BAB 19 - GIBRAN MENGHILANG

2353 Kata
            “Kak Gibran kemana sih?” tanya Saira pada dirinya sendiri di hari Senin pagi saat semua anak sudah berada di kelas dan Saira belum mendapatkan kabar dari Gibran sejak hari Sabtu saat senior yang sedang dekat dengannya itu menutup teleponnya. Ia khawatir, ia takut sesuatu hal terjadi pada Saira.             Saira membuka netbook putihnya dan memeriksa kalau-kalau Gibran mengiriminya email atau ada berita tentang apapun. Namun, tidak ditemukan satu pun surat elektronik dari Gibran di kotak masuk. Ia semakin khawatir.  Saira melirik Bian, yang mungkin saja memiliki jawaban. Bian sedang duduk bermalas-malasan di bangkunya sambil menguap dan ia tutup dengan rompi biru dongker miliknya. Bian pasti bergadang. Saira yang sudah hapal dengan tabiat Bian tanpa perlu bertanya lagi secara langsung pada sahabatnya itu.             “Heh! Lo ngantuk?” tanya Saira sambil menyenggol lengan Bian dengan sedikit kasar.             “Bergadang gue.” Bian merespon dan meletakkan kepalanya di atas meja, kemudian menutupnya dengan rompi yang tadi ia pakai untuk menutup mulutnya saat menguap.             “Ckckck. Begadang galau karena ditolak ya?” Saira meledek lagi. Entah kenapa ia terus dan terus menggoda Bian—apalagi saat ini Aliyyah belum datang—sejak sahabatnya itu ditolak sahabatnya yang lain.             “Ah, berisik,” sahut Bian kasar.             “Bi, gue mau nanya dong,” kata-kata Saira mendadak halus, mengingat ia membutuhkan informasi dari Bian.             “Apa?” Saira mendengar Bian menggumam dari balik rompinya.             “Lo gak dapet kabar dari Gibran?”             Bian menyingkirkan rompi yang menutupi kepalanya dan menoleh pada Saira. “Emang dia kemana?”             “Gak tau sih. Dia udah lama gak ngabarin gue.”             “Sejak kapan?”             “Sabtu pagi sih dia masih angkat telepon. Cuma setelah itu hilang gak ada kabar.”             Wajah Bian berubah. Sebelumnya wajahnya peduli pada omongan Saira, kemudian ia menunjukkan wajah malas dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja.             “Bi, kok lo gak peduli gitu?” tanya Saira kecewa.             “Sar, sorry to say, ya. Tapi lo kan emang bukan pacarnya. Jadi wajar aja kalo dia gak ngabarin. Ya kan?”             Saira diam. Ia lupa. Ia sungguh lupa bahwa dia bukan siapa-siapa bagi Gibran. Pada dasarnya Gibran single dan dia berhak memiliki me-time­-nya tanpa harus berkewajiban untuk mengabari Saira. Hanya saja, Saira sudah terbiasa dengan semua kabar dari Giban selama berbulan-bulan. Kini ia merasa seperti dicampakkan.             “Terus?” Saira tidak jera dengan kata-kata jujur Bian yang menyakitkan, ia meminta lebih.             “Yaudah, mungkin dia bosan. Atau worst case...”             “Apa?”             Bian melihat wajah Saira. Ia seperti mempertimbangkan sesuatu, mungkin ia ingin jujur lagi tapi tidak tega pada Saira. Bian kemudian menggeleng pada dirinya sendiri dan berkata, “Tanya Kemal, deh.”             “Kak Kemal Onta?” Saira teringat pada sahabat Bian yang berwajah timur tengah.             “Iya. Kemal siapa lagi.”             “Gak ah, gak enak. Gue gak kenal juga,” jawab Saira.             “Lo belum pernah dikenalin sama Kemal?”             “Ya dia sering papasan sih waktu gue lagi ngobrol sama Kak Gibran. Tapi, gak pernah ngobrol langsung. Jadi yaaa itungannya gak kenal,” Saira menjelaskan. Dalam hati ia ragu dan mempertanyakan kenapa ia tidak kenal pada Kemal.             “Yaudah, mungkin kemarin Gibran sibuk. Tunggu aja.”             Saira mengangguk. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain menurut pada perkataan Bian. Ia sudah mencoba, namun tidak mendapat satu balasan pun. Saira: Halooo (sent to Gibran) Saira: kakgibs! Saira: Are you okay kak?             Saira mengatasi rasa penasarannya mengenai kabar dari Gibran dengan membuat brownies lagi. Hampir setiap hari ia membuat brownies dan membagikannya pada tetangga terdekat. Ia berharap di akhir pekan nanti, ia sudah menemukan resep yang sesuai, meskipun ia memasak dalam jumlah lebih besar dari minggu kemarin.             Salman mondar mandir dan tidak pernah absen menyicipi kue brownies buatan Saira dari hari ke hari. Ia mengamati adik perempuannya membuat kue, bahkan kadang membantunya. Ia terlihat lebih gigih daripada Saira sendiri. Bahkan kadang Salman membantu Saira tanpa banyak mengeluh, mengomel, menasihi, atau hal-hal lain yang sering membat Saira kesal. Suatu ketika Saira belum tidur di malam hari karena sibuk mencuci piring-piring yang ia gunakan untuk membuat kue. Salman turun dari lantai atas dan membantunya Saira.             “Sar, tadi Mas ketemu Gibran,” kata Salman di sebelahnya sambil mengelap peralatan masak yang telah Saira cuci.             Saira langsung menoleh, “Dimana?”             “Dia datang ke café sama owner café yang cabang baru,” jawab Salman.             “Ngapain?”             “Ya gak tau. Masa Mas nanya-nanya.”             Saira diam. Ia berpikir dan mengingat bahwa ini sudah hari Kamis, dan tidak ada satu pun pesannya yang dibalas oleh Gibran.             “Udah malam, tidur gih. Udah selesai semua nih.” Salman membersihkan sendok terakhir dan mendorong Saira menuju kamarnya.             “Makasih Mas, udh bantu,” kata Saira sambil berjalan ke kamarnya dengan lemas. Ia kelelahan fisik dan hati. Fisiknya kelelahan karena sering sekali membuat brownies setiap pulang sekolah hingga membuatnya selalu tidur di atas jam 12 malam dan harus terbangun lagi pagi-pagi sekali untuk bersiap ke sekolah keesokan harinya. Sementara hatinya kelelahan memilikirkan si kapten basket sekolah yang ia rindukan. Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali Gibran menghubunginya. Di sekolah pun ia tidak pernah melihat Gibran—karena jarak antar gedung mereka yang jauh, dan di kantin laki-laki itu tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, Saira mendapat panggilan dari Bian sore tadi, “Sar, udah dapet kabar dari Gibran?” Suara Bian terdengar di seberang telepon. Dari nadanya Saira tau bahwa ia sedang terengah-engah kehabiasan napas. “Belum. Kenapa? Dia latihan hari ini?” tanya Saira memastikan, ia ingat bahwa hari Selasa sebelumnya, Gibran tidak datang latihan basket dan hanya menghadiri sekolah setengha hari. Teman-temannya membicarakan kapten mereka saat latihan. “Hari ini dia gak masuk sekolah katanya.” “Jadi, Gibran kemana sih?” “Gak ada yang tau, Sairaaa.” Kemudian telepon ditutup. Kebingungan Sairan ditambah lagi dengan berita dari Salman barusan bahwa ia melihat Gibran di café tempatnya magang. Bagaimana bisa seorang tidak masuk sekolah dan berlalu lalang di café. Mungkin dia ikut urus bisnis keluarga dan emang sibuk, pikir Saira dalam hati. Tapi kenapa Kak Gibran gak bisa jawab chat-nya? Saira bertanya lagi, dan jawaban Bian tempo hari membuatnya berpikir. Dia memang bukan siapa-siapanya bagi Gibran. Dan memikirkan itu membuat hatinya lelah. Saira bangun pagi-pagi sekali di hari Sabtu. Ia sudah menyiapkan semua peralatan masaknya untuk hari ini dan juga ingredients yang dibutuhkan. Ia juga sudah menakar semua bahan sehingga takaran dari masing-masing bahan bisa membuat brownies yang pas.             Entah sejak kapan Saira jadi serius dengan tawaran dari café tempat Salman magang ini. Ia sepertinya membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari Gibran yang menghilang.             Saira memberikan kue yang dibuatnya pada Salman tepat saat Salman turun dari lantai dua dan sudah berpakaian rapih. Langit di luar baru saja terang, dan Saira sudah kelelahan. Bunda membantunya mengemasi setiap loyang kue ke dalam kotak yang sudah Saira pesan. Kotak berukuran 20x10cm itu masih polos, berwarna coklat muda dan belum memiliki nama brand.             “Nanti setelah sampel ini diterima sama owner café dan owner cabang yang baru juga suka, kamu bikin nama brand ya Sar. Jadi semua orang tau ini produksi kamu,” kata Salman sembari memasukkan kotak-kotak kue yang sudah terisi ke dalam mobil bunda. Hari ini ia hendak meminjamnya dan tidak mengendarai motornya.             Saira tersenyum dan mengangguk. Sebenarnya ia tidak punya mimpi sejauh itu. Apalagi ia tidak yakin bahwa brownies buatannya sudah mampu bersaing dengan kue yang sering ia beli di café-café atau toko kue tekanal. Ia juga takut kegiatannya ini akan mengganggu aktifitasnya sebagai seorang murid SMA yang bahkan sekarang tidak berjalan begitu baik, namun karena melihat Salman yang begitu bersemangat, melebihi dirinya sendiri, ia jadi sungkan menghancurkan semangat Salman. Sekesal apapun dan bagaimana pun perlakuan Salman padanya, ia tau Salman sudah berjuang sejak kecil dan sudah memberi ia dan Fatih lebih dari apa yang seorang kakak kandung bisa berikan.             “Saira ikut aja!” Suara Fatih yang sedang memanaskan mobil bunda terdengar sampai ke belakang.             Salman mempertimbangkan saran Fatih dan berkata, “Boleh. Nanti sekalian Mas kenalin sama owner-nya? Gimana? Kayaknya hari ini akan ramai. Nanti kamu tunggu aja sama Fatih. Kalo bosen, boleh pulang duluan.”             Saira ingin sekali pergi bersama kedua kakaknya. Ia juga bosan berada di rumah dan meskipun badannya lelah, ia takut akan berpikir yang tidak-tidak lagi tentang Gibran, dan berakhir galau seharian. Perempuan betubuh kecil itu kemudian menyetujui usulan Fatih.             Perjalanan menuju ke café tempat Salman magang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Salman mengendarai mobil dan Fatih duduk di sebelahnya sembari mencari-cari lagu yang memutarkan lagu yang sesuai dengan mood-nya hari itu. Sementara Saira duduk di baris kedua dan memandang jendela dengan tatapan kosong. Ia memikirkan Gibran. Setelah memeriksa handphone­-nya sebelum berangkat tadi, Gibran masih belum menghubunginya.             “Sar,” panggil Fatih dari kursi depan.             “Yes,” sahut Saira.             “Temen kamu apa kabar? Kok gak pernah main lagi?”             “Siapa?” tanya Saira. Ia memikirkan Gibran saat Fatih menanyakan teman.             “Yang perempuan pakai kerudung,” jawab Fatih. Saira merasa Fatih mendeskripsikan Aliyyah dengan cara yang dibuat-buat. Ia tau bahwa Fatih tidak mungkin lupa namanya Aliyyah.             “Aliyyah? Gausah pura-pura lupa namanya deh,” kata Saira meledek.             “Ini ngomongin siapa sih?” Salman bertanya, merasa tidak terlibat dalam percakapan kedua adiknya.             “Itu loh, temen Saira,” Fatih menjawab cepat.             “Yang disukain sama Mas Fatih,” Saira masih meledek kakaknya.             “Saira? Yang waktu itu ke rumah nangis ya?” Salman ingat anak perempuan itu. Aliyyah datang ke rumah dan waktu itu ia yang membukakan pintu karena disuruh oleh Bunda. Kemudian ia melihat seorang anak dengan pakaian tertutup dan suara serak seperti habis menangis mencari Saira. Kemudian ia masuk dan bilang pada Bunda bahwa teman Saira mencari.             “Iya ya? Aliyyah waktu itu beneran nangis?” Fatih bertanya memastikan. Nada suaranya memburu. Saira berpikir mungkin ia penasaran.             “Iya.”             “Kenapa?” Fatih dan Salman bertanya bersamaan, membuat Saira terkejut dengan reaksi kedua kakaknya. Apakah rasa penasaran mereka berdua begitu besar?             “Ya ada deh,” Saira menjawab. Tidak mungkin ia menceritakan perihal keluarga Aliyyah pada dua kakaknya.             Sesampainya di café yang dituju, Saira dan Fatih langsung membantu Salman menurunkan semua kotak kue yang ada di dalam mobil dan membawanya masuk ke dalam café. Sebagian diletakkan di dapur café dan sebagian lagi dikeluarkan dari kotaknya dan diletakkan di piring untuk dijadikan sampel di  sebelah kasir.             Saira memperhatikan dengan seksama semua kesibukan di dalam café dengan ketertarikan lebih. Matanya tidak sedetik pun lepas dari orang-orang yang sibuk di dapur, barista yang sibuk membuat kopi, latte, macchiato, dan beberapa orang lagi yang juga memakai seragam yang sama dengan Salman, menyiapkan kue-kue di atas piring untuk disajikan. Beberapa dari mereka ada juga yang mengambil barang-barang dari mobil yang baru datang.             “Serius banget.” Fatih menyenggol lengan Saira ketika mendapati adiknya tak berkedip melihat aktivitas orang-orang di café.             Saira menoleh dan tersenyum, lalu ia berkata dengan serius, “Mas, doain brownies Saira diterima sama owner-nya ya?”             “Hah? Tumben! Mas kira kamu mau repot-repot bikin kue gini gara-gara kasian sama Mas Salman,” jawab Fatih. Ia duduk sembari meletakkan kunci mobil yang telah ia parkir di depan. Begitu sampai café tadi, Salman segera sibuk dan memberikan kunci mobil pada Fatih.             “Tadi begitu. Cuma jadi obsesi sekarang,” kata Saira. Meskipun kata ‘obsesi’ terlalu berlebihan, ia jujur ingin sekali brownies-nya diterima dan ia bisa menjual brownies secara reguler.             Faith mengelus puncak kepala Saira sebagai jawaban dari permintaan adiknya untuk didoakan. Ia akan mendoakan apapun yang menjadi keinginan adiknya itu, asalkan adiknya bahagia. Tiba-tiba Fatih merindukan ayah.             Saira tidak melihat Fatih yang terdiam. Perhatiannya teralihkan saat handphone bergetar tanda notifikasi masuk memberitahukan ada chat baru. Arisbian Haryo. Bian: Nyokapnya Gibran sakit sar Bian: makanya pulang cepet, izin sekolah, izin latihan             Membaca pesan dari Bian membuat mata Saira melotot. Ibu Gibran sakit, dan ia tidak tau apapun. Dan bahkan Gibran tidak cukup percaya pada dirinya untuk menceritakan semuanya. Saira: udh lama?             Saat sedang fokus pada telephone genggamnya, Salman memanggil Saira dan menuyuruhnya mendatanginya. Saira bergegas.             “Ini kenalin adik saya, Pak. Saira namanya. Dia yang bikin brownies,” kata Salman sopan pada bapak-bapak berumur 50an di depannya. Saira hanya bisa tersenyum, tidak tau situasi apa yang sedang dihadapinya.             Bapak tua yang diajak bicara oleh Salman mengangguk serius, kemudian tersenyum dengan ramah. Guratan di ujung matanya menandakan bahwa ia telah lelah namun masih semangat bekerja. Melihat wajah ramahnya saat tersenyum, membuat Saira menjadi lebih rilek.             “Masih kecil ya? Sekolah?” tanya Bapak tua itu.             “Iya, Pak,” jawab Saira.             “Kelas berapa?”             “SMA kelas satu.”             “Oh, saya kira SMP. Maaf, ya. Brownies-nya enak loh. Anak saya tadi nyobain dan suka juga katanya. Padahal dia gak suka makanan manis biasanya,” kata Bapak tua itu. Ia menunjuk anak laki-laki seumuran dirinya di sebelah kasir yang sedang melihat-lihat aneka bubuk kopi di rak display. Saira merasa wajah anak itu familiar.             “Ini Pak Ali, Sar. Owner café ini,” kata Salman memperkenalkan. Ia tau adiknya kebingungan.             “Oh?” wajah Saira kaget. Ternyata ia sedang berbicara dengan owner café ini.             “Kenapa kaget gitu hahaha.” Pak Ali tertawa karena Saira yang terkejut mengetahui ia pemilik café ini.             Pak Ali dan bilang bahwa masih banyak yang harus dia urus untuk pembukaan cabang kedua nanti sore. Dan itu juga membuat Salman tidak enak hati jika harus memperpanjang waktu senggangnya dengan mengobrol. Ia kemudian juga pamit dan mengikut Pak Ali yang menunjukkannya sebuah catatan di sebelah kasir sambil menunjuk-nunjuk beberapa toples yang kini sedang difoto oleh anak Pak Ali tadi.             Saat sedang melihat berkeliling karena bingung, Saira merasa kakinya tidak sengaja mengenai kaki seseorang yang sedang berjalan. Seseorang yang memakai seragam pekerja café itu memang terlihat kesulitan karena membawa kardus bertumpuk yang tidak terlihat ringat sama sekali. Untunglah orang itu memiliki tubuh tinggi dan tegap. Mengingatkan Saira pada Gibran.             “Eh, maaf,” orang yang tengah berjalan dan memakai topi itu segera meminta maaf.             Suara yang famililiar, membuat Saira memperhatikan wajah yang setengahnya tertutup topi itu. Dan benar saja. Orang itu adalah Gibran. *** ”I’m glad, it’s you”- Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN