“Terakhir aku melihatmu waktu kau masih kecil ya, tuan putri?” ujar KenKen sambil memainkan tangan Yuuki.
aku ini kenapa sih? Kenapa ingatanku sangat buruk?
Aku tidak akan ingat kalau dia tidak mengatakan kalau kami ini teman sejak kecil. Setidaknya seperti itu yang kuingat tentang KenKen, salah satu temanku di SMP waktu aku masih tinggal di Kyoto, juga orang yang sering kutemui di klub malam dengan nama Aracchi.
“Bagaimana bisa kau punya banyak nama seperti itu?” tanyaku mengganggu keakraban dua orang itu.
“Kukatakan pun, kau pasti akan lupa.”
“Setidaknya kau bilang padaku kalau kau itu KenKen waktu kita masih di Tokyo.”
“Hanya karena aku dekat dengan wakil direktur, kau jadi sangat formal padaku, setidaknya aku tidak ingin mengganggumu dengan status pertemanan kita.”
“Mengganggu bagaimana? Bukankah kita teman lama, harusnya kau menyapaku lebih sering.”
“Aku sudah sering melakukannya tapi kau lebih suka memilih berlarian mengejar kasus ke sana kemari.”
Aku terkekeh. Tentu saja aku lebih sering melakukannya dulu karena aku sedang menaikkan reputasiku, jadi wajar saja kalau dulu aku lebih menganggap KenKen adalah orang penting dan terus bersikap formal meski kadang aku tak lepas dari sikap kurang ajarku.
“Jadi, kau akan kembali ke satuan?”
Aku menggeleng. “Yuuki masih kecil, aku tidak bisa meninggalkannya.”
“Oo~ tuan putri, kau manja pada ibu –mu, ya?”
“Yuu nda mangdhja!” sanggah anak itu dengan suara sedikit melengking. Hanya saja, kemarahan Yuuki malah memancing tawa lain untuk KenKen.
“Wah, kau benar-benar mirip dengan ibu –mu ya?”
“Hentikan itu.”
“Kenapa?”
“Kau tahu kalau aku malu dengan ini?”
“Malu? Untuk apa? Untuk kau punya anak secantik ini? Hei, putri cantik, ibu –mu malu karena dia tidak secantik kau katanya.” Celoteh KenKen dan rasanya itu benar-benar memalukan.
Lagi pula, si bodoh itu kenapa mengatakan hal yang harusnya dia sudah paham tentang aku yang hingga detik ini masih belum bisa menerima tentang aku yang seorang Omega.
Aku hanya tersenyum menanggapi KenKen, setelah itu dia mengajak Yuuki untuk makan di sebuah restoran, hanya saja, dia sama sekali tidak membiarkan Yuuki untuk turun dari gendongannya. Dan terus membawa anak itu dengan posisi seperti itu.
Bahkan jika harus kuingat, Kuroda-san sendiri tidak pernah melakukannya pada Yuuki.
“Hei, putri cantik,” lagi. KenKen memanggil Yuuki dengan panggilan yang tidak biasa, “kau mau makan siang dengan apa? Pasta? Burger? Steak? Atau ayam?”
“Umn...,” Yuuki terlihat berpikir untuk sesuatu yang akan dia makan, tap sepertinya anak itu kebingungan dan akhirnya dia menanyaiku, “Maachan~”
“Hm?”
“Yuu makan apa?”
“Yuu mau apa? Ayam?” anak itu menggeleng. “Daging? Atau mie?”
“Maachan, boleh Yuu makan ayam thama pastha?”
“Yakin habis?” tanyaku memastikan, dan dia mengangguk pasti dengan tangan memeluk kepala KenKen.
Aku ingin sekali memberitahu anak itu untuk tidak melakukan hal tidak sopan begitu, tapi KenKen pasti akan langsung mengatakan kalau Yuuki hanya anak-anak.
“Baiklah!”
Suara Kenken memecah lamunanku.
“Kita akan ayam goreng dan pasta juga steak.”
“Eh, sebanyak itu? Tidak, Yuu tid—“
“Ayolah, anggap ini sebagai perayaan karena kita bertemu lagi setelah bertahun-tahun.” Ujar KenKen.
“Tapi Kuroda-san tidak akan suka kalau sampai dia melihat Yuuki makan berlebihan.”
“Kuroda? Oh iya, kenapa kalian datang kemari sendirian?”
“Ah, itu ... Kuroda-san tidak bisa ikut kemari karena dia, terlalu sibuk.” Ucapku bohong dan aku sepertinya tidak terlalu pandai berbohong hingga setelah aku mengatakan itu, KenKen hanya tersenyum dan mengusak rambutku gemas.
“kau selalu memperlakukanku seperti anak kecil.” Protesku. Hanya saja, KenKen kembali tersenyum.
Karena ini sudah memasuki jam makan siang, kami kesulitan mencari restoran yang terlihat kosong, karena hampir semua tempat duduk sudah ada yang menempati.
“A—di sana.” tunjuknya pada sebuah meja kosong tepat di sisi paling luar sebuah restoran piza. Setelah itu, KenKen meninggalkan kami di sana sementara dia pergi kembali untuk memesan makanan, sementara Yuuki dan aku menghabiskan waktu untuk menunggu sambil mengobrol.
“Maachan,”
“Hm?”
“Thenapa pangan itu mangdhil Yuu, puteli?”
“Tentu saja karena kau cantik seperti putri.”
“Elsa?”
“Ah, tentu, princess Elsa.” Ujarku.
Tentu saja, Yuuki sangat menyukai karakter kartun besutan Disney itu, dia bahkan selalu ingin rambutnya diwarnai seperti Elsa saat dia memakai gaun yang mirip dengan gaun yang dipakai princess Elsa yang dibelikan Kuroda-san tahun lalu. Dan anak itu, sangat menyukainya.
Anak itu terus mengoceh, terus bicara dan mengajakku bercanda hingga KenKen datang membawa makanan yang dia pesan.
“Maaf membuat kalian menunggu.” Ujar KenKen sambil menaruh makanannya di atas meja.
Melihat itu, Yuuki menjerit kegirangan. Anak itu benar-benar kelaparan kelihatannya. Dan aku tidak bisa menahan anak itu untuk tidak berbuat semaunya.
"Maachan, Yuu boyleh makthan tsemuanyah?"
"Tentu! Kau harus habiskan semua yang kau mau." Jawabku.
Awalnya anak itu terlihat sebal, tapi kemudian dia sangat senang saat seorang pelayan datang membawa gelas-gelas berisi beberapa macam minuman dan satu mangkuk besar berisi penuh beberapa es krim berbagai rasa dan toping.
Saat es krim itu datang, Yuuki langsung menatapku dengan mulut penuh dengan makanan. Tapi aku segera menggeleng. "Tidak, makan dulu makananmu, baru makan es krim."
Meski dia merengut, tapi saat KenKen mengatakan kalau Yuuki bisa memiliki rasa krim itu untuk dirinya sendiri setelah menghabiskan makanannya, anak itu kembali ceria, dia bahkan memintaku untuk membantunya menghabiskan makanan di hadapannya agar cepat selesai hingga dia bisa makan es krim yang dia mau.
"Ken," panggilku, "bagaimana kabar yang lainnya?"
"Semua teman kita?"
Aku mengangguk. "Sejak aku dibawa pindah orang tuaku dari Kyoto setelah kejadian itu, kita benar-benar putus kontak, aku bahkan tidak pernah bisa punya waktu untuk menemui kalian di sana."
"Bukan salahmu kalau kau tidak bisa." KenKen menjawab santai, "lagipula, setelah kita tidak bisa lagi main bersama dulu, Nagi dan yang lainnya pergi ke Tokyo untuk melanjutkan SMA mereka di sana, dan hanya aku yang bertahan di Kyoto."
"Kenapa tidak ikut pergi?"
KenKen terkekeh. "Aku hanya seorang Beta, ingat? Sedikit kesempatanku untuk bersaing di kota besar semacam itu, hingga akhirnya aku belajar mengelola restoran milik ibuku sambil mengikuti program homeschooling dan kuliah setelahnya."
"Wah, tidak heran. Aku ingat kalau kau sempat menawariku ponsel waktu itu, ternyata ibumu punya restoran."
KenKen menghentikan makannya dan menatapku. Tunggu, apa ada yang salah?
"Kau masih ingat kalau aku pernah menawari itu padamu?"
"A—iya...,"
Mendengarku menjawab seperti itu, KenKen terkekeh, dia bahkan menutup mulutnya agar makanan yang sudah di kunyah berceceran. "Ke—kenapa? Ada yang salah?" Tanyaku kebingungan.
"Tidak, bukan. Aku hanya bingung saja padamu,"
"Bingung padaku?"
"Ya, kau tidak mengenaliku dua kali. Pertama, saat aku tidak sengaja menabrak kereta bayi milikmu hingga tanganmu terluka dulu, dan juga hari ini. Dari dua pertemuan itu, apa pernah kau langsung mengatakan, 'oh, kau! Lama tidak jumpa?' pernah?" Tanyanya dan aku menggeleng. "Benar! Kau tidak pernah bertanya tentang apapun, jangankan bertanya, kau bahkan tidak tidak mengingat wajahku sama sekali, padahal sebelumnya di Tokyo, kita sering bertemu dan sering pergi ke klub untuk minum. Tapi tiba-tiba sekarang, kau mengatakan kalau aku pernah berniat memberimu sebuah ponsel. Luar biasa, bukan?"
"Maksudnya...?"
"Tentu saja luar biasa. Kau tahu, ingatanmu itu sangat buruk! Tapi sekarang lihat, kau seperti benar-benar merasa sangat bersalah pada orang yang ponselnya sudah kau hancurkan sampai hingga detik ini, kau bahkan masih ingat kalau kau pernah menghancurkan benda berharga milik orang lain."
Aku menelan seteguk ludah susah payah. Kulihat Yuuki yang masih asik.makan hingga noda saus dan bumbu terlihat menempel di ujung bibirnya bahkan ada yang sampai mengotori pipi bulat anak itu. Kuambil selembar tissue dan kuusap bekas-bekas jejak saus itu di wajahnya, sementara kepalaku, tidak.berhenti mengingat bagaimana memanncerobohnya aku waktu itu.
Aku ingin membantu orang, tapi aku malah menyusahkan orang lain. Meski sekarang dan orang itu sudah menikah dan hampir punya dua orang anak pun, aku tidak bisa berbohong kalau aku memang masih merasa bersalah.
"Kau bertemu dengan orang itu setelah kau berusaha mengumpulkan uang dulu?"
"Uang?" Aku kembali memutar ingatanku.
Aku memang sempat bekerja paruh waktu bersama KenKen di sebuah restoran di taman hiburan. Tapi, "aku menabungnya setelah ayah bilang ada yang masuk ke rekeningnya tanpa nama."
"Jadi, kau tidak.pernah membelikan uang itu hingga hari ini?"
Aku menggeleng, awalnya KenKen terlihat khawatir, tapi kemudian dia tersenyum.
"Ah, kau mau tambah makanan lagi?" Tanya KenKen mencoba mengalihkan percakapan kami.
Aku yang menolak tawaran KenKen yang menyuruhku untuk menambah makanan, hanya melihat bagaimana Yuuki berjuang menghabiskan apa yang dia mau sebelum beralih pada es krim yang mulai meleleh.
"Wah, tuan putri," panggil KenKen pada Yuuki yang sudah mulai fokus pada es krim di hadapannya. "Kau suka main denganku?" Tanyanya dan Yuuki mengangguk.
"Kalau begitu, lain kali kita akan bertemu lagi."
"Eh, kau mau ke mana?" Tanyaku. Hanya saja, di tidak menjawabnya, dia hanya memasukkan tangannya ke dalam saku sweater yang dia pakai dan menyerahkan selembar brosur padaku. Betapa terkejutnya aku saat kulihat brosur itu adalah brosur yang sempat dibawa oleh Hiro tadi saat di rumah.
"A—apa buku yang ada di brosur ini kau, yang menulisnya?" Tanyaku lalu KenKen mengangguk.
"Sebenarnya itu buku lama, tapi entah bagaimana di cetakan kedua ini jadi lebih laris dari cetakan versi pertama." Jawabnya singkat.
Astaga, apa ini? Jadi ... penukis dengan pen-name KenKen, adalah benar-benar KenKen? Arata Kenichi?" A—
"Sudah selesai mainnya?"
Suara bariton khas itu mengagetkanku. Aku mencoba berbalik ke arah pemilik suara tersebut, dan sekali lagi, aku terkejut.
"K—Kuroda-san?"
_