BAB 21 - PENGGEMAR DARI UJUNG DUNIA

2441 Kata
            Gibran terlihat agak terkejut dengan jawaban Saira. Ia diam dan memandangi kakinya yang kedinginan. Membuat Saira menjadi tidak enak hati.             “Kak…” Saira memanggil nama Gibran, memastikan seniornya itu baik-baik saja dan Saira tidak merusak suasana hatinya.             “Sar…,” Gibran memegang pergelangan tangan Saira. Saira melihat pergelangannya yang digenggam oleh Gibran, kemudian matanya beralih pada Gibran. Gibran sedang melihatnya dengan serius. “Tunggu sebentar ya, Sar. Sebentar lagi gue jelasin semuanya. Ada beberapa yang harus gue urus dulu.”             “Mau jelasin apa?” tanya Saira bingung. Ia bertanya-tanya apakah ada hubungannya dengan kata-katanya barusan dan dengan urusan yang harus Gibran selesaikan.             Gibran melihat ke arah jam dinding dan melepaskan genggamannya. Ia kemudian bangkit dari duduknya, “Udah jam 10, gue pulang ya?”             Saira yang masih penasaran dengan maksud Gibran tidak bisa melarangnya untuk pulang, karena mengingat ada ibu Gibran yang ditinggalkannya dalam keadaan sakit di rumah. Saira hanya mengangguk, mempersilahkan lelaki dengan rambut belah tengah itu pulang. Ia membuka pintu dan menunggu Gibran berjalan keluar rumah menuju gerbang cluster-nya dan hilang dari pandangan. Sepertinya Gibran akan naik TransJakarta kali ini.             Setelah yakin telah menutup semua pintu serta menguncinya, Sair mencuci kaki dan masuk ke kamarnya. Ia mengurungkan niat untuk menyelesaikan drama yang sudah ingin ia selesaikan sebelum Gibran datang.             Tepat pukul sebelas malam, pesan dari Gibran masuk. Gibran: gue udh sampe rumah 15 mnt yg lalu ya Saira: ok kak, salam buat ibu ya Gibran: ok Gibran: brownies saira enak bgt. Hope it’s going well yaa Saira: amen for that! Gibran: see you tomorrow, adik kecil! Saira: see you, kak gibs! Gibran: good nite! Gibran: have a nice dream! Saira: you too, captain! Gibran: captain? It’s better when it comes from you Saira: why? Gibran: cuz anything comes from u is always good Saira: what a sweet talker! Gibran: byeeee! ***             Keadaan café ramai menjadikan Salman sering pulang malam, terkadang sudah lewat dari jam 10 malam, namun anak pertama dari tiga bersaudara itu belum juga terlihat mondar-mandir di rumah atau membuat kesal adiknya. Bunda khawatir sesuatu hal terjadi pada anak bujangnya itu, apalagi jalanan sudah sepi dan sudah lewat dari jam 10 malam.             Sairalah yang menenangkan Bunda dan mengajak Fatih untuk menyusul Salman ke café tempat kakaknya itu magang. Saira berlari kecil dan turun dari mobil bunda yang dikendarai oleh Fatih. Ia mengenakan celana kulot betis berwarna coklat tua dan sweater warna senada karena udara dingin yang menusuk di waktu malam. Saat sedang bersantai di rumahnya tadi, Saira sedang mengepang asal rambutnya, maka kini ia keluar denga rambut kepang itu yang belum sempat dilepasnya.             Faith memarkirkan mobil tepat di depan café karena parkiran yang biasanya penuh, kini kosong karena malam sudah larut. Hanya tersisa beberapa motor pekerja café dan sebuah mobil VW berwarna hitam yang terparkir rapih. Di anatra motor yang berjajar rapih itu, Saira bisa mengenali motor Salman.             Fatih membukakan pintu café untuk Saira yang sebenarnya sudah tertulis “close”, tanda bahwa mereka sudah tidak menerima pelanggan dari manapun. Saira melongok masuk melewati pintu dan menemukan seorang anak laki-laki seumuran dirinya yang ia ketahui adalah anak Pak Ali, hendak membuka pintu. Anak laki-laki itu masih berwajah familiar, sama seperti sebelumnya saat ia sedang mengambil foto dari rak-rak kopi di sebelah kasir di akhir pekan tempo lalu. Tangan lelaki yang hendak membuka pintu café itu tepat berada di wajah Saira.             Saira terdiam kaget karena tidak tau wajahnya akan berhadapan dengan telapak tangan besar. Ia bersyukur karena Tuhan tidak menakdirkan tangan itu untuk menyentuh wajahnya. Anak laki-laki itu kaget. Ia segera menurunkan tangannya dan sedikit menurunkan kepalanya seperti ingin minta maaf, namun tidak jadi—mungkin karena tidak yakin bahwa Saira seumuran dengannya atau hanya anak kecil—dan langsung melekatkan matanya pada Saira dari ujung kaki hingga kepala.             Si wanita bertubuh kecil yang tidak tau harus apa pun juga hanya terdiam dan masih terkejut. Ia memandangi anak laki-laki itu dari ujung kaki hingga kepala. Anak laki-laki itu memiliki tinggi yang cukup jauh dari tinggi tubuh Saira–ia lebih pendek dari Gibran sekitar 2 cm dan lebih tinggi dari Bian—dan ia membiarkan rambutnya dipotong rapih hingga orang akan mengira ia akan mendaftar sekolah polisi. Ditambah lagi, kulit anak di depannya ini agak kecoklatan dan ia mengenakan celana chino berwarna hijau army dengan atasan kaus hitam polos yang dilapisi dengan jaket kanvas warna hijau yang lebih tua, ia mungkin akan dikira tentara.             Sepertinya tidak butuh waktu lama bagi anak lelaki itu untuk menyadari bahwa ia dan Saira berada dalam situasi yang canggung, maka ia melewati Saira dan berjalan melewati pintu café dan pergi begitu saja menuju salah satu motor yang berderet di luar.             Fatih mengamati seorang yang melewati dirinya dengan wajah datar dan bertanya, “Itu siapa, Sar?”             Saira mengangkat kedua pundaknya tan tidak tau dan langsung memanggil Salman saat kakak lelakinya itu turun dari sebuah ruangan bertuliskan “staff only”. Sebuah ruangan yang Saira ingat merupakan ruangan tempat Gibran meletakkan tumpukan kardus saat menabraknya dulu.             “Ngapain kalian?” tanya Salman langsung to the point tanpa menghiraukan panggilan Saira. Matanya langsung menghadap ke Fatih.             “Bunda nyariin Mas. Gak bisa ditelpon lagi, coba cek hape,” jawab Fatih.             “Oh. Hape Mas abis batre-nya,” jawab Salman. Kemudian beberapa orang lain mengikuti Salman dari balik pintu ruangan yang sama dan keluar dari sana.             “Yuk pulang. Ngantuk,” ajak Saira. Ia menarik lengan Salman dan Fatih secara bersamaan dan menempatkan mereka masing-masing di sisi lengan yang berbeda. Salman dan Fatih menurut saja pada adik mereka yang menuntun untuk berjalan keluar dari café.             Kemudian saat sampai di pintu, seseorang dengan tergesa-gesa masuk café dan membuat wajah Saira bertabrakan dengan lengannya. Saira mendongak dan ia menemukan anak laki-laki dengan wajah familir dengan jaket kanvas tadi sedang berdiri sambil meraba kantung celana chinonya.             “Nyari apa?” Salman menanyai si anak tadi. Sepertinya mereka kenal.             “Kunci motor gua gak ada, Mas,” jawab anak tadi. Saira mengerutkan dahinya dan merasa anak tadi tidak sopan. Ia terlalu muda untuk berbicara santai menggunakan ­gua-lo seperti itu.             “Yah, tadi ditaro dimana?”             Anak itu diam saja dan tidak menjawab. Ia berjalan ke dalam café dan mulai memberantaki meja kasir dan rak-rak di sana. Semua pekerja yang melihat itu hanya bisa memasang wajah datar dan bersabar karena besok harus membereskannya.             Si anak dengan wajah familiar menoleh pada para pekerja yang menontonnya dan berkata, “Saya aja yang beresin nanti. Pulang duluan aja. Maaf ya, Mas Salman, Mas Angga, dan yang lainnya.”             Salman tersenyum pada orang bernama Angga—Saira melihat di name tag-nya—dan berkata, “Saya aja yang nungguin. Yang lain duluan aja. Mas Angga juga, kasian Erin nunggu ayahnya tuh. Sama browniesnya.” Salman menunjuk sebuah kantung coklat ramah lingkungan yang ditenteng oleh Mas Angga. Mas Angga mengangguk kemudian pulang bersama beberapa pekerja lainnya.             Tak berapa lama kemudian, Saira melihat sebuah benda tidak biasa di bawah salah satu sofa café. Awalnya ia mundur, karena takut bahwa itu adalah binatang seperti kecoak atau semacamnya, namun karena benda itu tidak bergerak, Saira mendekatinya dan menemukan benda yang dicari-cari oleh si anak familiar.             “Ini kunci motor yang dicari ya?” tanya Saira sambil mengangkat benda itu tinggi-tinggi, takut kalau orang-orang bertubuh tinggi di sekitarnya tidak melihat apa yang ia pegang.             “Iya!” Anak laki-laki dengan wajah familiar tadi langsung menghampiri dan mengambilnya dari genggaman Saira. Saira pun yang tau bahwa kunci itu akan segera diambil oleh pemiliknya, langsung memberikannya.             “Makasih, ya,” kata si anak familiar itu dengan wajah datar. Jika saja Saira tidak mendengarnya mengucapkan terima kasih, ia pasti sudah mengira bahwa anak itu sedang marah padanya.             “Sama-sama,” jawab Saira dengan kikuk.             “Nah, Alhamdulillah ketemu,” kata Salman. “Yuk pulang!”             “Ayuk!” kata Saira bersemangat. Anak familiar itu mengangguk dan Fatih yang sedari tadi hanya duduk sambil berpura-pura mencari kunci, kini bangkit dari kursinya.             “Oh iya, Saira udah bikin brownies untuk besok?” tanya Salman saat ia sedang mematikan lampu-lampu yang ada di café. Saira, Fatih, dan Si Anak Familiar itu masih menemani.             “Udah.”             “Oh iya, ini adik gua yang bikin brownies loh! Kenali nih, Saira. Sar, itu anaknya Pak Ali. Namanya Ali juga, loh,” kata Salman. Ia kini sudah mengunci pintu café dan sedang menutup folding door.             “Bukan, nama gue bukan Ali,” jawab anak dengan wajah familiar itu.             Salman tertawa, “Bercanda kok gue.” Ia kini sudah mengunci gembok terakhir café itu.             “Ini yang bikin brownies? Enak browniesnya,” kata si anak dengan wajah familiar, lagi-lagi dengan ekspresi datar.             Saira kaget mendengar pujian yang sama sekali tidak tulus itu dan hanya menaikkan satu alisnya. Kemudian mia memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berterimakasih. Kemudian anak itu berpamitan pada Salman, Fatih, dan Saira dengan gaya sopan dan kaku. Nyatanya dia hanya menggunakan bahasa santai dengan Salman. Ia masih tetap sopan di depan Fatih dan Saira.             Saat sampai di rumah Saira lupa mengenai si anak dengan wajah familiar yang bergaya seperti murid dari akademi kepolisian itu, dan langsung menghubungi Gibran.             Esoknya Saira bangun pagi-pagi sekali karena sudah berjanji akan bertemu dengan Gibran sebelum masuk kelas lewat chat semalam. Ia sudah rindu sekali pada seniornya itu dan berharap dapat segera sampai di sekolah dan menemukan Gibran yang menyambutnya dengan senyum bahagia. Awalnya Gibran bilang bahwa ia akan menjemput Saira dan mereka akan naik TransJakarta bersama, namun karena ternyata Saira ingat bahwa motor Gibran sedang ada di bengkel, Saira menolaknya.             Hari ini cerah persis seperti suasana hati Saira yang berbunga-bunga. Ia sengaja membawa brownies sisa di rumahnya untuk diberikan pada Gibran. Saira memasuki gerbang sekolah dengan berjalan perlahan ke arah persimpangan, tempat ia dan Gibran biasa dipisahkan. Namun, belum sampai di persimpangan, Saira sudah menemukan Gibran di antara deretan bangku-bangku bekas, yang dulu sering ia duduki saat menunggu dijemput oleh Fatih. Tempat pertama kali ia dan Gibran bercengkerama.             Melihat Saira yang sudah datang meski sekolah belum banyak penghuninya, Gibran langsung bangkit dari tempat duduknya dan membentangkan tangannya seperti ingin memeluk, tidak lupa ia menghiasi wajahnya dengan senyum yang mau tak mau membuat Saira balas tersenyum. “Sairaaaaaa.” Gibran memanggil Saira dengan antusias lebih dari biasanya. Ia seperti seorang yang telah tahunan tidak bertemu dengan kekasihnya. Membuat Saira tersipu dan menunduk saat berjalan menghampiri Gibran.             Saira berhenti tepat di depan Gibran dan tidak menyambut tangan Gibran. Dari awal pun ia tidak ingin dipeluk.             “Peluk dong!” kata Gibran usil.             “Jangan gila!” kata Saira kasar namun dengan nada bercanda.             “Ih kasar banget sih,” Gibran meninju kepala Saira dengan kepalan tangannya.             “Aduh!” Saira mengaduh dan mengelus kepalanya yang ditinju Gibran dengan pelan. Saira berpura-pura bahwa itu menyakitinya.             “Maaf, ya,” kata Gibran, tangannya kini mengelus kepala Saira dengan lembut. Ia kemudian mengambil tas tenteng yang dibawa Saira dan bertanya, “Bawa apa nih?”             “Brownies buatan Saira,” jawab Saira dengan ceria. Ia dan Gibran kini sudah berjalan menuju kantin.             “Ih sok imut,” Gibran menyentil dahi Saira dengan kencang. Saira tidak peduli, ia mempercepat jalannya menuju ke kantin dan diikuti dengan Gibran.             Saira dan Gibran tidak perlu memilih lama untuk duduk di bangku yang mana karena mereka selalu duduk di bangku yang sama saat ke kantin, yang entah mengapa selalu kosong saat mereka di sana. Saira duduk di depan Gibran dan memperhatikan kakak kelasnya itu, dan ia menyadari satu hal yang terlihat berbeda dari Gibran, “Potong rambut?” tanya Saira menyadari ada yang berbeda dari Gibran. Kapten basket itu memotong rambutnya hingga cepak seperti abri, mengingatkan Saira pada si anak lelaki dengan wajah familiar.             “Iya! Ganteng gak?” tanya Gibran dengan senyum lebar. Ia langsung memusatkan wajahnya tepat di depan mata Saira agar Saira bisa melihatnya.             “Kayak akpol,” jawab Saira. Yang Saira maksud adalah akademi polisi.             “Iya ya? Gue ngerasa lebih rapih aja,” jawab Gibran. Ia memainkan ujung rambutnya yang tinggal sedikit setelah memundurkan kepalanya agar menjauh dari Saira.             “Terus kok tumben pakai seragam? Gak kerja?” tanya Saira setelah menyadari juga kalau Gibran memakai seragam lengkap, bukan jaket yang menutupi kaus lagi seperti biasanya.             “Enggak,” sahut Gibran.             “Kak, belakangan ini kantin yang di ujung sana, yang suka Saira beli roti goreng, tutup terus. Kenapa ya?” tanya Saira sengaja mencari topik pembicaraan, dan menemukannya saat hendak ingin mencari roti goreng sebagai teman browniesnya.             “Ibu penjualnya sakit,” jawab Gibran serius. Ia mengambil brownies yang Saira bawa, kemudian mulai memasukkannya ke mulut setelah izin pada Saira.             “Enak gak?” tanya Saira memastikan, meski sudah tau jawabannya.             “Enak banget!” kata Gibran, sesuai dengan dugaan Saira.             “Kak, kemarin gue ketemu orang di café…” Saira mengawali pembicaraan lain.             Gibran memukul kepala Saira lagi dengan kepalan tangannya, kemudian berkata, “Jadi gue apa Saira nih? Ganti-ganti mulu panggilannya.”             “Hehehe, tergantung suasana.”             “Yaudah terserah.” Gibran tersenyum dan mengacak rambut Saira dengan pelan.             “Jadi, kemarin ketemu orang di café. Katanya dia anaknya Pak Ali, tau gak?”             “Gak tau, kenapa emang?” Gibran langsung balik bertanya.             “Pak Ali yang punya café,” Saira mengingatkan, berjaga-jaga kalau Gibran lupa pemilik café tempat ia bekerja sebentar.             “Iya, cuma gue gak kenal anaknya. Kenapa anaknya Pak Ali?” Gibran mengklarifikasi.             “Kemarin dikenalin sama anaknya Pak Ali, terus dia jutek banget deh Kak. Gayanya juga kayak anak akpol. Rambutnya sama kayak rambut Kak Gibs sekarang. Cepak gitu.” Saira bercerita, ia juga mengambil satu potong brownies miliknya.             “Oh, laki-laki?”             “Iya.”             “Terus?”             “Terus Mas Salman bilang kalo gue yang bikin brownies selama ini. Terus dia bilang browniesnya enak. Tapi tau gak yang bikin aneh?”             “Apa?”             “Dia muji brownies gue enak pun, mukanya jutek dan datar banget.”             “Mungkin dia penggemarnya Saira, makanya nervous malah jadi jutek deh.”             “Ngawur!” kata Saira.             “Serius.”             “Masa sih?”             “Seneng ya punya penggemar?”             “Biasa aja.”             “Jadi, saingan saya nambah nih?” nada bicara Gibran tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi mengusili Saira yang biasa ia panggil adik kecil.             Saira meninju lengan Gibran pelan. Kemudian menambahkan, “Penggemar dari ujung dunia? Kenal aja enggak!” Saira merengut.             “Jangan sampai kenal deh, nanti adik kecil gue direbut.”             Saira hanya tersenyum mendengar perkataan Gibran dan bel masuk berbunyi menandakan mereka harus mengucapkan salam perpisahan dan kembali ke gedung masing-masing. Gibran membawa brownies yang Saira bawa ke kelasnya, sementara Saira membawa perasaan rindu yang terobati dan perasaan ganjal tertahan yang semakin besar. *** “Kak, maafin Saira ya. Kayaknya Saira suka sama Kak Gibran.” – Saira 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN