“Hoek ... hoek!”
Pagi ini, seperti biasanya, aku mual dan muntah seperti biasanya. Dan sialnya, intensitas mualku seperti tidak terkontrol. Aku bahkan memuntahkan semua yang sudah masuk dan baru saja masuk ke dalam mulutku. Aku bahkan menolak semua jenis makanan setelah itu dan hanya minum air putih dan tentu saja, aku tidak bisa hanya mengisi perutku hanya dengan hal seperti itu.
Dan sepanjang pagi, Kuroda-san terus menemaniku, memijit tengkukku dan mengelus-elus kepalaku, sambil berusaha menanyai tentang apa yang ingin kumakan atau kubeli. Tapi seperti yang kukatakan tadi, aku sama sekali tidak ingin apapun, perutku rasanya seperti diaduk, mual dan kepalaku seperti berputar karena pusing yang berlebih. Jadi, seharian ini aku hanya berbaring di lantai berlas karpet dan kasur lantai di depan televisi, sementara meja di depan sofa, dipindahkan oleh Kuroda-san ke sisi dinding.
“Tidurlah,” ujar Kuroda-san setelah membantuku berjalan ke tengah ruangan usai aku memuntahkan isi perutku yang memang sudah kosong selama beberapa jam terakhir ini.
“Mau pergi ke dokter?” tanyanya dan aku menggeleng.
Aku tidak mau pergi ke dokter. Nafsu makanku benar-benar menghilang, kalau sampai aku mencium aroma rumah sakit, maka aku akan benar-benar harus diopname karenanya.
“Maachan~” panggil Yuuki khawatir sambil meregangkan tangannya untuk bisa memelukku.
“Maachan baik-baik saja, adik bayi sedikit nakal, Yuu juga, jangan nakal ya.” Ujar Kuroda-san sambil mengelus kepala anak gadisnya yang terlihat sangat khawatir sejak tadi.
Tangan mungil anak itu memeluk pinggangku dengan kepala yang menempel sempurna di perutku.
“Yuu, pergi main sama Papa gih, Papa kan libur.” Bujukku agar anak itu tidak sedih, tapi permintaanku malah dia balas sebuah gelengan cepat seolah anak itu tidak mau dipisahkan dariku.
“Yuu menangis?” tanyaku dan lagi-lagi anak itu menggeleng.
Kulirik Kuroda-san yang juga melirikku, sialnya, pasanganku itu hanya tersenyum seperti berusaha menahan tawa saat aku dan anaknya sedang kebingungan begini.
Aku berusaha membuka mulutku untuk bertanya padanya, tapi Kuroda-san malah mengelus kepalaku kemudian menarik Yuuki ke dalam gendongan.
“Aaa~ Maachan~” rengek anak itu tidak ingin dilepaskan dariku.
“Daripada kau seperti itu, bagaimana kalau kita pergi belanja keluar untuk masak makan siang?”
“Masthak?” beo anak itu.
“Iya, Maachan dan adik bayi belum makan, mau bantu Papa masak?”
“Dede bayi beylum makan? Thenapa, Papa?”
“Karena ibu –mu pilih-pilih.”
“Pilih-pilih?” beo –nya lagi kemudian berbalik dan melihat ke arahku. “Maachan mau makhtan apa?” tanya anak itu seperti kosakata yang digunakan ayahnya sudah dia pahami dengan benar.
“Maachan mau nugget?”
Aku menggeleng. “Apa saja, asal itu buatan Yuu.” Jawabku sambil sedikit mengulas senyum. Setelah itu, aku melihat Kuroda-san membawa Yuuki untuk berbelanja. Sementara aku, aku kembali memejamkan mataku untuk kesenian kalinya.
Ini sudah pukul sepuluh pagi, tadi pagi-pagi sekali aku bangun dan muntah-muntah, Kuroda-san langsung memberiku air hangat untuk meredakan intens mual itu, tapi setelahnya saat dia berusaha membuatkanku s**u yang biasa aku minum sejak awal aku mengandung Yuuki. Tapi rasanya, s**u itu benar-benar membuatku sangat mual dan intensitas itu menjadi semakin tinggi saat aku mencoba meminumnya. Hanya saja, Kuroda-san terus memintaku untuk meminum s**u itu.
Kulihat perutku yang sudah mulai terlihat buncit, tidak besar, tapi sudah terlihat sedikit menonjol, bahkan aku sudah bisa merasakan bagaimana perut itu berlekuk meski kecil.
Kusentuh perutku yang sudah mulai besar itu. Kurasa aku tidak terlalu bangga dengan kehamilanku kali ini, tentu saja, karena saat aku tahu kalau aku sedang hamil lagi, Yuuki baru umur segini.
Bukan karena aku tidak bisa merawat dua orang anak kecil sekaligus, tapi karena aku merasa kalau perhatianku pasti akan terbagi karena Yuuki sedang membutuhkan perhatianku dan ayahnya yang berlebih, tapi jika aku punya anak lagi sekarang, otomatis perhatianku akan langsung berpindah pada bayi ini, lalu Yuuki akan jadi pemurung setelahnya.
“Hei, kenapa tidak datang setelah kakakmu berusia sepuluh tahun?” bisikku pada anak dalam perutku ini. Tapi setelahnya aku tersenyum seperti orang bodoh.
Aku masih mengelus perut itu, sambil membaringkan tubuhku kembali ke atas kasur lantai yang digelar Kuroda-san.
Ya, dia sengaja memindahkan meja dan menggelar kasur seperti ini di tengah rumah karena dia tidak ingin aku tidur di kamar sepanjang hari, lagi pula dia juga mengatakan kalau tidak baik kalau aku terus di kamar dan Yuuki menemaniku di sana seharian karena anak itu akan terbiasa dan akan merengek untuk tidur di kamar kami setelahnya.
Karena alasan itulah aku tidak memprotes saat Kuroda-san membawaku untuk tiduran di sini. Karena udara sudah tidak terlalu dingin, jadi selimut yang Kuroda-san berikan padaku pun tidak terlalu tebal dan itu cukup nyaman untukku.
Aku mencoba memejamkan mataku lagi, tapi saat seekor kucing jenis ragdoll mendekatiku dan tidur tepat di sebelah kepalaku, berguling-guling seolah meminta perhatian, aku kembali membuka mataku dan mengelusnya dan dia mendengkur karena dia menyukainya.
Apa yang sedang kulakukan?
Aku bermain dengan kucing?
Aku tidak masalah berada dekat dengan kucing? Sejak kapan? Ah ... itu pasti karena kau, kan bayi kecil? Kau benar-benar sudah membuatku seperti orang aneh.
“Bayi ini ... tidak bisakah kau hanya bermanja pada ayahmu?” bisikku lagi sambil mengelus perut itu lagi hingga tanpa sadar aku tertidur bersama kucing aneh di sebelahku.
Aku tidak sadar berapa lama aku tertidur, sampai aku mencium aroma yang sangat wangi dari arah dapur, jadi karena penasaran, aku membuka mataku dan melihat kalau Kuroda-san dan Yuuki sedang menyiapkan makan siang untuk kami.
“Maachan~” jerit Yuuki saat melihatku bangun dan berlari ke arahku kemudian memelukku sangat erat.
“Sudah pulang?”
“Un! Papa beyli udang bestay, elus kami masak.”
“Benarkah?” tanyaku sambil melihat ke arah Kuroda-san yang masih menyiapkan makanan.
“Aku beli lobster, mungkin akan membuatmu sedikit bernafsu untuk makan.”
“Lobster? Kalian beli itu?”
“Iya, bangunlah dan makan.”
“Maachan~ Yuu yang belsih-in.”
“Wah~ benarkah?” pujikku padanya dan anak itu kemudian mengangguk antusias.
Meski rasanya kepalaku masih sangat pusing, aku mencoba untuk bangun dan berjalan ke arah dapur bersama Yuuki yang menarik-narik pakaianku.
“Duduk dan makanlah, Yuuki yang memasak semua ini.” Ujar Kuroda-san.
“Yuuchan? Benarkah?”
“Iya, dia membantuku menambah beberapa bumbu dan mencuci lobsternya sampai bersih. Setelah itu, dia juga membantuku mencuci sayurannya.”
“Waaah~ kenapa anak gadisku sepintar ini?” aku memujinya lagi sambil mengelus kepalanya.
“Yuu mau cuci tangan dulu~”
Yuuki berlari ke arah wastafel untuk mencuci tangannya dengan sabun. “Aku ... minta maaf sudah merepotkan kalian.”
“Kenapa harus seperi itu?”
“Kalau bukan karena aku mengandung lagi, mungkin kalian tidak perlu kerepotan seperti ini.”
“Jadi kau mau menyalahkan anak itu?”
Aku menggeleng. “Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi ...,”
“Kalau tidak bermaksud seperti itu berhenti berpikir yang tidak-tidak. Kalau kau kewalahan mengurus mereka, kita bisa titipkan bayi ini pada ibu di Kobe.”
“Eh, kenapa bayinya?”
“Kau masih ingin mengurus Yuuki dengan baik sampai dia masuk ke playgrown, bukan? Jadi, lebih baik kalau bayinya yang kita titipkan.”
Aku melihat Kuroda-san, yang tersenyum padaku, kemudian dia mengulurkan tangannya untuk mengelus perutku perlahan. “Kau harus makan dengan benar, agar dia bisa sehat sampai lahir nanti.”
_