BAB 6 - GIBRAN YANG BAIK

3706 Kata
Meskipun belum cukup yakin bahwa Gibran juga menyukainya, Saira merasa lebih ringan sekarang dan tidak pernah berpikiran macam-macam tentang sahabatnya, Aliyyah. Ia yakin sekali bahwa paling tidak Gibran tidak menyukai sahabatnya yang sangat cantik itu. Walau begitu, Saira masih tidak mengerti kenapa Gibran harus meminta alamat email Aliyyah padanya, untuk kemudian meminta nomor teleponnya pada Aliyyah lewat email tersebut. Sebenarnya terkadang Saira masih memikirkan hal-hal buruk, apalagi Gibran yang memang terkenal baik ke semua orang hanya membuat Saira merasa bahwa dirinya menyedihkan. “Gibran mah emang gitu ke semua orang. Baik ke semua cewek,” rumor-rumor yang sering sekali Saira dengar, diperkuat dengan perkataan Bian tempo hari. Tapi kemudian Saira cepat-cepat menghapus pikiran jelek dari dalam kepalanya. Ia tidak akan membiarkan pikiran jelek itu menjadi kenyataan dan membuatnya berpikiran buruk pada Gibran.             “Hei! Ngelamunin apa pagi-pagi?” seseorang dengan suara renyah melambaikan tangan besarnya tepat di depan wajah Saira. Saira kenal betul siapa pemilik suara itu, sehingga tidak perlu susah payah ia memikirkan dan mencari pemiliknya. Meski begitu, Saira menoleh.             “Enggak ngelamun,” jawab Saira mengelak dan menemukan di depannya ada seorang lelaki dengan wajah yang tegas dan badan tinggi besar layaknya olahragawan. Si kapten basket SMA Pelita Mulia, Gibran Radu.             Tetapi setelah Saira menjawabanya, Gibran tersenyum dan dilanjutkan dengan dirinya yang berdiri di sebelah Saira lalu ia menyamakan langkah mereka. Kini di koridor sekolah di hari Senin pada waktu pagi, mereka berjalan bersama. Saira merasa ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, entah karena kasihan pada Saira atau sedang ingin tau saja. Meskipun risih, Saira tidak begitu peduli.             “Masih pagi, Gibs!” suara seorang laki-laki terdengar memenuhi koridor, kemudian Saira melihat sang pemilik suara menyenggol bahu Gibran. “Sirik aja sih, Mal,” orang yang menggoda Gibran adalah Kemal. Saira ingat bahwa ia sudah pernah bertemu dengan Kemal sebelumnya dalam jarak dekat. Ia adalah orang yang juga menggoda Gibran dan menuduh Gibran tebar pesona saat pertama kali menyapa Saira dulu. Saat saira menunggu Fatih menjemputnya.             “Kok tumben enggak pake kaos? Langsung pakai seragam?” tanya Saira yang sedang memperhatikan Gibran. Kakak kelasnya itu tidak terlihat seperti tempo hari.             “Karna hari ini gak kerja,” Gibran mengangkat kedua bahunya, kemudian menambahkan, “Ganteng ya?” seperti memang berniat agar Saira memandangnya dari ujung kaki hingga kepala, Gibran sengaja memutar tubuhnya menghadap Saira dan berjalan mundur di depan Saira.             Saira pura-pura memasang wajah terganggu akan perkataan Gibran dan tertawa tanda meledek.             “Jangan jalan mundur, Kak. Nanti kesandung,” Saira memperingatkan.             “Saira juga takut kesandung ya kalau ngeliatan saya terus?”             Tidak habis pikir dengan jawaban Gibran, Saira tertawa kecil. Gibran memutar kembali tubuhnya dan berjalan seperti biasa di samping Saira.             “Aliyyah….,” tiba-tiba Gibran menyebut nama Aliyyah dan menunggu respon Saira.             Saira mengangguk satu kali dan menunggu Gibran melanjutkan omongannya.             “Kok gak bete saya sebut nama Aliyyah?” tanya Gibran. Ia pasti sadar bahwa Saira mengira Gibran menyukai sahabatnya itu, dan pasti Gibran mengira Saira cemburu.             “Saya gak pernah bete kok.”             Gibran kemudian mengacak rambut Saira dengan usil. Lantas saja beberapa orang yang melihat perlakuan Gibran menoleh dan menggoda mereka. Jantung Saira hampir copot, entah karena malu atau karena puncak kepalanya disentuh oleh Gibran.             “Ssst!” Gibran menyuruh orang-orang yang menggoda mereka untuk diam. Kemudian ia berkata pada Saira, “Kenapa sih, pada cemburu banget sama kita ya, Sai?” kata Gibran. Ia sengaja memotong nama panggilan Saira.             “Hah?” Saira mengecek bahwa ia tidak salah dengar.             “Pada cemburu sama kita, Sar.”             “Oh.” Kemudian Gibran tersenyum, namun Saira tidak melihatnya.             “Belum jadian aja, orang-orang udah cemburu, gimana kalau nanti kita jadian, ya?” Gibran bertanya, tapi tidak menunggu jawab Saira. Saira pun hanya diam, menyembunyikan degup jantungnya.             Selanjutnya mereka berjalan ke arah kantin karena jam masih menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit. Masih ada waktu lebih dari setengah jam untuk mengisi perut atau sekedar mengobrol dengan yang lainnya sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Namun tiba-tiba sesuatu terjadi dan menginterupsi mereka. Brak!!!             Seorang kakak kelas perempuan yang Saira ketahui bernama Amanda jatuh tepat di depan Saira dan Gibran. Sebelumnya Saira memang memperhatikan bahwa Amanda berjalan dengan sedikit tergesa dan kedua tangannya dipenuhi dengan beberapa barang bawaan yang dapat dipastikan adalah peralatan ekskul film. Saira tau bahwa Amanda adalah seorang anggota club film, karena dulu Amanda sempat menawarinya untuk bergabung.             “Eh, Manda!” sontak Gibran langsung mendatangi Amanda dan berusaha membantunya untuk bangun. Amanda menggelengkan kepalanya dengan wajah yang tidak berdaya.             “Kaki gue keseleo. Kayaknya gabisa, deh,” kata Amanda pasrah.             Saira yang juga segera menghampiri Amanda mengikuti Gibran langsung menawarkan bantuan, “Aku bantu bopong, Kak?”             Amanda menggeleng juga. Beberapa anak lain ikut mengelilingi mereka dan menawarkan bantuan. Bahkan ada yang memiliki ide agar Gibran menggendong Amanda sampai Klinik Sekolah, mengingat bahwa Gibran memiliki badan yang besar.             “Jangan!” Amanda menolak.             Gibran melirik pergelangan kaki Amanda lalu berusaha untuk meluruskan kakinya. Ia melakukannya dengan perlahan. Selama beberapa detik Saira kagum pada Gibran karena sikap gesitnya dan kemampuannya dalam membaca keadaan. Tapi Amanda meneteskan air mata saat tangan Gibran menyentuh pergelangan kakinya yang ternyata sudah bengkak.             “Sakit banget, Gibs,” aku Amanda dengan jujur.             Gibran menolehkan wajahnya ke wajah Amanda dan mengusap air mata Amanda dengan cepat menggunakan tangan kanannya, “Sorry Man, ini bengkak soalnya. Jangan nangis dulu, ya,” katanya kemudian.             Gibran kemudian beralih ke kumpulan anak-anak lain yang mengelilinginya dan Amanda, dan meminta mereka untuk memberi ruang, “Eh, kayaknya mulai sesak deh. Coba tolong jangan bergerombol, ya. Kasian nih Amandanya jadi sesak juga.”             Seketika anak-anak yang sadar diri mundur dan menjauh. Beberapa langsung meninggalkan mereka menuju kantin atau kelas. Beberapa masih melihat dari jauh dan berkata bahwa mereka ada jika dibutuhkan untuk membantu Amanda ke Klinik Sekolah.             “Gue urut sebentar ya. Nanti kalau udah enakan, gue bantu ke klinik,” kata Gibran meminta ijin, lalu berkata pada Saira, “Saira kalau mau ke kantin duluan gak apa-apa.”             Saira menggeleng, ia hanya diam sambil memperhatikan Gibran yang dengan sigap membantu Amanda melepas sepatu dan kaus kakinya. Lalu Saira melihat Gibran melambaikan tangannya pada Kemal yang sedari tadi ada di sana dan belum pergi terlalu jauh. “Mal, ambilin minyak kayu putih dong di Ibu,” kata Gibran pada Kemal.             Setelah Kemal kembali dari arah kantin dan memberikan minyak kayu putih pada Gibran, lelaki dengan rambut belah tengah tersebut mulai mengurut kaki Amanda dan mengajak Amanda berbicara sambil bercanda. Kapten basket itu berkali-kali menenangkan Amanda dan meyakinkan bahwa pergelangan kakinya bisa sembuh dalam beberapa hari.             “Kenapa bisa jatoh sih, Manda. Kalo lo sakit kan khawatir kita semua,” kata Gibran dengan nada bercanda. Tapi Saira cukup cemburu mendengarnya.             “Gue buru-buru mau ke studio,” jawab Amanda. Yang dimaksud dengan studio pastilah ruangan club film yang sering digunakan oleh anggota club film untuk menonton film referensi dan menyimpan beberapa alat yang mereka butuhnya seperti tripod, kamera, dan dua personal computer untuk mengedit hasil shooting mereka. Saira pernah diajak masuk studio oleh Amanda waktu pertama kali dirinya ditawari untuk bergabung.             “Tapi kan kalo buru-buru gini malah bahaya, Man,” sahut Gibran dengan senyum.             “Iya. Kayaknya gue udah bisa bangun, deh,” Amanda memberi tahu setelah ia melihat Gibran mencoba memutar-mutar pergelangan kakinya dengan perlahan. Bengkaknya sudah tidak separah tadi.             “Yuk, gue bantu? Atau mau digendong?” Gibran tertawa.             “Jangan. Gue berat,” kata Amanda.             “Gue lebih berat, kok,” Gibran menenangkan.             Akhrinya Amanda setuju untuk dibantu ke Klinik Sekolah dengan cara dibopong. Gibran seperti biasa, dengan tersenyum membantu Amanda. Saira mengikuti mereka dan membantu membawakan tas Amanda, sementara peralatan club film yang tadi dibawa Amanda dibawakan oleh Kemal.             “Sorry ya, Gibs. Padahal lo lagi pacaran. Maaf ya, Saira?” kata Amanda diperjalanan menuju klinik.             Saira kaget karena disangka berpacaran dengan Gibran, namun lebih kaget lagi ketika mendengar jawaban Gibran, “Gue sama Saira gak mungkin pacaranlah, Man.”             Saira mengerutkan dahinya, Gak mungkin kenapa? Tanyanya dalam hati.             “Tapi, gue cocok kan sama Saira?” Gibran bertanya pada Amanda. Amanda terlihat kaget dengan pertanyaan Gibran, sementara Kemal yang berjalan di belakang mereka langsung mengangkat kepalanya yang tadinya menunduk dan memukul pundak Gibran.             “Buaya!” kata Kemal.             “Cocok, kok,” jawab Amanda, namun suara Amanda terdengar ragu. Ia pasti juga bingung sebenarnya apa hubungan Gibran dan Saira.             “Syukurlah,” jawab Gibran. Saira yakin saat ini Gibran pasti tersenyum. Namun tidak ada yang menanggapinya, karena tidak satupun dari Saira, Amanda, dan Kemal yang mengerti maksud dari perkataan Gibran.             Setelah dari Klinik Sekolah dan sudah memastikan bahwa Amanda baik-baik saja, Gibran akhirnya pamit dan mengajak Saira ke kantin. Sebelum benar-benar keluar dari klinik Gibran berkata, “Amanda, lo beneran gapapa gue tinggal? Cepet sembuh, loh. Gue sedih nih lo sakit gini.”             Amanda meyakinkan Gibran bahwa ia baik-baik saja dan mengucapkan terima kasih pada Gibran, Kemal, dan Saira. Ia berjanji lain kali akan mentraktir mereka yang dijawab penolakan oleh ketiganya karena mereka tidak mengharapkan itu, kecuali Kemal yang menanggapinya dengan bercanda.             “Boleh sih, asalkan jangan di sekolah ya, Man. Soalnya bosen,” kata lelaki berwajah timur tengah itu.             “Iya, gue beliin kebab nanti.”             “Yah, itu mah usaha Baba gua,” Kemal kecewa karena ayahnya memang memiliki usaha kebab dan bahkan hari ini pun ia mengaku membawa kebab sebagai bekal.             Saat sedang menuju ke kantin, Kemal sempat menggoda Gibran yang dapat didengar jelas oleh Gibran. “Aduh Bang Gibs emang paling baik dah. Nanti Amanda suka lagi loh, kayak waktu kelas satu dulu.”             “Ssst,” hanya itu tanggapan Gibran.             Saira tau bahwa laki-laki yang belakangan ini sering mengajaknya berbicara itu adalah laki-laki yang baik kepada semua orang, tidak memandang jenis kelamin dan umur. Namun, seperti yang pernah diceritakan Bian pada dirinya, karena kebaikannya itulah Gibran sering dicap buaya karena bermulut manis, ditambah lagi belum pernah ada perempuan yang dia jadikan pacar.             Kalau memang benar kata Kemal barusan bahwa Amanda pernah menyukai Gibran, dan Gibran berpura-pura tidak tau tentang itu, maka habislah Saira. Dibandingkan dengan Amanda, Saira tidak ada apa-apanya. Anggota club film itu adalah perempuan yang cantik dan feminin. Wanita itu memiliki tubuh yang tinggi dan ramping. Kulitnya putih dan bersih, serta pori-pori wajanya pun kecil bahkan hampir tidak terlihat. Hidungnya mancung dan alisnya tebal. Selain kelebihan fisik, ia juga merupakan kakak kelas yang baik kepada juniornya dan hampir tidak memiliki musuh. Disamping itu, beredar rumor bahwa Amanda sebenarnya mendapat beasiswa karena kemampuannya dalam bidang sinematografi. Tapi beasiswa tersebut ia tolak karena ayahnya yang merupakan seorang direktur bank swasta ternama, dinilai masih mampu mendanai pendidikan anaknya secara mandiri. Kabarnya Amanda pun sudah memiliki rencana untuk melanjutkan sekolah film di negeri ginseng.              Tapi kebaikan Gibran pada orang-orang di sekelilingnya terutama perempuan, bukanlah kali pertama Saira mengetahuinya. Beberapa waktu lalu, baru saja Saira mendengar cerita bahwa Gibran membantu seorang siswi di kelasnya dengan menggantikan siswi tersebut menjalankan hukuman. Waktu itu adalah pelajaran olahraga, dan siswi yang hari itu piket, lupa mengambil alat-alat olahraga dan membawanya ke ruang olahraga. Hal itu menyebabkan kegiatan belajar mengajar delay 15 menit. Pak Arya yang merupakan guru olahraga, seorang mantan atlet tingkat provinsi merasa diremehkan, ia menyuruh siswi yang bertanggung jawab untuk mengelilingi lapangan 10 kali, padahal saat itu siswi tersebut sedang dalam masa menstuasi dan sakit bulanan. Tanpa pikir panjang, Gibran meminta Pak Arya agar dapat menggantikannya untuk melaksanakan hukuman tersebut.             “Terserah kamu. Tapi kalo kamu yang gantiin, saya mau 20 keliling,” jawab Pak Arya. Maka Gibran pun berlari mengelilingi lapangan, yang sebenarnya hanya masalah kecil baginya sebagai seorang kapten basket yang selalu dibebankan dengan latihan yang berat.             Kemal pamit pada Saira dan Gibran untuk tidak ikut mereka ke kantin karena sudah ada janji dengan Maiko, pacarnya. Memasuki kantin, Saira menemukan masih banyak bangku kosong di dalam kantin, yang menjadikan kantin tidak begitu ramai. Hal itu biasa terjadi di hari Senin, karena beberapa siswa masih terbawa suasana akhir pekan. Sepinya kantin juga disebab oleh satu stand yang tutup. Saira ingat bahwa pemiliki stand tersebut adalah seorang ibu-ibu yang sangat ramah, sabar, dan masakannya enak. Saira lumayan menyukainya karena sering titip dibelikan pada Bian. Saira dan Gibran duduk di salah satu bangku kosong itu.             “Aliyyah….,” Gibran menyebut nama Aliyyah lagi dan terlihat menunggu lagi.             “Aliyyah kenapa?” tanya Saira. Ia sebenarnya penasaran.             “Kok kamu gak cemburu lagi, sih?” tanya Gibran dengan wajah penasaran.             Ya ampun orang ini, kalau bukan karena suka, pasti gue udah kesel banget, kata Saira dalam hati.             Saira hendak bangun dari duduknya dan bersikap seolah-olah ia kesal, namun Gibran memegang pergelangan tangan Saira saat ia baru saja berdiri.             “Bercanda, Saira! Saira kayak gak tau saya aja,” kata Gibran.             Saira dalam hati mengakui bahwa sebenarnya dari awal ia tidak pernah tau Gibran seperti apa. Ia tidak pernah bisa menebak Gibran itu bagaimana dan kenapa saat ini ia bisa mengobrol dengan Gibran. Seorang perempuan biasa dan seorang kapten basket sekolah super baik dan punya banyak teman.             “Jadi Aliyyah kenapa?” tanya Saira.             “Aliyyah pasti ngomong sesuatu ke kamu.”             “Apa tuh contohnya?”             “Dia bilang nggak kalo saya suka?” Saira melebarkan mata tanpa sengaja.             “Apa?” Saira bertanya lagi.             “Dia bilang gak kalo saya suka nanyain Bian ke dia?”             Saira langsung memasang wajah datar. Tidak ada lagi mata yang melebar, “Bilang.”             “Terus apa lagi?”             “Dia cerita banyak, Kak. Masa saya kasih tau satu-satu.”             Gibran tersenyum. Kemudian dia mengambil handphone-nya dan beberapa saat kemudian handphone Saira berdering. Saira mencari-cari di dalam tas, lalu melihat layar dan memeriksa penyebab telepon genggamnya itu berbunyi saat sudah menemukannya. Nomor tidak dikenal. Saira yang sudah mengetahui bahwa Gibran mengetahui nomornya, langsung memadang wajah Gibran.             “Itu nomor saya, kamu save ya?” pinta Gibran.             Saira mengangguk, “Oke.”             “Aliyyah pasti udah bilang kalau saya minta nomornya ya?”             “Hahahaha lagian kenapa gak langsung tanya ke saya aja, Kak?”             “Emang kenapa?”             “Kan ribet kalau kirim email ke saya untuk tanya email Aliyyah, terus tanya nomor saya ke Aliyyah.”             “Biar gak gampang dilupain aja. Kan kalo cara nyarinya unik, Saira pasti inget terus.”             Saira menyembunyikan senyumnya, “Oh ya?”             “Terus biar saya juga inget terus. Karena ribet nyari nomor ini,” Gibran berbicara sambil tersenyum.             “Yaudah Kak, save nomor saya ya jangan dibuang,” kata Saira sambil menenggak air dari tumbler yang ia bawa dari rumah. Sebuah tumbler coklat dengan gambar bunga matahari besar di tengahnya. Sebuah tali pendek berwarna coklat muda menggantung di tutup tumbler untuk memudahkan Saira mengalungkannya di pergelangan tangan.             “Saira juga save nomor saya, ya. Jangan diblock atau dihapus seumur hidup.”             Saira tertawa, “Seumur hidup? Harus seumur hidup disimpan?”             “Enggak usah juga gapapa,” jawab Gibran tersenyum.             Saira menaikkan satu alisnya, tanda bingung. “Kenapa gak usah?”             “Karena lama kelamaan juga Saira hapal. Kan akan sering liat di recent calls.”             Lagi-lagi Saira harus menahan senyumnya. Pasti sekarang wajahnya memerah, “Kok recent calls?”             “Aku juga maunya ada di future calls sih, cuma belum ada feature-nya.”             Saira kini tidak bisa menahan senyumya. Akhirnya, ia tersenyum dengan tertahan, “Kak Gibran tuh suka banget…”             “Suka banget apa?”             “Suka banget modus gitu ya, Kak?”             “Modus? Ini kan usaha!”             “Usaha apa?”             Gibran membeku. Saira melihat mata Gibran membesar. Lalu Gibran melirik ke arah kanan dan terdiam lagi sambil melirik ke bawah. Canggung.             Saira kira ini semua hanya bercanda, namun kini ia ikut canggung.             “Ke kelas, yuk!”Gibran bangun dari duduknya dan memakai tasnya.             Saira mengangguk dan mengikuti langkah Gibran.             Mereka kini berjalan dalam kebisuan. Dari semua candaan Gibran yang membuat jantung Saira berdetak tak beraturan, kenapa baru saat ini Gibran tiba-tiba canggung?             “Saya kan lagi deketin Saira,” kata Gibran akhirnya di perjalanan mereka menuju kelas.             “Deketin gimana maksudnya, Kak?” Saira rasanya ingin loncat karena kegirangan. Deketin? Teriak Saira dalam hati.             “Ya soalnya Saira nyenengin sih. Lucu, lagi. Mau bercanda kayak apa pun Saira gak keliru sama maksud saya,” Gibran berbicara dengan suara yang pelan.             Mendengarnya, Saira tidak lagi ingin loncat kegirangan. Ia kini menghayati maksud perkataan Gibran barusan, ada kebahagiaan di hati Saira saat mengetahui bahwa Gibran senang berada di dekatnya. Namun, di sisi lain, Saira menjadi sadar bahwa Gibran senang karena Saira tidak menaruh harapan terhadap pertemanan mereka.             “Gimana kalau kita ngobrolnya kayak temen aja? Gue-lo?” kata Gibran, volume suaranya kembali seperti biasa.             “Boleh. Saira setuju setuju aja,” kata Saira menjawab reflek dengan senyum yang dipaksakan.             Gibran ikutan tersenyum. Kini mereka sudah sampai di depan persimpangan, kelas Saira berada di lantai 2 di atas koridor sebelah kiri, dan kelas Gibran berada di lantai 3 di atas koridor sebelah kanan.             “Dah adik kecil! Nanti kita ngobrol lagi. Belajar yang rajin. Jangan ngobrol terus lo di kelas,” Gibran melambaikan tangan. Saira hanya tersenyum dan berjalan ke arah kelasnya.   “Lagi dan lagi ngobrol sama Gibran sampai bikin gossip di pagi hari,” Nadia menyapa Saira dengan cara yang tidak biasa. Saira baru saja sampai kelas ketika dia mendapati Nadia sudah menunggunya di depan kelas sambil menyilangkan kedua lengannya di d**a.             “Ih Nadia, kamu jangan ngegosip terus,” Aliyyah memperingati dengan suara halus sambil tersenyum.             “Maaf ya Aliyyah, aku bikin dosa terus ya?” kata Nadia. Dia langsung diam dan Aliyyah malah tertawa.             “Tuh dengerin kata Aliyyah, Nad,” kata Saira menanggapi candaan temannya, namun tidak terlalu bersemangat seperti kemarin, karena kali ini kepercayaan dirinya sedikit melemah.             “Gak semangat banget sih, Sar,” kata Aliyyah yang menyadari perubahan mood sahabatnya itu.             “Masa sih?”             “Iya.”             “Jadi gimana sama Gibran?” tanya Nadia tak bisa membaca situasi.             “Apa sih Nad? Orang gue cuma temen aja,” kata Saira menjawa pertanyaan teman sekelasnya yang konyol itu dengan jujur. Ia berusaha terlihat biasa saja saat mengatakannya.             Saira duduk di bangkunya dan mengambil telepon genggam. Ia langsung mencari Aliyyah di daftar kontak dan mengirim pesan singkat dari aplikasi chatting yang memang biasa ia dan Aliyyah gunakan. Saira : Kata kak gibran aku cuma temen aja, al…. Aliyyah : Kak gibran blg apa? Saira : Katanya dia seneng temenan sama aku karena aku gak gampang suka sama dia kyk org lain Aliyyah : tp kamunya suka sama kak gibran ya?             Saira menepok jidatnya dan baru sadar bahwa selama ini ia tidak pernah memberi tahukan pada Aliyyah bahwa ia menyukai kapten basket sekolahnya itu. Saira menyesal karena langsung gegabah curhat pada Aliyyah saat kondisi hatinya buruk. Saira : gak sih hehe Aliyyah : Ah bohong Saira : J             Saira menutup telepon genggamnya dan menyimpannya di dalam loker kelas. Tepat ketika itu, seorang guru dengan wajah jenaka, bertubuh agak gemuk dan rambut dibelah pinggir masuk kelas. Guru laki-laki tersebut adalah Pak Cahyo, seorang guru Bahasa Indonesia yang merupakan guru favorit anak-anak di SMA Pelita Mulia. Cara mengajarnya yang asik mampu membuat pelajaran Bahasa Indonesia yang memiliki citra membosankan, menjadi pelajaran yang mengasyikan. Pak Cahyo pun seorang guru yang mengingat dan memperhatikan keadaan murid-muridnya. Ia hapal rumor-rumor yang beredar di lingkungan sekolah. Tidak jarang juga, ia menjadi tempat anak-anak curhat masalah percintaan mereka. Pak Cahyo sendiri konon menikah muda ketika berumur 20 tahun karena dijodohkan oleh orang tuanya, dan kini telah memiliki 2 pasang anak kembar yang lucu-lucu. Anaknya yang kelima meninggal beberapa hari setelah dilahirkan. Katanya itulah yang membuatnya lebih dekat dengan anak-anak, ia merasa semua anak sama berharganya.             “Tadi ada yang ngobrol sama kapten basket di koridor. Ngobrolnya akrab sekali, siapa ya itu?” baru saja sampai di kelas, Pak Cahyo langsung bergosip, membuat anak-anak di kelas Saira langsung berisik dan beberapa menoleh untuk melihat wajah Saira. Kini wajah Saira merah karena malu.             “Bayu, Pak,” sahut Nadia dengan konyolnya menyebutkan nama belakang Saira. Tapi masalahnya, ada seseorang dengan nama yang sama di kelas mereka.             “Yee, gue aja baru sampai sambil lari-lari gara-gara telat. Boro-boro ngobrol sama kapten basket,” si pemilik nama Bayu mengelak. Ia masih membereskan gesper dan kemejanya. Ia benar-benar baru saja sampai. Hanya berselang 10 detik sebelum kedatangan Pak Cahyo.             “Saira Bayu maksudnya!” Nadia merevisi perkataannya dengan sewot.             “Sudah! Romantis sekali ya Nadia dan Bayu ini kalau dilihat-lihat,” kata Pak Cahyo dengan logat medoknya.             “Orang ribut dibilang romatis. Heran,” kata Bayu. Cara bicaranya membuat seisi kelas tertawa.             “Loh, kamu gak tau masa depan, kan?” ujar Pak Cahyo.             “Ogah Pak, kalau sama dia!” sahut Bayu cepat.             “Ye! Emang gue mau sama lo?” Nadia membalas.             “Ye! Emang di masa depan lo masih ada? Inget umur gak ada yang tau!” Bayu memang kalau bercanda sering sedikit keterlaluan.             “Hus!” Pak Cahyo melambaikan tangannya pada Bayu, tanda melarang. “Jadi gimana Saira? Satu sekolah sudah menunggu ada pasangan baru, loh!”             Saira menggeleng-gelengkan kepala karena bingung harus merespon apa.             “Saira, Gibran tuh anaknya baik loh. Dari dulu semua anak perempuan suka sama dia, tapi gak ada yang diajak jalan berduaan gitu. Dilihatin satu sekolah, lagi,” Pak Cahyo melanjutkan bicaranya lagi. Dia tidak sadar jam pelajarannya sudah termakan beberapa menit karena intro yang tidak perlu.             Seisi kelas kini mendengarkan dengan serius, ternyata mereka pensaran dengan track record kakak kelasnya yang terkenal itu. Begitu pun Saira, meski ia menyembunyikan antusiasmenya.             “Pokoknya pesan bapak cuma satu,” Pak Cahyo berkata, kemudian terdiam sebentar. “Jangan pacaran. Sekolah dulu yang fokus. Jangan dulu mau sama Gibran!”             “Yeeeee kirain Pak Cahyo dukung Saira jadian! Gimana sih?” beberapa anak di kelas langsung kesal. Beberapa bahkan langsung tidak seserius tadi, dan yang lainnya tertawa saja karena sudah tau bahwa Pak Cahyo pasti bercanda.             “Ya kayak saya dulu, loh. Diam saja tapi kemudina bertemu sendiri dengan jodohnya. Ayo, kemarin pelajarannya sampai mana? Kita lanjutkan.”             Seisi kelas terlihat kecewa tapi tetap menurut kata Pak Cahyo, mereka membuka modul pelajaran Bahasa Indonesia untuk melanjutkan pelajaran.             “Berhubung lagi ada yang sedang berbunga-bunga, hari ini kita coba menulis puisi ya! Temanya… CINTA!” Pak Cakyo langsung bersemangat dan seluruh siswa gaduh dan tertawa.  *** "Pingin ngobrol terus-terusan sama Saira, kalau bisa sampai tua" – Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN