Bab 29 [ Arata Kenichi POV ]

1502 Kata
“Ini hari pertamamu di sekolah ini. Jangan buat masalah dan kalau sampai kau berbuat tidak baik satu kali saja, aku pastikan kalau aku akan langsung memindahkanmu ke sekolah lain yang kuinginkan, dan ayahmu tidak akan bisa menolak itu.” Aku tersenyum. Suara ibuku sudah seperti burung beo berukuran raksasa, lebih cantik, lebih eksotis, dan lebih berisik. “Aku paham,” jawabku sambil membuka pintu mobil itu dan menutupnya kembali, “perjanjian kita sudah deal, kan bu? Jadi mulai hari ini, ini adalah sekali dan terakhir kalinya ibu mengantarku ke sekolah.” Mendengarku memperingatinya, ibu langsung memasang wajah kesal, dan aku kembali terkekeh. Ini terlihat seperti aku sedang mempermainkan ibuku sendiri. Tanpa menjawab kalimatku, ibu langsung memasukkan gigi mobilnya dan mulai menjalankan mobilnya perlahan di tengah kerumunan siswa yang berjalan ke arah sekolah. Di saat yang sama, aku melihat sebuah mobil berhenti tepat satu meter di mana aku berdiri. Di dalam sana ada seorang pemuda seumuran denganku, memakai seragam baru sepertiku, dan sepertinya dia anak manja yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Kelihatan sekali bagaimana dia disayang dan diperlakukan sangat baik, bahkan aku bisa melihat penampilannya yang sedang dirapikan oleh ibunya, hanya saja dia bukan tipe seperti itu. Setelah berdebat tentang hal-hal kecil, aku melihat ayahnya menunjuk dan mengatakan ‘kalau kau buat masalah, aku akan menarikmu dari kota ini!’ Aku terus memperhatikan dia, bahkan setelah anak itu keluar dari dalam mobil dan berlari ke dalam sekolah pun, orang tuanya sama sekali tidak berhenti berteriak dan memberitahu anak laki-lakinya itu untuk tidak membuat masalah dan lainnya. Tapi sama sekali tidak didengar sedikit pun. Dan sekali lagi, aku tersenyum. Setelah semua siswa berkumpul, semuanya diarahkan ke gedung aula untuk mengikuti upacara penerimaan siswa baru, dan di sana aku kembali melihat anak itu berdiri tepat pada beberapa orang di depanku. Dan selama kepala sekolah memberikan penyambutan untuk anak-anak kelas satu, aku terus memperhatikannya dan melihat bagaimana dia menguap, menggaruk kepala, sampai meregangkan ototnya. “Dasar ....” gumamku merasa lucu dengan tingkah bocah itu. Mungkin sekitar dua puluh menit kepala sekolah selesai dengan pidatonya, kami semua dibubarkan dan disuruh untuk mencari kelas kami di papan pengumuman di tengah aula setelah upacara dibubarkan, dan aku ... aku dapat kelas 1-5. “Semoga aku dapat teman yang baik.” Gumamku sambil berjalan untuk mencari kelas itu. Ada banyak sekali siswa yang mencari kelas, bukan hanya aku yang anak kelas satu, tapi juga anak-anak kelas dua dan tiga, meski berbeda lantai, tapi kurasa hari pertama masuk sekolah, hanya akan kami habiskan untuk mencari kelas, saling menyapa dan bertemu wali kelas, setelah itu mengingat pelajaran terakhir sewaktu kami masih duduk di sekolah dasar dan yang lain yang lebih seperti permainan. Kupikir, hari pertama yang akan kulewati dengan membosankan, tapi ternyata tidak. “Wah~ kenapa aku di kelas ini?” ucap seorang bocah sambil menggaruk kepalanya yang kurasa tidak gatal. “Kenapa?” tanyaku, karena dia berdiri tepat di sebelahku. “Ah, kelas ini dekat dengan ruang guru, dan aku tidak suka.” “Apa ada masalah dengan kelas dekat dengan ruang guru?” tanyaku penasaran. “Ish, kau tidak tahu bagaimana sulitnya belajar di dekat ruang guru, dia akan terus memperhatikan kita, memarahi kita, dan mengatur kita seperti anak kambing di Adang rumput.” “Bukankah memang seperti itu?” “Aaa~ kau itu menyebalkan.” Gerutunya dan langsung masuk ke dalam. Aku tidak tahu siapa namanya, tapi setelah ini, mungkin kami bisa berteman. Atau ..., Setelah semua orang saling bertegur sapa dan berkenalan satu dengan lainnya, aku malah tidak bisa melakukan semua itu. Karena, hampir seluruh perhatian siswa tertuju pada anak itu, anak yang menggerutu padaku karena mendapat kelas di dekat ruang guru, dan sepertinya, gerutuannya menjadi topik utama pagi ini yang juga diikuti oleh anak-anak lain yang juga tidak terlalu menyukai berada di kelas ini. “Hei, bagaimana denganmu?” tanya seorang anak padaku. “Aku?” “Iya, bagaimana denganmu? Apa kau suka berada di kelas ini?” “Tidak masalah.” Jawabku. Ya, kurasa memang tidak masalah, karena ayahku dosen universitas dan ibuku juga seorang dokter, disiplin belajar selalu diterapkan padaku dan berada di bawah pengawasan memang selalu jadi makananku setiap hari, jadi ... kurasa aku tidak akan terpengaruh dengan semua omong kosong yang mengatakan kalau aku akan terganggu hanya dengan kelas yang berada bersebelahan dengan ruang guru. “Ah, kau tidak asik~” suara seseorang mengalihkan perhatianku. Orang itu terlihat mengacak-acak rambut bocah yang dia teriaki, tapi kemudian teriakan lain keluar tak kalah keras dan mengganggu, tapi sepertinya hal itu malah jadi seperti lawakan untuk mereka. “Apaan sih?! Sakit tahu!” “Haha, namamu siapa tadi?” “Sousuke Iharasi.” “Wah~ Sou, kau benar-benar luar biasa ya~” “Luar biasa apa? Dia cuma bocah menyebalkan.” Celetuk yang lain mematahkan pujian yang sebelumnya sudah keluar, “Aku menyebalkan kenapa? Kalian yang menyebalkan.” Gerutu bocah itu lagi dan aku hanya bisa terkekeh melihat bagaimana polah anak-anak itu di bangkunya. Mereka terlihat sangat terhibur dengan bocah itu. “Dia datang dari Kobe, katanya dia mau sekolah di sini karena ingin keluar dari desa.” “Desa?” Dia mengangguk. “Aku tidak tahu banyak, tapi kurasa sebentar lagi kita semua akan tahu.” Ujarnya percaya diri. “Heisuke Ninomoya.” “Arata Kenichi.” “Ken?” “Ha?” “Mulai sekarang aku akan memanggilmu Ken, boleh kan?” “Ke—kenapa Ken?” “Memanggil Kenichi lebih merepotkan, lebih asik kalau aku memanggilmu dengan Ken.” “Ah, baiklah ....” Meski aku tidak terlalu setuju dengan sebutan itu, tapi mau bagaimana lagi. Anak-anak itu akan seenaknya memanggil dan menyapa dengan nama yang mereka sebutkan tadi, bukan? Setidaknya, aku dapat teman. Setelah puas tertawa dan menertawakan satu sama lain sambil bercengkrama dan saling mengenalkan diri, akhirnya seorang guru masuk ke dalam kelas kami, kemudian membawa kembali topik perkenalan dan membawa permainan ringan untuk kami. Kami tertawa, saling bercerita, hingga akhirnya kami diberi tugas untuk mengarang tentang bagaimana pengalaman pertama kami di sekolah ini. “Hei, Sou.” Panggil Heisuke pada bocah itu. “Apa?” “Apa yang mau kau tulis? Pasti tentang kami, ya?” “Enak saja, kau pikir siapa kau?” “Lihat dia, wajah merah, hahaha ....” ujar anak yang lain yang tadi ikut menggodanya sebelum guru datang. Anehnya, hanya dengan lawakan seperti itu saja satu kelas langsung tertawa dan sangat hidup. “Aku mau tulis apa ...?” gumamku. Selama kami diberi tugas, guru itu pergi meninggalkan kelas untuk pergi ke ruang guru dan memberi kami jeda untuk bernapas dan berpikir. Karena siapa pun tahu, dibanding matematika, mengarang pengalaman hidup adalah hal yang sangat sulit. Dan akhirnya, setelah sekitar satu jam pelajaran berakhir, guru datang lagi dan meminta kami mengumpulkan tugas itu dan membacakannya di depan kelas. Awalnya semua orang protes karena hal tersebut, tapi lagi-lagi, Heisuke mengatakan hal yang seolah mengejek Sousuke hingga akhirnya anak itu yang dipanggil duluan ke depan kelas untuk membacakan seperti apa yang sudah dia tulis. Meski dengan wajah masam, tapi aku bisa melihat bagaimana wajah bocah itu terlihat merah karena malu. Sambil memegang kertas yang diberikan padanya dari guru, perlahan Sousuke mulai membacakan tentang yang sudah dia tulis sendiri. Mungkin rasanya memalukan, tapi kurasa aku penasaran dengan apa yang sudah dia tulis. “Tidak ada yang menarik awalnya,” bocah itu memulai, “aku bahkan mengantuk saat kepala sekolah berpidato sangat panjang di depan aula—“ “Hei, bocah nakal. Baru hari pertama kau sudah berani menulis seperti itu?” ujar guru sambil memukul kepalanya dan itu malah jadi bahan tertawaan renyah untuk anak yang lain. “Mau bagaimana lagi, ini kenyataannya.” Sanggahnya. “Bocah bebal, aku heran, kenapa ucapanmu itu benar. Teruskan.” Ujar guru dan lagi-lagi membuat satu kelas tertawa. Yang ditulis bocah itu tidak banyak, tapi sukses membuat kelas menjadi sangat hidup dengan berbagai tawa, bahkan ada satu bagian di mana Sousuke menunjuk Heisuke dan mengatakan kalau dia dirundung dan meminta agar guru membawa Heisuke ke ruang guru untuk dimarahi karena sudah merundungnya di hari pertama, tapi hal itu tentu saja disanggah Heisuke kemudian pertengkaran tidak penting pun terjadi tapi kurasa, bocah itu memang pandai mengambil hati orang lain untuk bisa berteman baik dengannya. “Selanjutnya ... Arata Kenichi.” “Eh?” “Siapa Arata Kenichi?” tanya guru sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Dan karena aku merasa namaku dipanggil, aku hanya mengangkat tanganku lalu berjalan ke depan kelas untuk membacakan apa yang baru saja kutulis. “Silakan, bacakan apa yang sudah kau tulis, Arata-kun.” “Pagi ini, aku diantar sampai ke depan gerbang. Kupikir, aku tidak akan bisa bicara dengan benar di depan orang-orang yang belum ku kenal, tapi ... aku melihat seorang anak yang sangat bersemangat, dia terlihat biasa saja, tapi dia orang pertama yang bicara padaku di sekolah ini. Setelah itu, aku datang ke kelas ini dan bertemu dengan semuanya, Heisuke dan semua orang yang belum ku kenal, kuharap kita bisa berteman dengan baik setelah ini.” Ujarku sambil membungkuk dan menyudahi semuanya. Tapi tiba-tiba, sebelum guru menyuruhku kembali ke mejaku, Heisuke tiba-tiba angkat suara. “Hei, Ken!” panggilnya dengan suara lantang, “siapa anak bersemangat itu?” Aku tersenyum, berniat melirik Sousuke, tapi urung kulakukan. Karena kalau aku melakukan itu, mungkin semua orang akan langsung menyurakinya dan membuat kegaduhan lain di tempat ini. “Dia tidak di kelas ini, aku tidak tahu dia di mana sekarang.” Jawabku dan tentu saja itu kebohongan. “Waah~ belum apa-apa kau sudah punya calon pacar ya?” ujar guru seolah menggodaku. “Hei, Ken. Lain kali kenalkan kami padanya.” ujar Heisuke lagi, tapi aku menggeleng. “Aku tidak tahu namanya, tidak tahu di mana kelasnya, atau bahkan dia kelas berapa.” “Kau pasti menemukannya, nak. Sekolah ini tidak seluas bayanganmu.” Guru menepuk punggungku seolah menyemangatiku. Semua orang merasa terharu mendengar apa yang kukatakan di depan sini, tapi dia ... dia malah memilih memandang ke arah lain sambil menggigit ujung pensilnya. Dan sekali lagi, aku tersenyum melihat bagaimana tingkah bocah itu. Dia ... benar-benar menjadi mood booster untukku hari ini, dia sangat mudah membuat pertemanan dengan orang lain dan kuharap, aku bisa mengenal dia lebih dari teman. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN