Bab 03 [ Iharasi Sousuke POV ]

2556 Kata
“Hei, Souchan!” teriak temanku dari gerbang sekolah sesaat setelah aku melewati gerbang sekolah. “Haha ... luar biasa, hebat sekali kau tidak terlambat.” Ejek salah satu temanku padaku. menyebalkan sekali rasanya saat aku tahu kalau omongan mereka benar-benar terdengar menyebalkan saat apa yang mereka bilang memang benar. Aku memang sudah sangat sering terlambat, bahkan aku sering melakukan hal-hal menyebalkan seperti tidur dalam kelas dan tak jarang aku juga bolos jam pelajaran hanya karena aku tidak suka pada guruku. Dan harus kuakui kalau apa yang kulakukan itu memang pantas dapat ejekan dari mereka. “Hei, kenapa mukamu itu?” tanya yang lain sambil menarikku ke dalam pelukannya. “Hentikan!” gerutuku dan menolak pelukan-pelukan menyebalkan itu. “Hari ini kita ada tes fisik di pelajaran ketiga. Duh, kau tahu kan sekarang pasti sangat panas, dan guru tidak akan membiarkan kita masuk ke dalam gedung aula.” “Haha ... dasar banci! Kenapa kau tidak bisa hanya berada satu jam saja di bawah matahari?” “Make up –nya takut luntur dia, haha....” “Hei, kurang ajar kalian!” “Hahaha....” Keterlaluan, candaan macam apa itu? Tapi sialnya, candaan mereka selalu sukses membuatku tertawa. Teman-temanku ini sudah melakukan pemeriksaan terakhir mereka dan beberapa dari mereka adalah Alpha, sementara satu lainnya adalah Beta. Terlihat sangat menyenangkan saat kau sudah tahu gender tambahanmu itu apa di masyarakat. Sementara aku? Sialnya usiaku belum genap lima belas tahun karena itu aku masih harus menunggu hingga usia itu dan hasil pemeriksaan terakhirku keluar. Puas bercanda, aku dan keempat temanku ini langsung masuk ke dalam sekolah. Sejak kelas satu, kami sudah saling kenal, meski sekarang kami tidak berada dalam satu kelas seperti di tahun pertama, tapi kami tetap bermain dan menghabiskan waktu bersama-sama setiap hari juga bercanda seperti ini. Aku tidak terlalu suka belajar, karena hal itu juga aku selalu ketiduran dalam kelas, bolos jam pelajaran dan tak jarang aku selalu dihukum oleh guru hanya karena alasan yang sama. Itulah sebabnya aku memilih tinggal jauh dari orang tuaku agar tidak ada satu pun dari mereka yang tahu kalau aku sering bolos jam pelajaran dan yang lainnya. Karena waktu masih di Kobe, rumahku yang memang berada di daerah pedesaan, aku sangat sering sekali pergi ke sawah, mencari belut, cacing dan kumbang. Tak jarang aku pulang dengan tubuh penuh luka lecet, pakaian kotor penuh lumpur, dan bau matahari yang sangat pekat. Tak jarang ibu memarahiku karena hal yang sama setiap hari, hingga tiba-tiba mereka kukejutkan dengan aku yang ingin pindah sekolah ke Kyoto dan tinggal dengan pamanku. Selama ini tidak pernah ada hal aneh yang kualami, bahkan semuanya selalu terasa seperti hal normal, hanya saja ... beberapa hari ini aku merasa kalau aku tidak baik-baik saja, terutama dengan apa yang kualami semalam di kamar Kogure. Sungguh, aku benar-benar takut kalau aku harus mengingat bagaimana Kogure mencium tubuhku seperti itu. Meski aku dan Kogure cukup dekat beberapa waktu terakhir ini karena antusiasku tentang kepolisian, tapi bukan berarti aku suka saat diperlakukan seperti itu olehnya. “Hei Souchan, kau mau ikut dengan kami pergi ke kencan buta?” tanya salah satu temanku saat jam makan siang. “Ha? Kencan buta?” “Haha ... tidak perlu kaget begitu, ayo ikut! Kita akan bertemu dengan anak dari asrama putri, mereka pasti cantik-cantik. Iino yang sudah merencanakan ini.” Ujar temanku. Bukan tidak pernah kami melakukan hal seperti ini. Mungkin, kalau harus kuhitung bisa sekitar dua hingga tiga kali dalam sebulan kami melakukan kencan buta dengan sekolah-sekolah yang ada di sekitar sini. Tapi, aku harus ke kelas tambahan Hokuto-sensei. "Dia menyuruhku untuk mengerjakan beberapa tugas sebagai hukuman karena nilai matematika –ku di semester ini sangat anjlok.” “He? Kenapa bisa begitu?” “Tiga kali aku bolos, dan tiga kali itu juga harusnya ada ulangan, tapi aku tidak pernah ikut.” Keluhku mengingat bagaimana menyebalkannya pelajaran matematika. “Haha ... kalau begitu selamat menikmati!” “Benar, selamat menikmati. Haha....” Sial, mereka tertawa terbahak seperti apa yang kualami sekarang adalah hal paling membahagiakan untuk mereka. Tapi terserahlah, yang penting aku tidak harus berurusan dengan ancaman pihak sekolah yang akan memanggil orang tua untuk menasehatiku di rumah dan di sekolah. Mungkin tidak akan masalah kalau itu Kogure atau paman dan bibi, pai bagaimana jika hal ini sampai ke telinga ayah atau ibu saat mereka berkunjung kemari, saat mengobrol dengan paman atau Kogure? Bisa sangat merepotkan untukku ke depannya. Jadi, hari ini aku absen ikut kencan buta yang dilakukan rutin oleh teman-temanku itu. Padahal, kalau kuingat, teman-temanku itu sangat pandai mencari pasangan, entah itu pada Omega atau Beta, siswi-siswi itu selalu sangat cantik dan lebih cantik yang kubayangkan. Ctak! Kepalaku dipukul cukup keras oleh guru matematika –ku. Jelas aku mengaduh dan nyaris saja berteriak karena sakit. Tapi kutahan dan hanya mengusap-usap bekas pukulannya. Lima belas menit tadi teman-temanku sudah pergi, dan aku harus ke ruang guru menemui guru matematika ini. Tapi lihat aku, sekarang aku jadi bahan tontonan para guru karena aku adalah satu-satunya siswa yang dipanggil hanya karena jam tambahan di luar jam sekolah. Bukan hanya itu, tapi juga karena reputasiku yang terlalu buruk setelah apa yang sering kulakukan di sini. “Kau ini benar-benar ya, Sousuke Iharasi? Tiga kali kau bolos jam pelajaranku! Menyebalkan sekali kau!” marahnya sambil menunjuk-nujuk mukaku dengan buku yang baru saja dia gunakan utak memukul kepalaku. Ingin sekali rasanya menggerutu, tapi kalau sampai aku melakukan itu di sini, aku yakin kalau aku akan langsung di skors oleh sekolah. Cih, menyebalkan sekali mereka. “Maafkan aku, pak.” Ujarku sambil membungkuk meminta maaf. “Ini,” ujar guruku sambil memberikan setumpuk kertas padaku, “kerjakan itu dan kumpulkan lagi padaku minggu depan. Kalau sampai kau terlambat, aku pastikan kau tidak akan lulus mata pelajaranku untuk semester ini dan kau akan tinggal kelas tahun depan.” “Tidak bisa diturunkan lagi harganya, pak?” “Kau pikir aku sedang berdagang apa?! Kerjakan itu dan jangan bolos lagi di jam pelajaranku!” “Ish, pak ... kenapa kau jahat sekali padaku.....” “Itu karena kau menyebalkan! Sudah, sudah, bawa itu pergi dan kerjakan semuanya, dan ingat Sousuke, jangan pernah minta bantuan teman-temanmu itu! Kalau sampai aku tahu, awas saja kau!” “Bapak mau mentraktirku makan?” “Akan kutraktir kau makanan kalau kau bisa dapat peringkat pertama di semester ini.” Aku mengerutkan kedua alisku bahkan aku juga memanyunkan bibirku karena sebal. “Kenapa?” “Kau tega, sensei.” “Kau ini—“ guruku lagi-lagi mengangkat buku ke arahku, tapi saat kulihat dia hendak mengayunkannya lagi padaku, aku segera memproteksi diriku, “b*****h kecil. Kau boleh pulang sana!” perintahnya marah. Karena aku tahu kalau guru matematika –ku ini sudah sangat marah padaku, jadi aku langsung menarik lembar-lembar tugas itu dan langsung berlari ke luar. Setibanya di luar, aku langsung mengurut d**a sambil mengatur irama jantungku agar tidak berhenti tiba-tiba. Sial, benar-benar sial aku ini! Hanya karena aku tidak suka pelajaran matematika, bukan berarti aku haru bolos, bukan? Lagi pula kenapa aku harus bolos? Kenapa aku tidak tidur saja di kelas? Pura-pura membaca buku, sementara guruku itu menerangkan rumus dan teorinya panjang lebar seperti biasa? Sekarang apa? Tugas sebanyak ini mana bisa kukerjakan sendiri? “Minta bantuan Kogure pun, rasanya percuma.” Karena setelah kejadian semalam, kurasa aku tidak akan bisa bersikap biasa di depan Kogure. Lagi pula ... bau apa yang sebenarnya dia cium padaku? Karena tidak mau ambil pusing, aku segera mengambil tas milikku dari kelas dan bergegas pulang ke rumah. Mandi, makan dan membaca seperti biasanya, juga mengerjakan tugas yang diberikan guru matematika –ku. Dan ini, kurasa akan jadi rutinitas malamku selama satu minggu penuh. Menyebalkan. Satu minggu berakhir. Semua pekerjaan rumah yang diberikan guru matematika –ku pun sudah selesai, dan karena hal ini juga aku kehilangan banyak sekali waktu untuk bersenang-senang bersama teman-temanku. “Sousuke, makan dulu.” Panggil bibi saat dia melihatku turun dari lantai atas—kamarku. Di meja makan sudah ada paman dan Kogure. Tidak ada yang salah dengan Kogure yang ada di meja makan sambil menyantap masakan bibi, hanya saja aku yang merasa kalau aku sedikit canggung padanya tentang terakhir kali kami benar-benar bicara berdua. Aku bahkan masih ingat bagaimana cara Kogure mengendusku, itu ... sedikit membuatku risih. “Sou, kau kenapa?” tanya Kogure setelah menenggak cangkir berisi s**u miliknya. “A—aku boleh pinjam bola milikmu?” “Bola? Ada di kamar.” “A—bisakah kau ambilkan untukku?” “Kenapa? Biasanya kau ambil sendiri, kan?” Sial. Padahal aku sedang tidak ingin masuk ke kamar Kogure, tapi kenapa aku harus mengambil bola di kamar kakak sepupuku itu. Lagi pula ... untuk apa aku membawa bola ke sekolah? “Ba—baiklah, aku akan ambil ke atas.” Tunjukku ke arah atas di mana ada kamarku dan kamar Kogure. Aku berjalan kembali naik ke atas, membuka kamar Kogure dan mengambil sebuah bola sepak yang ada di sisi ranjang, bersebelahan dengan gitar miliknya. Harus kuakui kalau Kogure memang bisa segala hal. Dia pintar dalam pelajaran, bahkan dia bisa masuk akademi kepolisian dengan nilai sempurna, bahkan dia adalah seorang Alpha. “Benar-benar membuatku iri saja....” gumamku. “Apa yang membuat iri?” Aku dikejutkan oleh suara Kogure dari belakang. Nyaris saja aku melompat karena kaget dan menjatuhkan bola di tanganku. “K—Kogure?” “Ya?” “A—bolanya, kupinjam.” Ujarku sangat canggung. “Kau ini kenapa?” “Apanya?” “Seminggu ini aku tidak melihatmu masuk kemari. Ada sesuatu terjadi?” tanya Kogure langsung ke intinya. Sial, kenapa aku malah seperti maling yang tertangkap basah, begini? “Aku diberi tugas banyak di sekolah, jadi ... aku tidak punya banyak waktu untuk bicara denganmu.” “Hm ... pantas saja ibu selalu bilang kalau pulang sekolah kau selalu mengurung diri di kamar.” Aku mengangguk saat Kogure mengatakan itu. “Maaf ya, aku harus pergi sekarang. Aku ada janji main bola dengan teman-temanku sebelum jam pelajaran pertama dimulai.” Bohongku. “Sepagi ini? Tidak biasa, tapi ... pergilah, tapi jangan lupa bawa sarapanmu dan makan di sekolah kalau kau sempat. Jangan biarkan perutmu kosong, ya.” Ujar Kogure sambil mengusak rambutku. Sontak saja wajahku terasa sangat panas, menjalar dari pipi hingga ke telinga. Aku langsung menepis tangan Kogure saat kulihat hidungnya seperti mengendus sesuatu dariku. “Hei, Sou, aroma sampo barumu benar-benar ena—“ “Maaf, aku harus pergi.” Ujarku sambil berlari ke luar kamar. Ya, aku terus berlari dan berlari, bahkan teriakan bibiku yang memanggil untuk sarapan dengannya pun kuabaikan. Apa-apaan itu?! Kenapa Kogure selalu mengendusku seperti itu?! Aku bahkan tidak keramas pagi ini, tapi kenapa dia bilang kalau sampo yang kupakai aromanya sangat enak? Sial! Ada apa denganku?! Gedubrak! “Ga—ah!” Aku tersungkur di tanah saat kakiku tersandung ban sepeda roda tiga, bahkan bola yang sejak tadi kupeluk pun terbang entah ke mana. Saat aku mencoba bangun, aku mendengar suara tangisan anak-anak yang saat kulihat, sepeda roda tiga anak itu terjungkal dan mainan yang ada pada keranjang depan sepeda itu jatuh berserakan di tanah, tapi katakan kalau aku harus sedikit bersyukur karena anak pemilik sepeda itu tidak apa-apa, dia hanya menangis sambil memeluk boneka beruang miliknya erat-erat. “Ma—maafkan aku!” ujarku tapi tidak langsung membuat anak itu berhenti menangis. Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang? Kulihat mainannya yang berserakan, aku mencoba merayunya untuk langsung membantu dia mengumpulkan kembali semua mainannya yang tercecer. Tapi sialnya, dia masih menangis, bahkan sampai semua mainan itu kumasukkan kembali ke dalam keranjang sepedanya pun dia tetap menangis. “Apa lagi sekarang?” tanyaku sedikit marah. Tapi bukannya menjawabku, tangisannya malah semakin keras. “A—baik, baik, maafkan aku karena sudah menabrakmu dan menjatuhkan semua mainan itu. Sekarang katakan apa aku juga menabrakmu tadi?” Berhasil, pertanyaanku dijawab gelengan olehnya. Pelan-pelan, aku menggunakan ujung seragamku yang masih bisa kukatakan bersih untuk menyeka air matanya. “Kau mau kuantar pulang?” “Tidak, rumahku di sana.” tunjuknya tepat ke arah seberang jalan. Sial, kurasa aku sedang beruntung pagi ini, karena saat anaknya menangis, orang tua anak ini sama sekali tidak keluar dari dalam rumahnya. “Baiklah, tapi lain kali jangan main di jalanan lagi ya.” Ujarku kemudian dijawab anggukan lagi olehnya. Sambil menggandeng tangannya, aku membawa anak itu pulang ke rumahnya. Beruntung saat kujelaskan kalau aku tidak sengaja menabrak dia hingga menjatuhkan semua mainannya, aku tidak dimarahi oleh ibu anak itu. Setelah selesai, aku langsung mencari bola yang kupinjam dari Kogure, entah pergi ke mana bola itu dan aku harus menemukannya karena itu bukan milikku. Sialnya, kenapa juga aku harus meminjam bola dari kakak sepupuku itu? Dan sekarang aku harus mencari bola yang kupinjam it— Sepasang mataku terbelalak saat aku melihat segerombol anak sekolah dasar yang tiba-tiba saja datang kemudian memungut bola milik Kogure yang jatuh tepat di bahu jalan, memang cukup jauh dari posisiku sekarang, tapi tidak ada orang lain yang akan mengklaim bola itu selain aku. Tapi sialnya, bola itu malah diambil dan hendak dibawa. “Hei, bocah!” teriakku dan sukses membuat perhatian mereka teralih. Sialnya, bukan berbalik dan memberikan bola itu padaku, anak-anak itu langsung kompak berlari menjauh. Tentu saja aku langsung mengejar mereka sambil berteriak-teriak seperti orang gila, hingga akhirnya aku berhasil menangkap mereka. “Bocah tengik! Berikan benda itu padaku!” “Apa-apaan kau, kami menemukannya lebih dulu!” “Menemukan kepalamu! Ini milikku!” “Salahmu sendiri kenapa membuang benda ini di jalanan, dasar anak SMP pemarah!” “Apa kau bilang, bocah!” Aku mengangkat tanganku, tapi saat aku hendak memukul salah satu dari mereka, mereka semua langsung berlari kabur ketakutan sambil berteriak. Meski begitu aku cukup beruntung karena mereka tidak membawa bola yang kupinjam dari Kogure juga. “Bocah kurang ajar!” hardikku sambil memungut bola yang mereka tinggalkan di tanah. Kubersihkan sebentar bola yang terlihat kotor itu sebelum memutuskan untuk berjalan ke arah stasiun. Kupikir aku tidak akan ketinggalan apa pun, tapi saat aku tiba di stasiun dan mendengar pemberitahuan bahwa kereta terakhir akan segera berangkat, nyaris saja aku ketinggalan kereta terakhir pagi ini menuju ke sekolah. Jadi, aku bergegas berlari ke peron, mengabaikan orang-orang yang kutabrak dan hanya meminta maaf sambil lalu, setelahnya aku bisa mendengar bagaimana mereka memakiku. “Tunggu! Tunggu aku!” teriakku sambil mengejar pintu terakhir kereta dan beruntungnya aku masih bisa masuk sebelum pintu benar-benar tertutup sempurna. Sambil mengatur napasku, aku berpegangan pada tiang besi yang berada tak jauh dari pintu. "Ah, sial! Aku pasti dimarahi lagi hari ini!" Gerutuku mengingat kalau aku benar-benar sudah sangat terlambat hari ini. “Hei ka—“ suaraku berhenti saat kulihat wajah anak laki-laki itu. Aku nyaris menelan kata-kataku lagi, tapi aku tahu kalau itu tidak akan terdengar sopan jadi kuteruskan, “kau punya jam?” Kulihat dia mengeluarkan ponselnya dan melihat penanda waktu di sana, “Hampir pukul sembilan.” Jawabnya. “Ish, sial!” gerutuku lagi tanpa berterima kasih untuk dia yang sudah memberitahuku. Aku memalingkan wajahku darinya, berpura sibuk sendiri dan berharap dia tidak memerhatikanku atau mencium bau badanku yang tidak karuan pagi-pagi seperti ini, belum lagi dengan pakaianku yang sangat kotor, aku yakin kalau dia akan jijik denganku. Kupejamkan mataku rapat-rapat dan berharap dia tidak melihat bagaimana wajahku sekarang, karena aku bisa merasakan kalau wajahku terasa sangat panas dan malu yang luar biasa. Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya tuhan.... _
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN