BAB 14 - TIDAK SEMPURNA

2231 Kata
Flashback mode: ON.             Hari ini bumi tidak turun hujan di perumahan Baguette Village, perumahan tempat Saira dirawat oleh bundanya dan kedua kakaknya. Saira sedang duduk di atas tempat tidurnya di akhir pekan dengan penyejuk ruangan yang dihidupkan sejak semalam. Jam menunjukkan pukul satu siang dan cuaca langit Baguette Village benar-benar panas.             Saira menghidupkan netbook putihnya dan membuka aplikasi untuk menonton film. Ia mencari film dengan rating 4.5 ke atas untuk menghapus rasa bosannya. Ia juga ingin mengalihkan diri dari kegerahan yang menyerbunya sejak ia kembali dari supermarket berjarah 20 meter dari rumahnya untuk membeli cemilan. Rasa gerahnya juga diperparah karena ia nekat berjalan kaki menuju supermarket tadi.             “Barat? Korea? Jepang? Turki?” Saira berbicara sendiri saat memilih film apa yang harus ia tonton. Dibacanya satu-satu film rekomendasi aplikasi buatan Amerika tersebut sebelum memilih satu untuk diganyangnya hari ini. Ia harus marathon karena besok akhir pekan sudah harus berakhir.             Sebelum mulai menonton, Saira sempat memerika telepon genggamnya apakah ada notifikasi atau tidak. Dan nihil. Padahal biasanya Aliyyah selalu menghubunginya saat akhir perkan, atau Bian pasti sudah berisik di grup chat berisi mereka Saira, Aliyyah, dan Bian. Sebenarnya Saira tau bahwa mungkin Aliyyah masih ada masalah atau memang sedang malas dengan dirinya. Ditambah lagi terakhir kali mereka bertiga saling bicara satu sama lain adalah beberapa hari yang lalu saat Aliyyah berkata dengan jelas pada Bian bahwa ia tidak ingin tau soal ‘itu’ dan tidak ingin membahas soal ‘itu’ lagi. Besoknya barulah Saira tau bahwa yang dimaksud Aliyyah dengan ‘itu’ adalah perasaan Bian. Bian sendiri yang menceritakannya pada Saira. Ternyata ketua kelas yang merupakan anak konglomerat itu sudah menyatakan perasaannya pada gadis lulusan pesantren yang sayangnya tidak ingin membahasnya lagi.             “Saira!” suara bunda dari luar kamar Saira dapat gadis itu dengar dengan jelas bahkan jikalau ia sedang memakai handsfree dan mendengarkan musik rok dengan volum maksimal. Dari nada suaranya Saira tau bunda sedang tergesa dan bukan hanya sekedar ingin memanggil untuk memeriksa apakah Saira sedang tidur atau tidak.             “Iya Bunda?” tanya Saira dengan teriakan dari kamar. Ia kemudian turun dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar sebelum bunda menjawab.             Saira mendapati Aliyyah sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan kepala menunduk. Aliyyah memakai kaus lengan panjang berwarna merah marun tanpa motif dan rok beludru berwarna hitam dengan kancing vertikal di bagian depan. Sementara kepalanya ditutupi oleh kerudung segiempat panjang dan tebal yang tidak tembus pandang berwarna hitam juga. Kaus kakinya tidak lupa ia kenakan. Namun, Aliyyah tidak membawa tas atau apapun. Ia terlihat asal-asalan dan langsung ke rumah Saira.             Jujur saja Saira kaget melihat batan hidung sahabatnya itu. Beberapa hari ini mereka hanya berkomunikasi seadanya karena Aliyyah tidak terlihat tertarik dengan semua hal yang ada di sekitarnya, termasuk apapun yang Saira katakan padanya. Namun kini tiba-tiba saja Aliyyah muncul di ruang tamunya tanpa pertanda.             “Ada Aliyyah, Sar. Coba kamu ajak main ke kamar aja,” kata bunda. Saira heran, tidak biasanya bunda langsung menyuruh tamu untuk masuk ke dalam kamar. Bunda lebih suka semua tamu anak-anaknya berkunjung sampai ruang tamu dulu, namun boleh ke kamar nanti saat waktu sholat dan biasanya barulan teman-teman Saira tidak lagi keluar kamar setelah sholat.             “Hah? Iya Bun.” Saira menggenggam pergelangan tangan Aliyyah dan ia merasa badannya Aliyyah agak hangat. Merasa ada yang tidak beres, Saira menarik Aliyyah semakin cepat. Apalagi setelah dilihatnya Fatih turun dari lantai dua dan mata kakak laki-lakinya itu langsung tertuju pada Aliyyah. Saira langsung menggiring Aliyyah ke kamarnya.             Sesampainya di kamar, Saira sudah tau apa yang akan terjadi. Aliyyah mengangkat kepalanya dan terlihatlah sepasang mata yang tidak secantik biasanya. Mata bulat dan besar itu penuh dengan air mata dan bahkan masih basah. Mata itu terlihat lebih bengkak dari yang Saira perhatikan dalam beberapa hari ini.             “Aliyyah, kamu kenapa?” tanya Saira. Pertanyaan yang sudah Saira janjikan untuk tidak ia ulangi lagi karena tidak pernah mendapat jawaban, akhirnya terungkap lagi. Ia refleks saat melihat Aliyyah hendak menangis lagi. Dan benar, belum juga lima menit, Aliyyah menutup wajahnya dengan telapak tangannya yang putih. Ia menangis. Saira menghidupkan tv kamarnya dan membiarkan berita tentang artis yang sedang dalam proses cerai terdengar keras-keras. Saira memang sengaja memaksimalkan volum tv-nya untuk mencegah suara tangisan Aliyyah terdengar sampai ke luar.             Saira yang kaku akhirnya memeluk sahabatnya itu dan menuntunnya untuk duduk di atas tempat tidur. Kemudian, saat sampai di atas tempat tidur, ia memeluk sahabatnya. Badan Aliyyah panas. Mungkin karena ia belum makan seharian.             “Saira….,” panggil Aliyyah.             “Hm?”             “Aisyah…” suara Aisyah tertahan.             Aisyah. Saira tau sejak awal pasti ada hubungannya dengan Aisyah. Karena Aliyyah tidak pernah terlihat bahagia kecuali sedang menceritakan adiknya yang lucu, dan tidak pernah terlihat lebih sedih dari sat menceritakan Aisyah terluka saat main, dan hal lain yang berhubungan dengan kemalangan Aisyah.             “Aisyah kenapa?” Saira mengelus punggung Aliyyah.             “Sebe-nya -ku tau -da a’ beda dari Aisyah. T-pi ak- pura-pura.. uhuk uhuk..,” Aliyyah terbatuk di tengah ceritanya. Kemudian ia melanjutkan, “Aku pura-pura gak tau.” Aliyyah melanjutkan lagi tangisnya selama satu menit. Saira menunggu dengan sabar. “Sabar Aliyyah, jangan cepet-cepet ceritanya. Sampai kamu batuk gini. Aku ambilin minum dulu ya?” Saira hampir saja bangkit dari duduknya, namun Aliyyah menahannya. “Soalnya aku pikir dia itu sebenernya sama dengan anak-anak yang lain.” Aliyyah melanjutkan ceritanya. Kali ini dengan lebih jelas, sehingga Saira dapat menangkap sekilas dari cerita Aliyyah.     “Terus?” Saira tau Aliyyah susah payah untuk melanjutkan ceritanya. Namun tidak ada yang bisa Saira katakan selain permintaan untuk Aliyyah terus bercerita. “Minggu kemarin Abah sama Ummi ke dokter untuk periksa Aisyah.” “Terus?” “Makanya Aisyah itu suka susah kalo dikasih tau, dia lupa terus dan gak fokus. Kayak gak dengerin apa yang diajarin sama Abah, Ummi, dan aku.” “Iya. Terus?” Aliyyah tidak langsung menjawab. Perempuan berkerudung itu melanjutkan tangisannya sampai Saira bisa melihat selimutnya yang digenggam Aliyyah basah kuyup. Sebenarnya Saira sudah tidak ingin membuat Aliyyah menyiksa dirinya dengan bercerita dan ngos-ngosan serta terbatuk di antara ceritanya dan tangisannya, namun ia juga tau bahwa Aliyyah sudah menahan ini lama dan sebuah kemanjuan Aliyyah mau membuka dirinya dan mempercayakan cerita ini pada Saira. “Al, bukannya aku gak suka kamu cerita. Tapi kamu bisa tenangin diri kamu dulu dan aku ambil minum, terus kamu bisa lanjut cerita setelah kamu minum,” kata Saira pada akhirnya. Ia yakin ini yang terbaik. Ia masih merasakan suhu tubuh Aliyyah yang tinggi. Aliyyah mulai tidak sesenggukan lagi. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengatur napasnya dan mulai tidak menangis lagi. Saira tersenyum dan berdiri untuk keluar kamar hendak mengambil minum. Aliyyah diam saja. Ia memandang lurus ke depan, namun tatapannya kosong. Saira mengisi dua gelas bening tinggi yang berbentuk prisma segilima dengan air panas setengah gelas dan kemudian memenuhinya dengan air bersuhu ruangan. Aliyyah harus minum air hangat. Tubuhnya sedang tidak sehat. “Aliyyah kenapa, Sar?” tiba-tiba saja Fatih menepuk pundak Saira dan berbisik. “Ih, apaansih Mas Fatih? Pingin tau aja,” kata Saira risih. “Ssstt Fatih kamu ngapain?” bunda membelas Saira. Ia tau tidak sopan untuk seseorang mengusik seperti itu. “Kata Bunda mukanya kayak abis nangis?” Fatih tidak menggubris perkataan bunda. Ia masih ingin tau. Saira diam saja. Ia masih menunggu air di gelas kedua penuh, dan ia melihat berkeliling untuk mencari apakah ada kue basah yang bisa mengganjal perut untuk Aliyyah. “Kenapa dia? Putus sama pacarnya?” Saira menoleh dan wajahnya kesal. “Aliyyah mana mungkin pacaran! Udah sana!” “Mas punya coklat tuh di kulkas. Katanya coklat bisa bikin mood bagus,” Fatih tidak mau menyerah. Saira membuka kulkas dan menemukan kotak brownis utuh yang baru saja didapat dari tetangga kemarin malam. Kemudian ia mengambil pisau untuk memotong kue dan dua piring cake. Semua bawaannya ia letakkan di atas nampan. “Gimana? Mau gak coklat?” Fatih bertanya lagi. “Pergi gak?” Saira habis kesabaran. Ia kemudian memperingatkan kakak keduanya yang ia ketahui menyukai Aliyyah, “Mas, Aliyyah itu masalahnya berat, jadi jangan banyak tanya!” Saira menutup pintu dengan kakinya karena tangannya penuh dengan nampan dan isiannya yang lumayan berat. Ia langsung terburu-buru masuk ke kamarnya. Aliyyah sedang termenung dan sesekali menyeka air matanya sendiri. Melihat sahabat yang biasanya hidup dengan kesempurnaan tanpa celah tiba-tiba tidak berdaya dan menangis, membuat Saira ikut berduka. “Aliyyah, kamu pasti belum makan kan? Ini aku bawa brownis. Kamu makan dulu, ya. Jangan lupa itu minum air hangat. Nanti, setelah kamu lebih tenang lagi kita keluar ya, makan siang. Kebetulan aku juga belum makan.” Saira meletakkan nampan di atas meja belajarnya dan mengambil satu gelas berisi air hangat yang tadi sudah disiapkannya. Ia mengulurkan gelas itu pada Aliyyah yang disambut Aliyyah dengan lemas. “Makasih ya, Sar. Maafin aku beberapa hari ini udah gak sopan sama kamu dan Bian,” kata Aliyyah sambil meletakkan gelas di atas kasur, namun tetap memegangnya agar tidak jatuh. Mendengar Aliyyah meminta maaf dan mengucapkan terimakasih, Saira kagum sekaligus kasihan. Di saat seperti ini Aliyyah masih bisa mengakui kesalahannya yang sebenarnya wajar saja semua orang bertingkah menyebalkan ketika ada masalah. Tapi bagi Aliyyah, itu adalah sebuah kesalahan yang tidak bisa ditebus kecuali dengan meminta maaf. “Gak apa-apa, Al. Aku sama Bian ngerti kok. Udah, kamu minum dong airnya. Jangan dipegang aja, keburu dingin.” Aliyyah mengangguk dan menyesap air di gelas yang ia genggam. Air di gelas itu hanya berkurang sedikit sekali. “Kamu jangan bilang Bian dulu ya tentang Aisyah. Kayaknya dia masih marah juga sama aku karena omongan aku yang terakhir.” “Iya. Itu antara kamu sama Bian aja. Aku gak ikut-ikutan.” “Makasih ya Sar.” “Sama-sama, Al.” “Sar, aku boleh numpang sholat zuhur? Tadi aku ke sini sebelum azan.” “Boleh. Yuk, wudhu dulu.” Aliyyah meletakkan gelas yang sedang ia pegang dan membiarkan Saira menuntunnya ke kamar mandi di luar kamar. Mereka berdua berjalan perlahan-lahan karena sepertinya Aliyyah sudah sangat lemas dan ia sempat mengaku pusing karena terlalu banyak menangis belakangan ini. Saat sampai di depan kamar mandi, ternyata Fatih sedang di dalam. Aliyyah memaksa untuk menunggu saja di depan kamar mandi sementara Saira menyiapkan makan siang untuknya dan Aliyyah. Aliyyah akhirnya setuju untuk makan selesai sholat nanti, setelah Saira memaksanya puluhan kali dan mengancam akan marah jika Aliyyah pulang tanpa makan siang bersama. Lewat sepuluh menit dari terakhir Saira meninggalkan Aliyyah di depan kamar mandi, Saira memeriksa keberadaan temannya. Kemudian ia menyaksikan Aliyyah kaget saat melihat Fatih keluar dari kamar mandi, sementara Fatih, meskipun sudah berkali-kali bertemu dengan Aliyyah, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Aliyyah. Ekspresi wajah Fatih berubah sedikit saat sadar bahwa Aliyyah memang habis menangis, dilihat dari bengkak di matanya dan wajahnya yang kini pucat. Aliyyah segera menunduk, dan Fatih cepat-cepat berlalu, kembali ke kamarnya di lantai dua. Dan Saira kembali ke dapur untuk melanjutkan aktifitasnya.   “Kamu mau lanjutin ceritanya Al?” tanya Saira saat ia dan Aliyyah sudah selesai makan dan kembali ke kamar Saira.             Aliyyah diam sebentar. Saira yakin kini Aliyyah sudah stabil emosinya. Gadis berkerudung itu juga kini sedang diam dan memperhatikan Saira yang sedang membereskan netbook-nya.             “Jadi, vonis dari dokter kemarin……,”Aliyyah menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Aisyah itu down syndrome.” Aliyyah langsung to the point dalam satu tarikan napas. Ia tidak lagi menggambarkan dari awal bagaimana kondisi Aisyah dan bagaimana Abah dan Ummi menyadari bahwa anak kedua mereka memiliki gejala retardasi mental.             Saira tidak bisa menggambarkan nada bicara Aliyyah saat mengatakan vonis dokter untuk adiknya. Ia yakin betul di balik nada bicara Aliyyah yang datar barusan, terkandung banyak emosi di dalamnya. Saira pun tidak tau bagaimana harus merespon dan kata-kata apa yang paling baik ia utarakan saat ini.             “Al…” Saira memanggil Aliyyah tanpa tau harus mengatakan apa setelahnya. Ia hanya ingin memecahkan keheningan antara mereka.             “Tapi aku akan doa, supaya Aisyah tetap bisa menghafalkan Al-Quran dan kasih mahkota ke Abah sama Ummi di akhirat nanti.” Aliyyah mengatakannya dengan mata berkaca-kaca dan siap untuk menangis lagi. Namun ia menahannya.             “Aku yakin. Insya Allah bisa,” ucap Saira. Ia takjub dengan perkataannya sendiri. Ia bukanlah gadis relijius dan selalu mengandalkan doa di setiap kesempatan seperti Aliyyah. Ia belum pernah punya cita-cita dan tidak peduli untuk dapat menghafalkan Al-Quran seperti Aliyyah, bahkan ia terkadang mengerjakan sholat hanya untuk menggugurkan kewajibannya. Tapi, baru saja ia sangat ingin mendoakan sahabatnya agar keinginannnya terwujud. Ia sangat ingin dan harus memohon pada Tuhan agar doanya dikabulkan. Terbangun di setiap malam untuk berdoa pun tidak apa-apa.             Dulu memang Aliyyah pernah bercerita pada Saira, bahwa ia sangat senang memiliki adik perempuan, itu artinya kini Abah harus membesarkan dua anak perempuan. Dan keutamaan memiliki dua anak perempuan, sangatlah besar. Aliyyah juga pernah mengungkapkan bahwa motivasinya untuk dapat menghapalkan Al-Quran adalah untuk memakaikan mahkota untuk kedua orang tuanya di akhirat nanti. Dan Aliyyah ingin Aisyah pun begitu. “Kayak orang-orang yang cumlaud dan lulusan terbaik ketika kuliah loh, Sar. Kan katanya orang tuanya dapat tempat duduk di depan,” begitu kata Aliyyah.             Kini Saira mengerti. Aliyyah pasti begitu terpukul. Adiknya kesayangannya, dan semua cita-cita, keinginan, dan kepercayaannya semuanya seperti kabur di depan pelupuk matanya. Saira berusaha untuk mengerti. Namun, setelah hari ini ia tidak akan melihat Aliyyah menjadi perempuan yang sempurna dan seorang tokoh utama lagi. Aliyyah lebih dari itu. Flashback mode : OFF *** “Kita jalan sendiri-sendiri aja” – Aliyyah
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN