BAB 20 - SAIRA SIBUK

2236 Kata
            “Saira?” tidak berbeda dengan Saira, Gibran juga tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya melihat Saira di café.             “Kak Gibran ngapain? Katanya…”             “Gua taro barang dulu di gundang. Saira tunggu di sini!” Gibran segera berjalan dengan lebih cepat dan membaa tumpukan kardus yang masih dipegangnya ke dalam sebuah ruangan bertulikan “Staff Only”, kemudian keluar lagi menemui Saira. Saira masih berada di tempatnya berpapasan dengan Gibran dan hanya diam saja tanpa berkata apa-apa.             “Saira ngapain di sini?” tanya Gibran tepat setelah ia kembali dari gudang. Ia menggengam pergelangan tangan Saira. Saira memandang Gibran dari ujung kaki hingga kepala. Sang kapten basket dengan tatapan mata teduh nan ramah itu berpakaian persis seperti karyawan lain. Sebuah name tag bertuliskan Gibran Radu pun tidak ketinggalan sebagai pelengkap.             “Saira nganter brownies sama Mas Salman,” Saira menjawab dengan pelan. Ia masih bingung dengan keberadaan Gibran. “Kak Gibran ngapain?”             “Nanti gue jelasin ya, Saira. Mungkin minggu depan gue udah bisa masuk sekolah lagi,” jawab Gibran terburu-buru.             “Ada apa sih?”             “Ga bisa sekarang. Banyak yang harus dikerjain. Sorry Saira, gue emang agak sibuk belakangan ini. Nanti gue ya, gue jelasin.” Gibran masih memegang lengan Saira. Untung saja Salman dan Fatih tidak melihat.             Saira mengangguk tanpa pilihan, ia bahkan tidak tau Gibran akan menjelaskan apa nantinya.             “Oke.”             “Sar, kalau minggu depan gue masih sibuk, tunggu ya?”             “Maksudnya?”             “Iya, tungguin sampai gue bisa jelasin. Jangan langsung ninggalin.”             Mata Saira terbelalak. Ia tidak tau apa maksud Gibran, namun ia bahkan tidak pernah berpikir akan menjauhi Gibran. membayangkannya saja ia tidak mampu.             Saira mengangguk lagi.             “Gue kangen sama lo. Yaudah, gue lanjut kerja, ya!” Gibran melepas tangan Saira dan pergi menuju tumpukan kardus di ujung pintu yang baru saja diturunkan dari mobil.             Selama di café, Saira memperhatikan Gibran. Namun, ia sengaja mengalihkan perhatiaannya saat Salman dan Fatih mulai sadar apa yang Saira lakukan. Saira juga beruntung karena Salman tidak mengenali Gibran. Gibran mengenakan seragam dengan topi yang sedikit diturunkan. Ia juga sangat sibuk dengan barang-barang yang ukuranna jauh lebih besar dari tubuhnya sendiri.             Sampai sore, pekerjaan Gibran tak juga usai. Bahkan Saira sudah tidak tau kemana perginya Gibran. Ia sudah tidak melihat apa yang Gibran lakukan lagi. Jam menunjukkan pukul 4 sore dan Fatih juga Salman menyuruhnya pulang. Salman bilang ia dan beberapa staff harus berpindah ke cabang kedua yang akan dibuka sore ini. Ia tidak mengizinkan Saira dan Fatih ikut.             Maka Saira dan Fatih pulang duluan dan membawa mobil yang mereka bawa. Salman bisa menjaga dirinya sendiri dan pulang dengan temannya atau taksi. ***             Pintu kamar Saira diketuk tepat setelah pemiliknya memejamkan mata dan hendak tertidur. Ia telah melewatkan hari yang melelahkan dengan semua brownies buatannya dan pertemuannya yang mengagetkan dengan Gibran di café. Juga, soal janji Gibran yang akan menjelaskan mengapa ia menghilang dan ada apa dengannya.             Dari semua itu, bahkan Gibran masih bisa membuat Saira tersenyum saat lelaki itu mengatakan bahwa ia merindukan Saira. Sesungguhnya, Saira sudah tidak butuh penjelasan. Dirindukan oleh Gibran, sudah cukup baginya. Tapi tetap ingin tau alasan Gibran. Apapun itu, ia tidak akan marah.             Setelah membuka kembali pejaman matanya, Saira bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Salman yang sudah berganti pakaian tidur dan wajahnya dihiasi dengan kantung mata tebal. Saira tau Salman juga kesulitan dengan pekerjaannya dan kewajibannya menyelesaikan tugas akhir.             “Kenapa Mas?”             “Kue kamu di-approve.” Salman menjulurkan tangannya ingin bersalaman.                         Dahi Saira mengerut, kaku sekali kakak pertamanya ini, dan haruskah mereka bersalaman padahal mereka saudara kandung? Saira segera menyingkirkan tangan Salman dan memeluk kakaknya. Salman kaget. Saira tau. Namun, ia ingin merayakan keberhasilannya dengan pelukan. Ia senang akhirnya ada hal yang bisa ia lakukan, tanpa harus memikirkan betapa hebat orang-orang di sekitarnya.             Saat memeluk Salman, Saira merasakan Salman yang awalnya kaku akhirnya mengelus punggung Saira dan juga kepalanya. Tinggi tubuh mereka jauh berbeda, dan menyulitkan mereka untuk berpelukan terlalu lama.             “Mulai kapan Saira harus masak lagi?” tanya Saira saat ia sudah melepaskan pelukannya.             “Mulai minggu depan. Tapi, supply-nya dua hari sekali ya? Nanti kamu datang ke café untuk kontraknya,” kata Salman menjelaskan.             “Oke.”             “Sekarang kamu tidur. Makasih ya!”             Terakhir, Salman mengelus puncak kepala Saira dan beranjak ke lantai atas. Sementara Saira masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Ia bahagia! Sungguh bahagia! Dia berbahagia karena dua hal. Yang pertanya brownies buatannya yang diterima, dan yang kedua, ia merasa rukun dengan Salman untuk pertama kalinya. ***             Waktu berjalan begitu cepat saat Saira menghabiskannya dengan memasak. Hampir setiap hari ia memasak brownies lagi, karena jauh dari yang dibayangkan, kue yang ia buat nyatanya hanya bertahan satu hari dan akan habis di hari itu juga. Dan hal yang membuat Saira semakin sibuk dengan kuenya adalah, café tempat Salman magang membuka layanan delivery food, sehingga semakin lagu pula kue buatan Saira. Bahkan, banyak yang memesannya lewat i********: dan aplikasi lainnya.             Café tempat Salman magang, meskipun sudah membuka cabang kedua, namun bisa dibilang merupakan café baru yang masih mencari nama. Sehingga, kue Saira yang kini menjadi menu andalan mereka selain minuman dengan cafein, membuat Pak Ali—ownernya—ingin terus menggunakan kesempatan ini. Sebenarnya cabang kedua pun sesekali dikirimi stok brownies buatan Saira dengan kuantitas lebih sedikit, namun masih selalu kehabisan juga, dan meminta stok lebih banyak. Saira yang sudah cuku kewalahan, tentu menolak tawaran ini.             Sudah hampir dua minggu Saira rutin membuat brownies dan diambil langsung oleh mobil milik café itu, sehingga Salman tidak perlu mengantarnya, mengingat Salman juga hanya seorang anak magang yang sewaktu-waktu harus meninggalkan café untuk tugas akhirnya.             Berita mengenai Gibran, semakin tidak diketahui Saira. Terakhir ia bertemu Gibran dan tidak lagi bisa menghubunginya, baik lewat telepon, maupun bertemu di sekolah. Bian pun bilang bahwa Gibran mulai datang latihan setelah tiga kali absen, karena peraturannya memang maksimal absen hanya 3x. Namun, semua orang tau bahwa Gibran tidak maksimal pada latihan-latihannya belakangan ini. Couch memberinya kesempatan hanya karena tau bahwa Gibran akan segera melewati masalahnya dan kembali menjadi kapten yang seperti dulu.             Bukannya Saira tidak peduli, hanya saja ia ingin memenuhi janji Gibran untuk tidak meninggalkannya dan ia memilih untuk fokus pada penjualan browniesnya saja. Namun, seperti seseorang yang peduli, ia memang khawatir pada Gibran.             “Sar,” Salman datang tepat saat Saira hendak tidur. Entah mengapa Saira merasa bahwa Salman selalu muncul saat ia hendak tertidur.             “Baru pulang Mas?” tanya Saira. Ia mengurungkan niatnya untuk ke kamar dan duduk di ruang tamu. Kemudian ia menghidupkan tv.             “Gak tidur?”             “Baru jam sembilan. Gimana kue Saira?” Saira iseng bertanya.             “Besok bikin yang biasa, ya! Di rumah ada sisa gak? Mas tiba-tiba kepingin.”             “Ada di kulkas. Ambil aja, Mas. Cuma beberapa potong sih tadi Saira bawa ke sekolah soanya.” Saira membuka aplikasi Netflix di smart tv-nya dan mencari drama yang belum selesai ditontonnya.             Salman meletakkan piring berisi beberapa potong brownies di atas meja ruang tamu—yang juga ruang tv—dan mengambil satu potong, kemudian ia duduk di meja makan. Ia juga meletakkan kaleng soda yang kebetulan ada di kulkas.             “Kok ditaro di sini Mas?” tanya Saira heran.             “Tuh, ada tamu,” Salman menunjuk ke pintu ruang tamu dan benar saja. Seseorang mengetuk.             Saira bergegas membukanya dan betapa terkejutnya dia. Seorang laki-laki dengan wajah kelelahan dan terengah-engah berada di depan pintu dan ia tersenyum saat Saira membuka pintu rumahnya. Gibran Radu.             “Kak Gibs? Malem-malem ke sini ngapain?” tanya Saira saat menyadari bahwa sekarang sudah pukul 9 malam. Ia menoleh pada Salman yang sedang meneguk gelas bening berisi air mineral. Kemudian ia naik ke lantai atas.             “Mas ke atas dulu, ya,” kata Salman pamit lalu berjalan menuju tangga. Namun Saira tau, ia akan mengawasi Gibran sampai teman laki-laki Saira itu pulang.             “Urusan gua udah selesai,” Gibran menjawab, masih terengah-engah.             Saira mempersilahkan Gibran masuk dan duduk di ruang tv. Tidak lupa ia menawarkan minuman soda yang dikeluarkan Salman dari kulkas dan juga brownies yang Saira buat sendiri.             “Jadi?” Saira bertanya.             “Ibu masuk rumah sakit. Jadi, karena Bapak udah gak ada, emang cuma gue sih yang harus urus semuanya. Dan sibuk banget karena gue harus kerja juga. Bener-bener sibuknya sampai gue gak sempet online. Sekolah dan basket juga agak terbengkalai,” Gibran menjelaskan. Sesekali ia berhenti sebelum mengatakan kalimat selanjutnya.             “Ibu udah sehat sekarang?” tanya Saira.             Gibran tersenyum sembari meremas tangan kirinya dengan tangan kanannya. “Udah. Barusan aja pulang dari rumah sakit.”             “Saira mau jenguk boleh, Kak?”             “Hah? Jenguk?” tanya Gibran kaget, ia sepertinya tidak menduga bahwa Saira ingin menjenguk ibunya.             “Iya, boleh?”             “Kayaknya gak deh, Sar. Ibu masih perlu istirahat.” Gibran langsung menolak.             “Kerjaan ibu gimana?”             “Kerjaan ibu?” Gibran terkejut lagi, ia melanjutkan, “Gue udah pernah cerita kerjaan ibu ya?”             “Belum, sih.”             “Oh… Ibu masih bisa lanjut kerja, gue bantu-bantu sedikit.”             “Ibu kerja dimana sih, Kak?”             “Ibu?” Gibran bertanya, padahal Saira yakin betul bahwa pertanyaannya tadi sudah jelas dan suaranya pun bisa didengar. Saira mengangguk.             “Ibu kan bisnis.”             “Bisnis apa?”             “Makanan.”             “Kue?”             “Semacam itu.”             Saira mengerutkan dahinya. Gibran menjawab semua pertanyaannya sesingkat mungkin. Kemudian ia meminta izin pada Saira agar boleh membuka kaleng minuman di depannya dan menenggak isinya. Gibran tidak memandang wajah Saira ketika itu.             “Kak Gibran siapanya Pak Ali?” tapi belum selesai bagi Saira. Ia masih memiliki beberapa pertanyaan.             “Pak Ali?” awalnya Gibran terlihat bingung, kemudian ia seperti mengingat sesuatu.             “Iya, owner café kemarin.”             “Oh, Pak Ali itu bos gue. Kan gue iseng part time,” jawab Gibran.             “Koki bunya Kak Gibs sakit, Kak Gibran malah part time? Iseng lagi?”             “E….” Gibran tampak bingung harus menjawab apa. Saira menunggu.             “Kenapa?” tanya Saira lagi setelah beberapa menit Gibran hanya berdengung huruf E dengan tidak jelas.             “I know it doesn’t make sense, but I had signed a contract,” jawab Gibran akhirnya.             “It… makes senses, actually,” kata Saira. Ia tidak ingin mendukung Gibran, tapi kontrak kerja dan lainnya adalah hal yang masuk akal baginya kini, setelah ia meneken kontrak untuk produksi brownies selama enam bulan ke depan.             Gibran mengambil lagi kaleng soda yang tadi sudah diletakkannya, kemudian ia meneguk isinya sampai hanya tersisa setengah.             “Kak Gibran haus? Mau Saira ambilin air putih?” tanya Saira melihat Gibran yang terus minum setiap ia bertanya.             “Gak usah. I just hope… Saira ngerti keadaannya,” kata Gibran. Ia kembali meremas tangan kirinya dengan tangan kanannya dan tidak memandang Saira, melainkan memandangi kakinya.             Saira tersenyum. “Ngerti kok. Kenapa harus gak ngerti?” kata Saira mencairkan suasana. Ia kemudian mengambil satu potong brownies coklatnya dengan tissue dan memberikannya pada Gibran.             “Ini brownies yang Saira bikin dan Saira jual ke café loh, udah nyobain belum?”             “Belum,” jawab Gibran ia mengambil tissue berisi borwnies dari tangan Saira dan melahapnya. Matanya melebar, kemudian ia berkata, “Enak banget!” puji Gibran. Ia segera menghabiskan sisa brownies di tangannya dan mengambil lagi potongan lainnya yang masih ada di atas meja.             Kak Gibran pasti belum makan, kata Saira dalam hati saat melihat lelaki yang disukainya itu makan dengan cepat dan lahap.             “Kak Gibran belum makan, ya?” tanya Saira. Sebenarnya ia tidak enak menanyakan ini, takut Gibran tersinggung, namun ia penasaran sesibuk apa Gibran sebelum datang ke sini.             “Gue sibuk banget urus rumah sakit dan kerjaan,” jawab Gibran jujur sembari mengambil potongan kedua.             Saira berjalan menuju dapur dan membuka tudung saji. Ia mengeluarkan sebuah kotak berisi risoles yang dibawa bunda dari tempat kerjanya. Ia meletakkan risoles itu di samping piring brownies di meja ruang tamu.             “Sar, gue ke sini bukan mau numpang makan, loh.” Gibran menghabiskan minuman sodanya dan membersihkan mulutnya dengan tissue bekas brownies tadi.             “Enggak, kebetulan ada risoles, kalo Kak Gibran mau, abisin aja. Takut gak ada yang makan,” jawab Saira. Ia juga memberikan gelas bening berisi air mineral kepada Gibran.             Gibran awalnya sungkan, kemudian ia mengambil risoles dan melahapnya dengan dua kali gigitan. “Gue kenyang, kayaknya pulang nanti gue gak perlu makan lagi, deh.”             “Ibu gak apa-apa ditinggal sendirian?” tanya Saira.             “Gak apa-apa. Gue udah pamit tadi.”             “Kok Kak Gibran dateng, suara motornya gak kedengeran?” tanya Saira bingung.             “Hah? E…” Gibran berdengung lagi, namun kali ini hanya sebentar. “Motor gue masuk bengkel,” jawab Gibran akhirnya.             “Oh…”             Gibran kemudian memandangi Saira dan berkata, “Sar, gue kangen banget sama lo. Seneng deh Saira gak marah karena dicuekin beberapa hari,” kata Gibran nyengir sambil mengacak rambut Saira.             “Iya dong, masa marah.” Saira tertawa dalam hati, padahal ia sudah berkali-kali kesal pada Gibran, namun tidak punya kesempatan untuk mengutarakannya.             “Kalau cewek lain pasti marah. I’m glad it’s you, Sar. Bukan orang lain.” Saira diam saja. Ia tidak tau apa maksud Gibran bicara begitu.             “Saira gak kangen sama gue?” tanya Gibran usil setelah tidak mendapat tanggapan dari Saira.             “Hah? Kangen sih…” jawab Saira dengan akhir yang digantung.             “Tapi?”             “Tapi kan bukan siapa-siapa.” *** “Jadi saingan saya nambah nih?” – Gibran 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN