Pagi ini, Yuuki belum bangun. Padahal biasanya anak itu sudah bangun dan menggangguku di tempat tidur. Bahkan saat aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami pun, dia masih belum turun meski hanya untuk berteriak ‘Maachan’.
Karena penasaran, aku segera naik ke lantai atas dan menemukan anak itu masih tidur di ranjangnya, hanya saja selimut yang seharusnya membungkus tubuh mungil itu sudah tidak lagi terlihat rapi, semuanya berantakan, bahkan kepalanya pun tidak lagi disangga bantal dan sebelah kakinya tersangkut pembatas ranjang.
Melihat bagaimana kacaunya tidur anak itu, aku hanya bisa tersenyum. Pantas saja Kuroda-san mengusulkan untuk membuat pembatas di sisi ranjang dan membuat tempat tidur itu mirip seperti box bayi agar anak itu tidak jatuh saat tidur.
Kuturunkan kakinya kembali masuk ke dalam ranjang, lalu kubenahi juga selimut dan bantalnya sebelum kugelitiki pipi bulatnya.
“Ngh~” dia melenguh.
Beberapa detik dia mengeluh seperti tidak ingin diganggu, tapi saat kucium pipinya dan sedikit menyingkirkan rambut panjangnya yang sudah terlihat tidak teratur, anak itu mulai mengangkat tangannya dan merangkul leherku. “Hei,” panggilku, “ayo bangun, pemalas.”
“Maachan~ Yuu nda mau pelghi ke dey gel.”
“Day Care?”
“Hm.’
“Kenapa? Di sana pasti banyak teman.”
“Yuu mau iktut Maachan ajha~”
“Tidak boleh, nanti disuntik paman dokter, mau?”
Anak itu menggeleng kuat lalu mengeratkan pelukannya hingga perutku sedikit tertekan pada pembatas ranjang. “Hei, ayo bangun, bangunkan Papa –mu.”
“Papa beylum bangnun?”
Aku menggeleng. Ya, ini sudah hampir tujuh tiga puluh tapi Kuroda-san belum bangun, itu karena beberapa hari ini pekerjaannya sangat banyak bahkan sudah hampir tiga hari ini Kuroda-san pulang lebih dari jam biasanya dia tiba di rumah. Aku tahu pekerjaannya semakin banyak akhir-akhir ini jadi dia tidak pernah punya waktu untuk memerhatikan kami, baiklah, jangankan kami, dia bahkan tidak punya waktu untuk memerhatikan dirinya sendiri.
“Ayo bantu aku bangunkan Papa –mu, setelah itu kita sarapan~”
“Maachan dhangan peygi ke lumah takit ya~”
“Hehe ... nanti kita bicara lagi, sekarang ayo bangun,” ujarku sambil mencoba mengangkat tubuh anak gadisku itu ke dalam gendonganku dan membawanya turun.
Hanya saja, kupikir membangunkan Kuroda-san adalah pilihan terbaik untuk merayu Yuuki agar bisa bangun, tapi nyatanya Alpha Dominan itu sudah berada di luar kamar, menenteng sekarung kecil makanan kucing. Melihat ayahnya di sana, Yuuki langsung berteriak sambil melambai dalam gendonganku.
“Papa~”
Sialnya, teriakan Yuuki yang terdengar lucu sama sekali tidak membuat pria di sana itu menyungging senyum, dia hanya menengok ke arah kami, berkedip beberapa kali lalu berjalan masuk ke dalam kamar di mana kucing-kucing peliharaannya berada. Huh, menyebalkan.
Yang lebih menyebalkan adalah, Yuuki yang meronta ingin turun dan mengekor Kuroda-san masuk ke dalam kamar itu.
“Dasar...,” gerutuku sambil menggeleng.
Aku benar-benar terkejut melihat bagaimana anak itu sangat dekat dengan kucing-kucing di rumah ini padahal aku sendiri masih sangat takut jika terlalu lama berdekatan dengan mereka, karena itu Kuroda-san sangat jarang melepas mereka, bahkan dia melepas beberapa kucing itu ke para pecinta kucing dan menyisakan beberapa saja di rumah ini.
Ah, rasanya baru kemarin anak itu lahir, menangis kejang sampai aku takut untuk menenangkannya, lalu tiba-tiba kucing yang pernah kubuang pulang dan tidur di samping anak itu seperti meninabobokannya, hingga sekarang. Yuuki tidak pernah berada jauh dari mereka.
Membiarkan Yuuki bersama Kuroda-san, aku berjalan ke arah dapur untuk membuat secangkir kopi dan segelas s**u untuk Yuuki.
“Maachan!” pekik Yuuki setelah mereka selesai memberi makan kucing-kucing di dalam kamar itu.
“Cuci tangan dulu sebelum makan.” Perintahku sebelum mereka tiba di meja makan.
Seperti sudah hafal dengan semua aturan yang kubuat, Kuroda-san yang saat itu menggendong Yuuki langsung membawa anak itu ke wastafel untuk mencuci tangan mereka.
Setiap pagi, selalu seperti ini. Meski aku tidak bisa membuat masakan dengan resep rumit seperti yang selalu Kuroda-san lalukan, tapi setidaknya hanya sekedar telur dadar dan roti panggang isi beberapa lembar daging dan sayuran aku bisa membuatnya agar perut penghuni rumah ini tidak meronta kelaparan sebelum siang menjelang.
“Maachan, mau thaost~” tunjuknya pada botol saus sambal di sebelahku.
“Kau yakin?” tanyaku dan dijawab anggukan olehnya.
“Akan kuantar Yuuki ke Day Care sambil berangkat kerja, sampai jam pemeriksaanmu, sebaiknya kau istirahat saja.”
“Terima kasih...,” ujarku, “aku, hanya bisa merepotkan saja.”
Kuroda-san melihatku seperti baru saja aku berbuat salah padanya. Aku tidak bertanya kenapa, aku hanya mengalihkan perhatianku pada hal lain dan aku cukup beruntung karena aku melihat ada sedikit sisa saus menempel di ujung bibirnya. Langsung saja aku mengambil selembar tisu dan menggunakannya untuk mengelap itu dari Yuuki.
Setelah selesai menghabiskan sarapan, Kuroda-san langsung bergegas ke kamar untuk mandi dan bersiap dengan kemejanya, tapi saat dia baru setengah jalan, anak gadisku sudah langsung berlari turun dari kursinya dan mengejar, padahal makanan yang ada di piring milik anak itu masih sangat banyak.
“Papa, Yuu mau mangdhi thama Papa!” teriaknya sangat keras, bahkan mungkin bisa membangunkan orang yang masih tidur di ranjang mereka.
Beruntung sekali rumah ini jauh dari tetangga, jadi aku tidak perlu khawatir soal itu sedikit pun.
Selama Yuuki masuk ke kamar bersama Kuroda-san untuk mandi, aku memilih membereskan sisa sarapan di meja, mencuci piring yang kotor dan setelahnya aku mulai makan makananku sendiri.
Walaupun aku tahu kalau aku sekarang sedang tidak terlalu ingin makan, tapi aku tetap memaksa untuk mengisi perutku dengan makanan, karena kalau sampai Kuroda-san melihatku seperti ini terus, bukan tidak mungkin dia akan marah.
Benar saja, baru satu sendok makan masuk ke dalam mulutku, rasanya sudah sangat mual. Susah payah aku mencoba menelan makanan itu dengan menutup mulutku. “Kalau aku sampai muntah dan suaranya terdengar, Kuroda-san pasti akan langsung mengambil cuti...,” gumamku.
Sudah hampir seminggu kami pulang dari rumah ayah dan ibuku di Kobe, harusnya aku sudah pergi ke dokter saat itu, tapi karena tidak ada yang menjaga Yuuki, aku selalu mengundur jadwal dokter yang sudah ditetapkan.
Kuroda-san selalu memaksaku untuk meminta Hiro datang dan membantu menjaga Yuuki. Awalnya kupikir, aku tidak ingin mengganggu pekerjaan adik satu-satunya Kuroda-san itu, tapi ternyata ... Yuuki juga tidak mau
Anak itu selalu menangis sangat keras saat kubilang kalau dia harus di rumah dengan bibinya itu. Bukan tentang Hiro, tapi tentang dia yang tidak ingin kutinggalkan. Berkali-kali aku dan Kuroda-san membujuknya, dan setelah opsi Day Care disebutkan, anak itu terlihat sedikit melonggarkan sikap manjanya dan menurut karena Kuroda-san bilang kalau di sana dia bisa saja dapat banyak teman baru. Mendengar kalau di sana ada banyak anak seusianya, tentu saja Yuuki antusias.
Seharusnya bukan jadi masalah untukku mengajak anak itu ke rumah sakit bersama, tapi ... Kuroda-san melarang habis-habisan. Dia selalu berpikir kalau anak-anak tidak boleh sembarangan masuk ke rumah sakit, terlebih di sana ada banyak sekali orang sakit yang mungkin saja akan menularkan penyakit mereka pada anak itu.
Setiap ingat, hal itu, aku hanya bisa terkekeh. Tentu saja, rasanya sangat lucu melihat bagaimana sikap dingin Kuroda-san sungguh berbanding terbalik dengan apa yang selalu dia lakukan. Kadang ... aku selalu berpikir ingin tahu apa yang sedang dipikirkan orang itu.
Entah tentangku, atau tentang anak gadisnya.
“Hei, handuknya pakai dulu, Yuuki!”
Suara teriakan Kuroda-san terdengar sangat keras memanggil anaknya yang berlari keluar dari kamar sambil bertelanjang bulat.
Melihat itu sontak saja aku kelabakan dan menarik Yuuki dalam pelukanku sebelum kubawa dia ke lantai atas.
“Yuuchan, jangan begitu. Paham?” aku memperingatkan dan anak itu, sialnya dia hanya mengangguk. Benar-benar ... entah menurun pada siapa sifat seperti ini.
“Maachan, Yuu mau pakai baju walna meyah.”
“Baik~”
Aku menyerah. Setidaknya aku sudah memperingatkan dia.
Seperti yang dia mau, aku memakaikan baju berwarna merah pastel dengan rok senada, selain itu aku juga menguncir rambutnya. Setelah selesai, kubawa dia turun untuk kembali bertemu dengan ayahnya agar mereka bisa pergi sama-sama.
Saat aku dan Yuuki sudah kembali turun ke lantai bawah sambil membawa ransel milik anak itu setelah semalam aku mengisinya dengan sekotak penuh pensil, kerayon, buku gambar dan beberapa mainan kesukannya, di sana, tak jauh dari meja makan aku melihat Kuroda-san juga sudah siap dengan setelannya. Terlihat sangat rapi dan ... sial, kenapa rasanya wajahku panas seperti ini”
“Kenapa?” tanya Kuroda-san tiba-tiba mendekatiku.
“A—tidak, umn, Yuuki sudah siap, ada yang perlu kubawa lagi?” ujarku sambil mengangkat ransel milik anak itu.
“Tidak perlu, mereka bilang di sana ada banyak mainan dan kegiatan yang alat-alatnya sudah mereka sediakan.”
“Waa~ Yuuchan~ di sana kau akan dapat banyak teman, loh~” ujarku.
“Maachan nangthi dhemput oh~”
“Nanti Papa yang jemput kamu.”
“Ndak mau! Mau didhemput Maachan~” rengek anak itu kemudian memeluk kakiku.
“Sudahlah, nanti aku yang jemput. Setelah pulang dari rumah sakit, aku akan langsung menjemput dia.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja.”
“Baiklah, Yuu, bawa tasnya ke mobil, nanti Papa menyusul.”
Tanpa menjawab, anak itu hanya mengangguk sambil melihatku dengan sepasang mata yang dia buat sangat sayu. Terlihat sangat kasihan, tapi juga menggemaskan. Hanya saja, aku tidak bisa membantu anak itu kali ini.
Setelah Yuuki menghilang di balik pintu menuju garasi, Kuroda-san kembali menatapku seperti dia ingin menelanku hidup-hidup. “A—apa?”
“Kau tidak tahu kenapa aku seperti ini?”
“Ya—mana kutahu, maksudku, kau terus melihatku seperti itu, tentu saja aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan.”
Mendengar jawabanku, dia hanya mendesah sebelum kemudian menarik tanganku dan membuatku mendekat ke arahnya. Sangat dekat hingga aku bisa mencium aroma tubuh Kuroda-san dari jarak sedekat ini.
“Beritahu aku setelah dokter mengatakan hasil pemeriksaanmu.” Ujarnya, lalu dia melingkarkan tangannya di pinggangku sebelum kemudian mendaratkan sebuah ciuman di tengkukku.
“Aku akan pergi, berhati-hatilah.”
Aku hanya mengangguk saat Kuroda-san berkata seperti itu.
Setelah Yuuki dan orang itu pergi, aku kembali naik ke atas ranjang dan benar-benar melupakan sarapanku. Jam kontrolku masih empat jam dari sekarang, dan selama itu kurasa aku masih bisa tidur sebentar.
# # #
“Sudah tiga minggu.”
“A—apa?”
“Sebaiknya mulai sekarang beri tahu pasanganmu, kalau dia merokok, katakan untuk tidak merokok lagi karena itu akan berdampak tidak baik untuk bayi kalian. Dan kuharap kau bisa lebih menjaga dirimu, minum vitaminnya teratur dan datanglah untuk kontrol setiap bulan atau jika perutmu terasa keram. Pernah mengalaminya, kan?”
“A—iya,” jawabku masih belum percaya pada apa yang sedang dikatakan oleh dokter yang baru saja selesai memeriksaku ini.
Aku memutar bola mataku gusar saat aku dapat hasil pemeriksaan menyeluruh dari dokter keluar. Kugigit bibir bawahku sebal, sungguh keterlaluan, bagaimana bisa aku kebobolan seperti ini? Aku bahkan masih meminum pil kontrasepsiku dan masih meminta Kuroda-san untuk menggunakan pengaman setiap kali kami berhubungan, tapi kenapa aku malah berakhir seperti ini?
Setelah berbincang cukup lama dengan dokter, aku pun keluar sambil membawa sebuah map berisi catatan medisku hari ini.
“Apa yang harus kukatakan pada Kuroda-san...?” gumamku dan rasanya badanku terasa sangat lemas dengan kabar yang seharusnya sangat bahagia ini.
Bagiklah, mungkin bukan Kuroda-san, aku yakin dia tidak akan keberatan dengan satu anak lagi, tapi bagaimana dengan Yuuki? Apa anak itu bisa terima kalau dia akan jadi kakak?
Kenapa rasanya sangat berat untuk memberitahu anak soal ini, ak—
Saat kakiku melangkah keluar, hujan turun sangat deras. Kuambil ponselku untuk menghubungi Kuroda-san, karena sebelum aku pergi ke rumah sakit dia sempat meneleponku kalau Yuuki sempat menangis di Day Care karena tidak betah, tapi sekarang turun hujan dan aku sedikit khawatir.
“Halo, Kuroda-san, kau sudah menjemput Yuuki?” tanyaku setelah panggilanku dijawab.
[ “Kau pulanglah duluan, akan kujemput dia sebentar lagi.” ]
“Eh, kenapa?”
[ “Mobilku mogok dan aku sedang menunggu mobil derek. Lagi pula di sini hujan sangat deras dan aku belum dapat taksi untuk itu.” ]
“Umn, baiklah ... di sini juga hujan sangat deras.”
[ “Kau bawa payung?”
“Umn, aku bawa.”
[ “Baiklah, kalau begitu akan kututup teleponnya.” ]
“A—Kuroda-san,”
[ “Kenapa?” ]
“A—t—tidak, nanti saja ...,”
[ “Baiklah.” ]
Bagaimana ini? Aku tidak tahu harus mengatakan pa pada Kuroda-san, lidahku kelu tiap kali aku mengatakan hal ini, sama seperti waktu aku tahu kalau aku sedang mengandung Yuuki.
Karena khawatir, aku langsung memilih menjemput Yuuki ke Day Care setelah mendapat taksi, akan kukirimkan pesan padanya nanti kalau aku sudah menjemput anak itu di sana.
Benar saja, setelah aku tiba di Day Care, anak itu langsung berlari memelukku, kulihat dia nyaris menangis, kata perawat di sana, Yuuki selalu menyebut namaku dan menangis beberapa kali.
“Yuu jangan lari begitu, nanti Papa pulang kau pasti dimarahi.” Larangku saat kami turun dari taksi. Sialnya, hujan masih turun cukup deras dan anak itu malah bermain hujan seperti bermain air di shower kamar mandi. Hanya saja, aku tidak bisa melarangnya.
Jadi kubiarkan dia bermain hujan sampai dia lelah dan mau masuk ke dalam rumah. Sambil menunggu itu, aku menaruh map yang kudapat dari dokter di atas ranjang, mengganti pakaianku yang basah, dan mulai menyiapkan makan malam untuk kami.
“Maachan, Yuu mau mangdhi~” teriak anak itu langsung berlari masuk ke dalam rumah dengan tubuh yang basah kuyub.
Cukup lama anak itu ada di dalam kamar mandi sampai dia keluar masih dengan pakaian lengkap yang kupakaikan padanya tadi pagi.
“Hei, aku bilang mandi yang benar, Yuuki?!” teriakku, tapi anak itu malah asik berlarian di dalam rumah dengan pakai basah.
“Nda! Papa beylum puylang, Yuu mau hujan-hujanan lagdhi di luay!”
“Hei, kalau kau tidak mandi dengan benar ibu –mu pasti akan marah padamu, Kuroda Yuuki.” Ujar suara yang kukenal tiba-tiba. Dan tiba-tiba juga Yuuki langsung berlari masuk ke lantai atas untuk meneruskan mandinya.
Itu Kuroda-san. “Kau sudah pulang? Bagaimana dengan mobilnya?”
“Sudah dibawa mobil derek dan sekarang sudah di bengkel.”
“Syukurlah.” Ujarku, “jasmu basah, bukalah nanti ku cuci”
“Hm.”
Kuroda-san langsung berjalan ke arah kamar kami di mana aku meninggalkan map berisi hasil pemeriksaanku hari ini, dan kuharap dia tidak akan marah karena aku sudah hamil lagi padahal usia Yuuki belum ada lima tahun.
Sambil menunggu Kuroda-san berbenah dengan dirinya, aku kembali memasak makan malam kami, bahkan setelah selesai, Kuroda-san tidak mengatakan apapun, dia bertingkah seperti tidak ada apapun, begitu juga dengan Yuuki, aku tidak ingin bicara apapun tentang ini padanya, setidaknya tidak untuk sekarang.
Usai makan malam, aku menemani Yuuki membaca sebuah buku, sementara Kuroda-san hanya duduk di depan televisi sambil memainkan remot dan mencari acara yang entah apa.
“Maachan, ngantuk~” ujar Yuuki sambil menguap dan mengucek matanya karena lelah.
Aku tahu anak ini sudah sangat lelah setelah seharian bermain di Day Care dan hujan-hujanan tadi, jadi aku langsung menggendongnya naik ke lantai atas, meninabobokannya sebentar sampai dia tertidur pulas di kasurnya.
Setelah memastikan Yuuki benar-benar tidur, aku rapatkan selimutnya sebelum aku kembali turun dan menghampiri Kuroda-san yang masih duduk di depan televisi.
“Yuuki sudah tidur?”
“Hm, sepertinya dia sangat lelah.”
“Kau sendiri?”
“Apa?”
“kau pasti lelah juga, kan?”
“A—aku tidak terlalu lelah, hanya ... sedikit—“
Kuroda-san menaruh remot tv yang dia pegang sejak tadi, memintaku mendekatinya dan menyentuh tanganku kemudian. Sontak saja itu membuatku salah tingkah.
“A—aku tidak apa-apa—“ ujarku berharap Kuroda-san menghentikan ini.
“Aku akan cari orang untuk mengurus rumah juga Yuuki besok.”
“Tidak perlu! Aku masih bisa melakukan semuanya sendiri. Lagi pula ... kita tidak bisa percaya pada orang asing, ingat terakhir kali kita melakukannya? Aku hampir mati.”
“Kita? Itu kau.” Ujar Kuroda-san sambil menyentil dahiku dengan telunjuknya sampai aku berdesis kesakitan, “kau terlalu bodoh untuk percaya pada orang lain, bahkan untuk orang semengerikan Mihara Kuji.” Ujar Kuroda-san mengingatkan bagaimana aku yang memang melakukan itu.
Aku, benar-benar bodoh saat itu, pantas saja Kuroda-san sangat benci dengan kelakuanku.
Saat aku sedang berpikir tentang semua kelakuanku di masa lalu, aku merasakan tangan Kuroda-san mulai terlingkat di pinggangku, membawaku turun dan duduk sebelum kemudian dia tertelungkup dengan wajah yang menempel persis di perut datarku dalam posisi terduduk. Aku bahkan bisa merasakan bagaimana Kuroda-san menciumi perutku beberapa kali.
“Kuharap dia laki-laki...,” ujarnya sambil terus mengeratkan pelukannya.
“Kau ... tidak suka anak perempuan?”
“Aku sudah punya satu.”
Aku tersenyum mendengar bagaimana Kuroda-san bicara seperti itu. Artinya, dia tidak marah dengan kehamilanku sekarang, artinya juga dia siap menerima bagaimana nantinya rumah ini akan jadi sangat ramai dengan teriakan juga tangis anak-anak.
Ah, entah kenapa rasanya dipeluk seperti ini aku seperti merasakan seperti apa sifat manjanya Kuroda-san, dan kuharap, bukan hanya ini yang kulihat.
_