Bab 14 [ Iharasi Sousuke POV ]

982 Kata
Kuroda-san terus memelukku, menenggelamkan wajahnya pada perutku dan bertingkah seperti ini adalah anak pertamanya. Maksudku, lihat dia, dia sangat manja dan sangat menyebalkan di saat bersamaan. “Hei, Kuroda-san...,” “Hm?” “Boleh aku sedikit bergeser? Rasanya ... tidak nyaman duduk seperti ini.” Ujarku dan tidak mendapat bantahan atau pun penolakan darinya. Kuroda-san beranjak dan bergeser sedikit, memberiku sedikit ruang agar aku bisa menggeser kakiku agar lebih sedikit leluasa, setelah itu, Kuroda-san tidak lagi menaruh kepalanya pada perutku, dia hanya bersandar pada punggung kursi sambil memejamkan mata. “Kenapa? Tidak enak badan?” tanyaku mengingat bagaimana dia pulang dengan pakaian yang lumayan basah karena air hujan. “Tidak, bukan.” “Lalu?” “Aku hanya berpikir tenang kau yang hamil lagi seperti ini.” Sudah kuduga, Kuroda-san tidak bisa menerima anggota baru dalam waktu dekat ini. Harusnya aku bisa menekan diriku dan lebih menjaga kontrasepsiku agar tidak kebobolan seperti ini. Aku bukannya tidak tahu kalau Kuroda-san kadang enggan menggunakan kondom setiap kali kami berhubungan, tapi bukan berarti dia memang ingin menambah anggota keluarga. “Aku—akan pergi ke dokter untuk membicarakan tentang ini...,” “Tentang apa?” “A—tentang ... menggugurkan dia.” Sepasang alis Kuroda-san berkerut. Rahangnya juga terlihat sangat keras dan aku busa melihat bagaimana wajah itu dia perlihatkan saat dia marah. “Jadi kau pikir aku sedang memikirkan soal itu?” “Eh? Bukan?” “Dasar bodoh!” Kuroda-san menyentil dahiku dan memukul pipiku lembut. “A—aku, a—“ “Kalau aku mau hal seperti itu sudah kusuruh kau melakukan itu saat aku tahu kau sedang mengandung Yuuki.” “Tapi—tadi—“ “Aku belum selesai bicara, makanya kalau orang belum selesai bicara jangan langsung menyimpulkan sesuatu.” Aku menggigit bibir bawahku. “Ma—maaf, lalu ... maksudnya itu apa?” Kuroda-san mendengus, kemudian dia mengusak rambutku seperti masih marah, jadi kubiarkan saja meski sebenarnya aku merasakan sedikit sakit saat beberapa helai rambutku tertarik olehnya. “Tentang ayahmu.” “Ayah?” “Ayah ingin kau kembali kesatuan, bukan? Lalu bagaimana jika sampai mereka tahu kalau sekarang kau sedang mengandung seperti ini?” “Tidak masalah, ayah hanya khawatir kalau aku sudah tidak berpikir tentang kembali ke satuan. Tapi, kalau ayah tahu kalau Yuuki akan punya adik, mau bagaimana lagi, mereka juga pasti akan langsung paham.” Ujarku. Meski sebenarnya aku tidak tahu isi kepala ayahku sendiri, tapi setidaknya mungkin itu memang yang akan terjadi, karena bagaimana pun, ini juga cucu mereka. Meski aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan oleh orang tua Kuroda-san, tapi ... mungkin mereka tidak akan bermasalah juga. “Tidak, bukan begitu, hanya saja ... aku malu pada mereka.” “Malu?” Kuroda-san menatapku tak berkedip. “Aku malu karena aku sudah melakukan hal yang tidak patut padamu, apalagi saat karirmu sedang sangat tinggi waktu itu.” Aku tidak bisa mengatakan apapun untuk kalimat Kuroda-san yang satu itu. Memang benar untuk yang kali ini, tentang bagaimana Kuroda-san yang sebenarnya menghancurkan karirku dengan mengikatku dan membuatku mengandung Yuuki. Tapi setelah kupikirkan lebih jauh, setidaknya aku tidak terlalu kehilangan informasi, karena hampir setiap malam Kuroda-san selalu bercerita tentang pekerjaannya di lapangan, tentang kasus-kasus kecil hingga kasus besar dia tetap memberitahuku, jadi kalau harus kukatakan, aku masih memberi kontribusi dalam setiap pekerjaan yang kutinggalkan beberapa tahun terakhir ini. “Tidak masalah.” Jawabku. “Setidaknya, saat Kuroda-san bilang aku bisa kembali ke kesatuan setelah anak-anak bisa kutinggal saja, itu sudah membuatku berpikir kalau aku masih diberi kesempatan untuk itu.” Tak ada yang kami bicarakan setelah itu. Bahkan Kuroda-san juga tidak mengatakan apapun lagi. Karena hal itu, aku tidak tahu harus membangun percakapan seperti apa setelah ini, bukan karena aku tidak bisa membangun percakapan, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana dengan orang di hadapanku ini. Selalu seperti ini. Selalu saja rasanya sangat canggung terlebih dengan sikap pendiam Kuroda-san. “Aku, mengantuk. Boleh aku ke kamar duluan?” “Hm.” Aku menggigit bibirku, memejamkan mataku sejenak sebelum aku berjalan ke kamar setelah meninggalkannya yang masih duduk di sofa depan televisi tanpa berucap sepatah kata pun. Setelah itu, aku tidak melihat Kuroda-san masuk ke dalam kamar. Aku tidak tahu dia terganggu dengan ucapanku soal menggugurkan anak kami, atau karena ucapan ayah yang menginginkan aku kembali pada kesatuan, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, setelah itu Kuroda-san tidak masuk ke dalam kamar untuk tidur, bahkan saat pagi datang pun aku tidak melihat dia berada di sampingku. Dan saat aku turun dari ranjang, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, sementara di meja makan sudah ada selusin makanan bersama Yuuki yang sibuk mengunyah.sarapannya. “Maachan~” pekiknya saat dia melihatku berjalan ke arah meja makan. “Wah, tidak biasanya kau tidak membangunkanku?” “Papa biylang dhangan bangnunin Maachan.” Kulihat Kuroda-san yang sibuk membalas pesan yang masuk ke dalam ponselnya sambil meminum secangkir kopi. biasanya, dia langsung melihatku, meski tidak tersenyum, tapi setidaknya dia selalu melihatku saat aku keluar dari kamar. Tapi tidak pagi ini. Pagi ini rasanya Kuroda-san terlihat sangat acuh dan seperti tidak peduli aku melakukan apa, bahkan dia masih mengenakan kaus yang semalam dia pakai, sepertinya ... Kuroda-san sama sekali tidak masuk ke dalam kamar sama sekali. “Yuu, hari ini kita ke taman, mau?” “Mau~ kita thama Papa, ya, Maachan?” “Tidak, Papa kan harus pergi bekerja ja—“ “Aku libur hari ini.” “Ha?” “Minggu kemarin aku tidak mengambil liburku, jadi hari Ini aku memilih untuk tinggal di rumah.” “A—ah, baguslah kalau begitu, sebaiknya kau istirahat.” Pantas saja Kuroda-san sama sekali tidak terlihat rapi dengan setelan yang selalu terlihat cocok di tubuhnya, seperti biasa yang selalu kulihat. Di meja makan ada banyak sekali makanan. Ada krim sup jamur, roti, selai, telur dadar, bacon panggang, kopi dan s**u, juga beberapa cemilan seperti kacang almond dalam stoples kaca. Meski ada banyak sekali makanan tapi entah kenapa rasanya aku sama sekali tidak bernafsu untuk makan. Terlebih bagaimana aku melihat wajah Kuroda-san yang sangat tidak bersahabat pagi ini. Rasanya aku ingin selai melarikan diri dari rumah menggunakan berbagai alasan agar aku tidak bisa melihatnya untuk beberapa jam ke depan. “Duduklah dan makan.” Ujar Kuroda-san yang mungkin jengah melihatku terus berdiri di samping kursi milik Yuuki. Aku menarik napasku dalam-dalam sebelum berkata. “Tidak, terima kasih. Tapi aku tidak lapar, aku ingin mandi.” Ujarku sambil berpaling dan mengelus kepala Yuuki sebelum meninggalkan meja makan. “Maachan, ikthut mangdhi.” “Yuu habiskan dulu makanannya, nanti baru mandi sama-sama.” Ujarku sambil berjalan masuk. Menyebalkan. Kenapa pagi-pagi seperti ini aku seperti baru saja memukul genderang perang dengan pasanganku sendiri. Kupikir, aku bisa mandi dengan benar di kamar mandi tanpa diganggu siapa pun. Tapi ternyata tidak baru saja aku hendak membuka pakaianku, aku mendengar suara Hiro melengking. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN