Bab 15 [ Iharasi Sousuke POV ]

1457 Kata
“Apa ini?” tanyaku sambil melihat satu persatu bawaan Hiro. Pagi ini Hiro datang sambil membawa sekantung plastik penuh dengan makanan kecil, s**u formula yang sering diminum oleh Yuuki, dan beberapa brosur untuk buku dengan nama pena KenKen. Rasanya, tidak asing.... “Souchan, nanti siang antar aku ke toko buku yang ada di depan stasiun Umeda. Antar aku untuk mendapatkan tanda tangan dari penulis tampan ini.” “A—memangnya ada sesi acara tanda tangan ya?” tanyaku. Hiro mengangguk antusias. “Aku sudah menunggu buku ini launching sejak beberapa bulan lalu, tapi ... aku tidak punya teman untuk kuajak ke sana.” “Mereka sibuk?” Hiro menggeleng. “M—mereka tidak tahu kalau aku suka mengoleksi buku dari penulis ini.” “Apa salahnya?” “Tentu saja salah!” dalihnya. “aku tidak pernah mengatakan kalau aku menyukai semua tulisan dari penulis ini, karena teman-temanku tidak pernah ada yang mengatakan kalau mereka juga menyukai penulis ini, jadi aku tidak mungkin meminta mereka atau salah satu dari mereka untuk mengantarku pergi lokasi ini.” “Ya ... setidaknya, kau bisa beri tahu mereka untuk—“ “Tidak bisa!” Hiro bersikukuh. “ayolah Souchan, antar aku~” rengeknya dan itu terlihat seperti saat Yuuki merengek ingin beli es krim. “Aku tidak bisa bilang iya, soalnya ... hari ini Kuroda-san sedang day off, jadi sebaiknya kau minta izin kakakmu dulu.” “Souchan, kenapa harus selalu minta izin Aniki, sih?” gerutunya, tapi kemudian gadis itu hanya bisa melirik sebal pada Kuroda-san yang sedang membaca buku bersama Yuuki di depan televisi bersama beberapa ekor kucing yang sengaja dilepas dari kamar itu setelah kami selesai sarapan. “Baiklah, tapi jangan ajak Yuuchan ya?” “Eh, kenapa?” “Anak itu pasti tidak akan duduk diam sambil menunggu.” “Kalau itu aku tidak bisa janji.” “Ayolah Souchan~” “Lakukan apapun kecuali melarang Yuuki untuk tidak ikut denganku.” “Ngh~ kau sama menyebalkannya dengan Aniki.” “Hei, kau tahu kalau Yuu tidak bisa kutinggal, lagi pula dia hanya anak-anak.” Hiro menggelembungkan pipinya. Kelihatan sekali kalau anak itu sangat tidak suka dengan apa yang kukatakan. Tapi, mau bagaimana lagi, Yuuki memang tidak pernah bisa kutinggal. Dia akan terus ikut ke manapun aku pergi, terutama saat aku bilang kalau aku akan pergi jauh. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana tangisannya nanti saat dia tahu aku tidak di rumah dan entah jam berapa akan tiba di rumah. “Aku akan pergi hanya jika Yuu ikut.” “Tidak perlu izin Aniki?” “Itu juga.” Tapi kurasa, karena sejak semalam sedikit bertengkar, jadi mungkin saja Kuroda-san tidak akan peduli aku akan pergi ke mana dan bersama dengan siapa. Kulihat Hiro berjalan mendekati Kuroda-san, meski aku melihat kalau wajahnya sangat sebal, tapi aku bisa mengatakan kalau anak itu benar-benar menyukai penulis ini, hanya saja ... KenKen, sepertinya nama itu benar-benar tidak asing untukku. “Tapi di mana aku pernah mendengar nama itu ...?” “Mau ikthut Maachan~” jerit Yuuki sambil berlari ke arahku kemudian memeluk kakiku sangat erat sambil memasang wajah sendu dan air mata yang nyaris saja tumpah. “Yuu, sama Papa –mu saja dulu.” Hiro memaksa, namun hal itu malah membuat jeritan Yuuki semakin kencang dan air matanya benar-benar tumpah. “Hei, Hiro, jangan ganggu keponakanmu.” “Aku tidak mengganggunya.” “Kalau kalian mau pergi, pergilah. Aku akan bawa Yuuki keluar.” “Eh?” Kuroda-san berjalan mendekatiku dan membawa Yuuki pergi. Orang itu benar-benar mengabaikan bagaimana anak gadisnya meronta dan menjerit memanggil namaku. Karena tidak tega melihat anakku diperlakukan demikian, aku berlari mengejar Kuroda-san yang berjalan menuju ke garasi kemudian kutarik anak itu dari ayahnya dengan wajah marah. Ya, aku marah. Bagaimana dia bisa memperlakukan anak kami seperti ini? “Kalau kau kesal padaku jangan buat Yuuki menangis seperti ini!” “Dia harus diajarkan lepas darimu.” “Aku tahu, tapi bukan seperti ini caranya!” bentakku. “Kau harus membuatnya lupa untuk bermanja padamu.” “Tapi tidak dengan cara seperti ini!” Sungguh, aku benar-benar habis sabar dengan ini. Jadi kubawa Yuuki keluar dari rumah, kuabaikan Hiro yang minta tolong padaku untuk mengantarnya ke stasiun untuk bisa dapat tanda tangan dari penulis favoritnya, juga Kuroda-san yang bisa saja akan memelototiku saat kami pulang nanti. Tapi yang jelas, setidaknya sekarang aku tidak ingin melihat anak gadisku menangis sampai kejang seperti waktu digoda oleh ibu. Aku terus berjalan membawa Yuuki pergi. Entah aku akan pergi ke mana, karena aku membawa Yuuki ke stasiun, naik kereta dengan tujuan yang aku tidak tahu ke mana. Yang jelas aku ingin sekali pergi dari rumah. “Maachan ...?” Suara Yuuki mengagetkanku. Kulihat anak itu masih ada dalam gendonganku, memandangku yang memangkunya setelah kami dapat tempat duduk di stasiun, sementara jejak air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya terlihat sudah hampir kering. Kuusap sisa jejak itu dan mencoba tersenyum. "Kita, ke taman bermain ya? Yuu mau?" Yuuki mengangguk lalu kembali memelukku. Astaga, aku tidak paham kenapa Kuroda-san bisa berbuat seperti pada anak ini? Maksudku, aku tahu kalau dia harus pelan-pelan dijauhkan dariku karena sebentar lagi dia akan punya adik, tapi membuatnya menangis kejang seperti itu kurasa benar-benar tidak bermoral sama sekali. Kereta terus berjalan entah kemana. Aku benar-benar asal mengambil jalur dan masuk ke dalam kereta yang nyaris tertutup pintunya. Bukan hanya itu, aku bahkan tidak membawa ponsel tapi aku cukup beruntung karena aku membawa dompet berisi beberapa lembar uang, kartu kereta dan credit card yang Kuroda-san berikan padaku. Hanya saja ... aku harus pergi ke mana? Kalaupun aku harus pergi membawa Yuuki ke taman bermain, artinya aku harus turun dan naik kereta di stasiun selanjutnya. Dan begitulah. Setelah kereta berhenti di stasiun pertama, aku sadar kalau aku naik kereta yang dulu sering kunaiki untuk pergi ke kantor. Tapi sekarang, aku sedang tidak ingin mengenang bagaimana aku dulu bekerja di kantor. Jadi, kutarik tangan Yuuki dan kembali naik ke dalam kereta yang memang seharunya kami naiki untuk pergi ke taman hiburan. "Maachan, nangthi beyli peymen thapas ya?" "Kau mau permen kapas?" Ulangku dan dia mengangguk. "Baik, nanti kita beli permen kapas dan makan apapun yang kau mau." Aku terus menggandeng tangan anak gadisku saat kereta berhenti dan kami terus berjalan menuju ke taman hiburan setelah kami turun dari kereta. Anak itu sangat senang, bahkan saat aku ikut baik beberapa wahana bersamanya juga membeli beberapa makanan ringan yang hanya dijual di taman bermain seperti ini. "Maachan, Yuu mau balon." Tunjuknya pada maskot taman hiburan yang memegang beberapa balon di tangannya. Biasanya badut seperti itu akan membagikan balon gratis saat ada pengunjung masuk, tapi saat kami masuk beberapa jam lalu, tidak ada badut itu di sana dan sekarang kami bertemu di dekat wahana. "Ayo." Ajakku. Aku masih menggandeng tangan anak itu sampai dia mendapatkan balon yang dia inginkan. Wajahnya sangat senang, bahkan senyum di wajahnya mengemban sempurna. Dengan sikap seperti ini, mustahil Yuuki menolak adiknya nanti. "Maachan, Yuu mau ke thoilet." "Toilet?" Ulangku dan dia kembali mengangguk. "A—ah, kalau begitu ayo kita cari. Masih bisa tahan?" "Masthih." "Bagus, ayo." Ajakku dan dia kembali berjalan tepat di sampingku sambil sesekali bersenandung dan mengayunkan balonnya. Tiba di toilet, aku membantu di masuk ke toilet perempuan, setelah meminta tolong petugas janitor di sana, aku sedikit bisa berlega karena Yuuki ada yang menjaga. Meskipun aku seorang Omega dan rasanya tidak masalah kalau harus masuk ke dalam sana hanya untuk membantu anakku buang air, namun rasanya tetap tidak etis mengingat genderku yang lain juga adalah seorang pria. Setelah lima menit, Yuuki keluar dari dalam toilet sambil terus berterima kasih pada petugas janitor yang sudah membantunya. "Setelah ini mau kemana?" Tanyaku sambil menggandeng tangan anakku yang terus berayun dan memainkan balon yang dia pegang. "Maachan, kitha naik utuh yu—" Brugh! "Nga!" Yuuki nyaaris saja tersungkur jatuh saat seorang pria menabraknya dan membuat balon yang sejak tadi dipegang oleh anak itu lepas begitu saja dan terbang sangat tinggi. "Aaaaa~ tuan balon~" pekiknya, hanya saja saat aku coba menangkapnya, balon itu sudah terbang sangat tinggi, sementara orang yang menabrak Yuuki masih tersungkur dan mencoba bangun. "Maachan?" Panggil Yuuki takut sambil meremas tanganku dengan kedua tangan mungilnya. "A—kau, tidak apa-apa?" Tanyaku penasaran karena sepertinya, orang itu bukan benar-benar kesakitan, tapi dia seperti memang tidak berniat untuk bangun. "Aku tidak apa-apa, hanya, aku sudah menerbangkan balon seorang gadis cantik di sini." Ujarnya kemudian berbalik dan berlutut tepat di hadapan Yuuki. Aku seperti mengenal orang itu, hanya saja di mana aku pernah melihatnya aku tidak ingat. Dia seorang pria dengan sehelai kaos berwarna abu-abu muda berlengan pendek dan celana panjang yang menutupi pergelangan kakinya, sementara dia tidak terlihat memakai sepatu, dia hanya memakai sebuah sandal yang lebih mirip sandal untuk.di rumah. Penampilan yang cukup tidak biasa di tempat seramai ini. Orang itu tersenyum sambil menadahkan tangannya pada Yuuki. Karena takut, anak itu semakin mengeratkan genggamannya dan meminta untuk kugendong, hanya saja aku tidak langsung mengiyakan keinginan anak itu dan memaksanya menghadapi orang baru di hadapan kami ini, karena sepertinya, dia bukan orang jahat. Setidaknya itu yang kuingat dengan wajah yang rasanya tak asing itu. "Ngh, Maachan...." Lenguhnya masih ketakutan. "Maachan? Dia, Mama -mu?" Tanyanya lalu dijawab anggukan oleh anak itu. Setelahnya, pandangan pria itu teralih padaku. "Nah, Maachan, bisakah mengatakan pada tuan putri ini untuk tidak takut padaku? Aku bukan orang jahat dan aku tidak akan berbuat jahat." "Bagaimana aku tahu?" "Setidaknya aku tidak kabur setelah membuat terbang sebuah balon." "Kau memang harus ganti rugi." "Akan kulakukan hanya jika tuan putri ini tidak terus melekat padamu dan aku bisa mengajaknya membeli beberapa balon atau boneka dan mainan lainnya." "Yang kau terbangkan hanya sebuah balon, kenapa harus beli yang lain?" Dia memutar bola matanya. "Hm, setidaknya ... kau bisa menganggap ini sebagai hadiah dari teman lama." _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN