Ibu terus menggendong Yuuki seperti enggan melepas anak itu untuk ikut pulang dengan kami. Bahkan, ibu seperti menulikan telinganya meski Yuuki menangis sangat keras sambil terus meregangkan tangannya agar kuraih dan kutarik dari gendongan ibu.
“Maachan, Maachan~”
Rengek Yuuki sangat keras bahkan aku bisa melihat air mata gadis itu sudah benar-benar membasahi pipinya, aku juga sudah bisa melihat bagaimana kelopak mata anak itu mulai bengkak, tapi aku masih berakting seolah aku tidak mendengar tangisan anak itu dan bergerak ke arah Kuroda-san yang membuka bagasi untuk memasukkan tas besar berisi pakaian milik kami.
“Ambil dia, kasihan.” Ujar Kuroda-san khawatir, tapi aku malah menjawabnya dengan tersenyum.
Melihatku yang hanya tersenyum, Kuroda-san menggeleng sambil mendesah dan itu terdengar seperti dia sangat frustrasi karena anaknya sedang digoda sampai menangis, meraung seperti itu.
“Yuuchan, tinggal di sini saja sama nenek ya?” ujar ibu sambil terus memeluk anak itu sangat erat, sementara Yuuki terus meraung sambil memanggilku.
“Yuuchan, nenek masih kangen.”
“Nggak! Maachan, Maachan~ mau puylang thama Maachan~”
“Hei, nanti Maachan –mu akan kembali lagi kemari minggu depan, ya ... tinggal sama nenek?”
“Nggak, Maachan~ mau thama Maachan~ Papa~” rengeknya dan membuatku sangat ingin tertawa, tapi saat kulirik Kuroda-san yang sudah memanaskan mesin mobil, wajahnya terlihat sangat tidak suka. Jadi, kutarik Yuuki dari ibu seberapa pun kuatnya dia memeluk anak itu.
“Berhenti menggodanya seperti itu, bu.” Ujarku dan dijawab tangis pura-pura darinya.
Astaga ... aku tidak tahu kalau sikap jahil ibu menurun dengan cara seperti ini.
Sementara ibu terus mengoceh, membujuk untuk membiarkan Yuuki tetap tinggal di sini bersama mereka, Yuuki memelukku sangat erat, tubuh mungil anak itu gemetar cukup hebat dan aku bisa merasakan kuku jari anak itu sedikit mencengkeram tengkukku kuat hingga rasanya sedikit perih. “Bu, hentikan.” Ujarku lagi dan akhirnya ibu berhenti lalu mengelus kepala anak itu.
“Baiklah, baiklah, maafkan nenek.” Ujar ibu sambil terus membujuk Yuuki, tapi sayangnya, anak itu sudah terlalu kesal dan menolak berbalik hanya untuk melihat neneknya.
“Sudahlah, nanti dia juga lupa. Bu, kami pulang dulu.”
“Hati-hati, ya ... hei, Yuuchan, maafkan nenek ya?”
“Ngh.” Rengeknya seperti enggan berlama-lama di sini.
Setelah Kuroda-san berbicara sebentar dengan ayah, akjrnya kami masuk ke dalam mobil, tapi Yuuki sama sekali tidak mau kutaruh di kursi belakang. Dia tetap merangkulku dan menempel seperti lem. Meski sesekali Kuroda-san mengusap kepalanya, anak itu tetap tidak mau lepas.
Mobil kami melaju pergi diiringi lambaian tangan ayah dan ibu. Walau kami sudah sangat jauh dari rumah pun, Yuuki tetap enggan melepaskan pelukannya.
“Hei,” panggil Kuroda-san dan sekali lagi mengusap rambut lembut anak itu.
“Yuu, Papa memanggilmu, ayo, jawab.” Ujarku, tapi anak itu malah semakin mengeratkan pelukannya.
Lagi, aku mendengar Kuroda-san mendesah, dan ini sudah yang kedua kalinya. “Maaf ya, ibu terlalu sayang padanya jadi malah keterlaluan seperti itu.”
Kuroda-san tidak berkomentar apapun, dia hanya melirik kami, dan sekali lagi mengelus kepala anaknya. “Mau es krim?”
Kuroda-san menawari sambil meminggirkan mobilnya ke bahu jalan hanya untuk melihat wajah anak gadisnya. Tapi, Yuuki tetap menempel padaku, bahkan saat Kuroda-san menariknya, anak itu tetap mencengkeramku sangat erat.
“Ayo, beli es krim sama-sama?” kali ini aku yang mencoba membujuknya
“Mau sama Mama...,”
Aku terkejut saat Yuuki memanggilku seperti itu, begitu juga dengan Kuroda-san. Bukan tanpa alasan kami seperti ini, karena sejak usia anak ini satu tahun, Yuuki mulai memanggilku dengan Chan, kadang CouChan, hingga akhirnya dia mulai lancar bicara dan mulai asih memanggilku Souchan. Sama seperti bagaimana inspektur Oogaki memanggilku. Tapi karena Kuroda-san tidak suka Yuuki memanggilku seperti itu, dia mulai mengajari Yuuki mengucapkan Mama, tapi memang sadar anak-anak, mereka selalu mengambil nama pertama yang mereka ingat dan pelajar pertama kali, lalu menggabungnya hingga jadilah seperti bagaimana Yuuki memanggilku sekarang.
Tidak ingin membuatnya kecewa dan semakin marah, aku segera menanggapi apa yang diinginkan oleh anak itu.
“A—ayo, mau beli es krim di mana? Mini market itu?” tunjukku pada sebuah mini market yang berada di ujung jalan. Beruntung saat aku menunjuk, Yuuki bisa sedikit melonggarkan pelukannya dan melihat ke arah telunjukku mengarah.
“Mau ke sana?” ajakku sekali lagi dan dia mengangguk. Melihat Yuuki yang mulai menunjukkan antuasiasnya, akulangsung mengembangkan seulas senyum sambil membantunya berbalik namun tetap duduk di pangkuanku.
“Kuroda-san, kita ke sana dulu, ya?”
“Papa, beyli es iklim.” Suara indah anakku mulai bisa kudengar, meski agak serak karena menangis sambil meraung-raung tadi, tapi anakku sudah mulai mau membuka diri.
Tanpa bicara apapun, Kuroda-san kembali mengelus kepala Yuuki dan aku bisa melihat pria itu mengulas sebuah senyum. Setelah negosiasi dengan anak gadisnya berhasil, dia mulai kembali memajukan mobilnya ke arah mini market yang ada di depan sana.
“Maachan ayo~” Yuuki menarik tanganku untuk segera keluar dari mobil sesaat setelah mesin mobil itu dimatikan oleh Kuroda-san.
“Baik, baik ... duluan ya, nanti aku menyusul.” Ujarku yang agak kesusahan membuka seat belt. Kuroda-san yang melihatku kesusahan langsung membantuku, membukakan seat belt yang sedikit susah kubuka, sementara Yuuki masih terus menarik tanganku seperti tidak sabar.
“Terima kasih banyak.” Ujarku sebelum menerima ajakan Yuuki yang menarik tanganku.
Meski wajah anak itu masih terlihat kesal, meski sepasang mata bulat besarnya terlihat sembab dan sedikit bengkak, tapi dia tetap menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam mini market itu dan membeli beberapa es krim juga makanan kesukaannya.
“Maachan, ayo~” rengek Yuuki saat langkahku sedikit lebih lambat. Buru-buru aku mengikutinya dan mensejajarkan langkah kami hingga kami sampai ke bagian di mana semuanya hanya berjejer freezer berisi es krim.
“Maachan...?”
“Ambil saja, Papa tidak akan marah kalau ambil banyak hari ini.”
“Hali ini?”
“Hanya hari ini.”
“Besok?”
“Tidak boleh makan banyak.”
“Satu?”
“Ya.”
Anak itu menggembungkan pipinya. Kelihatannya dia marah dengan peraturan rumah yang kembali padanya, tapi mau bagaimana lagi, karena kalau tidak seperti itu dia akan terus makan es krim dan cokelat berlebihan sampai giginya berlubang dan sakit. Tentu saja aku tidak mau dia seperti itu, jadi kurasa lebih baik dia marah sebentar dari pada aku harus melihatnya menangis karena sakit gigi.
Sambil menunggu Yuuki memilih beberapa es krim, aku berjalan mendekati Kuroda-san yang berdiri mematung melihat ke arah pintu. Dan sepertinya, Alpha –ku itu terlihat sangat marah untuk sesuatu. Hanya saja, aku tidak melihat ada apapun di sana kecuali sebuah mobil sport jenis BMW yang mulai bergerak meninggalkan mini market ini.
“Ada apa?” tanyaku sesaat setelah mendekatinya.
Kuroda-san buru-buru mengusap wajahnya dan berbalik menatapku sebelum dia menyentuh kepalaku dan mengelusnya sangat lembut.
“sudah selesai?”
“Ah, belum. Sepertinya Yuuki masih mengambil beberapa hal.” Tunjukku pada anak gadisku yang masih sibuk memilih es krim di dalam freezer.
“Kau tidak ingin beli sesuatu?” tanya Kuroda-san dan aku hanya menggeleng.
“Masih tidak enak badan?”
“Ya—kurasa, besok aku akan pergi chek up untuk masalah ini, benar-benar menyusahkan kalau aku sampai harus seperti ini setiap hari.”
“Hm, kalau begitu akan kuberikan kartu asuransimu.”
“Terima kasih.”
Kuroda-san berjalan ke arah rak rokok, mengambil beberapa bungkus rokok dari sana dan kembali berjalan ke arah show Chase lalu mengambil sekaleng minuman berkabonasi dengan kadar Alcohol 20%.
Eh, tunggu?! Kenapa dia mau minum jam segini?
Baru saja aku hendak berjalan mendekati Kuroda-san, Yuuki sudah berlari menghampiriku. “Maachan, Yuu boyleh ambil tiga?” tanyanya dengan beberapa es krim dalam pelukannya.
“Nanti meleleh tidak apa-apa?” tanyaku memastikan. Karena seingatku, Yuuki akan menangis kalau dia melihat es krim kesukaannya itu meleleh karena terlalu lama ditaruh di luar. Hanya saja ... melihat bagaimana dia menangis tadi di rumah ibu dan ayah, aku tidak punya pilihan selain mengiakan permintaannya dan mengesampingkan konsekuensi yang akan kudapat nanti saat anak ini melihat es krimnya meleleh.
“Baiklah, sini kubantu. Masih ada yang mau dibeli?” ujarku sambil menadahkan tangan meminta es krim yang dia ambil.
“Beyli keylipik!” ujarnya sambil berlari, bahkan sampai melewati Kuroda-san pun, dia tidak mencoba berhenti.
Melihat anaknya yang seperti itu, Kuroda-san hanya melirik, mendesah dan menggeleng ringan. Tentu saja hal itu membuatku tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanyanya.
“Hehe ... tidak, aku hanya merasa lucu melihat Yuuki sudah kembali ceria.”
“Dia itu sepertimu.”
“Aku?”
“Hm.”
“Hei, aku tidak seperti dia, mungkin sifat itu menurun darimu, Kuroda-san?”
“Ha?”
“Apanya yang ‘Ha’? benarkan?”
Kuroda-san tidak menjawab, dia hanya mengambil semua es krim yang diambil oleh Yuuki dariku dan membawanya ke kasir untuk dihitung. Tak lama kemudian, Yuuki kembali menghampiri kami dengan membawa dua bungkus besar keripik kentang.
Merasa sudah cukup dengan keinginannya, Yuuki menyerah dan mengatakan pada Kuroda-san kalau hanya itu yang ingin dia beli. Kuroda-san tidak mengatakan apapun setelah dia membayar semua belanjaannya, bahkan di dalam mobil pun pria itu sama sekali tidak bicara apatah kata pun, dia bahkan membuka kaleng minumannya dan meminumnya sambil menyetir.
Aku ingin sekali memperingatkan Kuroda-san untuk tidak melakukan hal itu sambil berkendara, tapi urung karena aku tidak ingin membuatnya lebih kesal dari ini. Hanya saja, yang membuatku lebih penasaran adalah ... siapa yang dia lihat di mini market tadi? Kenapa Kuroda-san kelihatannya sangat marah seperti ini?
“Maachan, mau?” tanya Yuuki sambil menyodorkan sekeping keripik kentang padaku.
Meski tidak lagi ngambek seperti saat kami meninggalkan rumah ibu, tapi Yuuki tidak mau duduk di bangku belakang. Dia tetap duduk di depan, dalam pangkuanku dan bergealayut seperti balita.
Ah, dia memang masih seperti itu di mataku.
Aku menolak tawaran keripik kentang itu dan memintanya menghabiskan apa yang dia beli. Sepanjang jalan, Yuuki terus berceloteh, terus bicara, bernyanyi dan mengayunkan kakinya dalam pangkuanku hingga kami tiba di rumah, dan begitu kami tiba di rumah, Yuuki langsung berlari masuk ke dalam rumah dan bermain bersama kucing-kucing yang kami tinggalkan dua hari ini.
Sementara Kuroda-san, berjalan ke arah dapur dan mengambil sekaleng bir dari dalam lemari es, menenggaknya rakus dan kelihatan sekali kalau dia sangat kesal untuk sesuatu yang tidak bisa kutanyakan. Jadi, aku hanya diam dan masuk ke dalam kamar karena kepalaku lagi-lagi terasa sangat pusing.
"Sebenarnya, aku ini kenapa, sih ...?"
_