Petaka Hujan
Seorang gadis mungil berlari-lari kecil di bawah derasnya hujan yang mengguyur kota metropolitan yang tampak sibuk. Gadis berambut hitam sepunggung yang diikat tinggi itu, memegang payung dengan erat. Lalu senyum manis terlihat terbit di bibirnya, ketika ia melihat seorang pria berjas necis akan ke luar dari sebuah kafe.
"Tuan, ojek payungnya?" Gadis itu tersenyum sambil menyodorkan payung yang tadi ia gunakan, mengangkat tinggi tangannya membiarkan tubuhnya terguyur derasnya air hujan yang dinginnya terasa menusuk tulang. Pria di hadapannya menarik payung yang ada dihadapannya dan mulai berjalan meninggalkan gadis mungil yang kini berjingkrak-jingkrak senang karena mendapatkan orang yang menggunakan jasanya, tak mempedulikan tubuhnya yang kini basah kuyup.
Langkah gadis itu terhenti ketika pria yang menggunakan payungnya berhenti dihadapan mobil hitam mengkilap yang terlihat mewah.
"Siapa namamu?" Akhirnya pria itu bersuara.
"Nama saya Asri, tapi biasa dipanggil Riri." Riri menjawab dengan senyum manis yang tak luput. Pria itu mengangguk lalu membuka pintu mobil bagian belakang. Ia masuk dan duduk dengan nyaman, setelah menyerahkan payung pada Riri.
"Berapa yang harus kubayar?" tanya pria berjas.
"Lima belas ribu saja, Tuan."
Lalu pria itu merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan dompet, ia mengeluarkan selembar uang kertas berwarna merah. Dan mengulurkan tangannya pada Riri yang masih berdiri di bawah payung di hadapan pintu mobil yang terbuka lebar.
"Em Tuan, saya tidak punya kembaliannya. Apakah tidak ada uang kecil?" Riri menatap uang yang berada di hadapannya, dengan uang itu ia bisa bersantai selama seminggu tanpa harus bekerja keras mencari uang untuk makan.
"Ambilah!" ujar pria itu datar, sambil menggoyangkan tangannya yang masih terulur memegang uang kertas itu. Dengan ragu Riri menjulurkan tangannya dan hendak meraih uang itu. Tapi secepat mata berkedip, secepat itu pula Riri ditarik kedalam mobil dan kehilangan kesadarannya.
***
Pria berjas necis itu menggendong seorang gadis mungil yang tak sadarkan diri, memasuki sebuah rumah mewah yang tampak sepi. Ia berdiri disebuah pintu besar berwarna coklat tua. Tanpa menyentuhnya sedikit pun, tiba-tiba pintu coklat itu terbuka. Pria berjas necis itu kemudian memasuki ruangan di balik pintu coklat yang kembali tertutup sendiri.
"Ah kau sudah kembali Hendrik?" Seorang pria tua bertubuh tambun bertanya pada pria berjas yang masih menggendong gadis mungil itu.
"Iya Tuan,” jawab Hendrik lalu dengan perlahan Hendrik meletakan gadis yang ternyata Riri dilantai dingin itu.
"Kau sudah memastikan asal usulnya bukan?" Tanya pria tambun itu lagi sambil melangkah mendekati Riri yang masih terpejam, wajah Riri mulai pucat karena kedinginan.
"Ya Tuan, saya sudah memastikan. Ia hanya tinggal dengan seorang kakak perempuan yang tidak peduli dengan dirinya. Dan saya yakin kakaknya sama sekali tidak akan mencarinya jika ia hilang." Hendrik menjelaskan dengan tegas ketika tuannya meraih dagu Riri dan menatap wajah kecil Riri lekat-lekat.
"Aku yakin dia masih suci. Cepat persiapkan semuanya. Tengah malam ini, aku ingin melaksanakannya!" perintah pria tambun itu lalu melangkah meninggalkan Hendrik yang kini meraih tubuh Riri dan membawanya ke sebuah ruangan yang lain.
Hendrik memanggil seorang pelayan wanita dan memerintahkannya menggantikan pakaian Riri yang basah kuyup dengan gaun hitam yang telah ia siapkan sebelumnya. Hendrik berbalik memunggungi Riri yang kini sedang digantikan pakaiannya. Setelah mendengar pelayan yang membantunya melaporkan bahwa Riri telah siap, Hendrik berbalik dan menatap Riri yang memang telah berganti pakaian dengan gaun hitam yang jatuh tepat di pertengahan betisnya. Tali gaun itu sangat tipis, berbentuk spaghetti.
Dengan sedikit hentakan gaun itu pasti bisa lepas dari tubuh kecil Riri.
Gumaman dari bibir Riri menyadarkan Hendrik yang masih menatap wajah Riri. Beberapa detik kemudian Riri sadar dan tersentak ketika ia melihat pria yang tadi menyewa jasa ojek payungnya berdiri dan menatap datar padanya. Riri bangkit, tubuhnya langsung bergetar samar ketika ia menyadari bahwa ia sedang berada di suatu tempat yang ia tak kenali.
"Tu-tuan kenapa saya ada di sini?" Riri bertanya terbata dan ia baru sadar bahwa pakaian yang ia kenakan bukan pakaian miliknya.
"Da-dan ini bukan bajuku. Kembalikan bajuku!" Riri berteriak sambil memeluk dadanya yang menerawang. Riri memerah. Belum pernah ia memamerkan bagian tubuhnya seperti ini. Hendrik bergeming. Lalu suara dentingan jam dinding mengumumkan bahwa sekarang sudah tengah malam.
Hendrik menghela napas lalu menarik siku Riri dengan kasar. Riri berontak. Ia tak mau mengikuti pria yang kini menariknya. Riri menjerit tapi tidak membuahkan hasil. Riri masih saja menjerit dan menangis hingga ia berhenti sejenak ketika ia ditarik menuruni sebuah tangga menurun yang disampingnya hanya ada dinding-dinding kusam dengan beberapa lampu kecil yang menerangi.
Riri tertatih ketika sikunya kembali ditarik dengan kasar, beberapa kali kakinya tidak pas menapaki tangga dan harus menubruk punggung Hendrik. Hendrik dan Riri telah sampai disebuah ruangan luas yang Riri yakini berada di bawah tanah.
Dinding-dindingnya terbuat dari tanah sedangkan lantainya terbuat dari campuran semen yang tampak halus dengan pola-pola aneh yang tak Riri kenali. Dan tak jauh dari tempat Riri berdiri ada pria tambun yang berdiri di tengah ruangan. Kekehan mengerika terdengar bergema menyebabkan tubuh Riri semakin bergetar ketakutan. Ia ingin pulang. Ini bukan tempatnya.
Riri tersentak ketika pria tambun itu sudah berada di hadapannya. Riri beringsut berusaha menjauh, namun sayang tangannya telah diraih terlebih dahulu oleh pria tambun itu. "Gadis manis kita akan segera menikah. Ah salah. Maksudku, kita akan segera kawin." Lalu kekehan yang ditakuti Riri kembali terdengar.
"Cepat Hendrik!" pekik pria tambun itu sambil tersenyum m***m tepat dihadapan wajah Riri, Riri merengut dan mulai menangis. Riri takut, benar-benar takut.
Sedangkan Hendrik kini menarik sebuah tuas yang berada di dinding. Lalu lantai yang Riri pijak bergetar, lantai di tengah-tengah ruangan itu meluruh dan munculah sebuah ranjang antik dengan empat tiang disetiap ujung ranjang. Kelambu putih yang melingkupinya terlihat jatuh dengan anggun.
Riri mulai mengerti apa yang akan terjadi padanya. Ia tahu, apa yang disebut kawin. Karena dulu ketika ia kecil ia pernah melihat kucing kawin, yang menjadi tontonan ia dan teman-temannya semasa kecil di perkampungan.
Riri dipanggul. Ia berteriak histeris dan memukul punggung pria tambun yang menggendongnya dengan brutal. Tapi sia-sia karena kini Riri dihempaskan ke atas ranjang, disusul dengan tindihan yang membuat nafas Riri sesak dibuatnya. Riri berontak menjerit dan menggigit tangan pria tambun yang kini terpejam dan bergumam sesuatu yang tidak Riri mengerti.
Seketika pola-pola di lantai bersinar dan angin misterius berhembus menerbangkan kelambu. Riri semakin histeris ketika pria tambun yang menindihnya membuka mata lalu tersenyum lebar. Pria itu mendekatkan wajahnya berusaha memagut bibir kering Riri. Riri membuang wajahnya ke kanan dan ke kiri berusaha untuk menjauh. Tapi sebuah pukulan pada perutnya, membuat Riri melemas.
Pria tambun itu tertawa keras lalu kembali merunduk berniat mencium bibir Riri yang kini sudah lemas. Namun belum ia mendapatkan yang ia inginkan, tubuhnya telah terhempas dengan keras ke lantai dengan suara bedebum yang mengejutkan.
Riri membuka matanya dan melihat punggung lebar yang ia yakini milik pria, menghalangi pandangannya melihat keadaan pria tambun kurang ajar itu. Riri berusaha turun dari ranjang sembari memegangi perutnya yang masih terasa sakit. Ia menapaki lantai semen berpola yang kini telah berubah seperti semula.
"Selamat datang, Tuan."
Riri mengerutkan kening, ketika Hendrik sudah membungkuk dalam dan kepala yang menunduk pada pria yang masih memunggungi Riri. Pria itu tak menjawab ia hanya mengangguk.
"Tu-tuan Dawson! Kenapa kaubisa ada di sini?!" suara pria tambun itu kembali terdengar.
"Kenapa? Bukankah kausedang melakukan pesta pemanggilanku Erwin?" jawab pria yang dipanggil Dawson itu.
"Ka-kau! Sialan pantas saja aku selalu kalah bersaing dengan mu!" Erwin mengumpat lalu berdiri dan bersiap menerjang tuan Dawson yang masih berdiri dengan kedua tangan yang ia masukan pada saku celana bahannya. Namun sebelum kepalan tangan Erwin mengenai wajah tuan Dawson, tangan Erwin telah patah dengan suara berderak yang keras.
Riri membulatkan matanya kaget. Lalu sesuatu yang mengerikan terjadi. Kepala Erwin menggelinding tepat kearah Riri dengan matanya yang terbelalak merasakan sakit yang teramat ketika ajalnya dicabut. Riri berteriak histeris hingga kakinya mundur dengan langkah tergesa dan akhirnya tersandung kakinya sendiri dan terjatuh. Mata Riri beralih pada pria yang tadi berhadapan dengan Erwin, dan Hendrik yang berada disampingnya dengan sebuah pisau panjang berlumuran darah.
Riri mengarahkan matanya pada tangannya ketika ia merasakan sesuatu yang hangat mengenainya. Riri kembali histeris ketika melihat tangannya penuh dengan darah rembesan dari kepala Erwin yang terlihat membelalak. Bau amis dan karat memenuhi indera penciuman Riri. Riri mual, dan memuntahkan isi perutnya.
Riri kehilangan kesadarannya ketika ia tak sengaja kembali menatap mata Erwin dan tepat saat itu mata Erwin berkedip padanya. Riri menjerit, dan kegelapan menelan Riri sepenuhnya.