Harusnya aku sudah tahu saat dia mengatakan kalau dia membawa baju ganti untuk kami nanti selama di penginapan dengan Onsen di dalamnya.
Di sana, ternyata ada Hiro yang sudah menunggu.
"Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau sekongkol dengan mereka?" Tanyaku pada adik semata wayangku yang sudah ada di penginapan bersama dua buah koper berukuran kecil yang dia bawa.
Lagi pula apa-apaan itu? Kenapa mereka membawa banyak sekali barang? Apa mereka berencana menginap di sini sampai akhir pekan yang masih tersisa empat hari lagi? Oh ayolah, ini baru hari Selasa dan pekerjaanku belum bisa ditinggalkan selama itu.
"Dosenku sedang pergi dinas ke luar kota, jadi aku minta cuti selama dia pergi." Jawab Hiro seenak jidatnya.
Apa maksudnya itu? Harusnya saat dosennya tidak bisa mengawasi atau memberi mata kuliah, dia yang bertanggung jawab sebagai asisten untuk menggantikan itu semua, bukannya malah datang kemari dan menghabiskan waktu untuk liburan.
"Aniki, Kastela yang kau bawa kemarin dihabiskan orang rumah, aku hanya kebagian secuil." Keluhnya padaku.
"Salahmu kenapa membawanya pulang."
"Kupikir mereka hanya akan makan sedikit karena itu punyaku."
"Kau tahu kalau adik-adikmu di rumah itu sedang dalam masa pertumbuhan, kenapa membiarkan makanan semahal itu tergeletak di dapur."
"Hei, ingat mereka itu adikmu juga."
Aku meliriknya saat dia mengatakan hal seperti itu padaku.
"A—apa?"
"Aku tidak akan berikan lagi Kastela padamu."
"Heee~ kenapa tiba-tiba mengancamku?"
"Aku tidak mengancam, hanya mengatakan apa yang akan kulakukan di masa depan." Ujarku kemudian menarik koper yang seharusnya milik Sousuke.
"Souchan~ kau dengar?! Aniki benar-benar menyebalkan!" Rengeknya pada Sousuke yang sibuk menyeka sudut bibir Yuuki yang penuh dengan es krim. Tapi sepertinya, dia tidak peduli dengan rengekan itu, jadi kutarik tangannya dan kami masuk ke dalam penginapan.
"Astaga?! Aniki kau menyebalkan!"
Aku memesan satu kamar untuk kami bertiga, sementara Hiro? Tentu saja dia harus memesan kamar dan membayar untuk dirinya sendiri, dia sudah punya penghasilan dan setidaknya dia harus tahu cara menggunakan uangnya dengan benar, kurasa sekarang saatnya untuk menggunakan uang yang dia hasilkan sendiri dengan benar.
Bukankah berlibur adalah salah satu cara untuk menikmati hidup dan menghilangkan stress? Setidaknya itu yang kutahu setelah aku menikahi Omega ceroboh ini.
Ya, setelah menikah degannya aku tahu bagaimana caranya menghabiskan uang gaji selama satu bulan dalam satu Minggu. Karena jauh sebelum aku berada sangat dekat dengannya, seluruh uang gajiku sukses membuatku punya sebuah mobil, motor dan rumah, bahkan masih tersisa sangat banyak hingga aku sendiri kadang bingung akan kugunakan untuk apa, tapi sekarang lihat ... ini bahkan masih jauh ke tanggal gajian dan mereka sudah berusaha membuat isi kantongku kering kerontang.
"Bereskan pakaianmu dan lipat dengan benar." Ujar Sousuke setelah kami tiba di kamar kami dan dia mulai membuka koper, memisahkan baju milik Yuuki dengan baju kami.
"Maachan~ Yuu mau mangdhi thama bibi~"
"Boleh, tapi bereskan dulu pakaianmu." Jawabnya sangat lembut dan tentu saja itu membuat Yuuki merespon penuh antusias.
"Papa mau mangdhi thama-thama?" Kali ini anak itu gantian bertanya padaku.
"Tidak, kau saja dengan bibiku yang cerewet itu." Jawabku kemudian duduk tepat di sebelah Sousuke yang sibuk mengeluarkan pakaian kami dari dalam koper.
"Ahahaha~ bibi thelewret." Celoteh Yuuki mengulangi kata-kataku.
"Hei, Kuroda-san, jangan mengajarinya begitu." Bisiknya dengan wajah jengkel sambil memukul tanganku cukup keras sampai aku mengasuh.
"Baik, maafkan aku." Jawabku pasrah kemudian tiduran di lantai.
Kupikir setelah aku berkata seperti itu Yuuki akan langsung menyingkir dan berlari ke kamar Hiro, tapi anak itu malah jingkrak-jingkrak saat melihatku berbaring di lantai kemudian menghampiriku dan duduk tepat di perutku.
"Kau bilang mau ke kamar bibi?"
"Papa thapek ya?" Tanyanya masih tertawa.
"Hm, sedikit."
"Yuu dhuga thapek. Tadhi Maachan bawa Yuu ke thekoylah, Papa tahu ngdak? Thekoylah na bestay~ ada ayunan, ada peylostotan, ada taman bunga~"
"Benarkah?"
Tanyaku dan anak itu kembali mengangguk. "Maachan biylang, Yuu thekoylah di thana, Papa~"
Aku melirik Sousuke yang ternyata memperhatikan percakapan kami, dan saat mata kami bertemu dia mengangguk ringan. Setelah itu, aku kembali memperhatikan anak gadisku.
"Wah~ kalau begitu nanti Yuu bisa ajari Papa menghitung matematika dong?"
"Tengthu! Yuu pasti pintey! Juala tastu!"
"Maksudnya juara satu?" Tanyaku dan dia mengangguk kuat. Sontak saja itu membuatku tersenyum, "baguslah, kalau Yuu juara satu nanti bisa ajari adik bayi menggambar." Ujarku mencoba memancing pembicaraan kami ke arah lain, tapi sayangnya, topik yang kugiring tidak diterima sedikitpun.
Wajah anak itu tiba-tiba berbeda, kulihat dia seperti akan marah, beruntung sebelum itu terjadi Hiro masuk ke dalam kamar kami tanpa permisi dan berteriak untuk mengajak anak gadisku berendam di kolam air panas. Meski awalnya wajah itu terlihat tidak terlalu suka, tapi dia akhirnya pergi bersama bibinya setelah membawa pakaian ganti.
"Belum berhasil ya?" Tanyanya setelah hanya ada kami berdua di kamar ini.
"Dia terbiasa hanya bertiga dengan kita, setelah punya banyak teman di sekolah, mungkin tidak akan seperti itu lagi."
"Kuharap juga begitu."
Suaranya terdengar lemah dan aku melihatnya dari posisiku yang masih berbaring di lantai. "Kenapa? Pesimis?" Tanyaku.
"Kurasa begitu," jawabnya sambil mengelus perut besarnya, "sebentar lagi dia akan lahir, bagaimana kalau kakaknya masih bertingkah begitu? Apa aku akan marah atau menangis karenanya?"
"Kurasa tidak." Jawabku asal, "mungkin kita yang terlalu memaksakan diri, jadi sebaiknya biarkan alam yang bertindak untuk anak itu."
"Maksudnya, biarkan bayinya lahir dan paksakan Yuuki menerimanya mau atau tidak?"
"Memang pilihan macam apa yang kita punya?" Tanyaku padanya dan seperti yang sudah kuduga, kalau Sousuke tidak bisa menjawab pertanyaanku.
Karena di tidak bisa menjawab apa yang kutanyakan padanya, aku berbalik ke arahnya dan mengelus perut besarnya. "Tujuh bulan ya?" Tanyaku dan sia menjawabnya dengan sebuah anggukan ringan.
"Apa dia sudah bisa menunjukkan jenis kelaminnya."
"Jadwal kontrolnya kan masih seminggu lagi, bulan kemarin belum bisa, bukan?"
"Kalau begitu ingatkan aku."
"Tentu saja, karena aku juga sekalian ingin beli keperluan dia nanti." Jawabnya sambil tertawa bangga. Melihatnya seperti malu saat dia tertawa, aku hanya mendecih, merasa sangat lucu dengan apa yang dia lakukan sekarang.
"Sekarang katakan padaku." Dia berhenti tertawa. "Apa yang membuatmu sekesal ini?"
"Aku kesal?"
"Hm, wajahmu memperlihatkan semuanya."
"Tentu saja."
"Dari mana?"
"Kuroda-san ...,"
"Baiklah, aku menyerah ... aku menemui ayahku tadi."
"Untuk apa? Ada masalah?"
"Kemarin, Hiro bilang kalau ayah akan menjodohkannya dengan anak koleganya."
"He? Lalu?"
"Aku tidak setuju, tapi sepertinya anak itu terlalu takut menentang ayah jadi aku datang padanya hari ini, tapi sepertinya aku salah dan tidak akan semudah yang kupikirkan."
"Memangnya, Alpha macam apa yang dijodohkan dengan Hiro?"
Aku menggeleng. "Aku bahkan tidak tahu siapa namanya."
"Baiklah, jangan khawatir, aku ak—"
Kusentil dahinya sebelum Sousuke melanjutkan apa yang akan dia katakan. "Berpikir hal aneh sekali lagi, bukan hanya kusentil kau."
"Ta—"
"Pikirkan saja bagaimana kau akan menjaga dua orang anak sebentar lagi." Ujarku sambil kembali menyentil dahinya dan berjalan ke luar.
"Mau ke mana?"
"Mau cari minuman, kau mau?"
"Tentu."
Dasar. Sejak kapan dia jadi sangat berani padaku? Padahal aku masih ingat bagaimana dia masih sangat malu dan banyak kalimatnya yang terbata-bata, tapi lihat sekarang? Dia benar-benar sangat berani, bahkan dia berani memerintahku untuk ini dan itu. Menyebalkan.
Aku terus turun ke lobi di mana aku melihat vending machine di luar sana.
Ah, aku ingat bagaimana aku dan dia pertama kali datang ke penginapan dengan pemandi air panas seperti ini dengannya. Saat itu benar-benar tidak bisa membuatku tidur nyenyak atau pun bernapas lega karena aku yang terus menahan diri pada feromon yang dia keluarkan waktu itu. Sangat pekat, dan membuatku mabuk hampir setiap saat.
Ah tidak. Bukan mabuk, tapi sakit gigi karena aromanya sangat manis.
Tiba di depan vending machine, aku membeli sekleng bir dingin dari sana dan sekaleng teh oolong untuknya, karena terlalu fokus, aku bahkan tidak sadar kalau ada seseorang yang berdiri di sebelahku sejak tadi, tersenyum padaku dan tidak akan sadar tentang itu kalau orang itu tidak terkekeh seperti orang bodoh.
Dan betapa terkejutnya aku melihat siapa orang itu.
"Aku tidak mengira bertemu denganmu di tempat ini, Kuroda Shouhei."
"Arata Kenichi ...."
_