BAB 16 - BIAN DAN ALIYYAH (Bag 2)

2251 Kata
FLASHBACK MODE: ON             Perasaan Bian tidak menentu. Ia tidak tau harus bagaimana lagi mendekati Aliyyah. Jangankan ditolak atau diterima, Bian bahkan merasa bahwa sampai saat ini perhatian yang ia berikan pada Aliyyah tidak pernah digubris perempuan berkerudung itu. Aliyyah selalu saja menghindar, berpura-pura tidak tau, dan bahkan terlihat selalu biasa saja. Perempuan itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia juga menyukai Bian. Namun, berbeda dari orang-orang yang Bian pernah tau, Aliyyah tidak juga terlihat seperti menjauhinya atau menolaknya secara halus.             “Al, Saira dimana?” tanya Bian suatu ketika saat suasana kelas sangat sepi dan tidak dilihatnya Saira di sekitar mereka. Bian kemudian duduk di bangku di samping Aliyyah.             “Hah? Aku gak tau, Bi. Kayaknya tadi bilang mau ke toilet terus Saira ilang gitu aja,” jawab Aliyyah. Ia merespon seolah tak ingin Bian duduk di sampingnya saat tidak ada seorang pun di sini.               Bian bisa membaca situasi dan membatalkan niatnya untuk duduk di sebelah Aliyyah. Namun, ia melihat ada sebuah kesempatan yang mendesak untuk berkata jujur. Ia sudah terlalu lama mendekati Aliyyah, dan ia terlalu ingin tau apa yang sebenarnya ada di pikirannya Aliyyah tentang dirinya.             “Al…” Bian membuka pembicaraan.             “Bi, nanti Pak Didi masuk gak?” Seperti tau bahwa Bian ingin membicarakan hal yang penting, Aliyyah segera mengalihkan pembicaraan.             “Masuk.”             “Oh. Oke.”             “Al…”             “Kenapa Bi? Ngomong aja. Aku sambil baca modul untuk nanti, ya?”             “Iya. Tapi kamu dengerin kan?” Bian bertanya, memastikan.             “Iya.”             “Kok semalem aku chat kamu gak dibales?” tanya Bian.             “Kamu chat apa ya semalam? Biasalah, aku lagi main sama Aisyah. Mungkin gak fokus.” Aisyah menjawab pertanyaan Bian dengan pertanyaan juga. Perasaan Bian tidak enak. Aliyyah seperti mau tak mau menanggapi obrolan mereka.              “Aku tanya kamu lagi apa,” jawab Bian dengan suara halus yang bahkan Aliyyah mungkin tidak dengar.             “Oh, aku semalam main sama Aisyah.” Namun ternyata Aliyyah mendengarnya.             Bian menaikkan alisnya tanpa ia bingung. Ia mulai berpikir bahwa Aliyyah sebenarnya mendengarkannya dengan seksama.             “Gak apa-apa. Aisyah apa kabar? Aku belum sempet kenalan sama Aisyah. Kapan aku dan Saira boleh main ke rumah kamu?” Bian berusaha sekuat mungkin untuk mengabaikan perasaannya yang tidak karuan.             “Nanti, ya.” Aliyyah kembali acuh tak acuh.             “Al, kamu sibuk ya? Aku boleh ngobrol sebentar?” Bian memberanikan diri lagi.             “Boleh.”             Bian sadar bahwa sejak tadi Aliyyah tidak menoleh padanya dan tidak menatap matanya saat bicara. Soal menatap mata, perempuan berkerudung itu memang tidak pernah menatap matanya langsung, dan ia memaklumi itu. Aliyyah adalah gadis pemalu. Tapi, baru kali ini Aliyyah tidak menoleh saat berbicara dengannya, dan terdengar acuh tak acuh.             “Bian, nanti Aisyah ke dokter. Doain dia baik-baik aja, ya!” tiba-tiba Aliyyah berbalik membicarakan adiknya lagi. Ia tidak mengizinkan Bian membicarakan maksudnya.             “Oh ya? Sakit apa Aisyah?” tanya Bian menanggapi. Ia sedikit bersyukur karena Aliyyah membuka diri dan membicarakan adiknya.             “Aku juga gak begitu paham. Cuma, Aisyah sering marah dan gak fokus. Suka gak dengerin ummi dan abah juga,” jelas Aliyyah. Wajah putih bersih Aliyyah masih tertutup setengah oleh modul yang ia katakana ingin ia baca.             “Sering marah dan gak fokus?”             “Iya.”             “Kok ke dokter?”             “Iya, ini saran dari pamanku yang dokter umum. Katanya dibawa ke dokter anak aja. Karena takut Aisyah sebenarnya sakit, cuma gak bisa ngejelasinnya ke ummi, abah, atau aku,” jelas Aliyyah lagi. Seperti biasa Aliyyah selalu bisa berbicara panjang lebar saat menceritakan tentang Aisyah.             “Oh. Terus?”             “Bian doain Aisyah, ya? Semoga gak apa-apa,” jawab Aliyyah.             “Oke.”             Kemudian suasana kembali canggung dan Bian kembali mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Aliyyah.             “Al, aku boleh ngobrol kan?” Bian mengulangi perkataannya lagi. Ia tidak tau kenapa ia menjadi gugup dan berbeda dari Bian yang biasa saat berbicara pada Aliyyah.             “Ini kita lagi ngobrol, Bi,” jawab Aliyyah. Perempaun itu menurunkan bukunya dan melatakkan di atas meja. Ia lalu mengambil tumbler di atas meja, kemudian menengguk isinya. Bian sempat mendengar Saira berbisik pelan mengucapkan “Bismillah” sebelum menempelkan bibir tumbler pada bibirnya.             Bian menarik napas panjang. Ia harus jujur kali ini, dan ia tidak ingin kesempatannya hilang begitu saja.             “Al, aku boleh ngobrol kan?” Bian mengulangi lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia tau perkataan ini tidak ada gunanya dan tidak menjadikan tujuannya menjadi lebih dekat.             “Bian kenapa sih beda kalo sama aku? Kita semua kan temen. Kok aku ngerasa Bian beda kalo sama aku?” bukannya menjawab pertanyaan Bian, Aliyyah langsung menanyakan pertanyaan yang tidak pernah dipikirkan Bian sebelumnya. Mata Bian membesar. Otaknya yang encer tidak mempu membantunya saat ini. Ia yang sering menebak jawaban saat ujian dan berakhir dengar benar, kali ini bahkan tidak bisa menebak maksud pertanyaan Aliyyah. Perempuan itu mengangkat kepalanya. Wajahnya penuh tanda tanya.             “Maksudnya?”             “Bian juga selalu tanya Saira lagi apa setiap malam?”             “Hah?”             “Bian juga selalu pingin telpon Saira dan ajak ngobrol?”             “Hah?”             “Bian juga selalu ajak Saira pulang bareng?”             “Hah?”             “Bian juga suka bawain s**u kotak untuk Saira? Atau teman-teman lain?”             “Hah?”             “Iya gak?”             “Maksudnya?”             “Jawab aja! Bian kayak gitu juga gak ke Saira? Atau ke temen-temen lain?”             Bian menggeleng. “Ya enggaklah, cuma ke kamu.”             “Aku risih. Takut.”             “Takut? I’m not a freak, not even psycho.”             “Bukan itu maksud aku. Kenapa Bian gitu ke aku doang?”             Bian menarik napas lagi. Kali ini sedikit lebih panjang dan lebih dalam dari sebelumnya.             “Aku suka sama kamu, Al.” Bian membiarkan kata-kata tersebut keluar selancar mungkin dari mulutnya. Kata-kata sudah sering ia utarakan di depan Aliyyah, hanya saja dalam hati sehingga Aliyyah tidak bisa mendengarnya.             Eskpresi wajah Aliyyah berubah. Ia tidak lagi penuh tanda tanya seperti sebelumnya. Di mata Bian, kini wajah Aliyyah semakin tidak bisa ditebak, karena hanya datar dan tanpa emosi.             Aliyyah mengambil kembali tumblernya dan menenggaknya. Ia tidak merespon perkataan Bian.             “Kamu ke aku gimana, Al?” Akhirnya Bian bertanya. Laki-laki itu bahwa tidak aka nada perkataan dari mulut Aliyyah jika ia tidak bertanya.             Aliyyah diam dan seperti memikirkan sesuatu.             “Kamu sahabat aku, Bi.” Hanya itu. Hanya itu yang Bian dengar dan Bian terima sebagai jawaban dari pengakuannya. Bian diam saja dan tidak memburu lagi. Aliyyah pun juga tidak terlihat ingin memperpanjang obrolannya dengan Bian.             Lalu entah berapa lama setelah itu, Bian merasakan kelas mulai ramai. Saira sudah kembali dari toilet dan hampir semua anak kelas X IPA 4 memenuhi kelas. Mereka juga mulai ramai mengisi kelas dengan obrolan masing-masing. Tidak ada yang menggubris perasaan Bian yang kacau. Bahkan tidak ada yang tau. Dan yang Bian sadari, Aliyyah sejak itu tidak bicara padanya. Esoknya Bian menemukan ada yang berubah dari Aliyyah. Tatapan matanya kosong dan ia tidak menanggapi semua orang yang berbicara padanya. Ia terlihat kalut dan pucat. Bian penuh tanda tanya dan penasaran adakah hubungannya ia dengan perubahan mood Aliyyah yang drastis hari ini. Bian sempat mendengar dari Saira bahwa Aliyyah aneh. Semua itu Bian dengar saat sedang memeriksan Layar Display di dekat pintu masuk ruang guru. Saat itu Bian mendengarkan dengan seksama mengenai kondisi Aliyyah dari Saira, namun Bian berpura-pura membaca layar dengan serius. Rasanya seperti ia dipaksa menghapal jadwal kehadiran guru setahun ke depan. Awalnya Bian merespon cerita mengenai Aliyyah yang aneh dengan tak acuh. Ia sejak pagi pun belum menyapa Aliyyah. Hati dan pikirannya masih kacau karena kejadian kemarin. Ia bahkan tidak mengerti maksud Aliyyah. Namun, saat pulang Bian tidak tau lagi harus apa. Ia tidak tega melihat Aliyyah pucat sejak pagi. Beberapa waktu seteah bel pulang berbunyi, akhirnya Bian mengawali pembicaraan dengan Aliyyah. Ia khawatir. “Al, kamu kenapa?” tanya Bian saat Aliyyah menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dengan malas. “Gapapa.” Bian merasa mungkin ada hubungannya dengan pengakuannya kemarin. Mungkin Aliyyah memang benar-benar tidak mau ada apa-apa antara mereka. “Al, kamu kesal ya sama omongan aku waktu itu?” Bian bertanya untuk membuat semuanya clear.             “Gak.” Namun, jawaban Aliyyah membuat Bian mulai kesal. Ia merasa tidak dihargai. “Aliyyah!” Bian menyebut nama perempuan berkulit putih di depannya dengan nada lebih tinggi dari biasanya. Hal itu sengaja ia lakukan agar Aliyyah mau bicara serius padanya. Aliyyah menoleh. Dia menang. “Kamu mau ngomong apa sih?” Kemudian pembicaraan di antara mereka menjadi tegang dan tidak karuan. Ini tidak sejalan dengan rencana Bian. Di akhir, Bian kembali mengungkit pembicaraannya kemarin. Ia tidak peduli ada Saira di sana. Biarkan saja ada Saira di antara mereka. Toh, selama ini Saira memang selalu menjadi bagian dari mereka. “Soal yang waktu itu aku omongin ke kamu..” kata-kata Bian tidak sampai di ujungnya. Aliyyah sudah lebih dahulu memotongnya. “Bi, aku gak pingin tau soal itu. Kamu jangan bahas lagi, ya.” Bian tersinggung. Ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu dari Aliyyah. Aliyyah tidak ingin tau soal perasaaanya, dan perempuan itu tidak ingin ia membahasnya lagi. Aliyyah tidak ingin membahasnya di saat Bian bahkan merasa pembicaraan mereka kemarin tidak jelas dan menggantung. “Maksud aku emang lupain aja, Al!” Bian berteriak dari dalam kelas guna menjawab kata-kata Aliyyah sebelumnya. Aliyyah sudah pergi dan berlalu meninggalkan ia dan Saira. Bian tidak tau apakah Aliyyah bisa mendengarnya, dan ia bahkan tidak ingin tau. Bian benci dengan perempuan cantik, tapi sombong. FLASHBACK MODE: OFF             Setelah mendengar dari Saira bahwa kini Aliyyah sudah membaik, Bian merasa rasa bersalah di hatinya mulai terbit. Ia tau bahwa ia tidak seharusnya berbicara dengan nada tinggi dan marah pada Aliyyah. Ia tidak tau bahwa Aliyyah sedang ada masalah keluarga, meskipun Saira tidak menjelaskan masalah apa itu—Saira tidak menjelaskan secara mendetail—Bian tetap saja merasa bersalah.             Rasa bersalah yang tumbuh di hati Bian semakin diperparah dengan permintaan maaf dari Aliyyah yang tiba-tiba. Perempuan itu mendatanginya di sekolah saat jam olahraga selesai dan Bian sedang membereskan bola basket yang berjumlah lebih dari dua puluh tersebar di lantai lapangan basket indoor Pelita Mulia.             Aliyyah tiba-tiba saja mendatanginya dan ikut mengumpulkan bola basket yang tersebar. Bian menoleh karena melihat bayangan perempuan yang ia kenal.             “Bian, aku minta maaf ya?” tanpa kata-kata lain, Aliyyah langsung minta maaf.             Bian segera melepaskan kacamatanya mengelap keringatnya dengan lengan baju sebelah kanannya. “Al?”             “Aku minta maaf ya Bian kalau ada kata-kata yang kamu gak enak dengernya,” Aliyyah melanjutkan permintaanmaafnya.             “Iya, aku juga minta maaf ya Al. Aku gak tau kamu lagi ada masalah keluarga,” kata Bian merespon. Ia meminta maaf dengan tulus.             Mata Aliyyah melebar, ia kemudian berkata, “Saira kasih tau kamu aku ada masalah apa?”             “Iya, dia cuma bilang masalah keluarga sih, aku gak dikasih tau masalahnya apa. Kenapa Al?”             “Oh…” bibir Aliyyah membentuk huruf O. Ia terlihat lega dan bersyukur.             “Aku gak akan tanya kok Al, kalo kamu gak nyaman,” kata Bian.             “Makasih ya, Bi.” Aliyyah tersenyum. Tidak perlu waktu lama bagi Bian untuk mengagumi senyum Aliyyah. Aliyyah begitu cantik di balik senyum tulusnya yang terbalut sifatnya yang pemalu.             “Al, soal waktu itu…” sebenarnya Bian tau perkataannya bisa saja menjadi boomerang. Belum lama ia dan Aliyyah memperbaiki hubungan pertemanan mereka, namun Bian sudah mengambil resiko untuk merusaknya lagi.             “Iya, Bian. Makasih ya. Maaf responku buruk. Maaf aku bilang aku gak peduli. Maksud aku gak kayak gitu,” jelas Aliyyah.             “Iya, Al.” Bian mengangguk.             Bian merasa bahwa Aliyyah mulai salah tingkah. Ia entah mengapa tiba-tiba kembali mengambil bola basket bola basket yang masih tersisa dan masih berantakan. Ia kemudian berbicara sendiri dan berkata bahwa ia ingin segera istirahat, sehingga semua bola itu harus ia kumpulkan sebelum waktu istirahat selesai.             Bian tersenyum. Ia ingat betul bahwa sejak awal ini bukan giliran Aliyyah untuk membereskan bola basket yang terhampar tidak beraturan di lantai lapan basket itu. Itu tugasnya. Namun, Aliyyah mungkin lupa, atau memang salah tingkat.             “Bi, ayo! Nanti kita gak bisa istirahat,” kata Aliyyah. Diambilnya dengan cepat semua bolah basket dan alat-alat olahraga lain yang bertebaran. Ia kemudian memasukkan semuanya ke dalam trolley besar yang memang merupakan fasilitas sekolah untuk mengambil dan mengembalikan peralatan olahraga ada lapangan ke ruang olahraga.             “Kamu ngapain, Al? Kan ini shift aku,” kata Bian dengan senyum mengembang. Ia semakin menyadari sebesar apa ia menyukai Aliyyah. Aliyyah, si primadona sekolah yang menggemaskan.             Bian memandang Aliyyah dari ujung kaki hingga kepalanya. Seperti biasa, saat jam olahraga, Aliyyah memakai celana training abu-abu—seragam olahraga SMA Pelita Mulia—yang kebesaran dan atasan senada yang juga kebesaran. Kerudungnya berwarna putih dan dibiarkan terulur menutup setengan tubuh Aliyyah, membuat Aliyyah terlihat sedikit berisi, namun semua akan menyadari bahwa Aliyyah tidak gemuk saat melihat pergelangan tangannya yang kecil dan jari-jarinya yang lentik. Meskipun kelelahan setelah berolahraga, wajah Aliyyah masih terlihat cantik dan bercahaya.             “Al, kamu mau gak jadi pacar aku?” tanya Bian tiba-tiba. Ia bahkan tidak menyadari kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Bian pasti sudah tidak waras.             Aliyyah langsung menghentikan aktivitas membereskan peralatan olahraganya dan beralih pada Bian. Ia memandang Bian dengan wajah bingung dan terkejut.             Meskipun terkejut, Bian mengangguk. Udah terlanjur, pikirnya. Ia mengulangi lagi pertanyaannya, “Kamu mau jadi pacar aku gak?”             Awalnya Aliyyah diam, namun Bian melihat perempuan itu menarik napas. Ia juga bibir Aliyyah mengucapkan “Bismillah” sementara matanya tertutup. Aliyyah tersenyum. *** “Thank you, Al.” – Bian 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN