BAB 7 - SELAMAT MALAM DAN MIMPI INDAH!

1365 Kata
            Hari ini bunda pulang cepat dari kantor dan sebelum anak-anaknya sampai di rumah, bunda sudah selesai memasak makanan kesukaan Saira, Fatih, dan Salman  dalam porsi besar. Ibu dengan tiga anak itu ingat hari ini adalah hari ulang tahun almarhum suaminya yang ke 46.             “Asik! Makan besar!” kata Fatih saat melihat beraneka macam lauk pauk, sayur, dan cemilan terhidang di atas meja makan di rumah mereka.             “Sini, Fatih. Ayo kita makan malam,” bunda mengajak Fatih yang baru saja berjalan turun dari lantai atas.             “Mas Salman, Saira, diajak bunda makan nih!” teriak Fatih. Meskipun ia tau rumah mereka tidaklah begitu besara dan jarak antar satu ruangan saling berdempetan, ia tetap selalu berteriak memanggil saudara-saudaranya.             Saira keluar dari kamar dan dengan wajah sumringah memandang meja makan, kemudian duduk di sebelah kakak keduanya.             “Mas Fatih gausah teriak-teriak. Saira sama Mas Salman masih bisa mendengar dengan baik,” Saira berkata dengan bahasa yang dibuat sesopan mungkin, karena menyadari keberadaaan bunda.             “Masih bisa denger apanya? Mas Salman aja belum turun dari tadi,” kata Fatih.             “Salman masih di Masjid,” bunda menjawab pertanyaan Fatih.             Saira baru ingat bahwa kakak pertamanya yang kaku dan galak itu selalu sholat fardhu di Masjid. Tidak pernah terlewat satu kali pun, walau hujan deras Salman tetap berusaha datang ke Masjid dengan membawa payung.             “Beda banget sama Mas Fatih,” kata Saira menjulurkan lidah, mengejek.             “Ah, sok-sok-an belain Salman. Tiap hari aja berantem terus!”             “Hehehe.”             “Assalamualaikum.” Terdengar suara Salman yang baru masuk rumah. Di pundaknya tergantung sarung kotak-kotak berwarna hijau-hitam yang terlipat rapih. Ia masuk dengan perlahan kemudian mencium tangan bunda yang masih sibuk membereskan beberapa peralatan di dapur dan menyiapkan meja makan.             Salman lalu meletakkan sarungnya di salah satu sandaran bangku makan yang masih kosong dan mencuci tangan. Ia bergegas membantu bunda setelah itu, sementara Fatih dan Saira menunggu semuanya siap sambil memainkan telepon genggam masing-masing.             “Sar, lain kali kalo Mas Salman belum pulang, kamu bantu bunda siapin makanan,” kata Salman kepada adik perempuannya.             Saira menoleh pada Salman, ia tidak berkutik karena tau ada bunda, dan ia pun sadar bahwa ia memang salah.             “Iya,” Saira menjawab datar, Fatih menahan tawa.             “Kamu kan perempuan,” Salman menambahkan. Bunda diam saja, mungkin karena mengetahui bahwa perkataan Salman benar.             “Yaudah. Yuk, makan!” bunda dan Salman kini sudah duduk di bangku masing-masing. Kini hanya tersisa satu bangku yang kosong. Bangku ayah mereka.             “Ayah hari ini ulang tahun yang keberapa, Bun?” tanya Saira.             “Ke-46. Bunda juga tahun depan 46 tahun,” kata Bunda. Saira bisa melihat raut wajah bahagia dari ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya sendirian.             “Iya, Bunda,” kini Fatih yang menanggapi perkataan bundanya. “Kemarin Saira ke makam ayah sendirian, Bun.” Tiba-tiba Fatih mengungkit kejadian tempo hari.             Saira langsung merespon, “Susah banget ya dibilang suruh jaga rahasia.”             “Ngapain, Sar?” tanya Salman bingung. Ia tau bahwa adiknya tidak kenal dekat dengan ayah mereka karena belum pernah bertemu.             “Curhat,” sahut Fatih sambil tertawa.             “Curhat apa?” tanya Salman semakin bingung.             Bunda memandang anak perempuan semata wayangnya dengan tersenyum. Mungkin bunda sadar bahwa Saira kini sudah besar, sudah mulai berkurang kenyamanannya untuk bercerita pada orang sekitar.             “Biasalah Mas, anak muda,” Fatih menjawab pertanyaan Salman sambil meledek Saira.             “Yaudah yuk, kita doakan Ayah, terus makan. Oke?” Bunda melerai dan mengakhiri perbincangan anak-anak laki-lakinya yang meledek Saira. Diam-diam bunda memperhatikan Saira dan ingin tau dengan siapa Saira mulai merasakan ketertarikan. Ibu dengan tiga orang anak itu berniat mencari tau. Selesai makan, Saira masuk ke kamarnya. Hari ini Saira tidak ada tugas sekolah untuk dikumpulkan besok. Sebagai seorang pelajar norman dengan nilai yang biasa saja dan keinginan untuk belajar yang tidak begitu tinggi, mustahil bagi Saira untuk menyiapkan pelajaran besok atau mengulang pelajaran hari ini. Ia merasa pasrah dengan kemampuannya, dan ikhlas bahwa ia tidak sepintar Bian. Ia bahkan masih belum memutuskan akan melanjutkan kuliah dimana.             “Mahal-mahal Bunda bayarin aku sekolah di Pelita Mulia, akunya malah malas,” Saira mencemooh dirinya sendiri, tapi dalam hatinya tidak ada rasa bersalah, melainkan hanya sedikit penyesalan yang tidak berefek banyak pada rasa malasnya. Alih-alih, Saira menghidupkan laptopnya dan membuka Netflix, sebuah aplikasi untuk menonton film, drama, atau pun dokumenter.             Saira baru akan melanjutkan untuk menonton drama percintaan remaja dari jepang, kemudian ia mendapati telepon genggamnya bergetar, pemberitahuan chat masuk. Dari Gibran. Gibran: Saira Saira: Kak Gibran Gibran: Saira Saira: Kak? Gibran: Are u there? Lagi belajar ya? Saira:  Yes, I’m here. Gak lagi belajar. Kenapa? Gibran: Kok gak belajar? Saira: Males hehe. Gak ada tugas Gibran: Sar… Gibran: Do you probably wanna know how I feel? Saira mengerutkan keningnya. Apa maksudnya? Saira: Maksudnya? Gibran: Cari di kamus dong kalo gak ngerti Saira: Maksudnya kak gibran ngerasa apa??? Gibran: Merasa males belajar juga hahaha Harusnya Saira tau dari awal. Gibran akan terus-terus membuatnya bertanya-tanya sampai akhirnya Gibran mengatakan hal lain lagi. Saira sudah mulai hapal siklus kakak kelasnya itu. Gibran: Pingin ngobrol deh sama Saira Gibran: Ngobrol yg lama Saira: Ngobrolin apa? Gibran: Ya ngobrol aja tentang apapun Gibran: Pingin ngobrol terus2an sama Saira Gibran: Kalau bisa sampai tua ngobrol terus Jujur, Saira merasakan wajahnya memerah. Dan terus terang meskipun kadang kesal karena Saira tidak tau apa tujuan Gibran, ia senang dengan candaan Gibran. Membuat Saira merasa tidak bertepuk sebelah tangan. Saira: Masa ngobrol terus dari SMA sampai tua? Kan capek haha Gibran: Asalkan ngobrol sama Saira, gak akan capek *emot lidah terjulur* Gibran: Saira tidur gih, udh malam Gibran: Tapi kalo masih mau ngobrol, gpp Saira: Jadi? Gibran: Saira blm ngantuk? Saira: Nope Gibran: Hari ini saira ngapain aja? Saira: Sekolah, pulang, makan Saira: Kak gibran ngapain? Gibran: Sekolah, latihan basket, ngerjain tugas Saira: Sibuk banget Gibran: Kangen Saira Saira: Besok kak gibran latihan lg? Gibran: Yes, why? Saira: gpp, nanya aja Gibran: Saira jago masak ya? Saira: Cuma bisa aja Gibran: Masakin dong Saira: Mau apa? Gibran: Apa aja Gibran: Kok saira bisa masak? Saira: Karena bunda jarang di rmh, kan kerja Gibran: oh, ayah? Saira: Ayah udh ga ada Gibran: Sorry Saira: it’s okay, udh terbiasa Gibran: Saira beneran blm ngantuk? Saira: Kak gibran yg ngantuk ya? Gibran: Ngantuk tp msh kangen Saira: *emot sakit* Gibran: Kpn2 gue anter pulang ya? Saira: Rumah saira jauh Gibran: Gpp kan enak bisa ngobrol lama di jalan Saira: Hahahaha suka bgt ngobrol ya kak gibs Gibran: Saira tidur deh, udh malam. Saira melihat jarum jam dan sadar bahwa sudah lumayan larut, sementara besok ia harus datang ke sekolah pagi-pagi. Saira: Okay. Bye, Kak! Karena Gibran tidak lagi membalas chat, maka Saira mematikan lampu dan naik ke tempat tidur. Ditariknya juga selimut tebalnya karena mala mini Saira merasa ac kamarnya begitu dingin. Hampir saja Saira terpejam, lalu telepon genggamnya berbunyi lagi. Kali ini tanda seseorang menelepon. Saira melirik layarnya dan menemukan nama Gibran di sana.             “Halo,” sapa Saira.             “Halo. Kok belum tidur? Nungguin apa?” tanya suara di sebrang.             “Udah mau tidur, tapi ada telepon,” jawab Saira jujur.             “Oh.”             “Kenapa?”             “Mau ngobrol sama Saira langsung. Sebentar aja.”             “Oh.”             “Tanyain sesuatu dong.”             “Apa?”             “Tanya apa aja.”             “Kak Gibran lagi apa?”             “Lagi ngobrol sama Saira.”             “Sama dong.”             “Saira lagi apa?”             “Lagi ngobrol sama Kak Gibran.”             “Hahaha gak kreatif!”             “Yaudah. Saira lagi dengerin Kak Gibran ngobrol.”             “Ngobrol sama siapa?”             “Saira.”             “Hahaha gak jelas deh kita.”             “Kak Gibran yang gak jelas.”             “Saira jangan berubah, ya.”             “Maksudnya?”             “Tetap gak jelas kaya gini. Jangan berubah.”             “Saira maunya… jelas.” Saira tau kata-katanya barusan beresiko. Ada makna tersirat dari ucapannya. Saira merasa Gibran diam selama beberapa saat.             “Bye Saira! Selamat tidur dan mimpi indah.”             Saira menutup sambungan teleponnya dengan perasaan tidak karuan. Seharusnya ia senang gibran mengucapkan selamat tidur dan mimpi indah, tapi enatah kenapa ia merasa kecewa setelah penghujung telepon barusan. *** "Jangan ngediemin saya terus dong, Saira. Saya bingung nih jadinya" - Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN