BAB 13 - DATING AS FRIENDS

2455 Kata
“Bunda sih bolehin. Emang kenapa gak mau dijemput?” tanya bunda di pagi buta saat Saira sedang merebus macaroni untuk membuat mac n’ cheese sesuai janjinya pada Gibran. Langit di luar masih sangat gelap. Saira baru saja selesai sholat subuh dan bunda sedang menyiapkan makanan karena hari ini tidak perlu berangkat pagi-pagi sekali. “Saira mau ada perlu dulu sama Aliyyah. Mau nonton basket. Abis itu pulangnya minta anterin temen aja.” “Oh, hari ini ada pertandingan basket?” “Bukan, Bunda. Hari ini cuma latihan basket,” jawab Saira jujur. “Kok latihan aja ditonton?” tanya bunda bingung dengan maksud anak perempuan satu-satunya. “Soalnya kan mau nontonnya sama Aliyyah. Aliyyah pingin ada yang dicurhatin katanya, Bun,” jawaban Saira berputar. “Sebentar, jadi kamu mau izin pulang terlambat karena Aliyyah atau karena nonton latihan basket?” Saira berpikir, dan menemukan jawaban, “Saira sama Aliyyah mau ngobrol sambil nunggu Bian latihan basket.” “Oh gitu? Nanti dianternya sama siapa?” bunda, seperti ibu pada umumnya. Saira memiliki feeling bahwa bunda sebenarnya tau bahwa ia ingin pulang dengan Gibran. “Sama temen.” “Siapa namanya?” “Bunda gak kenal.” “Makanya kenalin dong.” “Bunda, boleh gak jadinya?” tanya Saira memelas. Bunda tersenyum, kemudian menjawab, “Yaudah iya.” Kini gentian Saira yang tersenyum. Ia segera melanjutkan rebusan macaroninya dan mengambil s**u di kulkas serta memotong bawang, kemudian ia proses dengan chopper. “Kok tumben masak pagi-pagi gini?” bunda bertanya lagi saat sadar Saira mulai sibuk di dapur. “Pingin bawa, Bun.” “Ini Bunda juga lagi masakin sekalian buat mas-mas kamu loh.” “Iya Bunda, nanti Saira juga bawa masakan Bunda. Tapi Saira pingin buat mac n’ cheese.” “Yaudah, kamu sekarang mandi dulu aja, biar Bunda yang lanjutin ya,” bunda segera mengambil alih sutil yang sebelumnya Saira tinggalkan karena sedang menunggu margarin di wajan lumer. “Jangan Bunda!” Saira hampir berlari dan segera memasukkan bawang putih yang sudah dihaluskan. “Biar Saira masak sendiri. Kasian Bunda capek.” “Beneran?” “Iya, Bunda kalau udah selesai duduk aja.” Bunda seperti menimbang maksud Saira, namun kemudian wanita yang berumur 45 tahun itu kembali ke kamarnya untuk kemudian keluar lagi dengan mukena dan Al-Quran di tangan kanannya. “Kamu sekalian tolong liatin masakan Bunda ya, jangan sampai gosong.” “Oke Bunda.” Saira memasak dengan penuh ketelitian. Ia tidak membiarkan celah sedikit pun bagi Gibran nanti saat mencobanya. Ia akan pastikan Gibran memuji masakannya, atau paling tidak Gibran harus menghabiskan makanan yang sudah susah payah Saira buatkan di pagi buta. Setelah macaroni yang Saira rebus matang, Saira meniriskannya dan meletakkannya di piring, kemudian ia masukkan bawang-bawangan ke dalam Teflon panas berisi margarin yang sudah dilumerkan, dan memasukkan semua bahan satu demi satu, kemudian membiarkan masakannya yang telah selesai agar dingin sampai suhu ruangan untuk kemudian ia masukkan ke dalam kotak bekalnya. Di sela-sela memasak makanan untuk Gibran, Saira tidak lupa menyelesaikan masakan bunda yang tadi sempat bunda titipkan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tubuenam lewat saat Saira menyelesaikan semuanya dan melirik bunda yang kini sedang membaca buku. Gadis bertubuh pendek itu kemudian masuk ke kamar mandi dengan sedikit panik karena khawatir akan terlambat. Gibran: Morning Pesan pertama dari Gibran hari ini diterima Saira saat ia sampai di sekolah lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Saira langsung memnbacanya sembari mempersiapkan modulnya untuk hari ini yang selalu ia simpan di dalam loker di belakang kelas. Kemudian Saira membawa semua buku ke tempat duduknya dan membuka netbook putih kesayangannya. Sebelum duduk, Saira sempat melirik Aliyyah yang kini sedang menunduk sambil memanda handphone-nya, terlihat sahabatnya yang berkerudung itu sedang membaca buku elektronik. Saira tersenyum mendapati Aliyyah sedikit demi sedikit kembali menjadi Aliyyah yang dulu, perempuan yang tenang, ceria, dan menghabiskan waktunya dengan hal yang baik. Saira membalas pesan dari Gibran dengan senyum yang ia sembunyikan. Saira: Morning Gibran: Diizinin bunda gak? Saira: Yes! Saira: Mau mac n’ cheese gak? Gibran: Buatan Saira? Saira: Iya dong Gibran: Mau! Gibran: Nnt setelah zuhur tunggu di kelas ya! Gibran: Gue jemput Saira: Mau kmn? Saira tidak lagi mendapat balasan dari Gibran setelah ia mendengar bel masuk berbunyi. Pastilah guru pelajaran pertama sudah masuk ke kelas Gibran. Dan belum berapa lama Saira mendapati Pak Cahyo memasuki kelasnya. Pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia. Masjid di jam pelajaran kedua sangat ramai oleh murid-murid dan guru-guru beragam muslim yang ingin menunaikan sholat zuhur. Masjid tingkat dua yang terletak jauh dari gedung 1, 2, 3, maupun 4 itu bernama Masjid Bani Shaleh, artinya anak-anak sholeh yang dimaksudkan oleh pendirinya sebagai doa agar-agar murid-murid yang bersekolah di SMA Pelita Mulia tumbuh menjadi anak-anak yang sholeh. Masjid itu lebih dekat ke gerbang masuk sekolah, dengan tujuan agar orang-orang yang berada di luar kawasan SMA Pelita Mulia juga bisa sholat di sana, sehingga kemungkinan Masjid dimakmurkan bukan hanya oleh warga SMA Pelita Mulia, tetapi juga siapa saja yang berada di sekitar kawasan sekolah. Saira baru saja menyelesaikan empat rokaat sholat zuhur dan segera berjalan—setengah berlari—menuju kelasnya. Ia khawatir Gibran sampai di sana duluan. Dan benar saja, saat ia setelah berlari, Gibran sudah menunggu Saira di depan kelas dan terlihat melirik-lirik ke dalam kelas untuk mencari seseorang. Saira pastinya. “Kak Gibs! Kok bisa sampai duluan sih?” tanya Saira saat ia menghampiri Gibran dengan tersenyum. “Mungkin gue terlalu semangat karena mau makan bareng Saira,” jawab Gibran. “Sebentar! Ambil makanannya dulu,” kata Saira yang berjalan menuju loker di bagian belakang kelasnya dan mengambil kotak makanan berisi masakannya. Kemudian dua sejoli itu, Saira dan Gibran berjalan menjauh dari kelas Saira dan turun menuruni tangga. Gibran mengarahkan Saira ke gedung keempat yang merupakan gedung berisi deretan leboratorium dan ruang olahraga. “Kak Gibran mau ke lab? Emang punya kartunya?” tanya Saira yang bingung. “Bukan, gue mau ke belakang gedung ini.” Gibran menuntun Saira untuk berjalan melewati gedung keempat dan di balik salah satu tembok, Saira melihat sebuah pintu yang terhubung ke sebuah taman berisi bunga-bunga dan pohon-pohon. Tempat ini sangat luas, namun sepi dan hanya ada beberapa anak kelas dua, tiga, dan hanya Kemal dan Maiko yang Saira tau. Sisanya, Saira tidak mengenal mereka. “Ini apa?” tanya Saira. “Ini tuh katanya sih pernah jadi project alumni gitu. Cuma kurang jelas project-nya buat apa. Terus dibuat taman deh sama kepala sekolah,” Gibran menjelaskan. Kini Saira dan Gibran sudah duduk di salah satu bangku kosong. Sebuah bangku taman yang mejanya menyambung dengan bangkunya, berbahan kayu yang bisa dilipat. “Kok sepi ya, Kak?” “Iya. Kebanyakan yang nongkrong di sini tuh anak-anak kelas aksel. Makanya Saira pasti gak familiar sama mereka ya? Soalnya mereka kan jam belajar-nya beda sama kita. Mereka juga gedungnya di gedung empat kan,” Gibran menjelaskan lagi. Ia tampak puas karena Saira belum pernah ke sini dan tampak takjub dengan tempat pilihan Gibran ini. “Kok di sini sepi? Pada gak tau ya?” tiba-tiba Saira merasa spesial. “Ya taulah. Anak kelas dua dan tiga pasti tau, karena ada satu praktik seni rupa di sini. Nanti Saira juga ke sini kalo udah kelas dua,” kata Gibran, kemudian dia melanjutkan saat dilihatnya Saira masih bingung mengapa taman ini sepi meskipun bagus dan nyaman. “Di sini sepi karena jauh banget dari gedung kita, Sar.” Saira mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kenapa tempat sebagus dan senyaman ini bisa sepi. Nyatanya memang hanya dihuni oleh anak-anak jenius dari kelas akselerasi yang hanya menyelesaikan pelajarannya dalam waktu dua tahun. Selain itu, juga dihuni oleh orang-orang yang kurang kerjaan, penghuni gedung 1, 2, dan 3. “Cobain nih Kak,” Saira menyodorkan tempat makannya dan sebuah garpu pada Gibran. Gibran tersenyum dan menaikkan kedua alisnya, berpura-pura terkejut dengan hasil masakan Saira. Saira memukul halus lengan kanan Gibran tanda kesal. “Aduh!” Gibran mengaduh dan mengelus lengannya yang dipukul Saira. “Sukur!” Saira menyerapah. “Yee, awas ya Saira,” sahut Gibran seraya mengelus pucak kepala Saira dengan kasar hingga tatanan rambutnya berubah. “Aduh!” Saira hendak memukul Gibran lagi, saat tanggan cekatan Gibran berhasil menghentikannya. Kapten basket dengan gaya rambut belah tengah itu menahan tangan Saira dengan tangannya. “It won’t work twice.” Gibran menjulurkan lidahnya. Kemudian ia melepaskan tangan Saira dan meletakkannya di atas meja, “Diam di sini ya, tangan Saira! Jangan mukul orang lagi.” Saira diam saja. Ia tidak mencoba memukul Gibran lagi dan terhanyut pada perlakuan Gibran padanya. “Gue makan ya?” Gibran mengambil garpu yang tadi sempat Saira tinggalkan di atas kotak makan, sementara Saira menjawab dengan anggukan pelan. Mac n’ cheese yang Saira bawa adalah Mac n’ cheese sederhana dengan campuran bawang-bawangan, keju parut, dan s**u full cream, serta seasoning ala kadarnya. Di bagian atasnya Saira menambahkan keju mozzarella dan saus sambal, karena dari obrolan-obrolannya dengan Gibran di setiap malam, senior di sekolahnya itu adalah pecinta makanan pedas. “Wah, enak banget Saira. Gue suka!” kata Gibran setelah ia melahap satu sendok makan penuh macaroni buatan Saira, lengkap dengan keju mozzarella lumer di atasnya. Mendengar pujian itu, Saira tersenyum senang. Tidak sia-sia ia hampir terlambat sampai di sekolah dan menyibukkan diri di dapur sejak dini hari. “Gue tau masakan gue udah pasti enak sih, Kak Gibs,” Saira menyombongkan diri. Ia melempar rambutnya yang tergerai ke belakang dan menunjukkan wajah angkuh. “Sombong ya.” Gibran merespon sembari menyendok lagi. Ia tampaknya benar-benar menyukai masakan Saira. “Kak Gibran suka masakan Indonesia atau kayak gini aja?” “Indonesia, sih.” “Jadi ini sebenernya gak begitu suka?” Gibran mengangguk. “Gak begitu suka,” sahutnya. Agak ironi mendengar Gibran mengaku tidak begitu menyukai makanan selain masakan Indonesia saat ia sedang mengambil sendok ke-delapan. “Gak suka tapi lahap banget,” Saira mencibir sarkas. Gibran tertawa sendiri disindir seperti itu oleh Saira. Ia tetap melanjutkan makannya. “Beneran enak, Kak?” Gibran menyendok, kemudian mengulurkannya ke Saira. “Nih, cobain masakan Saira sendiri.” Saira membuka mulutnya menyambut suapan Gibran. Hmm enak, Saira memuji masakannya sendiri dalam hati. Ia tidak ingin dibilang narsistik, tapi masakannya kali ini lebih enak dari biasanya. Dan membuat ia lapar. “Aduh gue lupa! Gue kan mesen kebab buat Saira,” Gibran bangkit dari bangkunya dan menghampiri Kemal yang sedang asik ngobrol dengan pacaran. Laki-laki berwajah timur tengah itu sedang mendiskusikan sesuatu sambil sesekali menunjukkan layar handphone-nya pada Maiko. Dari jarak lima meter Saira melihat Kemal menepuk dahi kepalanya tanda lupa dan melihat berkeliling, kemudian Kemal mengambil sebuah plastik dari sisi kirinya yang sebelumnya tertutup tumpukan buku. Plastik itu yang kemudian ia berikan pada Gibran. “Nih. Kebab bikinan keluarga Kemal Onta,” kata Gibran sambil menyerahkan plastik yang tadi ada di sebelah kiri Kemal yang membuat Kemal menepuk dahinya sendiri, pada Saira. “Tau aja deh kalo lagi laper,” kata Saira. Dalam hati ia juga bersyukur karena Gibran memberinya kebab. Ia lapar sekali sejak tadi dan menjadi semakin lapar saat Gibran menyuapinya sesendok macaroni. Saira membuka plastik berisikan kertas pembungkus kebab dan mulai mencicipi makanan khas Turki itu tanpa tunggu lama. Awalnya Saira merengut setelah gigitan pertama habis ia kunyah dan telah ia telan. Wajahnya sengaja ia perlihatkan pada Gibran, hingga Gibran memberi tanggapan. “Kenapa? Gak suka?” “Enak banget. Belum pernah kayaknya makan kebab seenak ini,” jawab Saira. “Yee, dasar lo.” Gibran mengacak lagi kepala Saira, namun kali ini ia lakukan dengan lembut. Saira tersenyum, tidak marah dan memukul Gibran seperti sebelumnya. “Ini bisnisnya keluarga kak Kemal kan?” “Iya. Enak kan?” “Enak banget. Yang jadi chef-nya siapa?” “Setau gue sih semua anggota keluarganya suka saling bantu dan emang diajarin sih. Cuma, karena resto-nya sekarang udah gede dan banyak varian menu, mungkin udah ada chef khusus yang di­­-hire ya.” “Kak Kemal bisa juga dong bikin Kebab?” “Gue pernah ke rumah-nya dan si onta sendiri yang buatin. Enak. Beneran, deh.” Gibran mengakhiri pujiannya terhadap kebab buatan keluarga Kemal dengan lirikan pada Saira, kemudian ia mulai bicara lagi. “Tapi lo jangan suka sama Kemal loh!” Saira kaget dengan omongan Gibran barusan dan tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya. “Jangan aneh-aneh ya Kak.” “Ya gue takut aja nanti lo diambil Kemal. Gimana gue bisa semangat sekolah lagi tanpa Saira?” Gibran merengut saat mengatakannya. “Ih apaansih Kak Gibs. Payah banget becandanya.” Baru kali ini Saira merasa lelucon Gibran tak membuatnya tertawa, juga tak membuatnya tersipu. “Hahahaha sorry ya. Anyway, kayaknya sebentar lagi kita harus balik ke gedung deh. Agak jauh soalnya takut terlambat.” Gibran menghabiskan macaroni buatan Saira dan mengunyah suapan terakhir dengan lahap. Ia melebih-lebihkan eskpresinya untuk menggoda Saira. Kebab yang dipesan Gibran dari sahabatnya pun tidak tersisa. Sebenarnya Saira hampir merasa terlalu kenyang, namun mengingat ini adalah pemberian Gibran ia sengaja tak menyisakannya. “Yuk, balik!” Gibran mengulurkan tanggannya saat ia beranjak dari tempat duduknya. Ia seperti hendak menggandeng Saira. Sementara Saira sendiri bingungnya bukan kepayang ketika melihat tangan Gibran terulur menunggu Saira menggapainya. Terhitung menit Saira diam terpaku dan hanya melihat tangan besar milik si kapten basket. Ia menaikkan satu alisnya. Gibran sadar Saira bingung. Ia segera menarik kembali lengannya yang hampa. “Sorry, Sar. Gak maksud,” ungkapnya. Saira mengangguk dengan wajah masih kebingungan. Kemudian dia berjalan keluar dari pintu keluar taman mengikuti Gibran yang diam saja seajak mengungkapkan permintaan maaf. Gibran terus dan terus hanya memandang ke depan dan membiarkan Saira yang berjalan dalam keheningan di belakangnya. Barulah saat sampai di persimpangan Gibran berbalik badan dan menghadapi Saira. “Sar, jangan mikir macem-macem, ya,” pinta Gibran, mengagetkan Saira yang berjalan sedikit menunduk dengan pikiran kosong. “Iya, Kak. Tenang aja.” “Actually it’s not a thing. But just in case you feel awkward?” Gibran menaikkan alisnya menunggu respon Saira. “Iya, emang bukan apa-apa kok, Kak Gibs. See you!” Gibran melambaikan tangan saat ia berlar kecil menuju kelasnya. Kemudian setelah beberapa detik berlari kecil karena seperti kata Gibran, sebenarnya dia memang merasa canggung. “Saira!” suara Gibran yang sedikit keras terdengar lagi memanggilnya. Saira belum terlalu jauh dan menoleh untuk kemudian mendapati Gibran bertanya lagi. “Nanti jadi pulang bareng, kan?” Untung saja beberapa siswa sudah sampai di kelas dan saat ini mereka sedang tidak menjadi pusat perhatian. Kondisi persimpangan kelas yang sepi ini tidak dikhawatirkan Saira sama sekali. Mungkin hanya satu dua orang yang mendengarnya. Selama beberapa detik setelah mendengar pertanyaan Gibran, Saira yang berusaha mengusir kecanggungannya akhirnya tersenyum seperti biasa dan mengangguk. Membuat Gibran balik tersenyum kepadanya dan melambaikan tangan lagi tanda perpisahan. *** “Aliyyah, kamu kenapa?” – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN