"Sudah selesai mainnya?"
Suara bariton khas itu mengagetkanku. Aku mencoba berbalik ke arah pemilik suara tersebut, dan sekali lagi, aku terkejut.
"K—Kuroda-san?"
Astaga, kenapa dia ada di sini? Apa yang harus kulakukan kalau sampai ... Kuroda-san marah karena aku sedang bersama orang lain di sini?
"Oh, sepertinya ayahmu sudah menjemput, tuan putri." Ujar KenKen sambil mengelus pipi bulat Yuuki yang sedang asik makan es krimnya hingga lupa pada semua hal. Termasuk ayahnya yang datang pun dia abaikan.
"Wah, lahap sekali." Ujar KenKen saat ucapannya tak digubris. Setelah itu, dia dan Kuroda-san saling melihat satu sama lain.
"Terima kasih sudah membawa Yuuki berkeliling." Ujar Kuroda-san tiba-tiba. Sementara KenKen hanya tersenyum dan mengangguk.
"Tidak masalah, aku suka anak kecil, setidaknya dengan begini aku bisa sedikit lebih akrab dengannya."
"Aku selalu mengajarkan dia untuk tidak bicara atau bertemu dengan orang asing tanpa pengawasan orang tuanya."
A—apa itu artinya Kuroda-san sedang memperingatkan aku atau KenKen untuk tidak bertemu lagi? Atau bahkan membiarkan KenKen menemui anak itu bahkan saat tidak sengaja di tempat umum seperti ini?
"Kuro—"
"Didikan yang baik." KenKen memotong suaraku. "Hanya saja, sebaiknya kau jangan terlalu keras pada anak-anak, Papa. Dia terlalu cantik untuk kau berikan wajah seperti itu setiap hari."
"A—, Ken, itu tidak—"
"Baiklah, aku harus segera pergi. Sampai bertemu lagi Sousuke." Ujar KenKen sambil melambaikan tangan pada kami.
Setelah KenKen pergi, aku kembali mendapati duniaku dalam hening. Dingin. Bahkan aku yang biasanya akan gugup, panik atau canggung saat melihat Kuroda-san dalam keadaan marah seperti ini, hanya saja sekarang rasanya berbeda. Aku bahkan enggan melihat wajah itu.
Aku benar-benar marah padanya.
"Yuu, sudah makannya?" Tanyaku pada Yuuki yang nyaris menghabiskan satu jar besar es krim. "Kita ke wahana lain ya?"
"Yuu mau main!"
"Ayo, sudah makannya." Kutarik mangkuk es krim yang nyaris bersih itu, sebelum kugendong Yuuki dan kuajak dia menjauh dari sana.
Menjauhi Kuroda-san.
Aku menurunkan Yuuki setelah kami cukup jauh dari orang itu, kutuntun dia, dan kuajak dia berkeliling dan menaiki beberapa wahana yang memang belum dia naiki sejak tadi, hanya saja, setiap kami pergi ke mana pun, Kuroda-san mengikuti kami.
"Papa!" Jerit Yuuki saat Kuroda-san kembali mendekat waktu kami berada di depan Carousell.
Anak itu langsung memeluk kaki ayahnya, langsung minta digendong seperti tidak pernah ada hal apapun terjadi diantara mereka. Menyebalkan.
"Papa udhah makthan?" Tanya Yuuki dan Kuroda-san juga mengangguk seadanya.
"Yuu, ayo naik itu sama-sama?" Ajakku.
"Tsama Papa djuga?"
"A—cuma sama Maachan," jawabku dan Yuuki seketika merengut.
"Sama Maachan saja, ya. Papa beli balon, Yuu mau beli apa lagi?"
"Boneka bestay!"
Kuroda-san tersenyum saat Yuuki mengatakan itu sambil meregangkan tangannya, bertingkah seolah apa yang dia inginkan memang sebesar itu.
Setelah bercakap dengan anaknya, Kuroda-san langsung menurunkan Yuuki dan pergi sebelum kami naik Carousell. Aku tidak tahu dia benar-benar mau beli sesuatu yang dikatakan Yuuki atau hal yang lain, hanya saja aku sungguh tidak ingin melihat wajahnya sekarang.
Kutaruh tanganku di perut, mengusapnya pelan sambil mengembuskan napas ringan sampai antrian kami di pintu tiket berakhir.
"Maachan!" Panggil Yuuki tiba-tiba.
"Hm?"
"Yuu boyleh naik tsendili?"
"Kau yakin?" Tanyaku dan dia mengangguk percaya diri.
Aku sedikit khawatir untuk permintaan ini, karena selama ini, setiap Yuuki berada di tempat ramai tanpa memegang tanganku, maka dia akan langsung menangis. Tapi, kurasa dengan cara seperti ini maka setidaknya sedikit demi sedikit aku bisa membuat Yuuki lepas dariku. Setidaknya itu yang memang harus dia lakukan karena sebentar lagi dia akan jadi kakak.
"Baiklah, tapi kalau nanti takut janji jangan menangis ya?" Pintaku dan Yuuki berjanji dengan lantang.
Akhirnya aku membiarkan anak itu naik wahana sendiri, sementara aku memperhatikannya dari pagar pembatas wahana. Yuuki duduk di sebuah kuda, dibantu oleh petugas, dan sejak awal wahana itu mulai berputar, anak itu terus melambai padaku sambil berteriak memanggilku.
"Sepertinya dia sangat bahagia." Ujar Kuroda-san setelah kembali.
Aku tidak menoleh sama sekali dan tetap melihat ke arah Yuuki yang masih naik wahana itu. Tapi tiba-tiba, sekuntum mawar yang dibungkus sangat rapi ada di hadapanku.
"Aku minta maaf." Ujar Kuroda-san sambil menaruh wajahnya tepat di ceruk leherku.
Aku ingin menyingkir, tapi aku tidak ingin memancing pertengkaran dengan Kuroda-san di depan umum seperti ini. Lagipula, Yuuki juga sudah lupa kalau sebelum dia kutarik ke tempat ini, bahkan saat ayahnya datang pun, Yuuki langsung minta digendong dengan perasaan sangat riang.
Jadi, aku punya alasan apa lagi untuk mengabaikan Kuroda-san, meski sebenarnya aku masih sangat kesal dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Ayo pulang." Ajaknya masih menaruh wajahnya di ceruk leherku, sementara bunga yang dia sodorkan belum kuambil.
"Aku janji tidak akan akan berbuat kasar seperti itu lagi." Ujarnya lagi. Dan ini, memang jarang dilakukan Kuroda-san.
Pria dingin yang kunikahi tidak pernah berkata maaf untuk kesalahan macam apapun. Dia hanya akan bertingkah lebih baik, lebih sering berinteraksi denganku untuk kesalahan yang dia lakukan.
Tapi kali ini, dia meminta maaf.
Kuroda-san masih tetap seperti itu, bahkan saat Carousell sudah hampir berhenti pun, dia tidak melepaskan dirinya dariku.
"Yuuki tidak boleh melihat kita bertengkar setelah tiba di rumah." Ucapnya lagi.
Aku menghela napas saat Kuroda-san mengatakan itu.
Memang benar, Yuuki tidak boleh melihat orang tuanya bertengkar, jadi, kuambil bunga yang disodorkan Kuroda-san padaku. "Aku tidak suka kau melakukan hal semacam itu lagi." Ucapku tegas.
Sialnya, Kuroda-san malah memelukku dengan tangan lain yang sibuk memegang balon dan sebuah boneka kelinci yang dia beli tadi saat dia pergi.
"Aku serius, jangan melakukan hal semacam itu lagi!".
"Hm."
"Kuroda-san, jangan berbuat seperti itu lagi, aku serius! Kalau sampai kau melakukan itu lagi pada Yuuki, aku akan membawa dia ke rumah ayah dan ibu dan tidak akan bicara lagi denganmu."
"Hm."
"Jawab aku!"
"Hm."
"A—"
"Maachan!"
Lagi, Yuuki berteriak saat Carousell -nya sudah hampir berhenti dan seorang petugas sudah naik untuk membantunya juga beberapa anak untuk turun dari sana. Setelah itu, Yuuki langsung berlari ke arah kami, memelukku dan mendapatkan apa yang di mau dari Kuroda-san.
"Telimakachi, Papa~"
"Sama-sama."
"Masih mau main?" Tanyaku. Dan anak itu mengangguk.
"Yuu mau ke tsana!" Tunjuk ya entah kemana, tapi Kuroda-san langsung mengiyakan.
Padahal, satu menit lalu dia menyuruh kami untuk pulang, tapi sekarang, lihat dia, dia malah mengiyakan keinginan anak itu dan berjalan sambil menggandeng tangannya.
"Kau lelah?" Tanyanya.
"Sedikit,"
Mendengar jawabanku, Kuroda-san langsung menarik Yuuki dalam gendongannya, sementara tangannya yang lain, dia gunakan untuk meraih pinggangku dan kami berjalan beriringan.
Sungguh, aku sangat senang dengan perlakuan seperti ini, hanya saja, aku tidak bisa langsung mengatakan aku memaafkan Kuroda-san yang sudah membuat Yuuki menangis sampai seperti itu lagi tadi.
"Papa," panggil Yuuki yang memeluk boneka yang dibelikan ayahnya, "bibi Hilo ke mana?"
"Ah, bibimu sedang bertemu idolanya."
"Idola?" Tanyaku penasaran.
"Hm, penulis buku aneh yang tadi pagi brosurnya diberikan padamu."
Ah, aku lupa. Hiro memang menunjukan brosur yang sama seperti yang KenKen berikan padaku, kurasa ... mungkin setelah ini aku akan mengenalkan Hiro padanya secara langsung.
"Hei," panggil Kuroda-san, "kalau lelah, katakan padaku. Kita pulang."
Aku menggeleng. "Tidak, aku masih ingin main."
_