Bab 21 [ Kuroda Shouhei POV ]

1316 Kata
Dia mencoba bangun dan duduk, aku sedikit membantunya dan saat dia melihat sekeliling, dia cukup terkejut karena restoran terlihat sangat ramai, bahkan ada beberapa pengunjung yang sedang menunggu untuk mendapatkan kursi. “A—Kuroda-san, apa tidak sebaiknya kita pergi saja?” ujarnya khawatir karena restoran yang sangat ramai, sementara mereka malah tertidur pulas di sana. “Tidak, Yuuki belum bangun, biarkan saja dulu. Lagi pula, kita juga belum makan malam.” “Tapi?” “Aku sudah membayar untuk itu.” “K—kau membayar untuk tidur di tempat ini?” Kulihat wajah Sousuke dan ada semacam rasa tidak suka di sana, namun kubalas dia dengan senyum. “Anak-anakku kelelahan, dan aku tidak menemukan hotel di dekat sini, setidaknya, salah satu dari mereka tidak merengek karena lelah.” Setelah mengatakan itu, aku tahu kalau Sousuke tidak suka, tapi dia sama sekali tidak mengatakan apapun. Selama ini, Sousuke memang tidak pernah mengeluh untuk apa yang kulakukan dengan uang, tapi dia tidak pernah suka kalau aku menggunakan uang dengan tidak wajar seperti ini. Ya, maksudku seperti menghamburkannya untuk sesuatu yang tidak masuk akal seperti membayar biaya lebih hanya untuk tidur di sebuah restoran. “Masih pusing?” tanyaku sambil meraih dahinya, ada sedikit keringat tersisa di sana dan kuseka perlahan. “Tidak, aku sudah tidak pusing, hanya ...,” dia memutar bola matanya, “aku ingin makan sesuatu yang asam, boleh?” “Seperti?” Sousuke terlihat kebingungan, aku tahu perasaan seperti itu akan terus muncul untuk orang yang sedang mengandung, karena mual akan mendorong seseorang cenderung mencari sesuatu yang rasanya asam untuk menyegarkan mulut, dan hal seperti ini cukup membuatku khawatir, karena semua yang akan diminta olehnya, kadang tidak masuk akal. “Lemon, mungkin enak.” “Lemon? Kau yakin?” Sousuke mengangguk, “Ada yang lain? Makanan misalnya?” Dia menggeleng, padahal aku lihat tadi siang dia tidak makan dengan benar bersama Enigma sialan itu. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil terus mengobrol. “Bagaimana kalau sup akar teratai?” “Sup akar teratai?” “Hm, dulu kau sangat suka makan itu, bukan?” ingatku dan dia mengangguk antusias. Tentu saja, aku sangat ingat bagaimana dia waktu mengandung Yuuki. Bukan hanya aroma tertentu, tapi makanan pun dia cukup pemilih, karena kalau makanan yang aromanya tidak sesuai dengan yang dia inginkan, maka dia akan langsung mual kemudian muntah dan menolak makan. Tapi untuk kali ini aku tidak akan biarkan itu terjadi lagi. “Bagaimana kalau pesan beberapa ma—“ “Kuroda-san,” dia memotong, “bagaimana kalau kita pulang?” “Apa?” “A—aku, aku tiba-tiba ingin makan masakanmu.” “Masakanku?” dia mengangguk. “Aku tiba-tiba ingin makan nasi goreng buatanmu, boleh?” Aku tersenyum, “Tentu saja, kalau begitu kita pulang sekarang dan mampir di supermarket untuk beli beberapa bahan.” Sousuke mengangguk. Aku tidak menunggu sampai mood –nya kembali buruk, meski Yuuki masih tidur pun, aku mengangkatnya dan membawanya dalam gendonganku untuk tiba ke parkiran. Di sana, aku langsung melajukan mobil keluar dari taman hiburan itu untuk berbelanja sebentar di supermarket. “Maachan~” suara Yuuki saat mobil berhenti di pelataran parkir supermarket. “Sudah bangun?” tanyanya sambil berbalik ke jok belakang dan mengusap rambut anak itu yang sedikit berantakan. “Maachan, mau pipis~” “Oh—“ “Turunlah duluan. Toiletnya ada di dekat lift.” Ujarku dan dia mengangguk kemudian keluar dari dalam mobil dan menuntun Yuuki untuk menuju ke kamar mandi, sementara aku membenahi kendaraanku, mematikan mesinnya, menguncinya sebelum menyusul Sousuke ke kamar mandi. “Sudah selesai?” tanyaku dan dia menggeleng. “Sepertinya dia kebanyakan makan tadi siang.” Jawabnya dan aku tidak bisa bilang kalau itu juga salah anak itu. Karena bagaimana pun, Araata Kenichi sudah menyodorinya banyak sekali makanan, dan siap pun tahu, anak kecil tidak akan pernah menolak tawaran, terutama makanan dan es krim. Sama seperti anak perempuan umumnya. Meski pun dia lahir dari pasangan Alpha dan Omega seperti kami, tapi dia tetap lahir sebagai seorang perempuan, jadi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Sousuke tetap mengajarkan anak itu kebiasaan yang selalu dilakukan oleh perempuan. Bahkan, setelah Yuuki lahir pun, dia yang paling aktif membeli semua keperluan Yuuki yang penuh dengan hal-hal lucu, berwarna-warni dan menggemaskan. “Kuroda-san,” “Hm?” “Sebaiknya kau keluar, tidak enak kalau ada yang melihatmu di dekat toilet perempuan seperti ini.” Aku meliriknya. Kelihatan sekali kalau dia khawatir, tapi, mau bagaimana pun, yang dikatakan dia memang benar. Meski Alpha dan Omega di dunia ini nyata, tapi hubungan antara Alpha dan Omega Laki-laki, cukup dipandang sebelah mata, bahkan nyaris tidak dihargai dan lebih banyak mendapat cemooh daripada pujian. Meski sebenarnya itu sudah lumrah, tapi tetap saja sudah banyak pasangan seperti kami, tapi tetap saja hal tersebut tidak membuat hubungan sejenis seperti kami langsung diterima dalam masyarakat. Itulah alasannya, kenapa Sousuke kadang merasa risih kalau aku peluk atau kugandeng, atau perlakuan-perlakuan lainnya, karena Sousuke takut kalau aka ada orang yang akan memandangku sebelah mata karena hubungan kami, dan dia pikir, itu akan berdampak tidak baik untuk pekerjaanku nantinya. Sungguh, sebenarnya itu hanya omong kosong untukku. Karena aku sama sekali tidak peduli dengan omongan orang lain. Karena yang kupedulikan hanya bagaimana membuat seorang Sousuke Iharasi merasa selalu nyaman denganku, tapi yang ada di kepalanya hanya tentang bagaimana agar hubungan kami tidak mempermalukanku. Ironi, bukan? Hampir dua puluh menit kami berdiri di depan pintu toilet perempuan, sambil terus dipelototi dengan pandangan curiga dan menelisik, hingga akhirnya Yuuki keluar dengan perasaan bahagia. “Maachan~” Itu kata pertama yang dia keluarkan setelah keluar dari dalam toilet. “Sudah selesai?” tanyanya dan mencoba membantu merapikan pakaian juga rambut Yuuki yang sedikit berantakan. “Papa, ayo puylang!” “Kita belanja beberapa hal dulu, ayo masuk.” “Beyli apa, Maachan?” “Papa akan masak makan malam untuk kita.” Bisik Sousuke pada Yuuki, dan sukses membuat anak itu menjerit kegirangan. “Kalau sudah selesai, ayo masuk.” Ajakku. Tiba di dalam, Sousuke langsung mengambil banyak sekali lemon, jeruk yang masih sangat muda dan sebuah nanas yang belum dikupas. “Di sana ada nanas yang sudah dikupas.” Tunjukku pada sebuah etalase berisi barisan nanas yang sudah dikupas, dipotong bahkan dibungkus menggunakan stereofom dan sangat rapi. Tapi dia menolak dan mengatakan kalau dia ingin nanas yang belum dikupas agar selama dia belum ingin memakannya, dia bisa menyimpannya. Padahal. Siapa pun tahu, kalau buah yang masih belum dikupas seperti itu berpotensi busuk lebih cepat. Tapi, terserahlah. “Papa, Yuu mau beyli ini boyleh?” dia berlari sambil membawa sebungkus besar bakso daging dan nugget ayam kesukaannya. Padahal, di lemari es masih tersisa banyak dan kebanyakan belum dia buka. Tapi, aku tetap mengiakan. Di sana, selain membeli bahan-bahan untuk makan malam kami, aku juga mengambil lebih banyak untuk persediaan selama dua hari ke depan. “Masih ada yang mau dibeli?” “Kurasa tidak.” “Yuu?” “Mau puylang.” Rengek anak itu, dan kurasa dia memang sudah lelah. Jadi, kusudahi belanja kami dan pulang. Setibanya di rumah, aku membiarkan Sousuke membawa Yuuki untuk mandi, sementara aku mulai memasak sesuai permintaannya. Mungkin sekitar lima belas menit, mereka keluar dari kamar mandi dan terlihat lebih baik, masakan yang kubuat pun selesai dan kami makan bersama setelahnya. “Akan kucuci semua piringnya, kau bisa mandi.” Ujar Sousuke setelah makan malam kami selesai. Aku mengangguk, hanya saja, tiba-tiba ponselku berdering. Inspektur Oogaki. “Siapa?” tanya Sousuke penasaran. “Inspektur Oogaki.” “Eh, tidak biasanya?” “Entahlah.” Jawabku sebelum kuangkat telepon itu. [ “Kuroda.” ] “Inspektur, ada apa?” tanyaku. [ “Lusa, apa kau bisa datang ke pusat?’ ] “Lusa? Ada hal penting?” [ “Ada kasus yang harus kau lihat.” ] “Kasus?” [ “Iya, kutunggu kau di kantor pusat, lusa. Salam untuk Souchan.” ] Hanya itu ucapan inspektur Oogaki di ditelepon dan langsung mematikannya. “Kenapa?” tanya Sousuke penasaran. Aku menggeleng. Sebenarnya aku juga penasaran dengan apa yang dimaksud oleh inspektur Oogaki dengan kasus penting, tapi, mungkin aku tidak bisa menanyakannya sekarang. “Entahlah, aku akan tanyakan nanti pada inspektur Oogaki.” Ujarku lalu melingkarkan tanganku di pinggangnya sebelum kukecup kembali keningnya. “Maaf untuk tadi pagi.” Ujarku lagi. Kulihat wajahnya sedikit merona, namun ada penyesalan juga di sana. “Aku, juga minta maaf karena sudah bicara kasar padamu, tapi ...,” dia meremas kemejaku lagi dengan sepasang mata menatap mataku nanar, “aku marah karena kau membuat Yuuki menangis.” Dia memberi jeda untuk kalimatnya sendiri. “Aku ... tahu kalau Yuuki harus bisa sedikit lebih jauh dariku karena sebentar lagi dia akan punya adik, tapi, bukan berarti dia harus dikasari dengan cara seperti itu. Setidaknya, aku masih punya waktu sembilan bulan untuk memberikan dia pengertian kalau sebentar lagi dia akan jadi kakak. Tolong, beri aku waktu,” “Aku paham, aku juga minta maaf.” Aku mengeratkan pelukanku, hanya saja, di luar prediksi, Sousuke membalas rangkulanku dan menenggelamkan wajahnya tepat di dadaku, sementara tangannya meremat punggungku cukup kuat. Lihat dia, dia sangat manja, sangat menggoda. Pantas saja Enigma sialan itu tidak ingin melepaskannya hingga detik ini. Tapi, bagaimana pun dia menginginkan Sousuke, seperti itu juga aku akan mempertahankan Mate –ku ini. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN