BAB 15 - BIAN DAN ALIYYAH

2282 Kata
Flashback mode : ON             Arisbian Haryo turun dari sebuah mobil berwarna hitam yang di-repaint dengan cat hitam doff. Mobil produksi Jepang yang diimport ke Indonesia dalam keadaan Complete Build Up itu, memiliki plat nomor B 14 NHR. Sebuah plat nomor yang dipesan oleh ayah Bian saat anak laki-lakinya itu memenangkan lomba karya ilmiah tingkat SMP.             Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah bagi seluruh murib baru SMA Swasta Pelita Mulia. Seluruh anak kelas satu diinstruksikan untuk datang jam 6 pagi dan hanya boleh berjalan kaki. Kendaraan hanya boleh mengantar sampai halte TransJakarta terdekat.             Bian celingak-celinguk mencari anak-anak yang menggunakan hoodie yang sama dengannya. Hoodie berwarna hijau army dan bertuliskan Pelita Mulia di lengan sebelah kanan dan lambang Pelita Muliah di d**a sebelah kiri. Sementara untuk bawahannya, seragam mereka adalah celana abu-abu dengan warna lebih gelap dari celana SMA pada umumnya.             Bukan hoodie hijau army dengan tulisan Pelita Mulia di lengan kanan, melainkan hoodie merah marun. Seorang perempuan dengan hoodie Pelita Mulia berwarna merah marun baru saja turun dari jembatan TransJakarta dan ia berjalan dengan perlahan dan wajah yang tenang. Wajah itu terlihat seperti selalu tersenyum, bahkan ketika si pemiliknya tidak ingin tersenyum.             Bian memandang dari ujung kaki hingga ujung kepala. Anak perempuan yang sepertinya sebaya dengan dirinya itu memaikai rok abu-abu span panjang yang tidak ketat sama sekali. Selain itu, perempuan itu pun menggunakan hijab putih untuk menutupi kepalanya dan mengulurkannya sampai menutupi dadanya juga. Bian akui, perempuan ini benar-benar cantik. Bian bahkan tidak bisa memutuskan mana yang lebih cantik. Perempuan ini, atau artis-artis yang pernah ia lihat, baik dari layar ataupun secara langsung.             Anak perempuan itu berjalan tenang, namun tidak lambat. Ia berjalan santai sambil melihat berkeliling dan menggenggam handphone  berwarna hitam polos dengan tiga buah kamera di belakangnya. Sebuah handphone keluaran perusahaan Korea yang saat ini sedang mendunia. Bian juga memakainya.             “Hati-hati nanti dijambret loh,” Bian memperingatkan. Ia menghampiri anak perempuan yang mencuri perhatiannya itu.             Gadis itu menoleh dengan sedikit terkejut dan berkata, “Eh iya.” Kemudian ia memasukkan telepon genggamnya ke dalam tasnya dan berjalan sambil menunduk.             Sebenarnya dalam beberapa lama, Bian sudah mulai menemukan beberapa anak laki-laki—dan perempuan—berseragam hoodie yang sama dengan yang ia dan anak perempuan berkerudung itu pakai. Namun, Bian sudah tidak tertarik lagi mencari teman baru. Ia ingin bertanya lagi pada anak perempuan ini. Takut-takut ia tidak akan bertemu lagi dengannya karena perbedaan kelas.             “Anak Pelita Mulia?” tanya Bian.             “Iya,” jawab si perempuan berkerudung.             “Kelas berapa?”             “Sepuluh Empat.”             “Sama dong!” seru Bian. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan dari suaranya saat mendengar bahwa mereka ada di kelas yang sama.             “Oh iya?” seketika anak perempuan itu menoleh—karena sejak tadi masih menunduk—dan menunjukkan senyumnya. Sepertinya ia juga senang karena memiliki teman satu kelas.             “Gue Bian!” Bian mengulurkan tangannya, hendak berjabat tangan sebagai tanda perkenalan.             “Aku Aliyyah.” Perempuan berkerudung yang mengaku bernama Aliyyah itu tersenyum dan tidak menyambut tangan Bian. Ia malah menganggukkan kepalanya sebentar dan menempelkan kedua telapak tangannya satu sama lain.             Bian menarik kembali uluran tangannya. Tanpa ia sadari Aliyyah berjalan agak menjauh darinya dan tau-tau mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah.             Bian dan Aliyyah sampai pada pukul 5.50 pagi dan melihat sudah banyak anak-anak berpakaian hoodie hijau army dan merah marun, tanda bahwa mereka adalah anak kelas satu. Anak-anak baru itu diinstruksikan untuk duduk di lapangan sekolah oleh seorang senior dengan wajah serius dan berwibawa bernama Shota. Bian yakin bahwa Shota memiliki paling tidak setetes darah orang Jepang di tubuhnya. Wajahnya Shota mengingatkan Bian pada komik-komik yang ia baca.             “Halo. Selamat pagi semuanya!” Shota memberi salam dan menunggu anak-anak baru itu menjawab salamnya.             “Pagi!” serentak anak-anak baru itu menjawab.             “Okay. Thank you for coming to the very first day of your high school life. So, perkenalkan, saya adalah wakil ketua OSIS di sini. Dan selama satu minggu ke depan, kalian akan dibiasakan dengan lingkungan SMA Pelita Mulia, diajarkan bekerja sama dan we hope at the end you will learn how to cooperate and lead a team. So, you guys now know what our goal is in this Pelita Mulia Introduction Program,” kata Shota panjang lebar. Kemudian ia menambahkan, “After my very short speech, Ketua Yayasan Pelita Mulia, Kepala Sekolah Pelita Mulia, dan Ketua OSIS Pelita Mulia akan memberikan beberapa kata sambutan yang tenang aja, beliau-beliau ini adalah orang-orang yang paling simple yang pernah saya temui, jadi speech-nya gak akan lama.”             Beberapa anak kelas satu dan beberapa senior yang mengelilingi barisan anak kelas satu tertawa kecil. Begitu pun beberapa guru-guru yang duduk berderet di ujung lapangan.             “Setelah itu, di sini ada Kamila. You can call her Kak Kamila, Mbak Kamila, or anything you name it, as long as she doesn’t mind. And she’ll be the host for today’s agendas. Dia akan share ke kalian untuk rundown hari ini. Jadi, kalian ikuti saja. Oh ya, please bear in mind we don’t agree with anything related to perplocoan. Because, it doesn’t meet our school’s character, so please if there any senior who treats you bad, just because he or she feels superior, please let me know. Thank you semuanya! Selamat datang di SMA Pelita Mulia!”             Bian merasakan selama Shota berbicara di depan, mata senior laki-laki itu selalu melihat ke arah Aliyyah. Membuat Bian sadar bahwa yang menganggap Aliyyah cantik bukan saja dirinya. Tanpa ia sadari ia merasa tak suka melihat Shota memandang Aliyyah terus-terusan, apalagi setelah dia mengakhiri kata-katanya, senior itu masih saja memperhatikan Aliyyah dari tempat duduknya. Untuk saja, setelah Bian memeriksa apakah Aliyyah sadar bahwa ia sedang diperhatikan, perempuan itu ternyata sedang menunduk.             Kemudian agenda dilanjutkan dengan Kamila yang muncul dan memperkenalkan diri lagi sebagai ketua club Sastra Drama. Tidak perlu heran bahwa ia memang piawai dan sudah terbiasa tampil di depan umum. Ia membawakan acara dengan sangat santai dan membuat semua anak murid kelas satu merasa nyaman.             Saat tiba waktunya untuk membagi diri ke beberapa kelompok, Bian langsung menghampir Aliyyah dan menawarkan diri untuk satu kelompok. Aliyyah awalnya terlihat risih ketika masih berdua saja dengan Bian, namun ketika seseorang yang terlihat percaya diri dan cuek menawarkan diri untuk bergabung, Aliyyah terlihat lebih nyaman.             “Hai, gue Nadia. Boleh join?” tanya perempuan dengan rambut dikuncir satu.             “Boleh! Kamu setuju kan, Bi?” Aliyyah meminta persetujuan Bian.             “Yes. Satu lagi siapa ya?” Bian langsung cekatan mencari seorang anak laki-laki yang belum mendapat kelompok. Ia sudah memiliki rencana bahwa satu kelompok ini harus seimbang antara laki-laki dan perempuan.             Bian sempat mencari sebentar, kemudian kembali dengan seorang laki-laki berkulit gelap dan rambut keriting di belakngnya mengikuti.             “Ini. Namanya Abe,” Bian memperkenalkan Abe pada Aliyyah dan Nadia.             “Aku Aliyyah.”             “Gue Nadia.”             “Hai. Gue Abe.” Sama seperti Shota, Abe juga sempat memperhatikan Aliyyah, namun saat Aliyyah terlihat tidak nyaman dan menunduk, Abe langsung tau diri dan ikut menunduk juga.             Sejak saat itu, hampir tidak pernah Bian melihat laki-laki yang bertemu Aliyyah, namun tidak memandang temannya itu dua kali. Dan respon Aliyyah selalu sama. Ia tidak nyaman, dan menunduk. Belakangan, baru Bian tau bahwa Aliyyah adalah seorang anak perempuan lulusan pesantren yang menjaga dirinya dari pergaulan antara laki-laki dari perempuan. Namun sayangnya, itu tidak membuat dirinya berhasil menahan perasaan suka pada Aliyyah.             Awalnya Bian bingung bagaimana harus terus berpura-pura punya urusan dengan Aliyyah. Bagaimana caranya agar ia bisa dekat dengan Aliyyah, ditambah lagi ketika waktu penjurusan tiba. Anak-anak kelas X4 harus dibubarkan dan akan dipisahkan menurut jurusan masing-masing. Bian bersyukur karena Aliyyah memiliki minat yang sama dengan dirinya, yaitu sains. Namun ia masih merasa khawatir karena kemungkinan mereka bisa sekelas lagi hanya 25%. Hal itu disebabkan karena kelas IPA untuk anak kelas satu berjumlah 4 kelas.             Kemudian Bian sadar bahwa ia bukan orang sembarangan. Ia adalah anak seorang Ali Haryo, seorang konglomerat dengan beberapa bisnis dan link dimana-mana.             “Pa, Bian boleh minta tolong gak?” tanya Bian di suatu malam saat Ali masih sibuk di depan laptopnya dan baru saja selesai menutup telepon.             “Apa?” ayah Bian langsung menanggapi dengan serius, mengetahui bahwa Bian tidak biasanya menemuinya malam-malam di ruang kerjanya.             “Jadi, sebentar lagi Bian kan diacak lagi kelasnya, karena penjurusan..”             “And?”             “Papa bisa gak atur supaya Bian sekelas lagi sama beberapa teman kelas Bian yang sekarang?”             “Why? Kamu gak bisa survive kalo gak ada mereka?”             “Nope. I have my own consideration.”             “As the person you are asking for help, can you tell me about it?”             “I just like them.”             “Get yourself, Bi. Papa gak suka bantu kamu untuk hal-hal kayak gitu. You have priviledge, but don’t waste it. Okay?”             “Aku suka sama temen aku itu,” kata Bian pada akhirnya. Ia tidak tau harus bicara apalagi agar ayahnya mau membantunya.             “Wow. Permintaan kamu gak penting banget, Bi. Fokus belajar ajalah. Papa pingin liat kamu menang lomba lagi, join any events maybe, ikut club yang bermanfaat, naikin peringkat kamu di kelas, belajar jadi pemimpin, atau apapun yang baik.”             “Okay.” Bian menunduk dan berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya.             “Or at least, kamu harus bisa tukar bantuan papa dengan sesuatu yang menguntungkan dan bikin papa setuju. Let’s learn how to bargain!,” ayah Bian memberi kode.             Bian tersadar. Ia berbalik arah dan mengatakan sesuai dugaan ayahnya, “Papa mau apa?”             Ayah Bian tersenyum. Ia sadar anaknya mirip sekali dengan dirinya, pandai membaca situasi. “Ada dua sih yang papa mau.”             “Just tell me, Pa.”             “Pertama, kamu bisa jadi ketua OSIS di SMA kamu, dan yang kedua, kamu bisa mulai bantu-bantu papa gak di kantor? Jadi nanti setelah lulus kuliah udah gak kaget?”             “Berarti permintaan Papa ada 3 dong?”             “Apa aja?”             “Pertama, ketua OSIS. Kedua, bantu-bantu Papa di kantor. Ketiga, setelah bantu-bantu Papa di kantor, Bian harus lanjutin bisnis Papa, kan?”             Ayah Bian tersenyum. “Betul sekali.” Lelaki dengan rambut yang sudah sedikit beruban itu menambahkan, melihat wajah Bian yang sedikit ragu. “Ya terserah kamu. Itu kan tawaran kamu.”             “Oke deh,” jawab Bian. Ia tidak lagi pikir panjang saat teringat dengan Aliyyah.             Begitulah, kini Bian bisa satu kelas dengan Aliyyah. Ditambah lagi ayahnya memperbolehkan Saira dan Abe sebagai bonus. Namun sayang, Abe ternyata berniat masuk jurusan ilmu sosial. Alhasil, mereka tidak berjodoh.             Sejak penjurusan di kelas satu, Bian semakin sering mendekati Aliyyah. Anak konglomerat pun tidak berpikir rumit untuk mendekati gadis polos seeperti Aliyyah. Ia sekali lagi, mencalonkan diri untuk menjadi ketua kelas dan berhasil mendapatkan simpati wali kelas dan semua teman-temannya, termasuk Aliyyah. Pada saat perhitungan suara, sesuai prediksi dan rencana Bian, ia berhasil menjadi ketua kelas, dengan begitu hampir Aliyyah sendirilah yang akan datang padanya untuk keperluan akademik dan urusan kelas.             “Al, kamu masih aktif di club Tahfidz?” tanya Bian, mengetahu bahwa perempuan pujaan hatinya itu sudah lama mendaftar club Tahfidz dan tidak ada niatan berubah. Sementara beberapa teman-temannya sudah berganti club setidaknya dua kali saat mereka mulai penjurusan.             “Masih, Bi. Makasih ya dulu kamu rekomendasiin club Tahfidz. Aku kira tadinya aku gak akan punya club yang cocok,” jawab Aliyyah.             Bian mengangguk. Sementara Saira, gadis yang juga merupakan teman mereka sejak menjadi siswa baru—namun tidak masuk dalam jajaran orang-orang yang Bian atur untuk dapat sekelas lagi setelah penjurusan—juga Bian tanyakan. “Lo gimana Sar? Betah di Tata Boga?”             “Iya. Betah-betah aja. Soalnya club-nya jarang ada kegiatan, jadi gue sering santai aja di rumah,” jawab Saira. Bian mengangguk juga dan bersyukur.             Sebenarnya ia tidak mengatur Saira untuk dapat satu kelas dengannya dan Aliyyah setelah penjurusan adalah karena Saira sempat ragu untuk memilih jurusan yang akan diambil. Bahkan satu minggu sebelum pemilihan jurusan, Bunda Saira masih sempat datang ke sekolah untuk mengganti jurusan dari ilmu sosial menjadi ilmu alam.             “Thank ya Bi, lo emang cocok banget deh jadi ketua kelas. Gue merasa terbantu banget,” kata Saira tiba-tiba. Pujian Saira membuat Bian menaikkan satu alisnya dan mengerutkan dahinya.             “Aku juga ngerasa gitu. Bian baik banget dan aku masih inget Bian itu murid pertama yang nyapa aku pas awal masuk.” Aliyyah menyetujui pujian Saira untuk Bian.               Alih-ali menaikkan alisnya, Bian merasakan pipinya memerah karena malu. Namun ia dalam hati menyangkal bahwa kebaikannyalah yang membuat ia menyapa Aliyyah. Ia menyapa gadis cantik itu dikarenakan perasaan suka yang sudah ada sejak pertama melihat Aliyyah.             Kemudian keadaan menjadi canggung. Bian tidak merespon pujian kedua sahabatnya karena malu, sementara kedua sahabatnya pun diam saja. Mungkin mereka merasa menyesal karena menciptakan suasana canggung di antara mereka.             “Kalian kapan-kapan main ke rumah gue yuk?” tiba-tiba Saira mencairkan suasana.             “Ayuk, aku mau main ke rumah Saira,” Aliyyah segera merespon.             “Boleh. Nanti weekend gue jemput Aliyyah terus ke rumah lo ya, Sar. Share Location aja,” Bian menanggapi undangan Saira. Ia pun berpikir bahwa ini bisa menjadi cara yang mudah untuk mengajak Aliyyah pergi dulu. Berpura-pura mencari buah tangan sebelum bertandang ke rumah orang.             “Enggak!” Aliyyah cepat-cepat menolak. Bian menoleh dan hatinya sedikit tersinggung. “Kita jalan sendiri-sendiri aja. Kan gak enak kalau berdua doang. Lagian aku lebih suka naik Trans Jakarta.”             “Emang kenapa?” tanya Bian.             “Gak enak aja. Gak baik,” kata Aliyyah tidak jelas.             “Maksud gue, main ke rumah gue pas pulang sekolah aja. Biar jalan ke sananya bareng gue,” kata Saira menjelaskan detail undangannya.             Bian dan Aliyyah diam. Flashback mode : OFF *** “Aku suka sama kamu, Al.” – Bian 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN