BAB 8 - TEMAN DEKAT

2505 Kata
Saat sampai di sekolah keesokan paginya, Saira datang ke kelas dengan tergesa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6.45, artinya lima menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Keterlambatannya kali ini terjadi bukan karena bunda tidak membangunkannya, atau karena ia ditinggal ke kampus oleh kedua kakak laki-lakinya. Keterlambatan Saira hari ini disebabkan karena ia menolong seorang ibu-ibu tua menyeberang jalan.             Pagi itu memang jalanan ibu kota lebih ramai dari biasanya. Saira yang saat itu berada di atas motor dan menumpang ojek online pun juga kewalahan karena ia belum sempat sarapan. Bunda berangkat pagi hari ini karena ada meeting dengan supplier penting yang bahkan Saira tidak bisa membayangkan sepenting apa supplier itu bagi bunda. Jadilah Saira sebagai anak yang baik membuat beberapa tangkup roti untuk kakak-kakaknya dan bahkan memiliki ide untuk menggoreng roti tersebut di atas Teflon. Tapi ternyata Saira salah perhitungan, membuata roti goreng yang ia pikir hanya perlu waktu lima menit, ternyata memerlukan lima belas menit. Saira tidak memperhitungkan seluruh prosesnya. Akibatnya Saira gaduh melawan waktu sejak masih di rumah sampai duduk di atas ojek online yang ia pesan. Terakhir, ia tidak sempat mengambil satu tangkup roti pun untuk dibawa.             Sudah tahu telat, Saira pun masih sempat memperhatikan seorang ibu-ibu tua yang berusaha menyeberang jalanan dekat pasar. Ibu-ibu tua terlihat kesulitan berjalan karena kakinya yang terlihat tidak sehat, ditambah lagi tubuh ibu-ibu tua itu yang tidak tinggi dan sedikit bungkuk. Tidak semua pengemudi kendaraan yang sedang terburu-buru di jalan memperhatikannya. Beberapa kali Saira melihat ibu-ibu tua itu hampir tertabrak, dan dengan kaki yang sulit untuk berjalan, ibu-ibu tua itu tergopoh-gopoh menghindari kendaraan-kendaraan. Melihatnya, Saira tanpa sadar meneteskan air mata.             “Bang, tungguin saya sebentar ya. Saya mau bantu ibu-ibu itu nyeberang,” kata Saira pada pengemudi ojek yang ia tumpangi. Tanpa mendengar jawaban dari abang ojek online tersebut, Saira langsung turun dari motor dan menghampiri ibu-ibu tua yang kesulitan menyeberang itu.             “Bu, mau kemana?” tanya Saira.             Ibu-ibu tua tadi menoleh dan berbicara dengan bahasa sunda kental yang tidak Saira mengerti. Tapi ia yakin mendengar kata “angkot,” sementara sang ibu menunjuk sebuah angkutan kota berwarna biru di seberang jalan.             “Ibu mau naik angkot itu?”             Sang ibu mengangguk.             Langsung saja Saira menggenggam tangan ibu-ibu tua dan berjalan perlahan ke seberang jalan. Memang bukan pekerjaan mudah, karena tubuh Saira juga tidak tinggi—meskipun lebih tinggi dari tubuh ibu-ibu tua yang sedikit bungkuk ini—dan ibu-ibu tua yang sedang Saira bantu ini tidak bisa berjalan cepat, sehingga Saira harus menyeimbangkan langkahnya. Dengan volum kendaraan yang tinggi di pagi hari, Saira pun sedikit takut untuk menyeberang jalan. Saira hanya berusaha mengangkat tangannya yang mengganggur tinggi-tinggi agar para pengendara di jalan menyadari bahwa ada dua orang—dan salah satunya ibu-ibu tua—yang tengah menyeberang.             Beberapa pengemudi langsung berhenti begitu mereka sadar bahwa ada Saira dan sang ibu tua di depan mereka, tapi kemudian ada seorang bapak-bapak yang kelihatannya sedang terburu-buru tetap menancap gas membuat Saira langsung mundur karena takut tersambar.             Tiba-tiba seorang laki-laki berseragam SMA menghampiri Saira dan sang ibu tua. Saira menoleh karena kaget saat mendengarnya menawarkan bantuan, “Sini saya bantu juga.”             Saira belum pernah melihat anak laki-laki itu sebelumnya, dan daerah ini memang bukan daerah yang biasa Saira datangi. Ia hanya lewat daerah pasar kalau berangkat sekolah dan hampir terlambat, karena pasar ini adalah jalan tembus dari jalan tikus yang membuat Saira bisa memotong rute menuju sekolahnya.             Anak laki-laki itu memang lebih tinggi dari Saira. Jauh lebih tinggi bahkan. Mungkin jika dibandingkan dengan Gibran, puncak kepala anak laki-laki hanya berjarak 2 sentimeter dari puncak kepala Gibran. Pantas saja ia menawarkan bantuan, pikir Saira dalam hati. Saira melihat anak laki-laki itu memegang kunci motor di tangan kanannya. Pastilah ia memarkirkan motornya di pinggir jalan untuk kemudian membantu Saira dan sang ibu tua.             “Nuhun,” kata sang ibu tua mengatakan bahasa sunda yang berarti terima kasih.             Kemudian Saira melihat anak laki-laki tersebut mengangguk sambil tersenyum, kemudian berkata pada supir angkutan kota yang baru saja dinaiki oleh ibu-ibu tua yang mereka bantu seberangkan, “Hati-hati ya, Bang. Nanti kalau turunnya nyeberang, tolong dibantu ibunya.” Dan Saira melihat anak laki-laki itu memberikan beberapa lembar lima ribuan pada supir angkot itu.             “Anak Pelita Mulia ya?” anak laki-laki itu bertanya pada Saira. Tidak ada senyum di bibirnya. Wajahnya serius. Saira berpikir bahwa anak laki-laki itu pastilah tau dari jaket angkatan yang dipakainya.             Saira mengangguk, menjawab pertanyaan anak laki-laki yang ada di depannya.             “Naik apa?”             Mata saira berkeliling untuk mengecek dimana ojek online yang tadi ditumpanginya. Kemudian pengemudi ojek itu menghampirinya.             “Udah?” tanya supir ojek itu pada Saira.             “Oke, duluan ya,” kata anak laki-laki itu pada Saira, dan tanpa menunggu Saira menjawab, ia berlari ke tepi jalan di seberang menuju sebuah motor hitam yang tidak terlalu kelihatan jelas oleh Saira. Tapi Saira yakin motor itu bukanlah motor bebek seperti milik Salman dan Fatih.             Saira naik ke atas motor dan pengemudi ojek langsung mengemudikan motornya dengan cepat menuju SMA Swasta Pelita Mulia.             “Saira tumben baru datang?” tanya Aliyyah saat mendapati teman akrabnya itu grasak-grusuk membereskan alat tulisnya dan mengambil beberapa modul dari dalam loker di belakang kelasnya. Ia juga terburu-buru menghidupnya netbook putihnya dan terlihat pucat.             “Iya, Al,” sahut Saira, masih sibuk dengan peralatan belajarnya dan ia pun mengambil tumbler cokelatnya.             “Kamu udah sarapan?” tanya Aliyyah.             Saira menggeleng. Ia merasakan perutnya berisik karena belum diisi pagi ini. Ia mencari-cari di tas dan tidak menemukan apapun.             “Eh Twin, ada yang nyari tuh,” Saira mendengar suara Bayu memanggilnya. Bayu memang terkadang memanggilnya twin, yang artinya kembar. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki nama yang sama.             Saira menengok ke arah pintu masuk dan menemukan Gibran berdiri di sana sambil melambaikan tangan. Mengingat respon Gibran di ujung telepon semalam, Saira mengerutkan dahi dan memasang wajah malas.             “Sar, buruan gih, sebentar lagi Pak Didi masuk kelas loh. Ini Bian lagi panggil,” kata Aliyyah mengingatkan. Dengan wajah malas, Saira berdiri dan menghampiri orang yang sering digosipkan dengannya itu.             “Terlambat?” tanya Gibran.             Saira mengangguk.             Gibran menyerahkan sebungkus roti goreng. Saira tau bahwa roti goreng itu adalah roti yang dijual di salah satu kantin sekolah mereka.             “Buat apa?”             “Buat lo. Cepetan ambil, udah telat, nih,” Gibran terlihat terburu-buru.             Saira mengambil roti goreng di tangan Gibran dan Gibran langsung berlari menuju tangga. Saira tau bahwa saat Gibran sampai di kelasnya, pastilah bel sudah berbunyi dan guru yang mengajar pasti sudah masuk kelas. Bahkan sekarang Saira melihat bahwa Pak Didi sudah muncul di ujung koridor kelasnya diikuti dengan Bian.             Di sepuluh menit jam istirahat antar pelajaran, Saira langsung mengambil roti yang tadi diberikan Gibran. Ia bahkan tak sempat menunggu Pak Didi hilang dari pandangannya setelah menyelesaikan jam pelajarannya di kelas Saira hari itu. Saat Pak Didi masih memegang pintu kelas, tangan Saira sudah merobek bungkusan roti goreng.             “Enak ya Sar, roti dari Gibran?” tanya Bian sambil tersenyum memperhatikan temannya itu sangat menikmati roti pemberian sang pujaan hati.             “Gue belum sarapan, Bi,” jawab Saira sambil mengunyah dengan cepat.             “Kenapa telat sih? Bunda ke luar kota lagi?” tanya Bian.             “Gak, gue juga bingung kenapa telat,” jawab Saira. Kini ia telah menghabiskan roti gorengnya dan bersiap meneguk air dari tumblernya lagi.             “Semalam begadang nelpon, ya?” tanya Bian bercanda.             Namun ternyata itu benar. Saira semalam mengobrol dengan Gibran sampai akhirnya pernyataannya tentang kejelasan ditutup cepat-cepat oleh Gibran dengan ucapan selamat malam dan mimpi indah.             Saira tidak merespon pertanyaan Bian. Ia bingung harus berbohong atau jujur, akhirnya ia diam. Di waktu yang sama, Saira mengecek telepon genggamnya dan menemukan chat dari Gibran tadi pagi yang belum sempat dibacanya. Gibran: Saira udh sampai? (sent 06.10) Gibran: Masih di jln ya? (sent 06.30) Gibran: Hallo (sent 06.40) Gibran: Terlambat ya? (sent 06.45) Gibran: Gue liat lo tadi lari2 di lapangan (sent 06.45) Gibran: Udh sarapan? (06.45) Gibran: Tunggu gue di kls (sent 06.46) Saira: Makasih kak rotinya (sent 08.35) Gibran: *emot senyum* (sent 08.35) Gibran: Habis ini pelajaran apa? (sent 08.36)             Saira membaca pesan terakhir Gibran, namun urung ia balas. Ia agak malas dan tidak tau harus membalas bagaimana lagi. Ia sedih karena sepertinya Gibran hanya main-main saja dengan dirinya. Ia tau bahwa ia tidak cantik, maka paling tidak ia harus menjaga harga dirinya.             “Berlebihan banget,” kata Bian saat Saira menceritakan pikirannya untuk tidak menanggapi Gibran lagi.             “Katanya jangan sampai salah sangka? Nanti gue dianggap sama aja kayak yang lain,” kata Saira.             Saat ini Bian dan Saira sedang duduk di deretan bangku kayu yang tidak terpakai. Bangku kayu yang lebih dekat ke parkiran. Bian menyisihkan waktu sebelum pulang untuk mendengarkan curahan hati Saira. Sementara Aliyyah sudah pulang sejak tadi karena terlanjur sudah berjanji akan pulang cepat pada  kedua orang tuanya untuk menemani adiknya bermain, Aisyah.             “Ya tapi jangan ngehindarin juga. Cuek aja, Sar. Kayak temen biasa. Kecuali kemarin lo bilang ke dia kalo lo suka.”             “Iya juga, sih,” Saira setuju dengan kata-kata Bian.             Saat akan pamit pulang pada Bian, Saira mendengar suara telepon genggam-nya, menandakan ada chat masuk. Segeralah Saira mengecek. Gibran: Dmn?             Tadinya Saira tidak ingin membalas chat dari Gibran, tapi karena telah mendengar nasihat dari Bian, ia batalkan niatnya, dan mulai mengetik jawaban. Saira: Di bangku kayu, mau pulang Gibran: Sendiri? Saira: Sama Bian Gibran: Bian yg anterin pulang??             “Bi, lo mau anter gue pulang, gak?” tanya Saira pada Bian tiba-tiba. Ia ingin sekali menjawab pertanyaan Gibran dengan “ya.”             “Hah?” Bian kaget. Bukan karena ia tidak mau mengantar Saira, ia memang beberapa kali mengantar Saira atau Aliyyah dengan mobil keluaran Eropa yang dikendarai oleh supir pribadi yang biasa mengantar jemputnya, meskipun jarang sekali. Tapi untuk hari ini dia ada latihan basket. Dan hari ini pun dia tidak akan dijemput, karena akan pulang naik ojek saja.             “Mau gak?”             “Abis gue latihan ya?” tanya Bian.             “Gak, ah,” jawab Saira. Bian mengerutkan kening. Lalu Saira kembali ke telepon genggam-nya. Saira: Tadinya iya, tp gajadi Gibran: Knp? Saira: Disuruh tunggu sampai selesai latihan Gibran: Oh, kalau tunggu sampai selesai latihan, pulangnya sama gue aja Saira: Gak ah, makasih Gibran: Hati2 ya adik kecil (read)             Saira tidak membalas lagi. Ia lalu memesan ojek online dari telepon genggamnya dan berpamitan pada Bian. Bian mengiyakan, lalu berjalan menuju lapangan besar, tempat hari ini ia latihan basket.             Sesampainya di rumah, Saira mandi dan membereskan buku-bukunya. Lalu ia keluar kamar dan mulai memasak untuk makan malam nanti. Siang tadi ia mengisi perutnya dengan makanan kantin sekolah yang sangat enak menurutnya. Masakan ibu-ibu kantin yang sangat baik, yang kemarin tidak berjualan. Saat membeli makanan di kantin tadi, Saira sempat heran dengan perkataan ibu penjual makanan yang Saira beli dagangannya, “Ini Saira kan? Teman dekatnya Gibran? Yang kapten basket,” tanya ibu penjual makanan itu tiba-tiba saat Saira hendak membayar makanan. Saira diam dan tidak menjawab. Ia heran bagaimana gossip seperti itu bisa sampai di telinga ibu penjual makanan di kantin. Menanggapi dengan sopan, Saira hanya tersenyum dan pamit. Dalam hati Saira iba pada dirinya sendiri, Teman dekat Kak Gibran kan banyak.             “Masak apa, Sar?” tanya Salman yang baru pulang dari Masjid. Diikuti dengan Fatih di belakangnya.             “Mas Salman mau makan apa nanti malam?”             “Apa aja. Mas ke atas, ya. Masih ada tugas,” kemudian kakak laki-laki pertama Saira itu menaiki tangga menuju lantai dua. Saira memperhatikan bahwa belakangan ini kakaknya itu terlihat sangat pucat dan kelelahan, sehingga Saira tidak sampai hati mengajaknya berdebat.             “Kok Mas Fatih sekarang selalu sholat di Masjid?” tanya Saira pada Fatih yang tidak mengikuti langkah Salman untuk ke lantai atas.             “Gak selalu, kok,” jawab Fatih sambil duduk di salah satu bangku yang mengelilingi meja makan mereka yang berbentuk lingkaran.             “Tapi kan dulu gak pernah sama sekali,” jawab Saira meledek.             “Yee, kan Mas sholat Jumat di Masjid,” Fatih membela diri.             “Karena Aliyyah ya?”             Mendengar pertanyaan adik perempuan satu-satunya, Fatih nyegir. Ia kemudian diam dan tatapannya lurus ke depan seperti memikirkan sesuatu.             “Kenapa?” tanya Saira sambil mulai menghidupkan kompor untuk menumis bawang merah dan putih. Hari ini ia sedang ingin masak balado ayam. Sebenarnya ia benci jika harus memasak ayam, karena ia tidak suka membersihkan daging ayam dari lemak-lemaknya. Tapi untunglah, ayam yang dibeli bunda selalu ayam potong yang sudah dibersihkan, sehingga ia tidak perlu membersihkannya terlebih dahulu.             “Temenmu itu tidak terjangkau sama Mas,” kata Fatih mendadak puitis.             “Ih, sok serius deh. Emang di kampus Mas enggak ada yang menarik hati?” tanya Saira, teringat Bian yang juga menyukai Aliyyah. Ia tidak mau kakak dan sahabat laki-lakinya memperebutkan orang yang sama. Membayangkannya saja Saira geli. Ia ingin kedua orang terdekatnya itu bahagia dengan pasangan masing-masing.             “Yang menarik mata banyak. Tapi kalau menarik hati sih, belum ada,” jawab Fatih jujur.             “Halah, bisa aja,” kata Saira menanggapi.             Dua puluh menit kemudian mereka habiskan dalam diam, sampai akhirnya telepon genggam milik Saira yang ia letakkan di atas meja bergetar, tanda ada chat masuk. Fatih yang lebih gesit dari Saira langsung mengambilnya.             “Mas Fatih, jangan dibaca!” kata Saira panik.             “Ih pelit! Sama Masnya sendiri juga,” kata Fatih sembari mencoba untuk membuka kunci layar telepon genggam Saira yang kini meminta Fatih untuk memasukkan pin. “Tadi ada chat dari Gibran. Katanya maaf. Tapi kepotong,” kata Fatih lagi.             “Kalo Mas Fatih maksa buka, Saira bilang ke Aliyyah supaya nomor Mas Fatih diblock sama dia!” kata Saira dengan suara keras. Ia sudah melupakan bawang yang sedang ditumisnya.             Seketika Fatih meletakkan telepon genggam Saira di tempat semula dan mengambil sarungnya, ia berjalan menuju tangga dan berkata, “Hati-hati masakanmu gosong. Mas ke atas dulu.”             Saira dengan wajah cemberut mengambil telepon genggamnya, setelah sebelumnya mematikan kompor terlebih dahulu. Gibran: Maaf ya saira, lain kali gue anter pulang (sent 15.15, read 15.16) Gibran: Hi saira, I just finished my exercise! (sent 16.45, read 16.47) Gibran: Saira, would you please reply my message? (sent 16.47) Saira: Hi kak. How’s ur exercise? Gibran: It went well Gibran: Saira aneh deh hari ini Gibran: Capek krn td pagi telat ya? Gibran: R u ok? Saira: Yes! Gibran: nnt malam sibuk? Gue telpon ya Saira: Sibuk kak. Banyak tugas Gibran: Oke deh Gibran: Jgn lupa stirahat ya sar Gibran: Sampai ketemu besok!             Malamnya Saira mendapati chat lain dari Gibran. Gibran: Good night, sar! (sent 22.00 read 23.00)             Setelah membaca chat dari Gibran, Saira langsung menutup matanya untuk tidur. Dalam mimpinya, Gibran berkata dengan wajah sedih, “Jangan ngediemin saya terus dong, Saira. Saya bingung nih jadinya.”             Saat pagi, Saira baru sadar bahwa perkataan Gibran bukan hanya mimpi, melainkan isi chat lain dari Gibran tengah malam tadi. Tepat setelah ia membaca chat yang sebelumya. Gibran: Jangan ngediemin saya terus dong, Saira. Saya bingung nih jadinya (sent 23.45) Saira: Kak gibran! I’m okay! (sent 04.30) *** “Buat saya Aliyyah dan Bian sudah kayak adik. Kalau Saira beda” – Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN