BAB 12 - SUKA

2223 Kata
            Di dunia ini, berapa kali jatah yang diberikan Tuhan untuk manusia dapat merasakan rasa suka yang mendalam? Satu? Dua? Atau bisa lebih dari dua digit? Konon Saira pernah mendengar bahwa ada kemungkinan seseorang memiliki mantap lebih dari jumlah umurnya. Beberapa orang memang lebih nyaman hidup dengan komitmen dan tidak betah sendirian. Terlepas dari orang itu memang menyayangi pasangannya, atau hanya sekedar ingin memiliki pasangan yang bisa dijadikan sandaran dan teman bercerita.             Saira sendiri tidak tau apakah ia masih bisa merasakan perasaan suka seperti yang saat ini ia rasakan pada Gibran. Pasalnya, Gibran memanglah yang pertama membuatnya tidak bisa tidur karena jantungnya berdegup memikirkan hal-hal menyenangkan yang terjadi pada dirinya dan Gibran di waktu-waktu lalu, dan juga membuat Saira tidak bisa tidur karena memikirkan hal menyenangkan apalagi yang besok akan terjadi.             Semua candaan-candaan Gibran, entah benar atau memang hanya candaan semata nyatanya bisa membuat Saira tersipu malu dan merasa terbang hingga langit ke tujuh. Semua candaan itu juga membuatnya merasa disukai oleh sang kapten basket sekolah, dan membuatnya merasa spesial setelah sekian lama dihinggapi rasa bahwa ia adalah pemeran figuran di kehidupannya sendiri.             Sebelumnya Saira tidak pernah terpikir akan mengenal baik kapten basket sekolah yang terkenal dan memiliki banyak penggemar. Sesungguhnya terkadang Saira merasa, “These girls can’t beat me.” Melihat dari percakapannya dengan Gibran yang semakin intens dan bagaiman Gibran merespon semua obrolan mereka. Gibran tidak pernah terlihat merasa terganggu akan kehadiran Saira. Gibran juga tidak jarang mengajak Saira menontonnya latihan basket dan menghampiri Saira di bleachers saat break, mengingatkan Saira pada film-film remaja klasik yang suka ia tonton.             Namun, dibalik itu semua, tidak jarang Saira merasa bahwa ia memang hanya dianggap teman oleh Gibran. Obrolan-obrolan mereka hanya obrolan yang sama dengan obrolan Saira dengan Fatih atau Bian, sementara obrolan-obrolan yang bisa membuat Saira tersipu selalu diakhirnya oleh Gibran dengan alibi bahwa ia hanya bercanda, mematahkan semua dugaan Saira bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan.             Saira terus memandang botol air mineral bertuliskan “Tuesday, Nov 13th” yang merupakan pemberian dari Gibran. Ia tidak pernah membukanya, dan untung saja bunda juga tidak pernah bertanya mengenai botol air mineral itu.             Saat ini kalender di kamar Saira menunjukkan bahwa bulan April sebentar lagi akan berakhir. Saira harus menyiapkan segalanya untuk ujian kenaikan kelas. Ia benar-benar tidak ingin mengecewakan bunda dan kakak-kakaknya. Tapi bukannya fokus pada jadwal ujian kenaikan kelas, Saira fokus menghitung sudah berapa lama ia kenal dengan Gibran.             “Enam bulan….” Kata Saira pada dirinya sendiri.             Enam bulan bukan waktu yang sebentar. Pantas saja ia merasa bahwa Gibran merupakan salah satu sahabat baiknya. Hampir tidak ada satu kejadian pun yang tidak ia ceritakan pada Gibran. Sama halnya dengan Gibran, ia juga sering kali menceritakan hal-hal yang terjadi pada dirinya kepada Saira. Komunikasi-komunikasi rutin mereka pun tidak pernah absen dari telepon genggam masing-masing, seperti, “Hai! Hari ini rencana kemana?” atau, “Hari ini sibuk banget. Kayaknya akan lama balas chat yaa.” Kadang juga dengan hal-hal ringan seperti, “Selamat pagi Saira!” yang akan dibalas oleh Saira dengan, “Selamat pagi Kak Gibs!” dan tidak lupa pesan singkat seperti “Nite! Have a nice dream!”             Saira sadar betul perasaannya pada Gibran. Namun ia tidak tau harus cerita pada siapa. Sekilas Saira teringat pada Aliyyah. Sudah satu minggu sejak terakhir kali Aliyyah dan Bian tidak saling bertegur sapa, namun kemudian beberapa hari yang lalu Aliyyah datang ke rumah Saira dan membuat Saira mengerti apa yang terjadi pada sahabatnya itu.             Semua memori mengejutkan mengenai Aliyyah, membuat Saira ingin menghubungi Aliyyah dan menanyakan bagaimana kondisinya. Namun tepat saat Saira ingin menghubungi Aliyyah, ia mendapat pesan singkat dari Aliyyah. Aliyyah: Assalamualaikum, Saira! Saira: Waalaikumsalam, Aliyyah. Aku br aja mau chat km Aliyyah: Knp? Saira: Km knp chat aku? Aliyyah: Aku lg sendirian di rumah Aliyyah: Jd iseng deh Saira: Abah, ummi, sama aisyah mana? Aliyyah: Pergi             Sebenarnya Saira tentu sudah tau bahwa anggota keluarga Aliyyah yang lain pasti pergi, itulah mengapa Aliyyah sendirian di rumah. Namun, jawaban Aliyyah memang hanya untuk membuat Saira mengganti topik pembicaraan. Ia pasti tidak ingin ditanya kemana keluarganya pergi. Saira: Al, aku mau cerita hehe Aliyyah: Apa? Kak gibran ya? Saira: Can u keep a secret? Aliyyah: Sure Saira: I think I have a crush on him Aliyyah: And? Saira: Km gak kaget? Aliyyah: Aku kaget kalo ternyata km gak suka hahaha             Saira tersenyum. Betul juga kata Aliyyah, jika kedekatannya selama ini dengan Gibran tidak berarti apa-apa untuk dirinya, maka Saira yang aneh dan patut dipertanyakan. Saira: Aku hrs apa ya? Aliyyah: *sticker tanda tidak tau* Aliyyah: Emg km mau gmn? Saira: *sticker tanda tidak tau* Aliyyah: Kak gibran jg kyknya suka sm km Saira: Aku gak tau Aliyyah: Yaudah gausah dicari tau Aliyyah: Jodoh kan gak kemana *emot lidah keluar*             Beginilah rasanya mencurahkan isi hati pada Aliyyah. Anak lulusan pesantren ini tidak pernah memiliki intention untuk berhubungan dengan lawan jenis sebelum menikah untuk lebih dari sekedar teman. Yang Aliyyah tau, ia hanya berjodoh kemudian menikah, tanpa harus repot-repot memiliki pasangan sebelum menikah dan mencurahkan emosinya pada hubugan tersebut. Saira: Al, btw td mas faith nyariin km             Saira tiba-tiba teringat pada kaka laki-lakinya yang menyukai Aliyyah. Baru saja saat makan siang bersama, Fatih menanyakan kabar Aliyyah dan menanyakan ada apa dengan Aliyyah yang tempo hari berkunjung ke rumah mereka tiba-tiba. Aliyyah: Mas faith kakak km? Saira: Iya… Aliyyah: Knp nyariin aku?             Aduh, Aliyyah serius banget, ya, kata Saira dalam hati. Saira: Gpp al, lupain aja             Kemudian Aliyyah tidak membalas lagi. Mungkin angota keluarganya yang lain sudah pulang dan ia sudah tidak sendirian lagi di rumah.             Saira memikirkan Aliyyah sekarang, pasti ia sebenarnya masih sedih, namun berusaha ikhlas. Sudahlah, Saira menghapus pikiran mengenai Aliyyah dari kepalanya. Dan tepat pada saat itu, ada notifikasi lain dari telepon genggamnya. Gibran: Saira Saira: Hi kak gibs Gibran: Lg belajar? Saira: Nope Gibran: Lg apa? Saira: Lg chat sama Aliyyah Gibran: Knp lg Aliyyah? Saira: Gpp, cuma chat iseng aja dia Gibran: Oh Gibran: Sar, km kpn gak dijemput? Saira: Knp? Gibran: Mau pulang bareng Saira: Izin bunda dulu ya Gibran: Ok             Saira tidak membalas. Ia membereskan meja belajarnya dan hendak tidur. Tapi handphone-nya bordering lagi saat Saira membuka lipatan selimutnya yang saat ini berwarna merah maroon dengan bintik-bintik putih yang berantakan.             Saira melihat layar telepon genggamnya dan menemukan sama Gibran di sana. Saira tersenyum. Di saat-saat seperti ini memang ia ingin sekali menelepon Gibran dan berbicara panjang lebar tentang apa saja. Namun ia malu jika harus mengawalinya.             “Halo,” sapa Saira pada Gibran di seberang.             “Halo Saira,” balas Gibran. Saira bisa mendengar dengan jelas bahwa Gibran sedang ngos-ngosan dan nafasnya pun putus-putus.             “Kak Gibran abis latihan ya?” tanya Saira.             “Enggak. Kenapa?”             “Kayak ngos-ngosan gitu.”             “Gua abis bantu ibu.”             “Bantu ibu ngapain?”             “Mau tau aja deh Saira,” Gibran menjawab pertanyaan Saira dengan candaan, kemudian mengubah topik pembicaraan, “Saira lagi apa?”             “Tadinya sih lagi buka selimut mau tidur. Kak Gibran lagi apa?”             “Lagi istirahat. Sebentar lagi mau mandi, terus tidur.”             Saira melihat jam dinding di kamarnya. Sebuah jam dinding berbentuk lingkaran dengan material kayu berwarna coklat muda dengan motif serat kayu yang berwarna sedikit lebih tua. Jam dinding analog dengan diameter 30 sentimeter tersebut menunjukkan pukul sepuluh malam.             “Gak kemaleman Kak, mandi semalam ini?” tanya Saira.             “Udah biasa kok. Saira takut gue sakit ya???” Gibran menggoda Saira seperti biasanya.             “Ih, dikasih tau juga.”             “Hahaha makasih ya Saira perhatiannya. Seneng deh.”             Saira diam saja. Ia sengaja tidak menjawab, juga tidak berniat mencari topic pembicaraan lain. Ia menuggu Gibran mengarahkan pembicaraan mereka malam ini.             “Saira? Udah tidur?” tanya Gibran akhirnya memecah suasana di antara mereka yang hening.             “Belum, Kak. Kak Gibs gak ngantuk?”             “Belum. Masih kangen sama Saira,” jawab Gibran enteng.             Saira tersipu lagi. Meskipun entah sudah berapa kali Gibran mengatakan bahwa ia merindukan Saira, dan Saira pun juga demikian, namun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap kali Saira mendengarnya, Saira merasakan wajahnya memerah karena malu. Apalagi, ia pun juga merindukan kakak kelasnya itu.             “Sar, tadi ada pengumuman dari coach,” sepertinya Gibran mulai menemukan topik pembicaraan.             “Pengumuman apa?”             “Katanya tahun depan ada lomba persahabatan antar SMA Pelita Mulia se-Indonesia.”             “Terus?”             “Terus nanti semua petinggi yayasan Pelita Mulia datang. Kalau di perlombaan itu gue bisa nunjukin kemampuan main basket yang baik, ada kemungkinan gue bisa dapat beasiswa di Universitas di bawah yayasan Pelita Mulia juga. Doain gue ya, Sar.”             “Wah, Kak Gibran pasti dapet sih. Apalagi Kak Gibran juga kapten basket. Couch pasti rekomendasiin Kak Gibran kan?”             “Nah, iya untungnya juga gitu. Gue berhutang budi banget sama couch.”             “But you do deserve it, Kak.”             “Thanks, Saira. Your words mean a lot.”             “Anytime, Kak.”             “And your existence means a lot as well.”             May I just say I like you? Tiba-tiba pikiran gila datang ke kepala Saira. Tentu saja ia tidak akan mewujudkannya. Dia belum segila itu.             “Tahun depan bulan apa, Kak? Kak Gibran gak jadi coba PTN dong?”             “Katanya sih sekitar bulan April. Kayaknya kalau keterima di Pelita Mulia lagi, mending gausah PTN deh.”             “Kampus Pelita Mulia ada di Jakarta gak, Kak?”             “Katanya sih tahun depan akan mulai dibangun, Sar. Cuma kalau selesainya mungkin masih lama.”             “Jadi nanti Kak Gibran kuliahnya dimana?”             “Mungkin di kampus Bandung atau katanya sih paling deket di Singapore.”             “Oh, jauh dong,” Saira membayangkan nanti Gibran akan pergi jauh dan tidak akan bertemu lagi dengan Gibran setiap hari. Dengan cepat, pikiran Saira mengingat bagaimana kedua kakaknya menjalani masa perkuliahan. Tidak ada yang benar-benar memiliki waktu luang. Keduanya sibuk dengan tugas, praktikum, dan ujian. Belum lagi ditambah dengan unit kegiatan mahasiswa yang menyita waktu banyak.             “Gak apa-apa, yang penting kan dekat di hati,” jawa Gibran enteng.             “Yaudah, didoain deh semoga Kak Gibran bisa dapet beasiswa di Pelita Mulia.”             “Aamiin. Oh iya, terus kata couch kemungkinan gue keterima lebih besar karena di SMA Pelita Muliah gue juga beasiswa, jadi akan jadi pertimbangan juga.”             Kak Gibran?? Beasiswa di SMA? Sejak kapan?             “Kak Gibran? Beasiswa sekolah?” Tanya Saira bingung. Ia baru pertama kali mendengar bahwa ternyata Gibran mendapat beasiswa di SMA Pelita Mulia.             “Yes. Saira gak tau?”             “Baru pertama kali ini denger. Beasiswa full, Kak?”             “Iya, dari kelas satu sampai lulus nanti. Karena basket juga dari SMP gue udah propose. Makanya di sekolah gue sebenenya gak boleh keluar dari club basket. Karena memang udah tanggung jawab,” Gibran menjelaskan.             Saira menciut. Pantas saja kini semakin telihat jelas perbedaan kasta antara dirinya dan Gibran. Tapi, dibalik itu semua ia sangat kagum. Benar-benar kagum. Ia bangga mengenai kapten basket sekolahnya itu. Ia bangga menjadi orang yang Gibran mintai doanya saat dia ingin mencapai sesuatu. Ia bangga apapun itu tentang Gibran, tidak peduli bagaimana Gibran memandang dirinya.             “Keren deh, Kak.”             “Saira sebentar lagi jadi senior ya? Biasanya anggota club tata boga jarang ada yang benar-benar bisa masak, loh. Kayaknya Saira yang pertama deh,” Gibran mengubah lagi topic pembicaraan. Saira melirik jam tangan yang dia letakkan di atas meja, dan menemukan jarum penunjuk jam itu bertengger di angka 11.             “Kak Gibran mau Saira masakin gak?”             “Mau banget. Mau juga kalau makannya bareng Saira.”             “Oke, besok coba dibikin sesuatu sebelum berangkat ya. Nanti Saira kasih ke Kak Gibran.”             “Besok sebelum berangkat gak capek? Lain kali aja,” jawab Gibran. Dari nada suaranya Saira bahwa Gibran merasa khawatir dan tidak enak merepotkan Saira.             “Kalau besok diboleh bunda pulang sama Kak Gibran, Saira akan masak sesuatu dulu. Tapi yang simple aja, ya.”             “Oke.”             “Kak Gibran gak mandi? Udah mau jam dua belas!” kata Saira, ia semakin menunjukkan kekhawatirannya.             “Oke, bye Saira!”             Saira belum sempat menjawab, namun Gibran sudah mematikan sambungan. Saira berpikir mungkin laki-laki dengan badan tegap dan wajah menyenangkan itu ingin segera mandi dan tidur. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Sementara, Saira tau bahwa Gibran selalu datang pagi, lebih pagi dari dirinya. Setiap Saira bertanya, Gibran selalu menjawab bahwa ia datang pagi karena bekerja dahulu. Jawaban itu selalu diulang oleh Gibran dengan nada bercanda. Saira juga tidak pernah bertanya karena tidak tau apakah Gibran serius atau tidak.              Saira melanjutkan aktifitasnya tadi. Membuka lipatan selimut, kemudian telepon genggamnya memberi notifikasi. Gibran: Nite, Saira! Gibran: See you tomorrow! Gibran: Let’s have lunch and date? *emot mata berkedip* Gibran: As friends?             Lunch and date??? Kapan? Tanya Saira dalam hati. Ia mengingat-ingat isi percakapannya tadi dengan Gibran di telepon. Kemudian ia ingat bahwa ia berjanji akan memasak sesuatu untuk Gibran dan Gibran mengajaknya makan bersama.             Meskipun Saira tidak yakin apakah besok ia akan sempat memasak sesuatu untuk Gibran, dan akankan bunda mengizinkannya pulang bersama Gibran? Saira tetap saja excited. Meskipun juga ia membaca pesan terakhir Gibran, as friends? Saira tetap saja ingin cepat-cepat hari esok. Ia memiliki banyak cerita dan obrolan yang ingin ia bagi dengan Gibran yang tidak sempat ia sampaikan lewat telepon. Tomorrow Saira and Gibran will be having date AS FRIENDS! *** “So, are we dating as friends?” – Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN