Bab 04 [ Iharasi Sousuke POV ]

2230 Kata
“Haha ... kenapa kau? Kena badai pagi-pagi?” tawa teman-temanku pecah saat mereka melihat penampilanku seperti gembel. Meski aku sudah berlari sangat kencang ke sekolah setelah turun dari stasiun, tetap saja aku terlambat dan harus dihukum tidak boleh masuk jam pelajaran pertama, juga tak luput dari omelan karena penampilanku yang sangat tidak rapi saat aku tiba ke sekolah. Beda guru, beda teman. Melihatku dimarahi habis-habisan, mereka malah menertawaiku saat jam istirahat. “Berisik!” aku menepis tangan salah satu temanku yang berusaha mencubit pipiku karena gemas. Tapi sialnya, mereka malah tertawa sangat keras. “Haha ... jangan marah lah, Souchan~” goda Heisuke. “Iya, Souchan jadi pemarah akhir-akhir ini, hahaha ....” “Kan dia habis kena hukum guru matematika kita.” Celetuk Nagi ditambah tawa dari Jiro. “Heee~ maksudmu yang dia harus mengerjakan tugas setengah semester itu? Haha ... luar biasa kau, Souchan~” ujar Tomori sambil menepuk-nepuk punggungku sangat kuat, membuatku terbatuk karena sakit. Cih, aku senang berteman dengan mereka, tapi kadang ejekan mereka benar-benar membuatku ingin memukul wajah mereka satu per satu. Tapi aku urung melakukannya dan meminta salah satu dari mereka meminjamkanku seragam olah raga mereka sementara aku akan mencuci seragamku yang kotor. “Kau harus kembalikan itu setelah jam pelajaran terakhir. Besok aku ada kelas olah raga dan pastikan bau ketekmu tidak tertinggal, hahaha....” tawa Jiro kembali terdengar di telingaku dan rasanya sangat pegang. “Ka—menyebalkan sekali kau!” gerutuku sambil memukul kepala Jiro karena tidak berhenti mengejek sambil memukulku. Sialnya, mereka malah tertawa terbahak seperti aku ini bahan lawakan. Ah, rasanya setiap hari aku memang selalu seperti itu di mata mereka. “E—tapi, kenapa kau sampai bisa sekotor ini, Souchan?” akhirnya, satu pertanyaan yang bisa kuanggap waras terlontar. Dan yang bertanya padaku memang orang yang jauh lebih waras dari kami semua, namanya KenKen. “Aku hampir ketinggalan kereta dan malah menabrak sepeda roda tiga milik anak tetangga bibiku. Untung saja ibunya tidak marah karena anak itu menangis.” Jawabku meninggalkan alasan awal kenapa aku berlari mengejar kereta, juga tentang bola sepak yang kupinjam dari Kogure. “Haha ... kejam sekali kau ini, anak gadis orang kau buat menangis.” Sekali lagi Nagi mengejekku diikuti tawa yang lainnya. “Ish, aku tidak sengaja!” aku mulai jengah dengan tingkah teman-temanku ini, karena itu aku segera mengambil kaos olah raga yang Jiro pinjamkan lalu berjalan menuju ke kamar mandi untuk mengganti seragamku yang kotor dan mencucinya di sana. Tapi, saat aku sedang asik mencuci, aku malah teringat anak yang menolongku tempo hari. Anak yang juga barusan kulihat lagi di kereta. Hanya saja, kurasa kami tidak tinggal di satu distrik, dan ... dia juga tidak terlihat bersekolah di sekitar sini? Kalau begitu, mau pergi ke mana dia? “Kuliah? Sepertinya anak itu seumuran denganku.” Gumamku sendiri sambil mencuci pakaianku yang kotor. Kuharap aku tidak akan bertemu dengannya lagi kalau dia memang tidak bersekolah di sekitar sini, rasanya benar-benar memalukan.... Anak itu benar-benar tampan, seperti anak bangsawan, sangat elegan bahkan sikap kalemnya pun terlihat sangat menawan, ayolah~ aku bisa menilai orang hanya dalam sekali lihat. Benar-benar berbanding terbalik denganku. Selesai mencuci, aku langsung menjemurnya di halaman belakang sekolah dekat kumpulan kipas AC milik ruang guru, karena jika bukan dengan cara ini aku tidak yakin pakaianku akan kering cepat sampai jam pelajaran terakhir selesai. Seragam kotorku sudah bersih dan tinggal menunggu kering agar bisa kupakai lagi, tapi aku harus segera masuk ke kelas untuk jam pelajaran selanjutnya, apalagi jam pelajaran setelah jam istirahat ini adalah matematika, ingat aku diancam apa seminggu lalu oleh guru itu? Cita-citaku menjadi polisi akan langsung hancur kalau sampai aku tinggal kelas semester ini. Jadi, aku harus bergegas dan menyerahkan tugas yang diberikan padaku seminggu lalu padanya. Meski aku tidak yakin kalau apa yang kukerjakan benar-benar benar seratus persen, tapi setidaknya, aku mencoba mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahkan aku sama sekali tidak minta bantuan Kogure untuk membantuku mengerjakan bahkan satu soal pun seperti biasanya aku minta tolong pada kakak sepupuku itu. Jam pelajaran berakhir seperti biasa. Aku juga masih sempat bermain sepak bola satu putaran dengan teman-temanku karena tidak mau diejek oleh mereka setelah tanpa alasan membawa bola ke sekolah. “Hei, Sou,” teriak Jiro setelah kami menyelesaikan satu putaran, “bawa pulang saja kaos itu, cuci dan berikan padaku setelah bersih.” “Haha ... tugasmu bertambah, Sousuke~” ejek yang satunya sambil lagi-lagi menepuk punggungku keras-keras. “Hanya mencuci kaus buluk begini aku juga bisa~” celetuk Heisuke sambil menjewer ujung kaos yang kupakai, spontan saja itu membuatku tertawa. “Heee~ buluk begitu juga aku masih bisa digantung ibuku kalau dia tahu kaos itu tidak balik.” Geram Jiro sambil memukul udara, namun sontak saja itu jadi bahan tertawaan semuanya. “Hei, Sou,” kali ini Tomori yang memanggilku. “Hm?” “Kau ... wangi sekali?” celetuknya sambil berusaha mengendusku. Sontak saja sepasang mataku terbelalak dan berusaha memproteksi diriku dengan mundur beberapa langkah dari teman-temanku, “A—apanya yang wangi? Aku ini bau keringat!” sergahku, tapi malah membuat mereka semakin berusaha mengendusku semakin kuat. “Tidak, ini ... bukan bau keringat, baunya sangat manis.” “Mana-mana?” teman-temanku yang lain mulai antusias, mereka mulai mengendusku dan mencium aroma tubuhku seperti aku ini sangat bau. Tapi sialnya, semakin lama mereka melakukan itu, wajah mereka perlahan semakin memerah, terlihat mengerikan karena aku mulai melihat kalau mereka seperti terangsang dengan aroma tubuhku. Karena tidak tahan, aku mengangkat tanganku dan berniat memukul kepala mereka, sebelum akhirnya KenKen melakukannya lebih dulu untukku. “Aduh!” pekik keempatnya saat kepala mereka dipukul sangat keras, mereka mengaduh kemudian menggerutu. “Apa, sih?!” “Lihat muka kalian! Kalian mau menakuti Sousuke dengan wajah seperti itu? Lagi pula apa bagusnya mengendus bocah bebal ini? Keringatnya sangat bau!” “Wa—wajah kami kenapa?” mereka mulai terlihat panik. “Pergi ke kamar mandi sana, cuci muka kalian!” bentaknya lagi hingga akhirnya tiga orang Alpha itu berlari ke kamar mandi karena ketakutan. Jujur saja, KenKen adalah orang yang paling dewasa di antara kami, setiap ucapannya lebih berpengaruh dari pada mereka yang bergelar Alpha, meski sebenarnya KenKen hanya seorang Beta. “Te—terima kasih, Ken.” Ujarku dengan nada yang tidak bisa kusebut tenang. KenKen temanku yang satu-satunya Beta dan tidak terganggu sama sekali dengan status orientasinya yang seorang Beta, di mana dia memang tidak ada bedanya dengan orang biasa yang tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya menjadi Alpha yang bisa mencium aroma seorang Omega. “Kau ini....” ujarnya sambil memelototiku. Sontak bulu kudukku berdiri, kupikir aku akan dipukul juga olehnya tapi ternyata tidak. KenKen, dia hanya menyentil dahiku sambil menggoyangkan kepalanya seperti mengisyaratkan aku untuk pergi. “Pulang sana, sebelum  Alpha-Alpha itu kembali dan berbuat tidak senonoh padamu.” “T—tapi,” “Kau lihat anak-anak itu? Itu wajah saat mereka mencium feromon Omega.” “A—aku bukan Omega!” sanggahku lantang, namun detik selanjutnya, suaraku melemah, “setidaknya ... sampai hasil pemeriksaanku keluar.” Lanjutku dengan wajah tertunduk. Aku tahu wajah teman-temanku mulai terlihat seperti Alpha kelaparan setiap mereka mencium aroma tubuhku, sama persis dengan apa yang dilakukan Kogure padaku, tapi ... hal seperti itu tidak berarti menegaskan kalau aku ini seorang Omega, bukan? Memalukan sekali kalau aku sampai harus terlahir seperti itu. “Pulanglah, biar kukatakan pada mereka kalau kau ditelepon bibimu.” KenKen menyuruhku lagi. Di antara teman-temanku, KenKen memang Beta yang selalu bisa menengahi kami. Bahkan jika teman-teman Alpha –ku mulai terlihat keterlaluan saat kami melakukan kencan buta, KenKen akan langsung menyeret kami pulang dan membatalkan semua kencan buta lain yang akan kami lakukan dengan siswi SMP lainnya. Aku tahu kalau ini tidak masuk akal, tapi ... daripada aku harus melihat wajah m***m teman-temanku lagi, kurasa aku memang harus pulang dan tidur, toh ... tugas-tugas matematika –ku juga sudah selesai semuanya, jadi aku bisa tidur nyenyak malam ini. “Maaf kalau aku merepotkan.” Uajrku sambil membungkuk di depan KenKen, dan sekali lagi, KenKen mengusap kepalaku sebelum menyuruhku bergegas. Pulang. Memang itu tujuan awalku, tapi ... saat aku berlari menuju ke stasiun, sekolahku yang harus menyeberangi jembatan besar pun memaksaku melihat sesuatu yang tidak biasa. Aku melihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunan berdiri tepat di pinggir sungai. Wajahnya terlihat sangat putus asa dan bahkan, pria itu juga menangis. Saat melihat orang dengan ekspresi seperti itu, pikiranku hanya satu,ORANG ITU MAU BUNUH DIRI! Dan karena tidak ingin sampai orang itu melakukan hal konyol, aku langsung berlari menghampirinya dan menarik dia dari pinggir sungai susah payah. “Apa yang kau lakukan, bocah?!” bentak pria itu dengan isak tangis yang masih tidak berhenti. “Paman! Kalau sesuatu terjadi padamu tolong jangan bunuh diri! Pikirkan keluargamu, pikirkan orang yang mencintaimu, ayah dan ibumu!” ujarku seperti menggurui, tapi sialnya, pria itu malah menangis sangat keras seperti anak kecil, aku bahkan bisa melihat ingusnya keluar sangat deras dari hidungnya. “Aku...hiks....aku baru saja ditolak~ hiks...dia, dia sedang berkencan dengan Alpha lain saat aku berniat melamarnya! Ini!” dia menujukan sebuah kotak cincin padaku, “Ini tidak ada gunanya lagi!” dia berdiri, berjalan kembali ke sisi sungai kemudian melemparkan kotak cincin itu ke dalam air. Melihat itu aku langsung melempar tas dan bola yang sejak tadi kupegang ke tanah, sebelum akhirnya aku ikut melompat ke dalam air. Berkubang lumpur dan lumut tanpa peduli aku mengenal orang itu atau tidak. “Sedang apa kau bocah?! Biarkan saja benda itu tenggelam! Aku tidak peduli lagi!” teriaknya tapi aku abaikan. Aku masih berusaha mencari kotak cincin yang dia buang itu, sekitar beberapa menit aku mencari sambil terus disemangati makian pria itu, akhirnya aku menemukannya. “Paman aku dapat!” teriakku sambil mengacungkan kotak cincin itu ke udara. “Siapa yang butuh itu dasar anak bodoh!” bentaknya lagi kemudian berlari pergi. Keterlaluan! Setelah apa yang sudah kulakuan dia mau melarikan diri? “Hei paman! Setidaknya ambil benda ini! Paman!” teriakku berusaha menghentikannya. Sialnya, hanya suaraku saja tidak mampu melakukan apapun. akhirnya aku bergegas ke luar dari dalam lumpur untuk mengejarnya. Aku terus mengejarnya hingga tanpa sengaja aku menabrak seseorang hingga kami berudu tersungkur dan aku menginjak sesuatu hingga terdengar bunyi yang sangat keras seperti benda yang hancur. “Ma—maafkan aku...,” ujarku gugup sambil mencoba untuk bangun. Di saat bersamaan, dia menunduk untuk mengambil sesuatu yang kuinjak. Wajahku seketika berubah putih saat aku melihat benda yang orang itu pungut, itu sebuah flip ponsel. Benda itu terbelah menjadi dua bagian dan tergantung dengan kabel kecil yang mencuat keluar dari sambungannya. Mati aku! “Ish, sial! Aku akan membawa ponselmu ke tempat reparasi.” Ujarku percaya diri, tapi saat kulihat wajah orang yang kutabrak itu, sekali lagi jantungku rasanya mau berhenti berdetak. Itu, anak yang kutemui di kereta pagi ini. “E—kau yang kutemui di kereta pagi ini, bukan?” tanyaku berbasa-basi agar dia tidak marah padaku. dia mengangguk untuk menjawab pertanyaanku, tapi setelah itu keadaan kami rasanya jadi sangat canggung. “Maaf sekali lagi soal ponselmu, kalau kau mau kita bisa ke tempat reparasi sekarang unt—“ “Tidak perlu, sepertinya ini sudah tidak bisa diperbaiki.” Ujarnya sambil mengangkat ponselnya agar bisa kulihat dengan jelas. Sialnya, apa yang dia bilang itu memang benar, ponsel dengan kerusakan seperti itu memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Layar ponsel itu sudah retak dan terkelupas, sambungan fleksibelnya pun kurasa sudah tidak mungkin bisa disambung lagi. Ponsel itu benar-benar sudah hancur. Melihat itu aku hanya bisa menggaruk pelipisku. Benar-benar tidak bisa dipercaya kalau aku bisa menghancurkan benda seperti itu, aku yakin kalau harga benda itu juga tidak murah, mengingat ibu selalu mengeluh soal keuangan padaku jika aku merengek ingin dibelikan benda seperti itu. “Lagi pula, kenapa kau bisa lari-lari seperti itu?” pertanyaannya langsung membuatku tersadar untuk sesuatu yang nyaris saja kulupakan. Hanya saja, saat aku mencoba mengejar orang itu lagi, orang yang cincinnya ingin kukembalikan malah sudah tidak ada di mana pun. “Kenapa?” “Ini gara-gara kau! Aku kehilangan orang itu!” bentakku frustrasi. Sudah capek-capek terjun ke dalam sungai hanya untuk mengabil benda seperti ini, tapi orang yang kukejar untuk mengembalikan ini malah sudah tidak ada di mana pun sekarang. Menyebalkan sekali. Lalu ... harus kuapakan benda ini sekarang? Saat aku sedang berdiri meratapi nasibku, dia terus melihatku hingga tiba-tiba dia menutup hidungnya. Sontak saja aku langsung kebingungan. “A—apa-apaan sikapmu itu?” bentakku padanya. “Kau ini apa? Kubra-kura? Kenapa kau bis sekotor itu?” “A—aku, kan tadi habis mengambil ini!” tunjukku padanya, “lagi pula ... apa aku sebau itu...?” gerutuku nyaris menggumam. “Apa itu? Kau mencurinya dari seseorang?” “Hei, kau bercanda?! Aku punya cita-cita besar yang menungguku, tidak mungkin aku melakukan hal konyol seperti itu!” aku benar-benar kesal, sampai-sampai aku menggembungkan pipiku karena marah. “Bagus, kalau begitu kembalikan itu pada pemiliknya.” ucap dia datar seperti aku ini memang baru saja mencuri cincin ini dari pemiliknya.  Kurang ajar sekali dia, bagaimana bisa dia berpikir kalau aku mencuri benda ini, sementara pakaianku terlihat sangat kotor seperti kerbau yang baru saja naik dari dalam kubangan lumpur di sawah? Lagi pula, kenapa petugas kebersihan kota tidak membersihkan lumpur di sungai itu? Lihat aku sekarang? Sudah benar-benar mirip seperti patung tanah liat. “Saat aku menabrakmu tadi pemiliknya sudah pergi dan aku ... tidak tahu dia pergi ke mana.” Ujarku lirih sambil memandang kotak cincin itu. _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN