BAB 17 - GAGAL

1360 Kata
            “Terima kasih ya Bi, kamu tuh baik banget sama aku. Tapi aku gak bisa pacaran sama kamu,” jawab Aliyyah. “I’m sorry, Bian.”             Bian mencerna jawaban Aliyyah. Meskipun sudah memprediksi bahwa Aliyyah akan menolak saat diajak pacaran, Bian sempet percaya diri beberapa saat ketika melihat Aliyyah tersenyum setelah pengakuannya. Namun ternyata ia salah, Aliyyah tidak menerimanya.             “Don’t say sorry, Al.” Bian menjawab. Meskipun jam olahraga sudah lama selesai, keringatnya mulai bercucuran lagi.             Aliyyah menyahut dengan suara pelan, “But I am…”             “It makes me looks pathetic,” kata Bian jujur. Ia merasa semakin sesak saat mendengar Saira mengatakan maaf.             Aliyyah memandangi Bian cukup lama. Sangat lama hingga bahkan Bian tidak berani menatap mata itu lagi. Bian menelan ludah. Kemudian Aliyyah segera menundukkan kepalanya.             “Kamu duluan aja, Al,” kata Bian saat menyadari kecanggungan mereka. Meskipun sudah mempersiapkan diri, Bian sungguh tidak ingin antara dia dan Aliyyah menjadi canggung.             Aliyyah segera berlari keluar dari lapangan olahraga. Bian tau bahwa Saira sudah menunggu di depan. Ia tau Saira juga ikut mendengarkan perbincangan mereka sejak tadi.             Bian membereskan sisa bola dan beberapa peralatan olahraga lainnya dengan cepat dan menyimpannya di ruang peralatan olahraga.             Setelah selesai Bian tidak keluar, ia menyisakan satu bola basket dan ia berusaha memasukkan bola itu ke ring, namun dari berpuluh-puluh percobaan, tidak ada satupun yang masuk.             “Lagi emosi jangan latihan,” sebuah suara terdengar dari pintu lapangan olahraga. Bian menoleh. Dalam hati ia bersyukur ada seseorang yang datang.             “Bang.” Bian menyapa kaptennya dengan lemas. Gibran pasti sudah tau dari Saira. Cepat sekali berita menyebar, bahkan ia belum sempat berganti baju.             “Gimana?” Gibran bertanya singkat.             “Gimana apanya?”             “Gimana si gadis berkerudung merah?” Gibran membercandai Aliyyah tanpa maksud jelek.             “Gagal, Bang,” kata Bian dengan cengiran yang dipaksakan.             “Yaudah, masih banyak cewek lain. Kan Bang Bian ganteng,” Gibran menghibur junior-nya itu dengan menggodanya. Berharap dapat mencairkan suasana hati Bian.             “Padahal kata dia gua baik. Tapi ditolak.” Bain bicara pada diri sendiri. Namun cukup kencang hingga Gibran yang sedang mengambil bola basket yang sempat dibiarkan Bian menggelinding menjauh dari dirinya.             “Gua baik gak?” tanya Gibran.             “Maksudnya?” Bian bingung dengan pertanyaan Gibran yang tiba-tiba keluar dari topik pembicaraan mereka.             “Gua baik gak?” Gibran mengulangi pertanyaannya dengan nada yang berbeda, dengan lebih penekanan.             “Baik, Bang,” jawab Bian.             “Lo mau gak sama gue?”             Bian nyengir. Dia tau arah pembicaraan Gibran.             “Lo gila ya, Bang?” Bian merespon dengan tawa kecil. Namun wajahnya masih tidak terhibur.             “See? Gak semua yang baik pasti lo mau kan?”             “Ya tapi ini beda case  kali, Bang.”             “Ya gue juga bingung, soalnya kan lo gapunya kekurangan. Masa Aliyyah gak mau sama lo.”             “Gatau deh Bang, gue gak sealim dia kali ya?”             Gibran berpikir sebentar kemudian di wajahnya terlihat muncul ide, “Atau mungkin dia emang gak mau pacaran. Kata Saira temennya yang satu itu emang beda tingkat keimanan sama kita-kita.”             “Gue mikir gitu, sih. Berarti gue masih ada kesempatan dong Bang?”             “Lah kok jadi ada kesempatan?”             “Berarti bisa jadi dia sebenernya suka sama gua, tapi emang gak mau pacaran karena takut dosa?”             “Bisa jadi. Cuma, bisa jadi juga lo gak akan cocok jadi imamnya. Dia pasti udah punya calon yang lagi sekolah di Mesir atau Madinah gitu.” Gibran berbicara semua kemungkinan yang ada di kepalanya.             “Bang lo gausah hibur gue deh, gue pingin sendiri aja.” Bian kesal. Semua kata-kata Gibran semakin membuatnya terpuruk dan ia tidak lagi memiliki harapan.             Gibran tertawa terbahak-bahak dan melempar bola basket yang ia genggam ke arah Bian. Dengan sigap Bian menangkapnya.             “Kok lo jadi sensitif gitu sih?”             “Gue gapapa deh Bang, asalkan dia juga gak jadian sama siapa-siapa,” kata Bian pada akhirnya. Itu adalah kata-kata paling realistis yang hadir di pikirannya saat ini. Ia ingin tetap Aliyyah jadi sahabatnya. Ia ingin Aliyyah tetap mengandalkannya dan meminta bantuannya. Ia ingin Aliyyah tidak berubah. Ia ingin tetap dekat dengan Aliyyah.             “Gak akan. Feeling gue, lo akan move on duluan sebelum dia jadian sama siapa-siapa.” Akhirnya kata-kata untuk menghibur Bian keluar juga dari mulut Gibran. Ia menepuk punggung Bian.             “Move on? Gak ada yang sesempurna Aliyyah, Bang,” kata Bian.             “Nanti pas lo naik kelas dua tuh akan banyak murid baru. Serius deh, sekolah kita tuh jadi incaran anak-anak yang pingin masuk ke univ Pelita Mulia juga. Jadi banyak yang pindah ke sini pas kelas dua.”             “Serius?”             “Iya.”             “Berarti saingan gue nambah dong.” Maksud hati ingin membuat Bian berpikir bahwa aka nada peluang menaklukan perempuan lain, Gibran malah membuat Bian memikirkan aka nada saingan lain yang merebut Aliyyah.             “Ya ampun Bi, lo negatif banget!” Gibran mulai tak sabaran. “Ayo ke kantin! Gue kasih roti Ibu.” Kemudian Gibran menarik lengan Bian dan mengajaknya keluar dari lapangan basket setelah sebelumnya ia melempar bola yang dipegang Bian ke dalam ruang peralatan olahraga.             “Gausah, gak enaklah masa lo kasih roti cuma-cuma?”             “Ya lo bayar dong, masa lo tega sama gue sama ibu?”   Bian memasuki kantin bersama Gibran yang berjalan santai di belakangnya sambil memainkan telepon genggam. Setelah sampai di kerumunan, Gibran langsung masuk ke stand yang Bian ketahui memang menjual roti goreng terenak di Pelita Mulia. Roti gorengnya memang roti goreng biasa, dengan roti tawar gandum yang di dalamnya berisi daging cincang dengan bumbu teriyaki, telur dadar dengan sedikit bubuk merica putih, dan mayonnaise pedas dengan campuran bubuk cabai kering, yang kemudian digoreng menggunakan mentega premium. Namun bumbu teriyaki yang tidak biasa dan rahasia itulah yang membuat stand itu begitu ramai.             “Nih!” Gibran memberikan sebungkus roti goreng kepada Bian. Mudah baginya untuk berdesak-desakan dengan anak-anak Pelita Mulia dan tidak perlu mengantre. Badannya yang tinggi besar adalah factor utama.             “Thank you, Bang!”             “Iye. Jangan sedih lagi!” Gibran tersenyum meledek. “Gue lanjut ke ibu, ya.”             Bian mengangguk dan melihat Gibran kembali ke stand tempat roti goreng dijual. Bian kemudian membeli sebotol teh kemasan no sugar dan meminta segelas es batu. Lalu ia memandang berkeliling mencari bangku kosong untuk ditempati.             “Bian!” Bian mendengar suara halus samar-samar yang ia kenal, namun ia ragu tebakannya akan benar. Bian menoleh mencari sumber suara berasal dan menemukan perempuan dengan kerudung panjang sedang melambai kepadanya. Di sebelah perempuan itu terdapat seorang perempuan lain dengan rambut diikat dan tubuh yang kecil. Bian menaikkan kacamatanya yang turun karena keringat. Aliyyah Omar. Aliyyah Omar sedangn melambai kepadanya dan Saira memandang ia dengan tersenyum.             “Bian duduk sama kita aja. Nih, di depan aku kosong,” kata Aliyyah. Ia kemudian terlihat malu dan menunduk.             “Udah jangan awkward! I really don’t want to be a third wheel,” kata Saira.             “Gak akan!” Aliyyah menyenggol Saira.             Bian kemudian duduk di depan Aliyyah dan meletakkan roti gorengnya di atas meja. Ia kemudian membuka segel teh kemasannya dan menengguknya sampai setengah dari botol itu habis.             “Lo haus, Bi?” tanya Saira tak habis pikir.             “Capek,” jawab Bian.             “Capek hati?” Saira menggoda. Aliyyah di sebelahnya langsung pura-pura sibuk mengabiskan baksonya yang masih tersisa.             Bian diam saja. Ia tidak ingin menjadikan semuanya canggung. Dalam hati ia memaki Saira. Awas lo Sar! Katanya dalam hati.             “Itu pasti roti goreng stand yang rame banget itu ya?” Saira melihat roti goreng di depan Bian.             “Iya, punyanya si Gibran,” Bian resfleks menjawab.             “Maksudnya?” tanya Saira terlihat bingung. Ia pasti tidak tau hubungan Gibran dengan roti goreng ini.               Bian melebarkan matanya. Ia mencari jawaban dan akhirnya berkata, “Iya, maksudnya ini roti goreng yang Bang Gibran suka banget.”             Saira mengangguk-anggukan kepalanya meskipun ia masih terlihat ragu dengan jawaban Bian, “Iya sih, Gibran selalu bawa ini dan kasih ini ke gue.”             “Yes!” sahut Bian singkat. *** “Iya, Gibran yang waktu itu nganterin kamu pulang terus minta izin sama Bunda boleh gak besok-besok anter dan jemput kamu lagi” – Bunda
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN