Aku berjalan keluar dari bandara, di mana inspektur Oogaki sudah menungguku di depan lobi utama.
Seperti biasanya, pria paruh baya itu selalu tersenyun sambil melambai setiap kali dia melihatku atau Sousuke. Sepertinya, aku ini adalah anaknya yang baru pulang dari perantauan.
"Haha, sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"
"Tidak baik saat kau menelepon dan bilang kalau si b******k itu kabur." Ujarku dan langsung membuat inspektur Oogaki terlihat sedikit kelimpungan. "Bagaimana dia bisa melarikan diri? Penjagaannya?"
Inspektur Oogaki tidak langsung menjawabku. Dia menepuk punggungku beberapa kali, kemudian menyuruhku untuk naik ke dalam mobil, dan langsung membawaku ke rumah sakit universitas yang terikat kerja sama dengan kepolisian.
Di sana, inspektur Oogaki membawaku ke sebuah kamar mayat, di mana ada empat orang mayat laki-laki yang sama sekali tidak kukenal tergeletak dengan tubuh yang sangat pucat dan sedikit terbungkus kristal es karena baru saja dikeluarkan dari freezer mayat. Sialnya, mayat yang diperlihatkan inspektur Oogaki padaku punya luka berlubang tepat di pangkal lehernya.
"Dua dari mereka tertembak tepat di pangkal leher dan lainnya di perut dan punggung lalu tembus hingga bersarang di paru-paru." Jelas inspektur Oogaki.
"Dia melawan petugas?"
"Ada yang memberinya senjata."
"Apa?"
"Sepertinya dia memang sudah merencanakan ini dan memanfaatkan momen saat dia dibawa dari penjara ke gedung persidangan." Ucap inspektur Oogaki seperti dia menyesal apa yang sudah terjadi, terutama untuk empat mayat yang ada di sini.
"Kau bilang, tidak ada yang menjenguknya selama tujuh hari terakhir, lalu bagaimana dia bisa mendapat senjata? Bukannya lebih mungkin kalau dia merampas itu dari petugas?" Tapi logikaku dibantah hanya dengan sebuah gelengan sederhana dari inspektur Oogaki.
"Aku yang memeriksa kesediaan persenjataan petugas yang membawanya ke pengadilan. Tapi, tidak ada satupun petugas yang membawa atau pun memiliki senjata seperti itu."
"Senjata apa?"
"P-3A dengan, dengan kaliber 7,65 x 17 milimeter, dengan peredam suara."
"Dari siapa dia dapat alat peredam suara?" Tanyaku dan inspektur Oogaki menggeleng sempurna.
"Bagaimana dengan catatan kelakuannya selama empat tahun ini?" Tanyaku lagi sambil menutup kain yang membungkus mayat itu kembali setelah dibuka inspektur Oogaki.
"Karena dia ditempatkan di sel khusus, tidak banyak yang bisa dia ajak bicara, terkadang, makanannya pun diantar ke dalam sel."
"Catatan kesehatannya selama itu?"
"Ada satu kali dia sempat masuk ke rumah sakit dan dirawat selama dua hari, dia juga dirawat oleh dokter khusus dibawah pengawasanku. Kenapa?"
"Bisa hubungi dokter itu? Aku butuh bicara dengannya."
"Baik. Akan kuantar kau padanya." Inspektur Oogaki meregangkan tangannya seperti mencoba memberiku akses untuk pergi.
Setelah keluar dari kamar jenazah, inspektur Oogaki membawaku naik ke lantai tiga, di mana ada sebuah ruangan dokter bertuliskan 'Shizuu Ozawa'.
Hanya saja, saat kami masuk ke dalam ruangan itu, tidak ada siapapun di sana.
"Ke mana dia?"
"Entahlah, aku sudah menghubunginya dan bilang kalau kita akan datang."
Aku melihat sekeliling ruangan itu. Tidak ada yang aneh untuk beberapa detik, hanya gantungan baju berisi jas yang tergantung rapi, sebuG rak buku berisi arsip dan beberapa buku medis, piala penghargaan dan medali juga sertifikat. Jelas sekali kalau itu semua mengatakan bahwa dia adalah dokter yang punya predikat bagus. Hanya saja, tak ada apapun di sini.
"Sebaiknya kita ke tempat lain." Ajakku.
"Kau yakin tidak ingin menunggu?"
"Aku ingin melihat tempat dia ditahan."
"Untuk apa?"
"Aku ingin tahu."
"Tahu apa?"
"Apa dia meny—"
Kalimatku berhenti saat seseorang yang menggunakan jubah khas dokter masuk bersama seorang perawat yang sibuk menjelaskan sesuatu dari mal yang dia pegang.
"Oh, Ozawa." Sapa inspektur Oogaki pada pria yang baru saja masuk itu.
"Inspektur Oogaki?" Ulangnya terkejut saat dia melihat inspektur Oogaki di sana, dan saat dia melihatku juga, dia langsung meminta perawat yang mengikutinya untuk pergi dari sana.
"Kupikir, kau akan meneleponku lagi sebelum datang kemari, inspektur?"
"Wakil kepala cabang kami ingin bertemu denganmu cepat, jadi, aku langsung membawanya dari kamar jenazah kemari."
"Kalian sudah melihat jenazahnya?" Tanyanya sambil melirik ke arahku, dan aku mengangguk. "Oh, bagus sekali. Silakan duduk kalau begitu." Ujarnya sambil mempersilakan kami duduk.
Tanpa basa-basi, aku mengikuti inspektur Oogaki untuk duduk di bangku yang berada tepat di depan meja kerjanya, sementara kami duduk, dokter pria itu berjalan menuju ke arah rak berisi arsip dan buku-buku di rak yang berada tepat di sebelah gantungan baju.
Di sana, dia mengambil sebuah bundel arsip berukuran cukup besar dan membawanya.
"Mihara Kuji pernah kurawat di rumah sakit ini dengan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh kepolisian. Bukan hanya pengamanannya yang ketat, aku juga selalu diawasi saat melakukan pemeriksaan pada narapidana tersebut, jadi, kalau ku mencurigaiku di sini, itu tidak akan berhasil." Jelas dokter itu sambil duduk dan membuka bundel arsip yang dia kemudian mencari satu persatu lembaran yang dia ingin perlihatkan pada kami.
Setelah mencari di beberapa halaman, dia berhenti, di sana dia menarik beberapa lembar kertas, foto scan MRI, Rontgen dan semua rekam medis yang sempat dilakukan pada pasien narapidana atas nama Mihara Kuji.
Aku menarik selembar foto hitam-putih hasil MRI, di sana melihat kalau di sana, ada bercak putih di d**a sebelah kanan, dan bercak itu terlihat cukup tidak biasa.
"Kanker paru-paru stadium empat."
Ujar dokter itu tiba-tiba. Aku mengangkat wajahku, kulihat pria itu dengan seksama, sialnya, tak ada keraguan di wajah dokter itu saat dia mengatakan hal tersebut.
"Sejak kapan?" Tanyaku.
"Entah sejak kapan, tapi saat kutanya pada sipir penjara, Mihara Kuji sama sekali tidak pernah menunjukkan gejala seperti batuk berlebih atau sesak napas semacam dyspnea ringan atau berat." Jelasnya, dan saat kulihat inspektur Oogaki, pria paruh baya itu mengiyakan penjelasan dokter tersebut.
"Sipir dan kepala penjara yang kutanya mengatakan hal seperti itu."
"Apa stadium empat bisa sampai tidak terprediksi seperti ini?" Tanyaku penasaran.
"Kebanyakan gejala mungkin terlihat, tapi dalam kasus Mihara Kuji, pasien ini sepertinya tidak terlalu memperhatikan rasa sakitnya, dan memilih untuk diam, sampai tiba-tiba inspektur Oogaki membawanya kemari dan aku yang menanganinya."
Aku diam.
Kulihat kembali gambar MRI itu, lalu foto Rontgen dan beberapa laporan rekam medis yang dikeluarkan dokter itu pada kami.
Aku membaca satu persatu Isi laporan itu, dan aku terkejut saat ada laporan bahwa Mihara Kuji sering mengigau saat pertama kali dibawa ke rumah sakit dan dirawat cukup intensif di ICU.
"Mengigau?" Tanyaku.
"Iya, mengigau."
"Mengigaukan apa?"
Inspektur Oogaki menghela napas, selain itu aku juga melihat di mengusap wajahnya seperti frustrasi. Selain itu, aku juga melihat ke arah dokter Ozawa yang juga seperti gugup. "Sou—chan ...?" Ucapku perlahan.
Aku tidak yakin dengan yang kuucapkan, tapi saat nama itu selesai kusebut, inspektur Oogaki kembali menghela napas panjang dan dokter Ozawa pun mengangguk.
"Mihara Kuji selalu mengigau, menyebut nama itu, Souchan."
_