“Sudahlah, aku akan menunggu pemilik cincin ini kembali.” Ujarku dan berjalan menjauh darinya. Tapi, entah bagaimana, orang itu malah mengekor padaku seperti anak anjing yang baru saja dapat majikan baru.
Kuabaikan dia dan aku benar-benar tidak peduli dia mau apa dan bagaimana. Aku terus berjalan kembali ke tempat di mana aku meninggalkan bola juga tas sekolahku di sekitar tepi sungai. Dan saat aku tiba di sana, beruntungnya aku karena aku masih menemukan tas sekolahku juga bola yang kupinjam dari Kogure.
Aku tidak mengambil keduanya dan malah duduk di sana sambil membersihkan beberapa bagian tubuhku yang lumpurnya terlihat tebal dan sudah setengah kering.
Kupikir, setelah aku duduk di atas tanah bersama tas dan bola yang kupinjam, anak itu akan meninggalkanku dan pergi seperti tidak pernah ada apa pun, tapi ternyata tidak. Anak itu malah berdiri di sebelahku sambil terus melirik ke arahku.
“Se—sedang apa kau?” tanyaku penasaran. Tapi sepertinya, dia jauh lebih penasaran dengan apa yang kulakukan sekarang daripada menjawab pertanyaanku.
“Kenapa kau duduk di sana?”
“Membersihkan badanku.” Jawabku santai sambil terus menggosok lumpur kering dari celana dan bagian badanku yang lain.
Kupikir, setelah aku mengatakan itu dia akan pergi dari tempatnya dan meninggalkanku, ternyata tidak. Dia masih berdiri dan kali ini malah memerhatikan sungai di depan kami.
“Jadi kau lompat ke sana?” tunjuknya pada sisi sungai penuh lumpur bekasku naik setelah terjun ke sana.
“Ya,” jawabku asal.
“Luar biasa juga kau ini.” Lagi-lagi dia berkomentar. Tapi kemudian dia duduk di tanah yang tak jauh dariku.
“Ke—kenapa kau duduk di sana?”
“Tidak, aku sedang menikmati matahari terbenam saja.” Jawabnya dengan nada yang terdengar sama saat aku menginjak ponselnya hingga hancur. Dia sangat tenang dengan wajah tampan yang memesona. Ah, aku berani bertaruh kalau ada banyak sekali wanita yang mengelukan namanya.
Abaikan wajahnya.
Seperti yang dia bilang, kalau tempat ini memang terlihat sangat indah dengan pemandangan matahari terbenam yang menawan. Siluet senja benar-benar sangat eksotis di tempat ini, aku sendiri yang sudah sekolah di sini satu setengah tahun pun tidak pernah melihat pemandangan semacam ini sebelumnya.
“Kenapa kau menolong orang itu?” dia kembali bersuara.
“Ah, itu ... aku kasihan saja padanya, karena benda mahal begini bisa-bisanya dia buang begitu saja.” Jawabku penuh kebohongan.
Ya, aku bohong. Aku tidak mungkin mengatakan kalau awalnya aku mengira kalau orang yang membuang cincin ini akan bunuh diri, dan itu sangat memalukan.
Matahari terus terbenam, malam pun menjelang dan aku tetap duduk di sana sambil menunggu pemilik cincin itu kembali. Ya, aku yakin sekali kalau pemilik cincin itu akan kembali lagi untuk mengambil cincin ini kemari, tapi ... kalau pun tidak, kurasa aku akan menyimpannya sampai orang itu mencarinya padaku.
Sambil menikmati malam dan rasa dingin yang mulai menyelimuti tubuhku, aku mencoba memeluk lututku rapat, berharap aku bisa sedikit lebih hangat dengan pakaianku yang masih terasa basah.
“Hei,” panggilnya, “kau tahu di mana mini market terdekat dari sini?” tanyanya yang masih betah duduk di sebelahku.
Dua setengah jam lalu, dia mengusulkan padaku untuk menunggu di sini kalau aku memang yakin kalau pemilik cincin itu akan kembali ke tempat di mana dia membuangnya. Tapi kurasa, apa yang dia lakukan sedikit bodoh karena untuk apa dia menemaniku di sini sementara aku sudah membuatnya kehilangan benda mahal yang entah bisa kuganti atau tidak.
“Oh, ada di depan sekolahku.” Jawabku sambil menunjuk ke arah di mana sekolahku berada.
“Bisa mengantarku?”
“Tapi, bagaimana kalau pemilik cincin ini kembali?” jawabku ragu, tapi dia memelototiku dan bicara dengan suara yang terdengar sangat datar padaku.
“Bangun, dan antar aku! Aku tidak tahu wilayah di sini.”
“T—tapi?”
“Kau mau aku tersesat?”
Aku memutar bola mataku, orang ini kenapa sih? Memang dia ini makhluk dari mana sampai bisa tersesat di tempat yang hanya satu jalur seperti ini? Menyebalkan sekali. “Tentu saja tidak!” pekikku marah setelah itu karena kesal aku langsung menarik tangannya ke min market yang dia inginkan.
“Mini marketnya ke sebelah sini!” suaraku setengah membentak.
Setibanya kami di sana, aku meninggalkannya dan berjalan ke arah show case dan mengambil sebotol air mineral. Setelah itu aku kembali ke arah kasir yang melihatku menelisik seperti jijik dan khawatir kalau aku akan mengotori toko dengan pakaianku yang penuh lumpur meski sebagian sudah terlihat kering di beberapa bagian.
Selesai membayar air mineral, aku melihat dia kembali bersama beberapa cup mie instan, sosis pak, sekaleng kecil kaleng acar timun, sebungkus rumput laut kering dan dua botol air mineral.
“Beli sebanyak itu memangnya kau kelaparan, ya?” protesku tapi dia tidak menjawab sama sekali. Dan aku juga hanya bisa diam sampai kami kembali lagi ke tempat terakhir kami berada.
Aku dan dia langsung duduk di atas rumput yang sama di depan sungai.
Sementara dia mulai membuka semua makanan yang dia beli, aku hanya meminum air yang kuambil dari show case. Tapi setelah dia selesai membuka semua makanannya, dia memberikan satu cup mie instan itu padaku.
“Makanlah.” Ujarnya.
“He?”
“Sejak tadi kau duduk sambil memeluk lutut, aku tahu perutmu kosong, makanlah.”
“Tidak, itu milikmu.”
“Tenang saja, aku juga tidak akan menganggap ini sebagai hutang.”
Aku meneguk ludahku saat dia menawariku makanan, sungguh, makanan itu terlihat sangat lezat dan kupikir aku memang kelaparan sekarang, lagi pula ini memang sudah malam dan aku juga baru makan siang hanya sepotong roti yang diberikan bibi pagi tadi saat aku meninggalkan rumah.
Jadi tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil makanan itu darinya dan memakannya sangat lahap. Terserah kalau dia akan memanggilku sebagai manusia rakus, yang penting perutku kenyang dan aku tidak akan punya hutang dalam bentuk apapun.
“Pwah~ makanannya enak sekali~” ujarku lega.
“Hei.” Panggilnya.
“Hm? Oh, terima kasih untuk makanan yang ka—“
“Itu.” Tunjuknya ke arah di mana ada seorang pria yang sedang sibuk mengais lumpur di dalam air sungai.
Aku memicingkan sepasang mataku, mencoba melihat siapa sebenarnya orang itu dan seketika aku tahu siapa dia dari gesturnya ketika dia berdiri.
“Wah! Itu orangnya!” teriakku kemudian berlari ke arah pria itu. Meninggalkan dia yang masih makan.
“Paman! Paman kau mencari ini?!” teriakku setelah berada sangat dekat dengannya.
Orang itu seketika langsung naik ke permukaan saat aku menunjukkan kotak cincin yang dia buang ke sungai tadi sore.
“Syukurlah~” ujanrya lega, “terima kasih, terima kasih.”
Ulang pria itu berkali-kali hingga akhirnya dia beranjak pergi meninggalkanku sambil melambaikan tangannya dan beberapa kali membungkuk padaku.
“Bagaimana?” tanya anak yang baru saja memberiku makanan.
“Dia bilang dia salah paham,” jawabku seperti tahu apa yang ingin dia tanyakan, “sudahlah, aku mau pulang. Terima kasih makanannya.” Ujarku kembali ke tempat di mana aku meninggalkan tas dan bola yang kupinjam dari Kogure.
Sialnya, kupikir dia akan meninggalkanku sendirian setelah itu, tapi ternyata tidak. Dia terus mengekor padaku dan menatapku seperti aku ini baru saja berbuat buruk padanya. Baiklah, aku memang sudah berbuat buruk padanya, tapi bukan berarti dia bisa menguntitku seperti ini, bukan?
Tiba di stasiun pun dia masih begitu. Meski kami duduk jauh-jauhan tapi tidak membuatnya bicara satu kata pun padaku.
“A—aku akan turun di stasiun ini, terima kasih untuk makan malamnya.” Ujarku sesaat sebelum kereta berhenti di stasiun.
Meski aku bicara dengan nada yang sangat sopan, tapi dia sama sekali tidak keras dan malah lebih terdengar sangat sopan pun dia tetap tidak memberikanku respons apa pun. Dia hanya berkedip dan tidak meresponku, karena hal itu aku juga tidak ingin bicara apa pun lagi, aku langsung turun saat kereta berhenti, sementara dia tidak terlihat akan turun juga di stasiun yang sama denganku.
Hanya saja, setelah aku turun aku kembali berbalik dan melihat ke arahnya lagi. Di dalam kereta, dia sama sekali tidak menengok untuk melakukan seperti yang kulakukan, dia terlihat seperti fokus dengan apa yang dia kerjakan sendiri.
Kupikir, aku memang sudah berbuat salah tadi.
Merusak ponselnya yang berharga, dan mungkin saja dia sedang berusaha menghubungi seseorang di luar sana yang berpotensi membuat mereka bertengkar. Tapi aku berjanji, aku akan mengganti ponsel yang pernah kuhancurkan dulu.
Tapi sekarang, mungkin aku harus pulang dulu, mandi dan mengganti pakaianku karena rasanya badanku sudah tidak enak, lengket dan bau.
“Sou!”
Teriak suara yang kukenal.
Itu KenKen. Sambil mendorong sepedanya, temanku itu mendekatiku Teresa-gesa.
“Ken? Sedang apa?” tanyaku, karena aku tahu kalau dia tidak tinggal di sini. KenKen tinggal cukup jauh dari rumah paman dan bibiku, mungkin sekitar satu stasiun jika jalan kaki, tapi melihat dia mengayuh sepeda untuk datang kemari, kurasa memang ada hal penting hingga membuatnya datang.
“Sedang apa? Aku tadi ke rumah pamanmu, dan mereka bilang kalau kau belum pulang. Dari mana saja kau?”
“Aku? Aku baru pulang dari sekolah.” Jawabku apa adanya. Ya ... memang aku dari sekolah, tapi aku sedikit main dulu sebentar di sungai sampai seperti ini.
“Kau ... habis dari mana?”
“Se—kolah~”
KenKen langsung memukul kepalaku, membuatku mengaduh dan memegang kepalaku yang baru saja dapat pukulan darinya. “Kenapa memukulku?!”
“Ini karena kau tidak bisa serius. Dari mana kau sampai pakaianmu penuh lumpur seperti itu?”
“A—aku baru saja menolong orang yang mau bunuh diri.”
“Bunuh diri?”
“Y—Ya! Bunuh diri. Tapi, sekarang dia sudah pulang ke rumahnya dengan selamat.” Setelah mengatakan itu aku hanya bisa nyengir kuda. Aku tidak tahu KenKen akan percaya atau tidak, tapi setelahnya KenKen mengajakku untuk pulang bersama, meski sebenarnya rumah kami sama sekali tidak searah, tapi Kenken bersedia mengantarku hingga tiba di rumah paman dan bibiku.
Sepanjang jalan aku terus mengoceh dan bicara omong kosong,
“Terima kasih banyak.”
“Tidak masalah, lain kali kalau kau mau pulang terlambat, beri tahu paman dan bibimu, mereka khawatir.” Ujar KenKen kemudian mengusap pucuk kepalaku sebelum pergi meninggalkanku tepat di depan pintu rumah paman.
_