BAB 18 - SAIRA THE CHEF

2464 Kata
            Saira melupakan kejadian Bian dan Aliyyah begitu cepat. Semuanya sudah kembali normal lagi antara dua sahabatnya itu dan Saira tau bahwa di antara mereka kini sudah benar-benar selesai. Ia sebenarnya sempat merasa bersalah karena menggoda Bian di kantin setelah kejadian itu dan membuat suasana menjadi canggung antara Aliyyah dan Bian selama beberapa menit. Apalagi, Bian sempat menegurnya saat sudah di kelas tanpa sepengetahuan Aliyyah. “Lo jangan gitu kek, Sar,” kata-kata singkat Bian cukup membuat Saira cengar-cengir menutupi perasaan tak enaknya.             Sudah lama sejak terakhir kali Aliyyah main ke rumah Saira di akhir pekan. Konon kini sahabatnya yang lulusan pesantren itu sibuk mengurus Aisyah dan ia menjadi lebih fokus menemani adiknya. Terkadang Saira ingin mengajak Aliyyah main ke rumahnya, namun karena Aliyyah selalu lambat membalas pesannya dan selalu menolak dengan alasan Aisyah, kini Saira tidak pernah mengajaknya lagi.             Saira sedang menunggu brownies kukus yang ia buat matang saat Salman turun dari tangga di hari Sabtu dan kakak pertamanya itu terlihat rapih sekali. Saira mengerutkan dahinya dan melirik jam dinding di ruang keluarga yang masih bisa dijangkau oleh penglihatannya. Pukul delapan pagi. Masih terlalu pagi bagi seorang Salman untuk pergi di akhir pekan dengan pakaian yang sangat rapih.             “Mau kemana Mas?” tanya Saira penasaran.             Yang ditanya menoleh dan duduk di meja makan. “Bikinin Mas sarapan dong, Sar!” Bukannya menjawab pertanyaan Saira, Salman malah meminta yang lain.             “Gak ah!” Saira kesal. Selalu saja kakak pertamanya itu membuatnya kesal, tidak menjawab pertanyaan, dan mengatur-atur Saira seenaknya.             “Bunda mana?” Tidak mendapat jawaban dari adiknya, Salman mencari ibunya.             “Bunda pergi. Ada pengajian,” jawab Saira malas-malasan.             “Yah. Bikini sarapan dong!” Salman memaksa.             “Gak mau!”             “Buruan! Mas mau pergi”             “Bodo amat!”             “Sssst! Berisik banget sih masih pagi juga.” Fatih turun dari kamarnya dan mendapati dua saudaranya tengah bertengkar.             “Biasa nih, Mas! Mas Salman suka nyuruh-nyuruh,” ujar Saira mengadu.             Kemudian Saira mendengar suara alarm handphone-nya yang sudah ia setting 30 menit, penanda brownies kukusnya harusnya sudah matang dan bisa dinikmati.             “Aku aja yang masakin buat Mas Salman. Mas Salman mau apa?” Saira mendengar Salman menawari untuk dimasakkan saat Saira sedang membuka tutup panci besar yang ia pakai untuk mengukus. Wangi coklat langsung menyebar ke lantai dasar rumahnya yang minimalis.             “Masakanmu gak enak, Tih.” Salman merespon tawaran adiknya.             “Yaudah, gak usah sarapan langsung pergi sana!” Fatih terdengar sewot. Saira tertawa cekikikan dan mengambil cetakan kue yang terbuat dari alumunium dari dalam panci kukusannya dengan dua serbet sebagai penghalang antara kulitnya dan cetakan yang panas.             “Ini wangi apa?” tanya Salman cepat.             Saira tidak menghiraukan Salman. Ia tetap sibuk memindahkan kue yang sudah matang dan wangi ke atas piring datar yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ia kemudian mengambil pisau dari rak peralatan di dapur dan memotongnya menjadi potongan kue dengan ukuran yang rata. Ia tau Salman dan Fatih akan mencoba kue buatannya segera.                    Salman beranjak dari meja makan dan mengambil sepotong brownies yang masih panas. Fatih juga mengikuti langkah kakak pertamanya.             Saira tau kedua kakaknya akan teriak kepanasan, namun ia diam saja karena ia memang sengaja usil pada kakak-kakaknya.             “Aduh!” Fatih langsung melempar kembali kue buatan Saira kembali ke piringnya. Tangannya kepanasan.             Saira tersenyum, kemudian ia beralih kepada Salman yang ternyata santai saja memakan browniesnya. Salman yang teliti itu ternyata sudah terlebih dahulu membalut brownies dengan tissue dan Saira tidak begitu sadar saat Salman mengambilnya. Menyadari ia tidak bisa mengalahkan kecerdasan Salman, Saira merengut.             “Enak banget!” Salman memuji. Ia dengan lahap menghabiskan brownies yang ada di genggamannya dan mengambil air mineral kemudian menengguknya sampai habis.             “Iya Sar, enak banget deh! Resep baru ya?” Fatih bertanya saat ia sudah mulai melahap brownies buatan Saira setelah membalutnya dengan tissue terlebih dahulu.             “Iya,” Saira tersenyum puas. Ia bahagia masakannya dipuji-puji oleh kedua kakaknya. Jika memang seenak itu, ia akan membuatnya lagi dan memberikannya pada Gibran.             “Sar, kata bunda kemarin kamu pulang sama Gibran?” tiba-tiba Salman membuka obrolan. Saira terkejut. Baru saja ia memikirkan Gibran, dan sekarang Salman membahas laki-laki bermata teduh itu.             “Hah serius? Cieeeeee!” Fatih langsung mengompori sambil ceikikan. Karakter kedua kakaknya itu memang berbeda. Saira merengut, bisa-bisanya bunda melapor pada Salman dan Fatih.             “Gimana emang anaknya?” tanya Salman dengan cuek, namun Saira tau sebenarnya kakaknya itu penasaran.             “Baik, gak kayak Mas Salman!” jawab Saira. Sementara Fatih sibuk mengambil potongan brownies yang kedua dan melahapnya lagi.               “Mas bawa kue-nya ya?” Salman tidak menggubris jawaban Saira dan mengambil kotak makan dari rak di dapur untuk mengisinya dengan brownies buatan Saira.             Saira diam saja browniesnya dipindahkan ke kotak makan lebih dari setengah loyang. Ia tau Salman tidak akan menghabiskannya sendiri. Ia pasti akan berbagi pada teman-temannya.             “Mau kemana sih Mas?” Saira bertanya lagi, setelah sebelumnya tidak dijawab oleh Salman.             “Café.”             Kemudian laki-laki yang sudah rapih itu beranjak dan mengambil kunci motor dari deretan kunci kendaraan di lemari rumahnya. “Mas pergi, ya! Assalamualaikum!” katany kemudian. Pamit.             “Bagus ya, udah ada kemajuan sama Gibran?” tanya Fatih setelah memastikan Salman sudah pergi dan suara motornya sudah tidak terdengar.             Tepat saat Saira ingin menjawab pertanyaan Fatih, ia menerima chat. Chat dari seseorang yang sudah beberapa bulan belakangan selalu rutin mengiriminya pesan. Gibran: Saira Bayu! Saira: Oit! Gibran: Udh bangun? Saira: Udh siang tau! Gibran: Lagi apa?             “Eh! Orang ngomong kok dicuekin. Chat dari siapa sih?” Fatih yang dijawab pertanyaannya oleh Saira kesal.             “Ada deh.” Saira memeletkan lidahnya tanda meledek dan langsung berlari masuk ke kamar dan menguncinya dari dalam, meninggalkan Fatih yang kebingungan.             Saira naik duduk di meja belajarnya dan menekan tombol call pada kontak Gibran di handphone-nya. Ia tersenyum sembari menunggu Gibran menerima panggilannya.             “Hai adik kecil!” Gibran menyapa Saira dari seberang dengan ceria. Saira bisa mendengar Gibran berada di luar ruangan dari suara kendaraan yang ramai.             “Kak Gibran lagi dimana?” tanya Saira.             “Hah? Lagi di luar.”             “Oh, ngapain?”             “Kerja.”             “Kerja apa?”             “Hahaha bercanda! Saira kenapa telpon?”             “Gapapa. Kalo Kak Gibran mau brownies, ke rumah Saira ya! Saira lagi bikin brownies. Enak deh!” kata Saira pamer.             “Buatan Saira?”             “Iya!”             “Kayaknya hari ini gue sibuk deh Sar, next time yaa! Anyways gue agak sibuk, chat aja yaa.” Gibran berbicara dengan nada terdesak. Atau hanya perasaan Saira saja?             “Oke Kak. Byeee!”             Belum sempat Saira menyelesaikan kata terakhirnya, telepon sudah dimatikan oleh Gibran. Saira mengerutkan dahi. Seharian Saira tidak mendapat kabar dari Gibran dan Gibran juga tidak membalas chat Saira atau pun mengangkat teleponnya. Saira khawatir karena tidak biasanya lelaki itu mengabaikannya seperti ini. Saira berjuang keras untuk tidak berpikir macam-macam dan menghabiskan waktu dengan netbook putihnya untuk sekedar menonton film atau melanjutkan serial drama yang belum selesai.             Bunda pulang dari pengajian tidak lama setelah Salman pergi dan ternyata perempuan paruh baya dengan tiga orang anak itu membawa oleh-oleh berupa beberapa potong kue basah ia beli di perjalanan pulang. Bunda memang selalu tau apa yang disuka oleh Salman, Fatih, dan Saira. Ia tau ketiga anaknya itu selalu menunggu oleh-oleh dari bundanya apa pun itu. “Apa aja yang Bunda bawa, Fatih suka. Walapun cuma kripik pedas,” kata Fatih suatu ketika saat Bunda baru saja dinas keluar kota dan hanya membawa kripik yang dibeli di dekat rumah.             Setelah sampai di rumah hal yang pertama bunda lakukan adalah mengabsen nama ketiga anaknya dan meletakkan bungkusan besar berisi oleh-oleh di atas meja dapur. Selain untuk memberi tau anak-anaknya bahwa ia membawa oleh-oleh, Bunda juga hendak meminta Saira untuk meletakkan kue-kue itu di piring dan membersihkan bungkusannya, sementara Bunda akan membersihkan diri di kamar mandi.             “Yes Bundaaaa!” Fatih berteriak dari kamarnya dan dengan gaduh menuruni tangga dari lantai 2. Tatapan matanya langsung terarah ke meja dapur dan ia menemukan apa yang ia cari. Bungkusan oleh-oleh! Namun ada yang kurang. Harusnya Saira, adik perempuannya yang selalu disuruh-suruh olehnya dan Salman belum keluar dari kamarnya. Maka, ia berjalan menuju pintu kamar Saira dan menggedornya dengan tidak terlalu keras agar bundanya tidak mengomel.             “Apaaa?” Saira berteriak dari dalam kamarnya dan menghentikan serial drama yang sedang ia tonton untuk sejenak. Serial drama itu adalah serial bergenre misteri dan memiliki 20 episode dengan  3 episode tambahan spin-off tambahan.             “Bunda bawa oleh-oleh,” Fatih berteriak.             Saira yang sudah tau bahwa maksud Fatih adalah menyuruhnya membereskan oleh-oleh itu sehingga ia bisa langsung menyantapnya saat sudah rapih di atas piring, mengerut dan berpura-pura tidak tau. “Terus kenapa?” tanya Saira dengan kepolosan yang dibuat-buat.             “Biasa,” sahut Fatih enteng.             “Gak mauuuu!” Saira dengan berani melawan kakak keduanya itu.             “Bundaaa! Ada yang males nih dari pagi cuma diem di kamar. Kayaknya gak belajar juga,” Fatih mulai mengadukan Saira pada bunda yang baru saja keluar dari kamar mandi.             “Saira sayang! Ayo dong dibantuin Bundanya.” Bunda kemudian masuk ke dalam kamarnya dengan agak terburu. Handphone-nya berbunyi. “Halo. Iya Bu?” Bunda menerima panggilan dan langsung menutup pintu kamar.             Saira dengan malas dan terpaksa keluar dari kamar dan seolah raganya sudah terprogram, ia mengambil piring kue, mengeluarkan kue dari box-nya, dan membuang semua bungkusan oleh-oleh itu. Ia juga sempat mengecek apakah kue yang ia buat tadi pagi masih ada atau tidak, dan ternyata hanya tersisa satu potong.             “Mas Fatih!” Saira berteriak kesal. Ia tau bahwa Fatihlah yang menghabiskan kuenya dan masalahnya bukan karena kakaknya itu menghabiskan browniesnya, ia justru sangat senang bahwa kue yang ia buat ternyata enak dan habis, namun yang membuat Saira kesal adalah Fatih sengaja menyisakan satu potong karena malas membereskan piringnya. Seperti biasa.             “Iya,” Fatih menyahut dari sofa. Fatih sedang duduk bersantai di depan tv sembari mengulirkan layar telepon genggamnya. Ia sedang membukan i********:.             Saira lantas berjalan perlahan dan melihat apa yang sedang Fatih lakukan dengan handphone­-nya itu. Dengan jelas Fatih mengetik di mesin pencarian, Aliyyah Omar.             “Ketahuan kan?” kata Saira menggoda Mas-nya.             Fatih dengan panik melihat kebelakang dan didapatinya Saira sedang memfokuskan matanya pada layar handphone yang Fatih pegang. Faith segera menekan tombol off untuk mematikan layar dan menunjuk adiknya dengan panik, “Ngapain liat-liat hape Mas?”             Saira mendengus persis seperti di film-film ketika tokoh antagonis memenangkan pertarungan. Kemudian ia berkata dengan penuh percaya diri dan kemenangan, “Aliyyah gak punya i********:. Mas mau nyari siapa?”             “Kok bisa gak punya?” Fatih segera melupakan harga dirinya.             “Dia gak suka selfie,” jawab Saira singkat. Ia kemudian menjulurkan lidahnya dan memasang wajah layaknya mengasihani Fatih.             “Selain selfie gak ada?”             “Gak. Dia gak suka pamer. Dia sibuk gak punya banyak waktu luang kayak Mas,” jelas Saira.             Saira kemudian mengambil kue basah yang dibawa bunda dan segera melahapnya. Sebuah risoles dengan isi daging asap yang dibakar dan irisan telur rebus serta mayonnaise. Hmm enak! Kata Saira dalam hati.             Kemudian bunda keluar dari kamar dan Saira melihat wanita yang melahirkannya itu sudah membuka hijabnya dan mengenakan baju rumah. Meskipun Saira bisa melihat beberapa kerutan di ujung mata bunda, Saira tidak menemukan satu helai pun uban di kepala bunda.             “Enak?” tanya bunda saat melihat Saira menyicipi oleh-oleh yang ia bawa dan terlihat sangat menikmati. Saira mengangguk dan tersenyum.             “Bunda beli dimana?”             “Di jalan tadi ada toko kue baru buka, Bunda coba beli deh. Oh iya tadi Bunda liat Gibran loh,” kata Bunda.             Saira melebarkan matanya, “Gibran?”             “Iya, yang waktu itu nganterin kamu pulang terus minta izin sama Bunda boleh gak besok-besok anter dan jemput kamu lagi.” Sembari menyelam minum air, bunda menjawab pertanyaan anak perempuan semata wayangnya sambil menggodanya. Saira tersipu malu.             “Hah? Ya ampun! Cowoknya Saira sweet banget. Ternyata selesai Saira yang kayak gitu.” Fatih yang beru pertama kali mendengar ceritanya langsung terkejut. Ia tidak membuang kesempatan untuk menggoda adiknya.             Wajah Saira serta merta berubah jengkel dan matanya melotot ke arah Fatih. Kemudian untuk mengalihkan pembicaraan, Saira mengungkapkan rasa ingin taunya, “Dia lagi ngapain Bunda?”             “Tadi lagi angkat kardus besar sih gitu toko kue terus pakai seragam pekerjanya. Dia anak yang punya mungkin ya? Bunda tadi mau nyapa cuma dia gak liat Bunda dan kayaknya sibuk.”             “Di toko tempat Bunda beli kue ini?” Saira menunjuk risoles sisa yang hanya sebesar jari kelingking.             Bunda mengangguk. “Orang tuanya punya bisnis kue?”             Saira bingung. Ia tidak tau apa-apa soal orang tua Gibran. Ia pun juga tidak pernah menceritakan apa-apa soal orang tuanya pada Gibran. Obrolan mereka tidak pernah menyinggung soal keluarga, karena Gibran tau Saira dibesarkan tanpa ayah dan itu seperti menjadi perjanjian antara mereka untuk tidak membahas keluarga satu sama lain.             Tiba-tiba Saira teringat bahwa Gibran sering bilang bahwa ia membantu ibunya. Mungkin ibunya emang punya bisnis kue, ya, Saira menebak dalam hati.             “Kayaknya iya deh, Bunda,” kata Saira menyimpulkan.             “Toko kuenya bagus sih, yang mewah gitu. Harga kuenya juga kelas hotel. Enak tapi kan?”             Saira tersenyum. Lucu sekali kalau Gibran punya bisnis kue, dan ia jago masak. Cocok!             “Enak Bunda! Enak banget!”             Saat sedang mengambil kue keduanya, Saira mendengar suara motor Salman dan tidak lama setelah itu si empunya masuk. Saira melirik jam dinding untuk mengetahui bahwa Salman pergi hanya sebentar.             Salman memasuki rumah dengan wajah sumringan dan matanya hanya menuju pada Saira. Ia dengan bahagia berkata, “Sar! Mas punya berita bagus! Ini bisa jadi pengalaman buat kamu!”             Saira memasang wajah bingung. Jika wajah bisa menunjukkan tanda baca, maka di wajahnya kini pasti sudah ada tanda tanya yang besar. Ia bertanya, “Apa?”             “Kan tadi Mas bawa brownies kamu ke café. Terus karena café belum buka, Mas bagiin ke temen-temen yang lagi siap-siap, dan kebetulan ada owner-nya juga. Dia bilang brownies kamu enak! Terus dia nawarin mau gak dititip kue ini di café untuk jadi pendamping kopi kita?” Salman menjelaskan panjang lebar sambil memegang dua lengang atas Saira.             “Maksudnya kue Saira bisa dijual di café tempat Mas Salman magang?” tanya Saira. Ia bahagia. Selalu bahagia saat masakannya disukai oleh orang lain.             “Yes!” Salman mengangguk meyakinkan.             “Tapi Saira pikir-pikir dulu ya, Mas. Takut ganggu sekolah malah sibuk bikin kue,” kata Saira ragu.             “Gimana Bun?” Fatih yang sejak tadi hanya pendengar, meminta Bunda ikut memberi saran pada dua saudaranya.             “Ya Bunda terserah Saira aja. Kalau merasa mampu, ya silahkan.” Bunda menjawa santai.             “Yaudah kamu bikin sample-nya aja dulu untuk pembukaan café cabang baru minggu depan. Tenang aja, sample-nya juga akan dibeli kok! Jadi kamu gak bikin cuma-cuma.”             Dengan wajah yang masih ragu Saira mengangguk. *** “Kak Gibs kemana sih?” – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN