.
“Kau mencari Sou? Dia sudah tidak ada di kota ini lagi.” Ujar bocah yang berteriak padaku di awal. “Waktu aku menjenguknya di rumah sakit, aku bertemu dengan orang tuanya dan mereka bilang kalau mereka akan membawa Sou kembali ke Kobe.”
“Kobe ...?”
Dia mengangguk. “Kau tidak tahu kalau Sousuke tidak benar-benar tinggal di kota ini? E—tunggu, siapa kau?”
“Aku temannya.” Ujarku sambil berlalu.
Aku tahu mereka saling bertatap muka dan berpikir kalau mereka tidak mungkin melewatkan satu pun teman bocah bebal itu. Tapi, kami sudah beberapa kali bertemu dan mengobrol beberapa kali, kurasa itu sudah cukup untuk kami bisa disebut sebagai teman.
Atau, hanya sebutan yang kubuat-buat saja?
Jadi, dia bukan berasal dari kota ini? Rasanya cukup pantas mengingat bagaimana dia tidak sadar kalau gender tambahannya itu adalah seorang Omega.
“Hei, tunggu sebentar!” teriak anak yang kutemui tadi di gerbang sekolah.
“Ada apa?”
“Kau, orang yang berada di dalam toilet dengan Sousuke, bukan?”
Bagaimana dia tahu? Ah, aku lupa. Dia ini salah satu teman bocah bebal itu, bukan? Mustahil kalau dia tidak tahu sesuatu tentang detail kejadian yang menimpa temannya.
“Iya.”
“Kau, sudah tahu kalau dia Omega sejak kapan?”
Aku tidak langsung menjawab, aku melihatnya dari atas hingga bawah. Dia terlihat seperti remaja normal lainnya, hanya saja aku tidak mencium feromon Alpha atau pun Omega darinya, hanya saja aku tidak yakin kalau dia Beta.
“Kenapa? Sedang membauiku?” ujarnya seolah dia baru saja membaca isi kepalaku, hanya saja setelahnya dia malah terkekeh. “Tidak usah membauiku seperti itu, aku tahu kau Dominan, tapi bukan berarti aku ingin cari ribut denganmu.”
“Kau, Enigma?”
“Ah, kau percaya dengan gender itu?”
“Aku pernah dengar, tapi ini pertama kalinya aku bertemu dengan Enigma.” Jawabku, namun dia kembali terkekeh.
“Jujur saja, saat aku melihatmu ada di tempat yang sama dengan Sousuke saat heat pertamanya datang, itu seperti ada jutaan volt listrik menyengatku dalam satu waktu. Rasanya sangat sakit, tapi aku tidak bisa berbuat apapun karena di sana, kau memeluknya sangat erat dan aku melihat kalau kau benar-benar berniat melindunginya.”
“Kalau kau suka padanya, katakan sendiri.” Aku berbalik dan berniat untuk pergi, tapi tiba-tiba dia kembali bersuara.
“Harusnya sudah kulakukan kalau kau tidak datang.”
Aku kembali berbalik dan melihat bagaimana dia masih tersenyum menatapku. “Kuharap, kau tidak akan mencari Sousuke di Kobe, karena jika kulihat dari gelagatmu, sepertinya kau orang yang sedikit bermasalah dengan Sou belakangan ini.”
“Maaf, tapi apa maksudnya itu?”
“Kupikir kau tahu kalau Sousuke terus berusaha menghindarimu,” tunjuknya pada seragam yang kupakai, “beberapa bulan sebelum kejadian kemarin, Sou selalu memutar jalan lebih jauh untuk tiba di sekolah, dan kurasa, alasannya sangat jelas sekarang.”
“Maksudmu, aku menakutinya? Mengancamnya?”
“Tidak, yang lebih masuk akal adalah dia berbuat salah padamu dan dia takut bertemu muka denganmu.”
“Lalu apa pedulimu?”
“Tentu saja aku peduli.” Jawabnya sangat percaya diri. “Dia selalu bekerja paruh waktu denganku di taman hiburan itu, dan dia juga pernah bertanya tentang harga ponsel padaku. jadi, bisa beri tahu ponsel jenis apa yang dia rusak?”
Aku memicingkan mataku, menatapnya dingin dan berharap dia tidak mengoceh lagi dan menutup mulutnya agar tidak lebih dari ini.
“Aku akan berhenti bicara, dan kuharap kau juga berhenti bicara.” Ujarku kemudian pergi dari tempat itu.
Sial. Seharusnya aku bertemu dengan anak itu dan melihat keadaannya, tapi kenapa aku malah bertemu dengan orang yang menyukainya dan malah bertengkar seperti pecundang.
Tapi ....
Kobe, kenapa dia berasal dari tempat sejauh itu? Untuk apa dia di kota ini? Lagi pula, kenapa dia bersekolah di tempat yang jauh dari rumah sementara orang tuanya masih lengkap?
Aku sangat ingin mencari tahu, tapi aku tidak ingin terlalu ikut campur, terlebih ... ada seorang Enigma yang mengincarnya.
Setelah kejadian itu, aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Tak ada yang aneh, tak ada yang kutemui, bahkan aku juga tidak mendengar kabar apapun tentang anak itu. Jadi kurasa, dia baik-baik saja di tempat barunya dengan status baru yang bisa membuatnya sedikit bisa menjaga diri.
Seperti janjiku pada Hiro. Aku kembali ke Tokyo setelah aku lulus SMP. Awalnya mungkin ibu menolak dengan keinginanku untuk tinggal sendiri di ibu kota, tapi karena di sana juga ada ayahku, dia jadi tidak terlalu khawatir dan memintanya untuk mengecek keadaanku secara berkala.
Selama tiga tahun terlewat sangat cepat, hingga akhirnya aku tidak kuliah dan langsung ikut belajar di akademi kepolisian selama tiga setengah tahun, setelah itu, aku bertemu lagi dengannya. Dengan Omega yang sempat membuatku hilang akal. Hanya saja, Omega itu kembali dijaga oleh Enigma sialan.
Enigma yang selalu menyebut dirinya Beta.
Yang lebih menyebalkan lagi, kupikir setelah aku menikahi Omega ceroboh itu, Enigma sialan itu juga akan menghilang. Tapi ternyata tidak ....
“Aniki? Kau kenal orang yang sedang memangku Yuuki?” tanya Hiro saat kami berhasil menemukan Sousuke yang marah padaku kemudian membawa Yuuki pergi dari rumah, tanpa membawa ponsel dan hal lain.
Hanya saja aku masih beruntung karena dia membawa dompetnya dan menggunakan kartu kredit itu untuk transaksi, jadi aku bisa tahu di mana posisi dia sekarang.
“Padahal aku berharap dia sendirian dan kebingungan. Bukan malah tertawa sambil melihat orang lain.” Gumamku.
_