Kutaruh kaleng bir yang sudah hampir setengah kuminum di meja.
Setelah kembali dari restoran, Sousuke langsung membawa Yuuki naik ke lantai atas, entah apa yang mereka lakukan di sana, tapi yang jelas aku mungkin tahu alasan kenapa Sousuke melakukan itu. Ya, tentu saja karena dia mencoba agar aku tidak memarahi anak itu karena bertingkah sangat manja pada ibunya.
Tapi aku juga tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan Sousuke sekarang.
Yuuki sedang masuk fase sibling blues syndrom sekarang, dan kurasa ini baru masuk fase awal dan akan lebih parah saat adiknya lahir nanti dan aku tidak bisa membiarkan Sousuke memanjakannya seperti ini.
Kujatuhkan punggungku pada sandaran kursi dan menghela napasku lelah.
Aku bahkan tidak bisa lupa saat Yuuki berontak digendongan Sousuke tadi saat aku pulang dan kalau aku tidak bisa menahan Sousuke saat itu, bukan tidak mungkin mereka akan jatuh dan Yuuki menindih perut ibu –nya yang mungkin saja kami akan kehilangan anak itu.
Satu kesalahan pernah kubuat dan aku hampir kehilangan Yuuki, tapi aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama hingga kehilangan anak.
Ah, aku benar-benar tidak pernah berpikir bagaimana jadinya aku jika itu sampai terjadi, karena itu mungkin mulai hari ini aku harus lebih sering pulang cepat dan menjaga mereka agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Aku mendengar suara langkah kaki dari lantai atas dan aku melihat Sousuke turun sendirian dari sana, sambil berpegang pada tralis tangga, dan satu tangan lain memegangi perutnya yang sudah sebesar bola basket, dia terlihat seperti badut berjalan tanpa riasan.
Kendati demikian, aku tidak akan pernah bisa menertawakan dia. Dia pasanganku yang sudah memberiku gadis kecil yang sangat luar biasa.
Kuraih kaleng bir itu lagi dan menenggaknya sebelum kulihat dia menghampiriku.
Kutaruh lagi kaleng bir yang nyaris habis kutenggak kembali kemeja dan kuregangkan tanganku untuk menyambutnya, hingga kemudian kutaruh wajahku tepat di perutnya yang semakin hari semakin besar itu.
“Sepertinya Yuuki sudah mulai cemburu pada adiknya.” Bisikku di sana. Tapi, Sousuke malah mengatakan hal di luar apa yang kukatakan padanya.
“Tolong jangan keterlaluan padanya.” Begitu dia bilang.
Kutarik wajahku dari perutnya dan kutatap wajahnya yang sangat terlihat sedih, seperti sebuah beban berat yang sedang dia rasakan di sana, dan itu ... benar-benar menggangguku.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan, tapi aku tahu apa yang sedang dia maksud, pasti itu tentang tadi yang aku sempat membentak Yuuki dan menarik anak itu dari gendongannya. Tapi bukan berati aku sedang marah karena aku melakukan itu padanya.
“Aku akan mengatakan pada ibumu untuk menjaganya setelah adiknya lahir.” Ujarku. Hanya saja, aku tahu kalau usulku itu tidak akan benar-benar menjadi usul paling baik, karena tiba-tiba dia mundur beberapa langkah dariku seperti aku baru saja mengatakan hal buruk padanya.
“Tapi aku ingin merawatnya, Yuuki juga adiknya.”
Mendengar itu, aku hanya bisa menghela napas dan mengangguk kemudian menarik dia kembali.
Kulingkarkan lagi tanganku di pinggangnya dan kutaruh lagi wajahku di perut besarnya. “Besok aku pulang malam, bagaimana kalau aku suruh Hiro menginap di sini?”
“Ada kasus penting?”
“Tidak juga, tapi laporan bulanan di mejaku menumpuk, jadi aku ingin Hiro menjaga kalian sampai aku kembali, kau keberatan?”
“Tentu tidak, dia adiknya Kuroda-san, tidak mungkin kalau aku tidak suka Hiro ada di sini.”
“Terima kasih banyak.” Ujarku lalu mencium perut besarnya.
Setelah cukup puas dengan percakapan kami, aku kembali meraih kaleng bir yang masih tersisa sedikit di atas meja lalu menenggaknya hingga habis dan kubuang ke tampat sampah, sebelum kubawa dia ke kamar.
Kugendong dia dan kuletakkan tubuhnya di atas ranjang sebelum kuselimuti dia lalu kupeluk lagi dia dengan posisi menyamping.
“Tidurlah, kau tidak boleh terlalu lelah, bukan?” ujarku sambil terus mengeratkan pelukanku meski terhalang perut besarnya.
“Kuroda-san,”
“Hm?”
“Tolong jangan kasar pada Yuuki.”
“Tidak mungkin aku melakukan itu, aku hanya khawatir padamu.”
“Aku tidak apa-apa, aku sudah biasa dengan Yuuki yang seperti ini sekarang.”
“Kau sudah biasa, tapi anak itu tidak. Jadi, jangan berbuat apapun yang bisa membahayakan kandunganmu.”
“Tidak akan, aku tidak akan melakukan hal buruk untuk anak-anakku.”
Itu janjinya padaku sebelum dia berbalik, menyamping ke arahku dan merangkulku sangat ketat. Aku tersenyum saat dia melakukan itu, ini tidak biasa kami lakukan, tapi sejak Sousuke mengandung lagi, tingkahnya ... ah, tidak. Tingkahku, aku yang jadi sangat manja padanya.
Malam itu, kami pun tidur dan bangun dengan posisi yang masih sama.
Aku masih cukup beruntung karena setelah perutnya semakin besar, dorongannya untuk muntah juga jadi semakin kecil, tidak seperti dulu yang hampir setiap menjelang pagi dia bangun lalu memuntahkan semua isi perutnya di toilet.
Seperti biasa, aku bangun lebih dulu daripada dia, memasak sarapan untuk penghuni rumah ini, dan saat aku sedang memasak, aku melihat Yuuki sudah turun dari lantai atas sambil mengucek matanya.
“Mau makan?” tanyaku pada anak itu, tapi dia menggeleng sambil terus berjalan menghampiriku kemudian dengan sepasang mata yang masih mengantuk dia mulai memeluk kakiku.
Karena penasaran, kuhentikan kegiatanku dan memperhatikan tingkah anak gadisku yang tidak biasa pagi ini. “Ada apa? Sakit perut?” tanyaku sambil melepaskan pelukan anak itu kemudian berjongkok untuk mensejajarkan tinggi kami.
“Ada apa?” tanyaku tapi anak itu malah menggeleng.
“Kalau tidak bilang, Papa tidak tahu apa yang sakit?”
“Yuu nda tsakit.”
“Terus?”
“Papa, Yuu boyleh nda mau dedek bayi?”
Aku menelan ludahku mendengarnya. Sungguh, aku tidak bisa berkomentar apapun dengan keinginan anak itu.
“Memangnya kenapa?”
Yuuki menggeleng. “Papa, thama Maachan nangthi lebih thayang thama dedek bayi!”
“Siapa bilang?”aku menarik anak itu ke dalam gendonganku dan menaruhnya di bangku, “adik bayi ya adik bayi, kamu ya kamu, Papa sama Maachan –mu tidak akan menspesialkan salah satu dari kalian.” Jawabku untuk pertanyaannya.
“Taphi, nangthi Papa thama Maachan akhthan dengdhong-dengdhong dedek bayi teylus, teylus yupa thama Yuu~”
“Kenapa Papa harus lupa sama Yuu? Sebentar lagi kan Yuu masuk sekolah, Papa dan Maachan akan lebih sering melihat Yuu di sekolah daripada di rumah atau di kantor. Nanti kakek dan nenek di Kobe juga akan menginap di sini setiap hari.”
“Beynal Papa?”
Aku mengangguk. “Kakek dan nenek dari Kobe akan datang setiap hari dan menginap di sini untuk menemani kamu.”
Mendengarku bicara begitu, ekspresi wajah anak itu langsung berubah.
Anak itu, sepertinya dia memang sangat menyukai kakek dan neneknya. Jadi, setelah suasana hatinya jadi lebih baik, aku membuatkan dia s**u selagi menunggu roti yang kupanggang matang.
Pagi ini, aku membuat sandwich sayuran, tapi karena anak itu tidak terlalu suka sayuran, jadi dia lebih memilih makan sereal. Dan saat serealnya hampir habis, aku melihat Sousuke keluar dari kamar dengan penampilan yang menyebalkan. Tentu saja, rambutnya berantakan dan beberapa kancing kemeja ukuran jumbonya terbuka hingga dia terlihat seperti orang aneh.
Pagi itu, setelah selesai sarapan, aku langsung pergi ke Kobe, tapi aku tidak datang ke rumah setelah memarkirkan mobil di depan rumah, aku langsung datang ke ladang dan menemukan mertuaku di sana.
Kulihat dia sedang sibuk mencangkul untuk menggemburkan tanah tapi entah untuk menanam apa karena hampir semua sayuran dia tanam di sana.
Kulambaikan tanganku ke arah ayah mertuaku yang masih sibuk mencangkul tapi karena dia tidak melihat jadi kudekati dia hingga akhirnya aku bisa mendapatkan perhatian ayah mertuaku itu. Setelah dia menanggalkan cangkulnya, ayah mertuaku langsung mengajakku ke tempat istirahat yang tak jauh dari tempat keran air.
“Apa yang membawamu datang kemari di jam kerja seperti ini?” tanyanya.
“Aku mau minta tolong.”
“Tolong? Tidak biasanya? Kalian bertengkar?”
“Tidak, bukan Sousuke, tapi Yuuki.”
Ayah mertuaku terkejut, dia enatapku seperti apa yang baru saja kuucapkan terdengar sangat horor untuknya. “Kenapa dengan cucuku?”
“Tidak terjadi apa-apa, tapi ... sepertinya Yuuki mengalami Sibling Blues Syndrom.”
“Apa itu?”
“Semacam kecenderungan untuk cemburu pada saudara yang akan dan sudah lahir, dan mungkin dalam kasus Yuuki sedikit berbeda karena Sousuke sangat memanjakan dia.”
“Yuuchan cemburu?”
Aku mengangguk. “Kemarin saja, dia terus menempel pada Sousuke dan mengamuk saat mau kuambil, lalu dia berontak, hampir saja mereka berdua jatuh.”
“Astaga ... berbahaya sekali.”
“Benar, apalagi sekarang perutnya sudah semakin besar, aku hanya takut Yuuki akan mendorong Sousuke atau melakukan hal buruk lainnya yang mungkin akan membahayakan Sousuke juga anak dalam perutnya.”
“Lalu apa yang ingin kau minta tolong dari kami, huh?”
“Tolong, seringlah datang dan menginap agar Yuuki tidak memiliki kecenderungan untuk bermanja pada ibunya.”
Ayah mertuaku terlihat gelisah setelah mendengar ceritaku, tapi kemudian ibu mertuaku datang membawa makanan bersamanya.
“Kuro-kun, kenapa tidak masuk ke rumah dan malah langsung datang kemari?” seru ibu mertuaku seperti khawatir.
Tentu saja, dia melihat mobilku terparkir di sana, tapi aku tidak mampir dulu ke rumah Ana malah langsung datang ke ladang seperti ini. “Maafkan aku.” Ujarku sambil membungkuk.
“Di mana Yuuchan?”
“Bersama Sousuke di rumah.”
“Eh, kenapa dia tidak diajak kemari?”
“Itu—“
“Nek, sepertinya kita akan lebih sering ke Kansai untuk menengok cucu kesayangan kita. Siapkan baju-baju dan bawa makanan yang bisa dimakan bersama-sama.” Ujar ayah mertuaku sambil tertawa, kemudian menarik kotak makan siang dari tangan istrinya sebelum kemudian membuka kotak bekal itu dengan wajah sangat senang.
Sementara ibu mertuaku seperti sangat kebingungan dengan apa yang barusan dia dengar. Tapi, dari semua itu aku benar-benar beruntung karena mertuaku bukan orang yang sulit untuk diajak bicara atau dimintai tolong. Entah karena pekerjaan mereka hanya petani jadi punya banyak waktu, atau karena mereka sangat menyayangi anak dan cucu mereka.
Entahlah, tapi aku benar-benar berterima kasih karena mereka mau menuruti keinginanku.
“Ah, ayo ikut makan. Kenapa hanya melihat saja.” Ujar ayah mertuaku sambil melambai dan mengajakku makan. Hanya saja ... ini masih terlalu pagi untuk makan siang.
"Maaf, tapi ini terlalu pagi untuk makan siang." Ujarku, tapi sepertinya kalimatku sama sekali tidak digubris oleh mereka yang terus saja memintaku untuk ikut makan.
"Kuro-kun," panggil ibu mertuaku, "aku punya banyak kue beras di rumah, nanti kalau pulang kau bawa sejuanya ya."
"Tidak usah!" Ayah mertuaku memotong, "kita akan antarkan kue berasnya pada mereka."
_