Kasih yang Baru

1995 Kata
    "Dia demam. Dokter bilang demamnya bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama karena ia berada di bawah hujan ketika tengah malam. Kedua, karena syok akan suatu hal." Hugo menatap wajah Riri yang sudah memiliki rona, berbeda dari beberapa jam yang lalu ketika mereka baru saja memeriksakan Riri pada dokter yang bertugas di pesawat pribadi kembar Dawson.     "Kausudah menyelidiki apa yang telah terjadi Bri?" Farrell bertanya dengan rahang yang mengeras.     "Dia hampir dilecehkan. Riri dijual kakaknya sendiri," jawab Bri datar, sorot matanya tampak tajam, berbeda dari biasanya.     "s**t! Kaudengar itu Farrell, kita hampir kehilangan Riri karena meninggalkannya sendiri!" Fathan berteriak emosi, dan langsung ditahan oleh Hugo.     "Tenanglah Fathan! Kaubisa membangunkan Riri, dia masih membutuhkan istirahat!" Hugo berseru menenangkan. Fathan menurut dan kembali duduk.     "Maka, setelah kita sampai. Segera kita adakan upacara pernikahan," Farrell berujar datar.     "Tidak langsung. Kita harus menunggu Riri kembali pulih. Karena kita tahu betul, karena upacara pengikatan tentunya harus segera dilaksanakan setelahnya," Bri memberikan pendapat, ia mengelus pipi Riri yang terlihat masih tembam seperti dulu pertama kali mereka bertemu. Riri memang tampak sama sekali tidak berubah dari terakhir mereka temui. Tidak ada yang berbeda. Mungkin Riri telah berhenti tumbuh, pikir Bri. Tinggi dan berat badannya masih sama, malah tinggi Riri sepertinya telah berkurang.     Kembar Dawson mengangguk setuju dengan pendapat Bri. Lalu mulai terlelap ketika beberapa saat memastikan Riri masih dalam keadaan nyaman dalam tidurnya. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan udara, pesawat kembar Dawson telah mendarat dengan mulus di bandara milik mereka, Dawson Airport. Riri mengerang ketika tubuhnya diangkat dengan pelan oleh Fathan. Dengan perlahan Riri membuka matanya.     "Kak Athan, Riri haus," bisik Riri pelan, Hugo bergerak cepat dan mengambil segelas air mineral dan menyodorkannya pada bibir Riri. Riri duduk di pangkuan Fathan dan minum dengan rakus hingga terbatuk keras.     Hugo menarik gelasnya ketika Riri terbatuk-batuk. Ia mengelap dagu Riri yang basah dengan lembut, "Hei pelan-pelan. Tidak ada yang akan mencurinya darimu." Dan kembali menyodorkan gelas ketika Riri tampak sudah tenang.     Setelah Riri puas dengan minumnya, Fathan kembali menggendong Riri didepan tubuhnya. Riri terlihat bingung, apalagi ketika ia telah dibawa turun dari pesawat. Udara dingin menerpa wajah Riri. Riri mengerutkan keningnya.     "Selamat datang di tanah kelahiran kami Riri."     Riri berkedip mencoba mengolah informasi yang ia dapat. Tanah kelahiran? Bukannya kakak kembar, bule? Bukan kelahiran Indonesia kayak Riri, berarti orang luar negeri dong. Tunggu, luar negeri?!! Demi apa, Riri sekarang diluar negeri! Riri memekik dalam hati dan membulatkan matanya mengedarkan pandangannya. Entahlah Riri tak yakin ini di mana. Riri masih bergelut dengan pikirannya hingga ia merasakan bahwa tubuhnya sudah tidak terombang-ambing lagi. Riri sudah didudukan didalam sebuah mobil panjang yang Riri tak tahu namanya. Ia duduk diapit Bri dan Fathan. Sedangkan didepannya duduk Farrell denganan wajah datar, dan Hugo yang tersenyum manis.     "Ah aku sudah sangat rindu padamu Riri." Hugo tersenyum menatap Riri yang sedang mengedarkan pandangannya.     "Riri juga udah pengen ketemu Kak Ugo." Fathan hampir menyemburkan tawanya ketika mendengar panggilan Riri untuk Hugo, entahlah padahal ini bukan pertama kalinya tapi Fathan sama sekali belum terbiasa. Fathan menggigit bibir bawahnya, menahan tawa yang sudah berada di ujung lidahnya. Ia tak boleh tertawa atau Riri akan sedih karenanya.     "Apa yang telah terjadi selama kami tidak berada di dekatmu?" Bri bertanya sambil meraih helaian rambut hitam legam Riri. Riri tak menjawab ia memilih menunduk, matanya membulat mendapati pakaian yang ia kenakan. Ini bukan bajunya.     "Pramugari yang menggantikan pakaianmu."     Wajah Riri merah padam ketika ia mengingat, bahwa kemarin ia tidak mengenakan pakaian dalam yang lengkap. Riri tak memakai bra! Ia berdoa semoga ia tidak akan bertemu dengan pramugari itu lagi. Ia malu.     Perjalanan yang cukup memakan waktu itu diisi kembar Dawson dengan bertanya mengenai Riri, meskipun mereka sudah tahu semuanya. Termasuk memar-memar ditubuh Riri. Mengingat itu rahang kembar Dawson mengeras. Mereka mulai memikirkan hukuman apa yang pantas yang akan diberikan pada Linda.     Aura di dalam mobil mulai berubah, Riri mengkerut karenanya. Ia tahu, kondisi hati kembar Dawson di depannya ini mulai memburuk. Entah kenapa, Riri tak tahu. Yang jelas, sekarang ia mulai takut. Mobil berhenti dan Riri ditarik turun oleh Bri dengan lembut. "Selamat datang di rumah kita."     Mulut Riri terbuka. Katakan saja bahwa ia kampungan, karena memang benar adanya. Riri terlihat sangat kagum dengan apa yang ia lihat. Sebuah rumah yang sangat besar, itu yang dipikirkan oleh Riri. Riri ditarik kembali oleh Bri memasuki pintu mansion kembar Dawson yang tinggi. Riri sontak berlari ketika melihat Hendrik yang berdiri tak jauh darinya. Ia menubruk Hendrik, memeluknya dengan erat.     "Hendrik, Riri kangen!" Riri berseru ceria. Hendrik yang tak menyangka akan mendapatkan terjangan, sama sekali tak berkutik. Tubuhnya sedikit terhentak kebelakang, ketika Riri menerjang memeluknya dengan erat. Setelah sadar, Hendrik akan membalas pelukan Riri, tapi ia mendapatkan tatapan tajam penuh peringatan dari tuan kembarnya. Maka ia berdehem dan merenggangkan tangan Riri yang melingkari perutnya.     "Selamat datang Nona Riri," Hendrik berujar datar. Riri mengangguk ceria. Suara batuk dan deheman menarik perhatian Riri. Riri berbalik dan melihat kembar Dawson yang menatap Riri dengan pandangan yang Riri tak mengerti.     "Ayo kami tunjukan kamarmu." Pundak Riri didorong lembut oleh Hugo. Riri menurut. Setelah menaiki tangga, Riri dan kembar Dawson tiba dilantai dua tepatnya disebuah pintu bercat putih. Hendrik membukakan pintu.     Bri menarik Riri masuk. Riri mengedipkan matanya lagi. Ini luas, lebih luas dari pada kamar yang pernah ia tempati dulu dikediaman Dawson di Indonesia. "Untuk sementara kaubisa menempati kamar ini," Fathan berujar.     "Jika ada yang kaubutuhkan panggil Hendrik atau salah satu dari kami," Hugo menambahkan.     "Sekarang istirahatlah." Bri mengusap puncak kepala Riri.     "Setelah makan malam akan ada yang harus kami bicarakan denganmu Riri." Farrell melirik pada Riri. Memberi isyarat kepada kembar Dawson dan Hendrik agar membiarkan Riri istirahat.     "Selamat istirahat Nona Riri." Hendrik menutup pintu pelan setelah kembar Dawson ke luar. Riri mengedarkan pandangannya mengelilingi kamar yang akan ia tempati.     "Apa yang harus kulakukan?" Dan Riri memutuskan untuk melihat-lihat kamar untuk menghabiskan waktu. Riri suka dengan dinding kamar yang dicat putih gading ini. Riri melangkah mendekati pintu yang ia anggap sebagai pintu kamar mandi. Tapi salah, dibalik pintu itu bukan kamar mandi yang ia dapati. Riri melenggang masuk pada ruangan yang tampak penuh dengan pakaian-pakaian yang cantik, menurut Riri. Riri mulai tenggelam dengan acaranya menatap dan menyentuh gaun-gaun yang tertata indah di sana. ***     Gaun tidur yang sopan dan paling sederhana menjadi pilihan Riri ketika ia mencari pakaian yang cocok untuk ia kenakan. Karena sudah malam menurutnya ini yang paling cocok. Riri memang sedikit bingung dengan ruangan penuh pakaian yang berada di kamarnya. Apakah ia boleh memakai pakaian-pakaian itu?     Setelah menanyakannya pada Hendrik, Riri tahu bahwa itu memang diperuntukan untuknya. Dan dengan berhati-hati, Riri memutuskan memilih pakaian paling sederhana yang Riri pikir merupakan pakaian dengan harga termurah di sana. Ketika ketukan pintu terdengar, Riri langsung beranjak membuka pintu.     "Nona Riri, Tuan Dawson telah menunggu untuk makan malam." Riri mengangguk dan mengikuti pelayan wanita itu. Riri sedikit bingung, padahal pelayan itu berwajah keturunan asing seperti kembar Dawson, tapi ia lancar berbahasa Indonesia. Mungkin karena kembar Dawson juga lancar berbahasa Indonesia, jadi pelayannya pun sama.     Sebenarnya Riri tak suka dengan panggilan nona yang disematkan sebelum namanya. Tapi setelah beberapa kali meminta Hendrik dan para pelayan merubahnya, Riri tahu jika mereka akan terkena hukuman karena itu. Jadi Riri anggap panggilan nona sama dengan panggilan Eneng, panggilan khas yang biasanya Riri dapatkan.     Butuh beberapa kali berbelok dan melewati beberapa lorong panjang, hingga Riri tiba pada pintu besar di ujung lorong. Pintu terbuka dan terlihatlah kembar Dawson yang tampak menawan dengan pakaian santai mereka. Riri gugup ketika akan duduk, posisi duduknya sama seperti ia dulu makan pertama kali dengan kembar Dawson.     "Mari makan." Farrell membuka makan malam.     Tidak ada pembicaraan, hanya ada denting suara alat makan yang beradu. Hendrik berdiri disamping Farrell mengamati para pelayang yang hilir mudik melayani tuan-tuannya. Tidak butuh waktu lama untuk para Dawson selesai menyantap makan malam, sedangkan Riri yang belum selesai dengan tidak rela meletakkan sendok dan garpunya di piring.     "Habiskan makanmu!" Farrell bersuara. Riri menurut, matanya mengamati para pelayan yang membawa piring-piring kotor sisa Dawson dan datang para pelayan baru yang membawa sebuah botol berleher panjang dan gelas-gelas berkaki.     Mulut Riri tidak henti-hentinya mengunyah makanan yang ia suapkan. Para pelayan meletakkan gelas berkaki dihadapan kembar Dawson. Lalu menuangkan isi botol yang mereka bawa. Cairan berwarna merah keunguan terlihat mengisi gelas itu.     Riri menelan makanan yang ia kunyah. Menatap Hugo yang menyesap minuman itu dengan nikmat. Juga Farrell yang menghirup dan menyesapnya sedikit, tampak sangat menikmati cairan merah itu. Riri menelan ludah, sepertinya enak, gumamnya dalam hati. Riri selesai makan. Pelayan membereskan piring.     Bri yang sedari tadi memperhatikan Riri, tersenyum. Ia tahu pasti bahwa Riri ingin mencoba minuman beralkohol yang mereka konsumsi.     "Riri tidak boleh minum ini. Belum waktunya," ucap Bri lalu menyesap cairan dalam gelasnya. Riri berkedip, belum waktunya?     "Hendrik bawakan s**u cokelat hangat untuk Riri." Fathan bersuara. Tak lama satu gelas cokelat hangat telah berada dihadapan Riri.     "Minumlah!"     Riri mengangguk dan meminum s**u kesukaannya itu. Satu gelas tandas dengan cepat. Efek kenyang dan cuaca dingin membuat mata Riri mulai sayu. Ia mengantuk. Bayang-bayang tidur di kasur empuk, sudah bergelayut di kelopak matanya.     Melihat itu Farrell mendengus. "Sepertinya lebih baik besok saja kita bicarakan hal pentingnya. Sekarang semuanya istirahat." Farrell berdiri dan pergi tanpa berbicara apa-apa lagi tak lupa membawa gelas yang ia pegang. Fathan dan Hugo berdiri bersama lalu menghampiri Riri, mengelus puncak kepala Riri bergantian.     "Selamat malam Riri."     "Semoga mimpi indah."     Fathan dan Hugo berlalu. Tinggal Bri yang melakukan hal yang sama dengan Hugo dan Fathan. Hendrik berdehem ketika Riri masih terpaku dengan keterkejutannya, ia mendapatkan perlakuan yang manis dari kembar Dawson.     "Nona Riri mari?" Hendrik menunjukan jalan menuju kamar Riri.     Sebuah helaan napas terdengar ketika Riri telah ditinggalkan sendiri di kamarnya. Riri mengantuk tapi ia belum ingin tidur, maka ia melangkah menuju jendela kaca besar. Ia duduk disebuah bantal besar yang menenggelamkan tubuhnya.     Riri menatap langit yang tampak penuh dengan bintang. Riri bersyukur kini ia telah jauh dari kakaknya, ia tidak akan merasakan siksaan dan tidak akan mendapatkan pelecehan lagi.     Di sini Riri mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tak ia dapatkan dari kakaknya. Riri tersenyum. Kembar Dawson dan Hendrik memang orang asing, tapi Riri merasakan bahwa mereka memberikan kasih sayang yang tulus padanya. Riri yakin, mereka tak punya keinginan lain dibalik sikap mereka yang baik padanya.     Riri harap semua ini bisa bertahan lama. Dan untuk kedepannya Riri pikir, ia akan bekerja sebagai pelayan atau sejenisnya di rumah besar ini. Tidak mungkin bukan jika ia hanya menumpang tanpa berbuat apapun disini. Setidaknya Riri dapat menyumbangkan tenaga untuk mengganti uang makan dan balas budinya pada kembar Dawson.     Tak berapa lama Riri telah terkantuk-kantuk. Ia merubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Memposisikan dirinya agar lebih tenggelam dalam bantalan empuk yang terasa hangat di kulit Riri. Masih dalam keadaan diantara sadar dan tak sadar, Riri merasakan tubuhnya melayang lalu diletakkan disebuah tempat yang lembut dan empuk.     Kecupan basah Riri dapatkan dipipi tembamnya. Disusul usapan halus di rambut turun hingga pundaknya. Remasan lembut Riri rasakan di jemarinya. Riri ingin membuka matanya tapi terasa sulit.     “Sttt tidur Riri. Sudah malam.”     Lalu sebuah remasan di d**a Riri membuatnya terlonjak kaget, disusul jemari lengan kanannya yang dihisap satu persatu. Sebuah benda lunak terasa menyusup ke s**********n Riri, membuat Riri hampir memekik karenanya. Riri ingin membuka mata, tapi tidak bisa!!     Riri mulai menangis merasakan rasa asing yang dulu pernah sekali ia rasakan. Gelenyar asing yang merambat dari perut bawahnya, lalu menjalar ke seluruh sendi tubuhnya. Panas. Sesuatu yang panas kini Riri rasakan. Perut bawahnya menegang kuat. Riri sudah tak tahan. Tapi Riri tak tahu apa yang sebenarnya kini ia tahan.     “Lepaskan Riri!”     Lalu Riri menjerit tanpa suara. Sebuah pelepasan yang tak Riri mengerti. Riri mengira ia pipis. Ia terisak hebat, takut jika besok ia akan terkena marah Hendrik dan kembar Dawson ketika mereka mendapati kasur mereka yang mewah berbau pesing karena pipis Riri.     “Sttt tenanglah. Jangan khawatir.”     “Kau harus terbiasa Riri.”     “Ini tak apa. Tidurlah!”     Kantuk terasa menggelayuti Riri kembali. Sebuah usapan lembut di pipi dan rambutnya, mengantarkan Riri dalam tidur lelapnya. Tidur nyaman yang selama ini Riri inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN