Petaka Telur Dadar

2840 Kata
    Riri terbangun di pagi hari dengan kekesalan yang memuncak. Tak ada satu pun suaminya yang menungguinya bangun, mereka pergi pagi-pagi sekali tanpa menitipkan pesan apa pun untuknya. Apalagi Riri terbangun tanpa sehelai pun kain yang membalut tubuhnya, ditambah dengan beberapa bercak merah keunguan yang tersebar di mana-mana.     Setelah sarapan dan berkeliling di taman bunga, Riri memilih mendekam di kamarnya. Riri menyalakan tv berlayar tipi lebar di kamarnya. Berasa nonton layar tancep, pikir Riri. Sekarang Riri sudah leluasa menonton acara televisi, karena ia sudah paham dengan bahasa Inggris, hal ini tak lepas dari kerja keras guru bahasanya itu. Riri meraih kentang goreng buatan Wany, sebagai camilannya hari ini.     Riri berniat menghabiskan waktunya seharian untuk menonton film dan acara lainnya, cara paling menyenangkan baginya untuk menghabiskan waktu liburnya sendirian karena Fany maupun Hendrik ia bebas tugaskan dari tugas harian mereka mengikuti Riri. Baru beberapa menit Riri menonton acara tv, Riri tersedak kentang goreng yang ia kunyah. Mata beningnya membulat kesal. Di layar kaca tampak Farrell berdiri berdampingan dengan seorang wanita dewasa yang cantik.     "Bagaimana perasaan Anda ketika hotel Anda mendapatkan predikat hotel dengan pelayanan terbaik?"     "Tentu saja aku senang. Ini tidak lepas dari kerja keras semua karyawanku. Dan di sampingku ini adalah kepala chef di hotelku. Karena kerja kerasnya, hotelku ini mendapatkan pujian karena hidangan yang menakjubkan," Farrell menjawab dengan tetap setia memasang ekspresi wajah datarnya.     "Ck. Gak usah muji-muji gitu! Tuh liat dia jadi geer!" Riri berteriak kesal sambil menunjuk garang pada wanita cantik di samping Farrell, wanita itu tampak bersemu mendapatkan pujian dari Farrell.     Perkataan Farrell yang lainnya tak Riri dengar lagi. Ia meraih remote tv dan memindahkan chanelnya. Dan lagi-lagi, acara mengenai kembar dawson yang Riri lihat. Hugo tampak tersenyum ramah. Ia sedang mengikuti acara talk show yang dipandu oleh seorang wanita yang lagi-lagi tampak dewasa dan cantik. Riri bergumam tak jelas.     "Kautentu sudah tahu dengan eksistensimu diantara para wanita di luaran sana. Jika boleh tahu, bagaimana kriteria wanita yang kausukai? Ini adalah pertanyaan terbanyak yang kami terima dari penonton di rumah," ucap wanita itu dengan godaan yang terselip di sana.     Hugo tertawa renyah. "Oh tidak banyak. Yang penting wanita itu adalah wanita seutuhnya, bukan wanita jadi-jadian, atau wanita yang tubuhnya dibentuk di sana-sini. Dan tentunya wanita harus yang cantik." Ia tersenyum dan mengerling pada pembawa acara yang kini mulai memerah.     Riri melemparkan kentang goreng yang ia pegang tepat pada wajah Hugo yang terpampang jelas di layar kaca.     "Dasar kadal!" Riri berteriak.     "Tapi aku dengar kausuka pada wanita yang pintar memasak untuk menjadi istrimu?" tanya wanita itu lagi.     "Tentu saja. Aku suka jika nanti, istriku menyambutku ketika aku pulang, dan memasakkan masakan yang enak untuk makan malam," jawab Fathan dengan senyum manis yang sama sekali tak surut.     "Ya udah, nikah aja sana sama cewe yang jago masak! Gak usah nikah sama aku!" Riri berteriak sangat keras hingga mengundang Fany dan Hendrik memasuki kamarnya dengan tergopoh-gopoh.     "Nona apa yang terjadi?" tanya Hendrik dengan wajah datarnya. Meskipun Riri sudah menjadi istri kembar Dawson, Hendrik masih ditugaskan untuk memanggil Riri dengan sebutan nona.     "Enggak! Jangan ngajak ngomong Riri! Riri lagi mogok ngomong." Riri melipat tangannya di depan d**a.     "Riri bilang ada apa?" tanya Fany sambil mengelus rambut Riri sayang.     "Jangan ngajak ngobrol Riri! Riri lagi mogok ngomong." lalu Riri melirik layar kaca yang masih menampilkan Hugo yang sedang tertawa lepas. "Riri kesel sama kalian!" teriak Riri lalu menangis keras sambil melempar kentang goreng tepat ke layar tv yang menayangkan Hugo.     ***       "Aku mendapatkan tanda itu," Bri berujar pada Hugo yang baru saja menyesap kopi hitamnya. Kini Bri dan Hugo sedang berada di perusahaan agensi milik Hugo.     "Maksudmu?" tanya Hugo bingung.     "Aku tahu tanda yang berada di pinggangmu, Hugo." Bri menyesap kopi hitamnya yang masih mengepul. "Dan aku baru mendapatkan tanda itu baru-baru ini." Bri menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.     "Jadi jelas. Kita yang harus pergi bukan?" Hugo tersenyum, tapi tak sampai pada matanya.     "Tapi ini jelas lebih baik. Riri harus ke luar dan diakui oleh dunia. Tapi bukan sebagai pendamping kita berempat. Hanya salah satu dari kita." Bri mendesah        "Dan siapa pun yang tak memiliki tanda ini, dialah yang harus memberikan pengakuan itu untuk Riri."     "Jelas waktu kita tidak akan panjang. Jadi kita harus memanfaatkan sisa waktu itu dengan sebaik mungkin. Karena setelah kita pergi, hanya akan ada satu orang yang dapat melindungi Riri," Bri menambahkan.     Kabar yang kemarin kembar Dawson dapatkan dari orang tua mereka memang sedikit mengejutkan. Sudah mereka ketahui, kalau kelahiran mereka adalah hasil dari pengorbanan kedua orang tua mereka pada iblis.        Mereka membawa kutukan ketika kelahiran mereka. Dan kutukan itu akan hilang dengan sendirinya ketika mereka memiliki keturunan. Satu kehidupan yang menyempurnakan kehidupan yang lainnya.     Ketika kehidupan yang berasal dari benih mereka tumbuh. Maka mereka berempat harus merelakan kehidupan yang mereka jalani berubah. Tak akan ada lagi kembar Dawson. Hanya akan ada satu orang tersisa yang menyandang nama Dawson dan menjadi penerus keluarga besar Dawson.     Sang iblis sendiri yang memilih siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus pergi. Dan ketika waktu telah diputuskan mereka harus menerimanya. Karena hanya dengan cara itu, sang iblis tak akan pernah menyentuh mereka lagi.     "Kita sudah mendapatkan titik terang. Aku yakin Farrell yang akan bertahan sementara kita akan pergi. Tapi sepertinya Farrell memiliki rencana lain mengenai ini. Setelah ada waktu. Mungkin Farrell akan mengajak kita berdiskusi," ucap Hugo.     Bri hanya mengangguk. Jelas di bagian terdalam hatinya, ia tak rela jika harus secepat ini meninggalkan Riri meskipun masih ada satu diantara mereka yang menjaga Riri. Bri dan Hugo menghela napas bersamaan. Ini sungguh berat.     ***       Riri mengetuk-ngetuk dagunya, wajahnya tampak sangat serius seolah memikirkan sesuatu yang sangat penting. Riri berdiri di hadapan pintu lemari pendingin yang terbuka. Lemari pendingin itu sangat besar, bahkan melebihi tinggi Riri sendiri. Tadi setelah puas menangis ditemani Fany dan Hendrik, Riri mendapatkan ide yang brilian. Riri akan memasak!     "Riri masak apa ya?" Riri bertanya dengan wajah serius pada Wany, juru masak di mansion kembar Dawson.     "Nyonya lebih baik saya saja yang memasak, Nyonya tinggal katakan apa yang ingin Nyonya makan," Wany memelas, susah sekali berbicara dengan nyonya yang bebal ini.     "Enggak. Riri mau masak sendiri. Riri mau nunjukin kalo Riri juga bisa masak. Dan satu lagi, Riri gak suka dipanggil Nyonya." Tadi ia sampai berdebat dengan Hendrik dan Fany ketika meminta izin untuk memasak makan malam. Tapi dengan trik air mata buaya, Riri dengan mudah mendapat izin dari mereka.     "Tapi Nyonya, eh maksud saya Nona nanti Tuan Dawson akan marah." Wany kembali memelas.     "Ya, jangan sampe mereka tahu. Udah Riri mau masak." Riri mengambil beberapa bahan yang ia perlukan dari lemari pendingin yang masih terbuka dihadapannya. Riri berbalik dengan bahan-bahan yang berada di pelukannya. Ia berjalan menuju kitchen set yang tampak mewah dan lengkap. Riri meletakkan bahan-bahan itu di atas meja.     "Nona mari saya bantu." Salah satu anak buah Wany mendekati Riri.     "Enggak perlu. Riri bisa sendiri. Kalian kerja lagi aja. Masak menu yang udah kalian tentuin," ucap Riri tanpa mengalihkan perhatiannya dari bahan masakan miliknya. Riri mulai mengupas wortel yang masih segar dan memotongnya menjadi dadu. Lalu mengambil kentang, brokoli, dan kol putih.     "Apa yang akan Nona masak?" Wany bertanya ketika ia membantu menyiapkan peralatan yang mungkin akan Riri butuhkan.     "Sop ayam, sama telor dadar. Cuma itu yang Riri yakin masih inget cara masaknya." Riri mencuci bahan sop ayamnya.     "Em tapi Riri gak nemu daging ayam. Apa Riri ganti daging sapi aja? Tapi kalo daging sapi lama empuknya," Riri bergumam. Setelah berpikir agak lama. Riri memutuskan mengganti masakannya menjadi sop daging sapi dan telur dadar.     "Wany boleh minta ambilin daging sapi?" Wany mengangguk antusias karena merasa keberadaannya akhirnya terasa berguna, ia segera mendekati lemari pendingin khusus daging.     Jemari mungil Riri mengiris tipis daun bawang dan seledri untuk bahan pelengkap sop daging buatannya. Lalu mengiris daun bawang dan bawang bombai untuk bahan telurnya. Riri mengambil mangkuk kecil dan menyisihkan irisan bawang daun itu. Riri mengambil daging sapi yang dibawakan oleh Wany dan berusaha memotongnya menjadi dadu kecil-kecil. Ia mencuci daging itu dan memasukkannya kedalam panci yang di dalamnya telah terisi air yang mulai mendidih.     Riri beralih mengambil mangkuk kaca dan memecahkan beberapa butir telur, dan Riri tidak memperhatikan jika ada beberapa pecahan kulit telur yang jatuh kedalam mangkuk. Riri memasukan potongan daun bawang, irisan bawang, garam dan sedikit merica. Riri dengan semangat mengocok telur hingga teraduk rata.     "Nona biarkan saya bantu. Saya khawatir Nona akan terkena minyak," Wany memohon, dan diangguki oleh Riri. Riri mengijinkan Wany membantunya. Hanya sekedar membantu menyiapkan minyak dan kompor, tidak dengan memberikan bumbu dalam masakan Riri.     Setelah berkutat dengan masakannya. Riri tampak tersenyum manis melihat masakannya yang telah berpindah ke mangkuk dan piring berwarna putih yang elegan, masakan Riri siap untuk disajikan.     "Terima kasih Wany sudah membantuku."     "Sama-sama Nona. Itu sudah tugas saya." Wany membungkuk hormat.     "Em tapi, jangan sampai suami-suamiku tahu kalau ada masakan yang aku buat sebagai menu makan malam nanti ya. Aku mohon," Riri memohon sambil menatap Wany dengan raut memelas andalannya, pipinya memerah ketika memanggil kembar Dawson sebagai suaminya. Wany mengangguk setuju.     Setelahnya Riri berlari-lari kecil dengan senandung riang yang ia keluarkan. Ia harus mandi dan segera bersiap menyambut suami-suaminya. Riri membayangkan reaksi-reaksi yang akan diberikan oleh suaminya nanti. Ia harap mereka suka dengan masakannya. Riri turun ke lantai satu setelah siap dengan gaun tidur putihnya. Riri tersenyum ketika suaminya baru saja memasuki mansion.       Dengan segera, Riri meraih satu persatu tangan kembar Dawson dan mencium punggung tangan mereka. "Selamat datang. Riri udah nunggu loh. Ayok makan, apa mau mandi dulu?" tanya Riri riang     "Seperti biasa Riri, kami mandi dulu," jawab Bri. Riri mengangguk.     "Seperti biasa juga, bajunya udah Riri siapin. Riri tunggu di ruang makan ya!" Lalu berlalu dengan langkah yang berjingkrak-jingkrak, menampakkan bahwa kondisi hati Riri sangat baik.     Kembar Dawson tampak kebingungan dengan tingkah Riri yang sangat ceria, dan mereka menahan nafas ketika Riri masih saja berjingkrak-jingkrak ketika menaiki tangga.     "Riri!" Kembar Dawson berseru bersamaan.     Riri berhenti, berbalik dan bertanya dengan pandangannya. Apa?      "Jangan lari ketika naik tangga!" Farrell berseru dengan rahang mengeras.     "Iya, maaf." Lalu Riri kembali melangkah dengan berhati-hati.     Hanya butuh waktu dua puluh menit, dan kembar Dawson telah duduk dengan rapi di meja makan. "Selamat makan." Farrell memulai. Riri tersenyum manis, berharap agar lauk yang ia buat akan diambil oleh para suaminya. Riri sengaja meletakkannya di tempat yang strategis, tepat di tengah meja, jadi bisa dilihat dari mana saja.     Tapi setelah menunggu beberapa lama, menu yang ia buat sama sekali tidak disentuh. Riri mulai murung karenanya. "Tuan, ada menu baru yang dibuat untuk makan malam ini. Kenapa tuan tidak mencobanya?" Hendrik angkat bicara ketika menangkap mendung yang bergelayut di wajah Riri.     "Menu baru?" Fathan bertanya.     "Iya tuan, sop daging dan telur dadar," jawab Hendrik sembari menunjuk makanan yang ia sebutkan.     "Aku tidak suka makanan seperti itu," ucap Farrell datar.     "Aku tidak suka makanan berkuah," Bri menimpali.     "Tidak cocok untuk makan malam." Hugo tampak tak tertarik.     "Tidak enak dilihat." Fathan mengernyit menatap telur dadar yang terlihat pucat dengan beberapa bagian yang hampir gosong.     Riri mencengkram sendok yang ia pegang dengan erat. Suami-suaminya tampak benar-benar tidak menyukai makanan yang ia buat. Katanya mereka suka istri yang pinter masak. Tapi sekalinya aku masak, masakan aku malah dihina gitu!! Riri menahan tangisnya yang akan meledak.     "Buang saja."     "Lagian masih banyak makanan yang lebih layak bukan?"     "Katakan pada Wany, jangan biarkan siapapun memasak yang seperti ini lagi!"     "Ah singkirkan telur yang hampir gosong itu! Merusak pemandangan saja."     Cukup!     Riri berdiri dan mengambil mangkuk sop daging buatannya. Ia meletakkan kasar mangkuk itu diatas piringnya. Lalu menyuap satu sendok penuh kuah sop itu, hambar, dagingnya alot. Tapi tanpa peduli, Riri kembali mengambil piring telurnya dan menyuap satu potongan besar, asin. Riri meringis dalam hati.     Mulut Riri penuh dengan telur dan sayuran. Riri mulai berkaca-kaca, ia menunduk dan kembali meraih sendok akan menyuap lagi, tapi tertahan oleh sebuah tangan kekar yang menggenggam tangannya itu.     "Kenapa?" tanya Farrell, kerutan tampak jelas di keningnya.     Riri tak menjawab. "Riri coba bilang ke Kakak, kamu kenapa sayang?" Bri mengelus pundak Riri.     Tampak kesal karena tak dipedulikan oleh Riri, Farrell meraih rahang Riri agar mendongak menatapnya. "Jangan seperti anak kecil, Riri! Aku tanya kau kenapa?" Farrell bertanya keras dengan rahang gemeretak. Sungguh ia tak senang jika istrinya berani mengabaikan dirinya seperti ini.     Bukannya menjawab, Riri malah menangis dengan suara yang keras. Riri sesenggukan hingga ia tersedak makanan yang belum ia telan secara sempurna. Hugo dan Fathan yang berada di seberang meja langsung bergerak mendekat, khawatir dengan Riri yang permukaan wajahnya hampir berwarna merah sepenuhnya.     Bri meraih gelas air putih dan menyodorkannya pada Riri yang masih terbatuk disela tangisannya. Riri yang masih menangis, langsung menepis gelas itu hingga jatuh dan menimbulkan suara yang nyaring.     "Riri!"     "APA! Ka-kalian sendiri yang bilang, su-suka istri yang pinter ma-sak. Ta-pi Riri u-dah masak malah dihina, bahkan kalian belum nyobain satu suap pun!" pekik Riri dengan suara yang persis seperti tikus yang terjepit.     Riri teringat dengan wajah Farrell dan Fathan yang tampak berseri ketika berbicara dengan para wanita dewasa itu. Lalu wajah Farrell ketika memuji chef wanita yang pintar memasak. Riri juga pengen dipuji kayak gitu! Riri menjerit dalam hati.     Kembar Dawson tersentak. Jadi tadi makanan yang ditawarkan oleh Hendrik adalah masakan istri mereka? Masakan yang dihina-hina oleh mereka itu?! Riri masih sesenggukan, pipi dan hidungnya sudah memerah total.     "Jangan seperti anak kecil Riri. Kami akan mencoba masakanmu kalau kaumengatakan jika kauyang memasaknya." Farrell mencoba menjelaskan.     "Aku emang masih kayak anak kecil, terus kenapa? Kenapa kalian nikahin aku yang kayak anak kecil gini? Nikah aja sana sama cewe yang dewasa sama pinter masak!" teriak Riri. Ia berdiri dan menerobos Hugo dan Fathan yang berdiri disampingnya, ia berlari mencoba meredakan sesak yang memenuhi rongga dadanya.     "Riri benci sama kalian. Jangan tidur dikamar!" pekik Riri.     Wahh ini kiamat! Pekik kembar Dawson dalam hati.   ***       Kembar Dawson tampak uring-uringan ketika Riri mengunci diri setelah ia menumpahkan kekesalannya pada mereka karena mereka yang menghina masakan Riri. Maka dengan inisiatif yang tinggi, kembar Dawson memerintahkan agar Hendrik mengatur piring makan malam mereka dengan lauk yang dibuat oleh Riri, dan memerintahkan agar makanan itu dibawa ke kamar mereka.     "Sayang buka pintunya!" Hugo mengetuk pintu kamar dengan wajah khawatir.     "Riri sayang, ayo buka pintunya," Fathan menimpali. Tapi setelah hampir setengah jam, Riri sama sekali tidak menjawab dan membukakan pintu. Maka dari itu Farrell membawa kunci cadangan dan membuka pintu. Kembar Dawson melangkah memasuki kamar yang tampak gelap, karena sepertinya Riri mematikan lampu kamar. Bri menepuk tangan satu kali, dan puft lampu kamar langsung menyala terang.     Kembar Dawson melihat Riri yang tidur dengan posisi tertelungkup di ranjang. Bahu kecil Riri tampak bergetar, Riri masih menangis rupanya.     Farrell memberikan isyarat agar Hendrik dan beberapa pelayan agar segera merapihkan piring dan mangkuk makan malam mereka dan keluar dari sana. Setelah pintu kamar tertutup dengan sempurna. Bri mulai mendekat kearah Riri.     "Riri, maafkan kami. Sekarang kami akan makan masakanmu. Kami yakin masakanmu pasti sangat enak." Tak ada sahutan dari Riri. Bri mengangguk dan mengambil mangkuk yang disodorkan Hugo.     "Em enak. Kak Bri suka sayur sop buatan istri kecil Kak Bri. Bumbunya pas, sesuai selera Kakak," puji Bri.     Bohong, pikir Riri.     "Telurnya juga enak. Kak El suka," suara datar yang sama sekali tidak berniat memuji itu terdengar.     Ini juga bohong, cela Riri.     "Kalo masakannya kayak gini, Kak Athan bisa-bisa nambah terus."     Buaya.     "Ah enak banget, besok mending minta istri Kakak yang cantik ini buat bekal makan siang buat Kakak," Hugo berujar ceria.     Dasar tukang ngibul! Buaya! Kadal!     "Kalian bohong! Masakan Riri gak enak. Sayurnya hambar, dagingnya alot, telurnya keasinan. Kalian tukang bohong! Riri benci!" Riri menjerit ketika sudah duduk di atas tempat tidurnya, ia kembali menangis dengan suara keras.     "Hei. Istri Kakak, jangan begini." Bri mencoba meraih Riri kedalam pelukan, tapi Riri kembali menepis kasar tangannya. Ia menatap marah. Lebih tepatnya mencoba menunjukkan tatapan marahnya. Tapi kembar Dawson yang melihat itu mati-matian agar tidak segera menerjang Riri sekarang juga. Riri tampak menggemaskan.     Riri mendorong Fathan yang berada disampingnya dengan kuat, dan berlalu menuju kamar mandi. Ia mengunci pintu dari dalam. Riri butuh sendiri.     Sedangkan kembar Dawson hanya bisa menghela napas lelah, ini memang salah mereka. Dan memilih menghabiskan makanan buatan Riri, mungkin ini cara terbaik mengembalikan suasana hati Riri. Ya, meskipun masakan Riri jauh dari kata enak. Tapi mereka harus menghabiskannya, dibantu dengan dorongan air putih untuk menelannya.     Sudah satu jam, tapi istri mungil mereka belum juga keluar dari kamar mandi. Mereka pikir tadi Riri sedang buang air besar, karena biasanya Riri buang air besar dalam waktu yang lama. Tapi sekarang sudah terlalu lama. Hugo berinisiatif mengetuk dan memanggil Riri. Tapi tidak ada satu pun suara yang terdengar dari balik pintu kamar mandi.     Kembali khawatir menyerang d**a setiap kembar Dawson. Pikiran negatif telah berkelebat dikepala mereka. Dengan satu hentakan keras Hugo mendobrak pintu kamar mandi. Matanya segera mengedar mencari keberadaan istri kecilnya itu.     Kembarannya yang lain langsung mengikuti, mata mereka langsung membulat ketika mendapati Riri yang tidur didalam bak berendam dengan bantal dari handuk tebal dan bathrobe yang dijadikan selimut. Kembar Dawson seketika menghela napas lega. Setidaknya Riri dalam kondisi baik-baik saja. Bri segera mengangkat tubuh Riri dengan perlahan, agar isterinya itu tidak terbangun.        Malam ini sungguh melelahkan menghadapi istri kecil mereka yang tiba-tiba marah besar. Dan sekarang saatnya untuk istirahat. Benar-benar istirahat, tanpa kegiatan lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN