“Maachan~” panggil Yuuki padaku dan aku tidak bisa mengabaikan dia lebih lama, jadi aku langsung meninggalkan cucianku dan langsung menghampiri anak gadisku yang memanggil sambil membawa buku gambar di tangannya.
“Kenapa?” tanyaku sambil menekuk sedikit lututku agar dia tidak terlalu menongak untuk menatap mataku dari tinggi badannya.
“Maachan, Yuu gambal ingnih~” tunjuknya padaku.
Kuambil buku gambar itu di mana ada gambar dua orang pria dan seorang anak kecil, perempuan berada di tengah-tengah dua orang itu, juga banyak sekali kucing di sekitar mereka, lalu sebuah pohon dan sebuah rumah kecil, digambar khas anak-anak dan diwarnai dengan warna kesukaannya.
“Apa ini kamu?” tunjukku setelah membalik buku gambar itu dan menunjuk pada gambar anak kecil di tengah-tengah dua orang pria yang mengapitnya.
“Un! Itu Yuu, teylus Maachan, thama Papa, kuchting, yumah, thama pohon.”
Hanya ini?
Kubalik lagi gambar itu dan memang benar hanya ini. Hanya ada aku, Kuroda-san, dia tanpa perutku yang sudah sebesar ini. Kulihat bergantian gambar itu dan wajah anak gadisku, aku melihat kegembiraan di sana, aku sangat ingin bertanya tentang ke mana perginya perut buncitku yang seperti orang cacingan parah seperti ini, hanya saja ... aku tidak bisa mengacaukan wajah wajah itu, jadi aku hanya bisa ikut tersenyum dan mengembalikan buku gambar itu padanya.
“Gambarnya bagus sekali, buatkan lagi yang banyak, agar nanti Papa pulang kita perlihatkan pada Papa, mau?” tanyaku dan anak itu mengangguk sangat kuat dengan wajah yang sangat cerah.
“Pergi ke dalam lagi sana, aku sedang mencuci, nanti perlihatkan lagi padaku kalau gambarnya sudah jadi.”
“Baik, Maachan~” ujarnya kemudian pergi meninggalkanku di tempat cuci baju.
“Astaga ... apa yang harus kulakukan dengan semua ini?” gumamku sambil menyentuh perut besarku.
Aku mungkin memang bisa saja mengikuti ucapan Kuroda-san untuk menitipkan anak ini di rumah ayah dan ibu setelah dia lahir, tapi aku tidak mungkin membiarkan Yuuki terus dalam keadaan seperti ini dan terus menolak menerima adiknya.
“Ah, aku benar-benar harus melakukan sesuatu....” gumamku. Tapi, daripada aku harus terus memikirkan masalah seperti ini, aku memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaan rumahku, memasukkan pakaian-pakaian kotor yang sudah kupisahkan antara yang berwarna dan gelap sebelum memasukan detergen ke dalamnya lalu menyalakan mesin agar pakaian itu segera bersih dan bisa kujemur.
Sambil menunggu mesin cuci itu berhenti, aku memilih masuk ke dalam dan melongok isi kulkas. Memang agak kesulitan karena sekarang perutku yang semakin hari semakin besar dan rasanya aku seperti sedang menggendong Yuuki ke mana-mana bahkan aku juga jadi lebih sering ke toilet karena ini, tapi mengeluh ... kurasa bukan hal yang baik karena bagaimana pun, aku pernah mengalami ini dulu saat mengandung Yuuki.
Di dalam lemari es, aku menemukan seikat kubis, satu kotak daging ayam dan beberapa kentang juga wortel.
Aku tidak tahu aku harus masak apa dengan semua ini, biasanya Kuroda-san akan pulang untuk masak makan siang lalu pergi lagi ke kantor hanya untuk memastikan aku dan Yuuki tidak kelaparan.
Huh, apa-apaan itu. Kalau kuingat memang rasanya lucu karena dia harus bolak-balik ke rumah dan kantor hanya untuk melakukan hal seperti itu.
“Mungkin aku harus melihat resep Online untuk memasak ini.” Ujarku sambil mengeluarkan semua bahan-bahan itu dan menaruhnya di meja dekat kompor. Dan saat aku berniat mengambil beberapa bahan lainnya yang tersisa di lemari es, pintu rumahku di ketuk beberapa kali dari luar.
“Yuu, siapa yang datang?” teriakku, berharap anak itu akan membukakan pintu untukku. Tapi, sepertinya anak itu tidak mendengarku karena dia terlalu sibuk dengan buku gambarnya.
Melihat anak itu, aku hanya menggeleng sambil tersenyum sebelum berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang.
Itu ibu tetangga kompleks yang kutemui kemarin di supermarket, dia tersenyum lebar sambil melambai padaku. “Mama –nya Yuuchan apa kabar?”
“Wah, tidak biasanya, ada apa?” tanyaku.
“Aku pernah berjanji kalau aku memberikan brosur untuk sekolah dan ini brosurnya.” Ujar perempuan itu sambil menyerahkan selembaran brosur sekolah padaku.
“Terima kasih banyak.”
“Oh ya, minggu ini sekolah akan mengadakan pertemuan guru dan murid jadi, kuharap Mama –nya Yuuki bisa datang dan berpartisipasi agar Yuuchan bisa datang agar Yuuchan juga bis akrab dengan teman-temannya nanti di sekolah.”
“Sepertinya sekolah ini tidak sabar memulai semester baru, ya?" Tanyaku dan perempuan itu hanya tertawa.
"Untuk Playground memang selalu seperti itu, satu bulan sebelum waktu sekolah dimulai memang selalu melakukan pengenalan, agar anak-anak familiar dengan lingkungan sekolahnya nanti. Anak kakakku juga tahun lalu juga seperti itu."
"Benarkah? Pasti menyangkan." Ujarku. "A—maaf, sampai lupa mempersilakan masuk."
"Tidak perlu, aku harus pergi ke pasar membeli beberapa hal dan aku mampir hanya untuk memberikan itu." Jelasnya, "oh ya, mama –nya Yuuchan,"
"Ya?"
"Apa Yuuchan masih sering ngambek kalau membicarakan soal adik? Aah~ jujur saja aku kaget waktu kau hampir jatuh di supermarket kemarin. Maksudku, lihat perutmu, sudah sebesar ini dan kalau tidak hati-hati aku benar-benar takut terjadi apa-apa." Dia menyentuh perutku dan mengelusnya perlahan. Sementara aku hanya bisa tersenyum.
"Terima kasih, tapi tidak akan apa-apa." Jawabku.
"Baiklah kalau begitu, sampai jumpa di sekolah hari Senin besok." Ucapnya kemudian pamit dari rumahku untuk pergi ke pasar seperti yang dia rencanakan.
Setelah menutup pintu, aku membuka lembaran brosur yang kudapat darinya, membaca brosur itu sebentar dan kurasa ... sekolah itu memang cukup menarik. Mereka selalu mengadakan acara belajar di luar setiap dua bulan sekali dan melakukan karyawisata setiap pergantian semester, bahkan jika dilihat dari brosur yang kupegang, ruang belajarnya pun terlihat sangat friendly untuk anak-anak, meski staff pengajarnya belum aku tahu seperti apa, kurasa Yuuki akan suka sekolah ini.
Tapi, baru saja aku berbalik dan ingin memperlihatkan brosur itu pada Yuuki, pintu kembali diketuk dan saat kubuka ada Hiro di sana.
"Kau meninggalkan kelas lagi hari ini?" Tanyaku spontan saat melihat wajah adik iparku itu.
"Aniki memintaku datang, katanya dia khawatir padamu, kau baik-baik saja kan, Souchan?"
"Aku baik, memang apa saja yang sudah dikatakan kakakmu sampai bisa menyeretmu kemari?"
Hiro mendekatkan wajahnya kemudian berbisik di telingaku. "Apa Yuuchan masih belum bisa menerima kalau dia akan punya adik?" Tanya anak itu tepat di telingaku, dan aku menggeleng.
"Masuklah, kebetulan sekali aku akan buat makan siang, Yuuki juga sedang menggambar."
"Whoa~ anak itu pintar sekali, Yuuchan~ bibi datang~"
Jerit Hiro sambil berlari masuk ke dalam dan memeluk anak gadisku yang sedang sibuk menggambar.
"Souchan, apa Aniki benar-benar akan pulang larut hari ini?" Tanyanya.
"Hm. Kuroda-san bilang begitu."
"Kenapa Aniki akan pulang larut malam hari ini, dan dia janji padaku akan membawakanku kue Kastela."
"Kastela?"
###
Hari sudah berganti malam, hampir seharian Hiro di rumah ini dan terus bersama Yuuki, menemaninya belajar menulis, membaca bahkan membawa anak itu berjalan-jalan keliling kompleks sambil bersepeda hingga aku punya waktu untuk tidur.
Dan sekarang, mereka berdua sudah tidur di kamar atas setelah makan malam dan bermain game di ponsel milik Hiro.
Dari percakapan mereka, beberapa kali aku bisa mendengar bagaimana Hiro menyinggung tentang adik, tapi seperti yang kuduga, anak itu akan langsung mengalihkan topik mereka ke hal lain yang jauh dari itu.
Dan sekarang, setelah mereka semua sudah tidur, aku juga baru selesai mengangkat jemuran, melipatnya dan sekarang duduk di salah satu bangku meja makan dengan sebotol teh kemasan.
Beberapa kali aku menghela napas sambil mengusap perutku yang akhir-akhir ini penghuninya sudah sedikit ribut. Ya, anak dalam perutku sudah sedikit aktif dan aku bisa merasakan bagaimana dia bergerak di dalam sana.
"Aku tidak tahan ... cepatlah keluar agar kakakmu bisa sayang padamu." Bisikku pada diriku sendiri sambil mengelusnya memutar.
Aku terus duduk di sana, bahkan saat waktu memperlihatkan pukul sebelas malam pun, aku masih di sana sampai aku mendengar suara mobil Kuroda-san mulai masuk ke dalam garasi.
Harusnya aku bangun, menghampirinya, mengambil tas kerjanya kemudian membuatkan dia secangkir teh hangat atau sekaleng bir dingin. Hanya saja, aku terlalu malas melakukannya, jadi aku hanya duduk diam sambil kembali meminum sisa teh kemasan.yang kuambil dari lemari es.
"Kenapa belum tidur?" Tanyanya setelah masuk ke dalam rumah menggunakan pintu dari garasi.
Aku memalingkan wajahku padanya tanpa bangun, dan benar saja, aku melihat Kuroda-san membawa dua kantung kue Kastela di tangannya.
"Kau habis dari Kobe?" Tanyaku.
"Iya, maaf tidak memberitahumu." Ujarnya sambil meletakkan kantung-kantung itu di meja.
"Kenapa pergi ke sana? Pekerjaanmu tidak apa-apa ditinggal?"
"Tidak, aku tidak terlalu sibuk akhir-akhir ini jadi aku meluangkan waktu untuk menemui ayah dan ibumu."
"Bulan lalu kita sudah ke sana, kalau Yuuki tahu kau ke sana dia pasti menangis."
"Kau takut dia menangis?"
"Kenapa pertanyaannya begitu?"
"Karena kau lebih takut Yuuki menangis daripada aku yang marah."
"Kau? Kenapa kau marah?" Tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku, dan dia malah tersenyum.
"Mau makan Kastela?" Tanyanya kemudian menarik bangku yang sedang aku duduki sebelum dia berjongkok di hadapanku. "Apa dia lapar?" Ujarnya lagi dan kali ini, Kuroda-san mengelus perutku lagi.
"Kuroda-san,"
"Hm?"
"Kau sudah mengatakan pada ibu dan ayah soal Yuuki?" Tanyaku sedikit khawatir.
"Kau tenang saja, mereka sangat menyayangimu." Ujarnya, "mau makan Kastela dan minum teh?"
_