Sudah hampir setengah jam aku di ruang kerjanya, memandangi dia yang mengabaikanku sambil terus memeriksa laporan yang datang dan pergi, bahkan beberapa orang yang masuk dan orang-orang itu dari divisiku terus memandangku kebingungan, mereka ingin bertanya tapi tidak berani untuk menanyakan apa yang mereka ingin tahu.
Meski diabaikan, tapi aku tidak menyerah untuk terus duduk di sana, memandanginya dan berharap dia mengatakan sesuatu untuk kudengar.
Tapi sepertinya, ayahku terlalu sombong untuk memulai percakapan ini lebih dulu.
"Kudengar dari Hiro kalau ayah mau menjodohkannya dengan anak kolegamu?" Aku memulai.
"Jadi kau berlama-lama duduk di sana hanya untuk menanyakan itu?" Jawab ayah menimpaliku dengan pertanyaaan lain.
"Kupikir pertanyaanku sudah cukup jelas." Aku menggaruk pelipisku tak gatal. "Dengar, kupikir hubungan kita memang tidak akan bisa akur, tapi bukan berarti ayah bisa berbuat seenaknya pada Hiro untuk melampiaskan kekesalan yang tidak pernah bisa kau lampiaskan padaku."
"Kesal? Kenapa aku harus kesal padamu?"
"Huh, kau bercanda?" Cemoohku.
Aku tahu benar dia sangat kesal padaku karena aku menikahi Sousuke daripada memilih seorang Alpha lain untuk jadi pasanganku seperti keinginannya. Tapi apa-apaan itu? Meski Sousuke tidak hamil sekalipun dulu, bukan berarti aku akan mengikuti keinginannya untuk menikahi gadis Alpha untuk jadi pasanganku. Karena bagaimana pun, sikap kerasku tidak akan pernah bisa luluh jika di depan orang dengan gender yang sama denganku. Lalu bagaimana jika nanti kami punya anak? Jawabannya satu.
Hubunganku dengan Alpha wanita itu nantinya tidak akan jauh berbeda dengan apa yang pernah dilalui orang tuaku dulu. Dingin dan mengerikan untuk disebut sebuah keluarga karena yang ada di dalam rumah itu hanya kekosongan.
Dan aku tidak mau itu terjadi dalam hidupku yang hanya sekali ini.
"Untuk apa yang kulakukan, kau tidak berhak menghakimi Sousuke, bagaimanapun dia sudah memberimu seorang cucu yang istrimu sayangi." Imbuhku.
"Karena dalam tubuh anak itu mengalir darahku juga."
"Apa bedanya? Kalau kau berpikir begitu harusnya kau bertingkah lebih baik dari yang kuharapkan tapi ternyata tidak ada bedanya sama sekali dengan apa yang kau tunjukan."
"Menerima atau tidak dia tetap cucuku."
"Harusnya pikiranmu juga seperti itu dengan Sousuke."
Komisaris Marumaki menghela napasnya sebelum di benar-benar menatap lekat-lekat wajah putra sulungnya. "Katakan saja apa maumu?"
"Jangan pernah campuri soal pasangan Hiro, sekarang atau pun nanti." Aku memperingati.
"Memang kau pikir siapa kau? Sejak kau memilih omega laki-laki itu aku sudah tidak pernah peduli dengan apa yang kau lakukan. Jadi lakukan hal yang sama pada adikmu."
Ucapan ayahku benar-benar terdengar lucu untukku sampai aku tidak bisa untuk tidak terkekeh mendengarnya. "Justru karena dia adikku aku tidak ingin hidup berharganya berakhir sia-sia."
"Dia akan menikah dengan pria mapan dan karir yang bagus, hidupnya tidak akan jadi sia-sia. Mungkin, kau mengatakan itu pada dirimu sendiri?"
Aku kembali dibuat terkekeh. "Untuk apa yang kau dan ibu sisakan, rasanya cukup untuk.membuat kami kenyang. Jadi aku tidak mau kalau sampai anak itu 'memakan' hal yang sama untuk hidupnya di masa depan."
"Jadi kau mau bilang, kalau kau yang mau carikan adikmu itu Alpha sesuai keinginanku?"
"Untuk apa aku melakukan itu, Hiro masih bisa melakukanya sendiri." Jawabku.
"Baiklah, jawabanmu sudah kupegang. Sekarang kau boleh keluar."
"Aku tidak akan biarkan Hiro menerima begitu saja keinginan konyolmu." Ujarku sambil berdiri dan keluar dari ruangan itu.
Aku mendengus saat menutup pintu ruangan ayahku menyebalkan sekali orang itu bagaimana bisa dia memikirkan masa depan Hiro hanya dengan cara seperti itu.
Baru saja aku berpikir untuk kembali ke ruanganku ponselku bergetar dan itu dari Sousuke.
[ "Kuroda-san, kau masih di kantor?" ]
"Iya. Ada apa?"
[ "Kedengarannya kau sedang kesal?" ]
"Kenapa? Ada sesuatu di rumah?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan kami.
[ "Ah, tidak. Aku sedang ada dekat kantor, bersama Yuuki." ]
"Kalian di sini?"
[ "Iya, mau makan siang bersama?" ]
"Baiklah, kalian di mana sekarang?"
[ "Kafe yang ada di sebelah kantor." ]
Huh, Apa-apaan itu padahal jaraknya sangat dekat, kenapa dia itu datang ke sini saja?
Kumatikan teleponnya, bergegas menuju ke tempat di mana mereka menungguku, dan saat aku tiba di sana aku melihat itu sedang duduk sambil mengayunkan kakinya dengan mulut penuh makanan, sementara Sousuke melambai ke arahku dari sebuah bangku yang menghadap langsung ke jalanan.
"Maaf, tiba-tiba saja aku ingin jalan-jalan dan saat sadar ternyata aku sudah berjalan cukup jauh." Ujarnya tiba-tiba.
Kulihat dia, dia memakai celana panjang berbahan kain yang cukup longgar, kaus yang dikenakannya pun sudah tidak bisa lagi menyembunyikan bagaimana besarnya perut itu, meski begitu dia tetap berusaha menyembunyikannya.
"Kalian pesan apa itu?" Tanyaku kemudian mengambil sepotong kentang goreng dari piring Yuuki dan benar saja, anak itu langsung menjerit tidak suka.
"Hei, jangan ganggu dia!" Tegurnya sambil memukul tanganku.
Ah, harus kuakui, akhir-akhir ini dia jadi sangat berani melakukan hal seperti ini. "Maaf, aku lapar." Jawabku.
"Aku juga, boleh aku pesan makanan?"
"Jadi dari tadi kalian hanya pesan untuk Yuuki saja?" Tanyaku, sementara anak gadisku masih sibuk mengunyah makanannya.
"Aku pikir aku mau makan denganmu, jadi ... aku—"
"Yasudah, mau pesan apa?"
"Apapun?"
"A—iya, apapun ...." Jawabku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Kupikir Sousuke mengatakan itu hanya karena dia ingin mengetesku apa aku benar-benar akan membiarkan dia memesan apapun, tapi ternyata dia memang benar-benar memesan semua yang ingin dia pesan di kafe ini. Mulai dari Zuppa sup, pasta, steak, roti isi dan satu cup besar es krim sebagai penutup.
"Kau yakin akan habiskan semua ini?" Tanyaku setelah meja di hadapan kami penuh oleh piring dan mangkuk.
"Tentu saja!"
Sousuke menjawab sangat yakin. Bahkan setelah dia menjawab pertanyaanku, dia mulai makan dengan sangat lahap.
"Kuroda-san," panggilnya dengan mulut penuh.
"Hm?"
"Wajahmu jelek sekali."
"Apa?"
"Kalau sedang kesal pada sesuatu bisa kau sembunyikan sebentar?" Tanyanya sambil tersenyum ke arahku. "Sekarang mungkin dia sedang sibuk mengunyah, tapi kalau dia sampai sadar dia akan mencercamu dengan banyak pertanyaan nanti."
"A—apa wajahku seperti itu?"
Sousuke mengangguk kemudian menoel pipiku dengan ujung telunjuknya. "Jelas sekali." Jawabnya singkat sambil tersenyum lagi dan melanjutkan makannya.
"Kuroda-san," panggilnya lagi, "apa kau bisa cuti setengah hari?"
"Mau ke mana?"
"Ayo ke hotel, menginap di sana dan pakai kolam air panas."
"Kau mau pergi ke Onsen?"
"Hm," Sousuke mengangguk antusias, "pertama kali kita ke Onsen adalah karena kasus tempo hari, dan kurasa kita tidak pernah lagi pergi ke Onsen, bukan?"
"Kenapa tiba-tiba?"
"Sebentar lagi sudah masuk musim dingin, kurasa tidak akan menarik kalah pergi ke Onsen saat musim dingin jadi kurasa sebaiknya kita pergi sekarang"
Dasar aku tidak paham apa yang dipikirkan? Pergi ke Onsen jam segini tanpa baju, tanpa persiapan? kurasa dia benar-benar sinting karena perutnya yang semakin besar.
"Sebaiknya pulang dulu untuk ambil baju."
"Tidak usah! Aku sudah bawa, kok." Ujarnya kembali tersenyum, tapi sialnya, aku tidak melihat mereka membawa tas atau semacamnya, hanya sebuah totebag yang sering Sousuke bawa dan aku yakin isinya hanya tissu basah dan kering, masker,pembalut dan sapu tangan. Juga beberapa mainan kesukaan Yuuki.
Lalu, apa yang dia maksud dengan pergi menginap di Onsen tanpa pakaian ganti? "Kau mau aku pakai baju ini sambil tidur dan memakainya lagi besok untuk tetap bekerja?"
"Kau masih mau bekerja besok?"
"Tentu saja, aku—"
"Ambil cuti. Nanti aku akan katakan sesuatu pada komisaris Marumaki untuk mengizinkan cuti untukmu."
Aku ingin memprotes kata-kata itu, tapi melihat bagaimana Sousuke bersemangat soal pergi ke Onsen, kurasa tidak perlu memberitahunya apapun sekarang.
"Baiklah, tapi setidaknya kita harus pulang dulu untuk mengambil pakaian ganti."
"Sudah kubilang tidak usah, aku sudah bawa pakaian ganti untuk kita semua."
"Apa?"
_