Riri bangun hampir tengah hari. Ia terlonjak bangun dan mengecek keadaan kasurnya. Tak ada bau pesing di sana, malahan yang ada bau aneh yang tak Riri kenali. Riri menarik seprai lembut yang melapisi kasur. Ia akan mencucinya. Dengan memeluk sprei didepan dadanya Riri menapaki tangga mencari keberadaan Hendrik. Tapi yang ia temukan hanya beberapa orang pelayan.
"Maaf Riri mau tanya tempat nyuci di mana ya?" tanya Riri kepada seorang pelayan.
Pelayan itu memberi hormat lalu menjawab, "Sorry mevrouw, ik begrijp niet wat u zegt."*
*Maaf Ma’am, saya tidak mengerti apa yang Anda katakana.
Riri berkedip. Apa itu tadi? Riri tak mengerti. Apa tadi dia sedang bernyanyi? "Kamu ngomong apa? Riri gak ngerti."
"Sorry, mevrouw, ik begrijp het niet."**
**Maaf, Ma’am saya tidak mengerti.
"Kamu kalo ditanya jawab dong! Jangan malah nyanyi kayak gitu. Itu gak sopan namanya." Riri kesal dibuatnya.
"Nona Riri maafkan teman saya. Ia tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia ataupun Inggris. Sekali lagi maaf." Pelayan wanita yang kemarin Riri temui datang dengan napas yang terengah. Riri mengangguk mengerti.
"Em Nona apa yang Nona butuhkan?" tanyanya lagi.
"Aku ingin mencuci ini, ada noda yang berbau." Riri menunjuk gulungan kain di pelukannya.
"Biarkan saya saja yang mencucinya. Sebaiknya Nona mandi dan berpakaian nanti saya akan membantu Nona. Tuan Hendrik berpesan bahwa untuk makan siang, tuan Dawson meminta makan siang di luar. Dan sepertinya sebentar lagi sudah waktunya nona pergi."
"Ta-tapi—“
"Tidak ada tapi-tapian Nona. Tuan Dawson tidak suka pada orang terlambat."
"Em terima kasih ...?" Riri menggantung kalimatnya.
"Fany. Panggil saya Fany." Fany meraih gulungan seprai kotor yang Riri bawa.
"Terimakasih Fany. Aku akan kembali ke kamar." Riri pamit lalu berlari kecil menaiki tangga. Tidak butuh waktu lama hingga Riri selesai membersihkan diri. Terlihat ia sudah keramas, rambut hitamnya terlihat basah. Fany datang ketika Riri sedang memilih pakaian. Riri memerah ketika Fany menyiapkan pakaian mulai gaun hingga pakaian dalam yang akan Riri pakai. Sebuah gaun santai bermotif bunga menjadi pakaiannya siang ini.
"Nona mari saya keringkan rambutnya."
Riri duduk di meja rias, Fany meraih pengering rambut dan mulai mengeringkan dan menata rambut Riri. Riri meminta Fany menata rambutnya sesuai dengan keinginan Riri. Riri terlihat manis dengan rambutnya yang diikat tinggi menjadi dua, dan poni halus jatuh Dengan cantik di keningnya, beberapa helai rambut dibiarkan membingkai wajahnya. Dengan ukuran tubuh dan gaya rambutnya, Riri tampak seperti anak kecil. Namun Riri senang dengan penampilannya kini.
"Mari Nona, sudah saatnya Anda berangkat."
Riri mengikuti Fany yang telah melangkah terlebih dahulu. "Em Fany, apakah kauakan ikut?" Riri bertanya ragu.
"Ya Nona. Karena saya pelayan pribadi Nona, maka saya akan ikut kemanapun Anda pergi." Fany menjawab ramah.
Riri mengangguk. Ia masuk ke dalam sebuah mobil sedan silver yang telah terparkir di depan pintu utama. Sedangkan Fany duduk di samping supir. Mobil berjalan menuju tujuan.
Riri menikmati pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan. Sepertinya kembar Dawson tidak suka keramaian, sebab mansion kali ini pun terletak jauh dari rumah-rumah mewah lain. Mension kembar Dawson dikelilingi lapangan golf yang luas, taman bunga, hingga padang rumput yang indah.
Pemandangan yang Riri lihat berubah menjadi perumahan rumah mewah hingga gedung-gedung pencakar langit. Mereka sudah masuk pusat kota. Tak berapa lama mobil berhenti. Fany dan supir turun terlebih dahulu. Riri yang akan membuka pintu didahului oleh supir yang telah membukakan untuknya.
"Terimakasih Paman." Riri tersenyum pada sopir itu. Sopir itu mengangguk dan tersenyum membalas Riri.
"Mari Nona." Riri turun dan berdiri di depan restoran mewah. Ugh perutnya telah mulai berbunyi, ia berharap semoga perutnya tak berbunyi terlalu keras.
Riri mengikuti Fany yang memasuki pintu restoran. Riri tak terlalu mengerti apa yang dibicarakan oleh Fany dan pelayan restoran itu mereka berbicara terlalu cepat dengan bahasa Inggris pula. Yang Riri tahu pasti Fany menarik Riri menaiki tangga menuju lantai atas. Riri melewati kursi dan meja-meja yang tertata rapih. Terlihat hampir terisi penuh dengan pria dan wanita yang berpakaian mewah.
Riri diminta memasuki sebuah ruangan privat kembar Dawson yang berada dilantai atas restoran. Benar saja disana telah ada kembar Dawson yang duduk dengan santai menunggu dirinya, dan ada Hendrik yang lagi-lagi berdiri disamping Farrell. Farrell tampak menawan dengan setelan jas kantornya.
Riri ditarik duduk disamping Bri. Kini mereka duduk mengitari meja makan bundar beralas kain putih bersulam mawar merah dibeberapa bagian. Hendrik memberikan isyarat pada pelayan untuk menyiapkan makan siang, lalu ia pamit untuk meninggalkan mereka.
Sebuah hidangan pembuka dihidangkan. Riri hanya menyentuh sedikit menu itu, ia merasa aneh dan tidak terlalu suka dengan menu itu. Lalu masuk hidangan utama. Riri berbinar melihat potongan daging kecoklatan di piringnya.
Tapi Riri terlihat kesusahan memotong daging yang akan ia makan. Riri menatap bingung pisau makan yang berada ditangannya, lalu meletakan kembali pisau itu.
Riri pikir lebih baik makan dengan caranya sendiri. Maka dengan sedikit kasar Riri menusuk daging itu dengan garpu lalu menggigitnya langsung. Kembar Dawson yang mengamati langsung tersedak bersamaan.
Sedari Riri muncul mereka sudah menahan untuk tidak melakukan hal-hal aneh pada Riri. Mereka sangat gemas dengan Riri yang tampak sangat imut dengan rambutnya yang dikat tinggi menjadi dua bagian. Lalu sekarang tingkahnya tampak sangat lucu dimata mereka. Riri menggigit dagingnya dengan semangat tak memperdulikan saus yang telah menodai bibir dan pipinya.
"Riri suka?" tanya Bri.
Riri mengangguk antusias hingga rambutnya bergoyang. "Riri suka, tapi kenapa gak ada nasinya? Gak baik ngegado lauk kayak gini Kak."
Kembar Dawson terkekeh keras. Fathan mengangkat salah satu tangannya dan memberikan isyarat agar pelayan pria yang berada di dekat pintu mendekat. Sekedar informasi, pelayan yang melayani makan siang mereka semuanya laki-laki. Karena kembar Dawson tidak suka pelayan wanita yang cenderung ceroboh jika berhadapan dengan mereka.
"Bawakan satu mashed potato," ucapnya.
"Riri kami lupa, kalau kautidak bisa makan tanpa nasi, di sini tidak ada nasi. Tak apa kan jika diganti dengan kentang?" tanya Fathan.
"Gak apa-apa. Kan kentang juga karbohidrat, meskipun nasi lebih enak." Riri tersenyum manis, memhuat kembar Dawson menahan napas mereka serentak.
Pesanan khusus untuk Riri datang. Riri tersenyum, berterima kasih pada pelayan yang juga tersenyum, pelayan itu sedang mencoba menarik perhatian Riri. Kembar Dawson yang melihat itu langsung menatap tak suka dan mengancam, pelayan itu bergetar samar dan segera undur diri.
Riri menyendok satu sendok penuh mashed potato ke dalam mulutnya. Sedikit terasa aneh di lidah Riri, tapi tak lama Riri merasa terbiasa dengan makanan yang ia kunyah. Ia akan kembali menggigit dagingnya tapi ditahan oleh Hugo.
"Riri biar Kakak bantu untuk memotong nya." Riri mengangguk.
"Untuk sekarang makan dulu punyaku." Hugo menyodorkan piringnya yang dagingnya telah dipotong-potong kecil.
Riri menggeleng. "Enggak. Riri, mau daging Riri."
Hugo segera memotong daging milik Riri dengan cepat, tidak mau membuat Riri menunggu lama. Riri berterima kasih ketika daging miliknya telah terpotong-potong rapih. Riri memilih menuangkan daging, saus dan sayuran miliknya ke piring yang berisi mushed potato. Lalu mengaduknya agar tercampur.
Riri tampak sangat serius melakukannya. Kembar Dawson tampak lebih tertarik mengamati kegiatan Riri daripada memakan makan siang mereka. Mengamati wajah Riri yang terlihat imut ketika berusaha fokus pada sesuatu.
Brian meraih serbet, dan menolehkan wajah Riri. "Riri kemari, biar Kakak bersihkan wajahmu dulu." Bri mengusap bibir dan pipi Riri yang belepotan saus daging. Bri menelan ludah ketika jari tangannya menyentuh kulit bibir dan pipi Riri yang terasa sangat lembut.
"Makasih kak Bri. Sekarang Riri boleh makan?" tanya Riri, Bri mengangguk kaku.
Riri makan dengan lahap hingga makanannya habis. Riri minum air putih dan selesai, Riri tidak memakan makanan penutup yang disediakan. Ia terlalu kenyang, setelah minum air putih sekali lagi, acara makannya benar-benar telah selesai.
"Makasih makan siangnya!" Riri berseru ceria sambil menatap satu persatu kembar Dawson. Mereka mengangguk kaku ketika melihat senyum yang mengembang manis di wajah Riri.
"Sekarang lebih baik kita ke kantorku. Ada masalah penting yang harus kami bicarakan denganmu Riri." Farrell berdiri lalu diikuti dengan Riri dan yang lainnya. Riri naik mobil yang sebelumnya ia tumpangi dengan Fany. Mobil Riri mengikuti mobil Farrell yang sudah melaju. Lalu diikuti beberapa mobil hitam di belakangnya.
Riri menengok ke kanan dan ke kiri terlihat sangat antusias dengan yang ia lihat sepanjang jalan. Mobil yang mereka tumpangi berhenti didepan perusahaan yang tinggi menjulang. Riri harus mendongak agar melihat keseluruhan bangunan, ujung gedung itu tampak berkilat terkena cahaya matahari.
Riri mengikuti langkah kembar Dawson. Ia melihat Hendrik yang telah berdiri di pintu masuk perusahaan. Riri melirik sebuah tulisan emas yang membentuk huruf F.A.Dawson Company. Singkatan nama kak El toh. Gumam Riri dalam hati.
Banyak karyawan yang membungkuk pada kembar dawson dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Riri. Riri diarahkan untuk memasuki sebuah lift oleh Fany. Lift khusus yang hanya boleh dinaiki oleh kembar Dawson. Riri ditarik oleh Fathan memasuki lift itu, sedangkan Hendrik dan Fany menaiki lift yang lain.
Tiba di lantai teratas, Riri kembali dibuat takjub dengan apa yang ia lihat. Salah satu sisi dinding lantai teratas itu terbuat dari kaca bening, memungkinkan kita untuk melihat pemandangan diluar. Riri ditarik menuju sebuah pintu besar yang berada diujung lorong. Ada sebuah meja yang berada didekat pintu tersebut. Seorang wanita berpakaian khas kantoran berdiri dan memberikan hormat pada kembar Dawson.
"Selamat siang tuan Dawson."
"Siang Kith. Kautampak makin manis saja." Goda Hugo. Namun Kith sama sekali tidak terpengaruh, ia terlihat biasa saja.
"Ayo masuk!! Dan Kith jangan biarkan seorangpun memasuki ruangan ku untuk beberapa jam ke depan!" perintah Farrell. Kith mengangguk mengerti.
Farrell duduk di sofa hitam yang berada di ruang kerjanya. Saudara kembarnya dan Riri ikut duduk di satu set sofa itu. "Riri kautahu bukan, ada hal penting yang harus kami bicarakan denganmu?" tanya Farrell. Riri hanya mengangguk mengiyakan.
"Kami berencana memasukkan kakakmu kedalam penjara dengan hukuman semaksimal mungkin, karena telah menyiksa dan menjualmu." Hugo menjelaskan. Riri terkejut. Ia menggeleng cepat, meskipun kakaknya telah berbuat jahat, tapi ia tak mau kakaknya itu masuk penjara. Apalagi dengan hukuman maksimal, berarti ada kemungkinan ia dihukum mati.
"Ja-jangan. Jangan hukum kak Linda," Riri memohon.
Fathan menggeleng. "Jangan membelanya Riri!! Ia benar-benar harus dihukum. Bukan hanya menyiksamu secara fisik tapi juga ia menyiksa mentalmu Riri."
"Ta-tapi Kak Athan, cuma Kak Linda keluarga Riri. Riri udah maafin Kak Linda kok. Jadi jangan hukum Kak Linda."
"Jika tidak menghukumnya, kau akan dalam bahaya. Apakah kau ingat pria yang mengejarmu ketika kita bertemu?" Farrell angkat bicara, Riri mengangguk dengan tubuh yang mulai bergetar mengingat kejadian malam itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa Riri trauma karena kejadian tersebut.
"Pria itu bukan pria biasa, ia terlibat jaringan bisnis gelap bawah tanah berbahaya. Ia bisa menemukanmu," lanjut Farrell.
"Jangan menakutinya Farrell!" Bri berseru.
"Tapi ia memang harus tahu apa yang sebenarnya terjadi Bri. Riri, kami hanya ingin melindungimu." Hugo menarik perhatian Riri. Riri menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
"Enggak, Kak Linda gak boleh masuk penjara hiks, cuma Kak Linda yang Riri punya hiks." Riri mulai menangis. Meskipun Riri mencoba membenci Linda, tetap saja ia tak bisa. Linda keluarganya.
"Jangan keras kepala Riri!" Farrell membentak. Riri menangis bertambah keras karena mendapatkan bentakan yang tak diduga.
"Sttt Riri, dengarkan Kakak, kalau benar Riri tidak ingin Linda masuk penjara ada satu hal lagi yang bisa melindungi Riri," jelas Bri. Riri menyusut ingus dan air matanya dengan telapak tangannya. Pipi dan ujung hidung Riri sudah memerah, membuat kembar Dawson merasa iba karenanya.
"A-apa hiks, Ri-Riri mau ngelakuin apapun. Asal jangan masukin kan Linda ke penjara." Riri masih sesenggukan.
Bri mengangguk menatap ketiga saudaranya. "Kami pegang ucapanmu Riri, apapun akan kamu lakukan bukan? Asal kakakmu itu tidak masuk penjara?" tanya Fathan. Riri mengangguk sambil terisak. Kembar Dawson tersenyum samar.
Satu masalah telah selesai
Fathan, Hugo, dan Bri pamit ketika mereka mendapatkan panggilan dari pekerjaan masing-masing. Mereka pamit dan meninggalkan Riri dengan Farrell. Sebenarnya tak tega meninggalkan riri dalam keadaan seperti ini. Tapi Farrell menyuruh mereka untuk segera menyelesaikan masalah mereka. Riri masih sesenggukan dan Farrell sama sekali tidak berniat untuk membuatnya lebih tenang.
"Tunggu di sini Riri aku ada meeting, kita pulang bersama. Hendrik akan ikut denganku. Sedangkan Fany ada diluar. Panggil dia jika butuh sesuatu." Farrell meraih tas laptop miliknya dan melenggang meninggalkan Riri yang masih sesenggukan tak terkendali, sampai ia tersedak ludahnya sendiri.
Sekembalinya Farrell dari meeting, ia mendapati Riri yang tertidur. Ia meringkuk dengan wajah basah dan ingus yang mengalir. Perpaduan sempurna, hingga terlihat seperti … anak terlantar?
Farrell mengebuskan napas. Ia meraih tisu dan dengan serius mengelap pipi serta ingus Riri. Sedangkan Riri masih terlelap dengan damai. Setelah selesai, Farrell kemudian menggendong Rirri menuju pintu belakang perusahaan di mana mobil telah disiapkan.
Riri bergumam tidak jelas dan mencari posisi nyaman saat dirinya telah didudukkan di pangkuan Farrell. Riri kemudian sibuk menggesek hidungnya setelah menemukan posisi nyaman.
Tahan Farrell, ini hanya sebentar. Rahang Farrell mengeras diiringi perubahan wajah tampannya menjadi memerah. Tangannya terkepal erat saat napasnya mulai memberat karena merasakan hembusan napas hangat Riri yang menembus kemeja putihnya.
Farrell mengerang kesal ketika mobil yang ia tumpangi tak kunjung sampai di mansion. Setibanya di mansion, Hendrik membukakan pintu mobil. Saat Farrell membawa Riri ke luar, gadis mungil itu malah semakin bergelung nyaman dalam tidurnya.
“Hendrik, siapkan upacara untuk malam ini,” ucap Farrell sembari meniti anak tangga. Hendrik yang mendengar perintah tersebut segera menyanggupinya.
***
Riri terbangung tepat saat jam dinding berdentang dengan keras. Fany yang memang tengah menunggu bangunnya Riri tanpa banyak bicara segera menarik Riri ke kamar mandi dan memandikan nona mudanya itu.
Kegiatan mandi Riri sempatberlangsung lama, karena Riri yang menolak untuk dimandikan. Tapi untungnyaFany telah terlatih dengan baik dan menyelesaikan tugasnya denga efisien. Kini Riri teahtampil cantik dengan gaun putih elegan yang membalut tubuh mungilnya. Wajahnya yang manis juga telah sedikit dipoles bedak tipis serta perona. Tampilan Riri tampak berbeda dari biasanya.
Setelah selesai, Fany segera menghidangkan makan malam yang telah disipakn untuknya. Riri makan dengan lahap, untungnya kegiatan makan itu tak merusak semua riasan yang telah diterapkan padanya.
“Fany, memangnya ada acara apa sampai aku didandani seperti ini?” tanya Riri setelah menyelesaikan makan malamnya.
“Saya sendiri tidak tahu, Tuan yang akan menjelaskan,” jawab Fany sembari tersenyum.
Riri mengangguk dan beranjak mengiuti Hendrik yang beberapa saat kemudian menjemputnya. Riri dibawa menyusuri lorong panjang dengan ujung sebuah pintu besar. Pintu terbuka, dan Riri bisa melihat kembar Dawson yang tampak rupawan. Mereka mengenakan setelan jas dan rambut yang ditata serupa. Ah, untung saja Riri telah mengenal keempatnya dengan baik, jadi dirinya tak merasa kebingungan dengan pemandangan ini.
“Riri, kemari,” panggil Fathan sembari mengulurkan tangannya. Ia mengambil langkah dan menurut untuk mendekat. Riri kini telah berada di tengah keempatnya, ia mengedarkan pandangan dan meneliti ruangan yang dihiasi beberapa lukisan cantik.
“Apa sekarang sudah bis adimulai?”
Riri dikejutkan dengan kehadiran seorang pria asing yang berpakaian aneh. Pria itu menatap Riri beberapa saat sebelum memberi hormat padanya. Riri memiringkan kepalanya, tapi ia tak berkomentar lebih jauh.
Riri kemudian di tarik menuju meja kecil yang tingginya mencapai perut Riri. Farrell kemudian berbisik. “Ingat pembicaraan kita tadi siang. Kauharus mengikuti perintah kami. Maka sekarang diam, dan menurutlah!”
Riri hanya mengangguk patuh. Ia malah sibuk mengamati sebuah mangkuk emas yang berada di meja. “Apa itu emas asli? Kalau dijual laku berapa ya?”
Pria asing berpakaian aneh terlihat mendekat dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan tersebut ada helaian benang yang telah dipotong sama panjang. “Tuan-Tuan, mari ambil masing-masing sehelai benang.”
Kembar Dawson tampa menjawab bergerak dan mengambil seheali benang. Kemudian Farrell meraih tangan Riri dan mengikat ujung benang miliknya di jari manis Riri, sedangkan salah satu ujung benang lainnya ia ikatkan di jari manisnya sendiri.
Riri bingung, tapi tak berani bertanya. Langkah Farrel tersebut akhirnya diikuti oleh Bri, Hugo dan Fathan. Selesai, kembar Dawson berdiri mengelilingi meja di haapan mereka. Tangan Riri diraih oleh Farrel, lalu sengatan kecil terasa di ujung jari manisnya. Refleks, Riri menarik tangannya dann melihat ujung jarinya mengelarkan darah.
Farrel kemudian enarik jarinya sendiri, diikuti oleh ketiga saudaranya setelahnya. Darah dari kelimanya dibiarkan menetes pada masngkuk. Menjadikan mangkuk berisi air bening tersebut berubah menjadi merah kehitaman. Semakin lama, dasar mangkuk semakin terlihat, saking pekatnya warna air.
“Mijnheer, doe alsjeblieft meteen het ritueel,”* ujar pria asing itu.
Kembar Dawson sendiri mengangguk mengerti, menyisakan Riri yang masih kebingungan. Farrell kemudian menarik tangan Riri, diikuti tangan Farrell, Bri, Hugo, dan Fathan.
Riri tidak mengerti, sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan saat ini? tapi pikirannya buyar saat merasakan benang yang mengikat jari manisnya secara perlahan mengencang, menekan jarinya dengan kuat. Riri ingin menarik tangannya tapi langsung ditahan leh Farell. Pria itukemudian memberikan tatapan tajam yang membuat Riri menciut.
Riri yang engerti, segera menunduk. Dalam diam menahan rasa sakit yang masih mencengkram jarinya. Perlahan rasa sakit itu menghilang. Kemudian tangannya ditarik oleh Farrell, dan betapa terkejut dirinya saat melihat benang yang mengikat jarinya telah hilang. Yang terrsisa hanya empat garis merah di jari manis Riri, dan sebuah garis merah di setiap jari manis kembar Dawson.
Fathan dengan lembut mengelap tagan Riri yang basah. Ia kemudian ditarik meunuju Hendrik yang telah bersiap di sudut ruangan dengan kertas yang menghampar di atas meja.
“Sekarang letakkan ibu jarimu di sini!” Bri menyodorkan sebuah wadar berisi cairan berwarna merah keunguan.
“Lalu letakkan ibu jarimu di kertas-kertas ini,” Bri mengarahkan Riri untuk menempelkan ibu jarinya di setiap kertas yang disiapkan Hendrik.
Setelah lembar kedelapan, kertas-kertas tersebut segera dibereskan oleh Hendrik ke dalam map cokelat besar.
“Selamat, sekarang pernikahan kalian telah resmi,” ucap si pria aneh. Ia menatap Riri dengan tatapan penuh arti, sebelum membungkuk dan undur diri bersama Hendrik.
“Me-menikah? Tunggu, siapa yang menikah? Riri? Dengan siapa?” tanya Riri panic.
“Kita sudah menikah Riri,” jawab Fathan.
“Jadi Riri nkakh sama Kak Athan? Tapi, Riri masih kecil. Lagia, kapan kita mengucap janji pernikahan?” tanya Riri bertubi-tubi.
“Untuk pertanyaan perrtama, kautidak menikah dengan Fathan saja,” jawab Hugo.
“Kausudah cukup umur untuk menikah Riri,” Bri menimpali.
“Barusan kausudah menyetujuinya. Kaumemberikan cap ibu jari di kertas-kertas tadi.” Fathan tersenyum.
“Mengenai siapa yang telah menikah denganmu. Jawabannya … “ Farrel menjeda dan mengawasi reaksi Riri. “… kami. Kami telah menikahimu.” Farrel akhirnya bersuara.
Riri tersentak terkejut bukan main dengan fakta yang baru ia dengar. Riri menggeleng panik. “Bohong! Aku nggak mungkin nikah sama empat pria sekaligus! Kalian gila!”
“Iya, kami tergila-gila padamu.” Fathan terkekeh dan mencolek dagu Riri. Riri menepisnya dengan kasar dan melotot padanya, tapi Fathan terkekeh senang.
“Gak beradab! Kalian bertingkah seakan bukan manusia!” desis Riri tajam. Kembar Dawson tertegun saat melihat sikap Riri yang jauh berbeda daripada biasanya.
“Kami memang bukan manusia seutuhnya. Kehidupan kami didapat dari sebuah pengorbanan serta perjanjian dengan dunia yang tak kaukenali,” ucap Farrell sembari melangkah menuju Riri yang terlihat semakin syok. Ia meraih Riri ke dalam pelukannya.
“Tapi satu yang bisa kami janjikan, kami tidak akan pernah melukaimu. Jangan takut,” bisik Farrell sembari membelai punggung Riri yang sukses membuatnya menggigil ketakutan.
Belaian lain terasa di kepala serta lengan bagian atasnya. “Riri, sekarang kauadalah istri kami. Kauharus mengingatnya,” bisik Bri.
“Dan sudah kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya. Perkataan seorang suami adalah hukum mutlak bagi seorang istri,” timpal Fathan.
“Kini, tugas pertamamu adalah melayani kami, sebagai seorang istri yang sesungguhnya.”
Riri menegang saat tiba-tiba Farrell mengecup bibirnya, lalu melanjutkannya dengan sebuah pagutan dalam. Kecupan-kecupan basah lainnya, ia rasakan disepanjang tengkuk, pundak serta jemarinya. Riri menggeleng, berusaha untuk melepaskan diri dari rengkuhan Farrell.
Beberapa saat kemudian, Farrel melepas ciuman panjangnya dan bersimpuh di hadapan kaki Riri. Setelah itu meraih kedua kaki untuk merenggangkannya, sebelum menciumi paha Riri yang masih dilapisi gaun putihnya. Riri yang mendapatkan perlakuan seperti itu untuk pertama kalinya jelas terkejut dan berontak. Tapi, para suaminya tampak tak peduli dan terus melanjutkan kegiatan mereka.
Riri merintih dalam tangisnya. Tapi wajahya malah ditarik menyamping agar memudahkan Bri untuk memagut bibirnya. Sedangkan d**a Riri yang masih terlapisi gaun dengan baik mulai dipijat dan diciumi oleh Hugo. Seangkan Fathan masih asyik mencecap setiap inci leher putih Riri.
Beberapa saat kemudian tubuh Riri bergetar dan melonjak-lonjak, Bri segera melepaskan pagutannya dan membiarkan Riri untuk bernapas dengan bebas. Riri mengeleng histeris, “Arghh Riri mau pipis, mau pipis!” Tubuh Riri gemetar hebat, tapi Farrell masih gencar dengan aksinya. Ia memeluk kaki Riri dengan kuat, tak membiarkan Riri melarikan diri.
Sedetik kemudian Riri mendongak dan menjerit, “Arght!” Tubuh Riri melengkung indah sebelum melemas tanpa daya. Ia mendapatkan sesuatu yang aneh untuk ketiga kalinya dalam hisupnya. Riri bergetar kecil. Farrell berdiri. Tersenyum puas melihat keadaan Riri.
Farrell berdecak kagum melihat keadaan Riri. Wajah Riri memerah dengan air mata uang membasah pipinya. Air liurnya terlihat menetes melewati dagunya. Di lehernya terdapat bercak-bercak merah yang indah. Turu ke dadanya hingga bagian bawah perutnya, bagian gaunnya di san atampak kumal dan basah.
Riri mengatur napasnya yang memburu. Ia bersandar di d**a Bri, yang berdiri di belakangnya. Bri sendiri melingkarkan tangannya tepatdi bawah d**a Riri. Farrell mengelus pipi Riri dengan lembut. “Bawa dia ke kamar utama!” perintah Farrell.
Riri diputar agar berbalik menghadap Bri, lalu digendong olehnya, Riri digendong seperti oala di depan d**a Bri. Kedua kaki Riri ditahan oleh Bri di samping tubuhnya, gaun Riri tersingkap hingga pahanya yang masih memiliki memar terlihat. Kedua tangan Riri diletakkan di pundak Bri. Kepala Ririr tergolek lemas di salah satu pundak Bri.
Bri membawa Riri ke dalam lift yang berada di ruangan tersebut. Fathan dan Hugi bergantian memberikan kecupan di bibir dan ppi Rirri. Riri sendiri tak menolak, lebih tepatnya tak bisa meolak saking lemas dirinya.
“Jangan tertidur. Karena malam ini baru akan dimulai,” gumam Farrell di dekat telinga Riri lalu menggigit kecil telinga Riri dengan gemas.