BAB 9 - ALASAN

2268 Kata
            Saira mendapati bunda sudah siap dengan kemeja coklat muda dan menggenggam blazer coklat tua yang membuat ibunda yang sangat Saira sayangi itu terlihat amat cantik. Saira memandang bunda dari atas kepala sampai kaki dan tidak menemukan satu celah pun. Sudahlah cantik, cerdas, selalu ada untuk anak-anaknya, setia pada ayah yang sudah lama meninggal, dan tidak pernah marah-marah. Ditambah lagi, karir yang bunda rintis sampai saat ini tidak bisa diremehkan. Meskipun Saira tau bahwa jika dibandingkan dengan rumah Bian yang mewah, dan keadaan keluarga Aliyyah yang memiliki beberapa cabang bisnis yang konon sudah turun temurun, Saira tau bahwa keluarganya pun serba berkecukupan. Apalagi melihat Salman yang mandiri sejak SMA secara finansial karena ia sudah belajar berjualan tanpa kenal malu sejak ditinggal ayah mereka, Saira yakin betul tabungan bunda tidak sedikit. Dan ayah mereka pun sebelum meninggal, sudah mempersiapkan tabungan yang cukup sampai mereka semua selesai bersekolah. Terkadang Saira sampai tidak tau bagaimana caranya untuk bersyukur.             “Bunda mau kemana? Masih subuh gini, di luar juga masih gelap,” kata Saira saat ini baru selesai sholat dan hendak mandi sambil menggenggam handuknya.             “Bunda mau ke bandara, sayang. Ada janji sama kepala cabang, tapi hari ini dia harus balik ke Balikpapan. Flight-nya pagi banget. Bunda harus sampai di sana sebelum dia boarding,” Bunda menjelaskan sembari mengambil kunci mobil di atas meja.             “Oke,” Saira menanggapi dengan singkat.             “Bunda udah bikinin sarapan ya. Ada nasi uduk di magic jar, lauknya di meja makan. Tapi kalau kamu pingin sarapan yang ringan aja, bunda kemarin beli yogurt. Ada di kulkas.”             “Oke. Mas Fatih sama Mas Salman udah pulang dari Masjid?”             “Belum, tapi Bunda udah pamit sama mas-masmu. Assalamualaikum,” bunda mengakhiri pembicaraan dengan anak perempuan semata wayangnya sembari memberikan punggung tangan kanannya untuk dicium oleh Saira. Saat menempelkan punggung tangan bunda pada dahinya, Saira tidak sengaja tergores cincin di jari manis bunda. Saira tau itu adalah cincin pernikahan bunda dan ayah. Masih muat, masih dipakai pula, kata Saira dalam hati sambil tersenyum.             “Aduh, kamu gak apa-apa?” tanya bunda menyadari cincinnya menggores dahi Saira.             Saira menggeleng masih senyum-senyum.             “Kamu kejedot gitu kok malah senyum?”             Saira menggeleng masih tersenyum.             “Udah deh, Bunda berangkat ya?”             Saira mengangguk, “Bye Bunda!”             “Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.”             “Waalaikumsalam waorhmatullahi wabarokatuh.”             Setelahnya Saira berjalan ke kamar mandi sambil memikirkan betapa ayah dan bundanya yang saling mencintai satu sama lain setiarp harinya, bahkan saat sudah di dunia yang berbeda.             Kalo bukan kayak ayah dan bunda, aku gak mau sama cowok yang main-main ah! Kata Saira dalam hati dan sarkas terhadap seseorang yang semalam muncul di mimpinya.             “Buruan mandi, mas anterin!” suara Fatih mengagetkan Saira saat laki-laki berumur 19 tahun itu baru pulang dari Masjid bersama Salman, kakak mereka yang pertama.             Saira langsung cepat-cepat menuju kamar mandi dengan girang. Hari apa ini? Sarapan sudah siap, dan kendaraan ke sekolah sudah tidak perlu dipikirkan lagi, kata Saira bersyukur. Gibran: Sar, nanti gue anter pulang ya? Chat dari Gibran sudah masuk tepat pukul setengah enam pagi saat Saira baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya dengan hair drier. Ia buru-buru karena harus mengemasi nasi uduk buatan bunda untuk makan siang dan menyempatkan diri membawa yogurt untuk sarapan. Kalau bukan karena ia sedang malas dengan Gibran, ia pasti sudah mengiyakan tawaran Gibran dan tidak perlu memikirkan harus pulang naik apa nanti. “Mas Fatih nanti jemput Saira juga gak?” tanya Saira saat keluar dari kamar dan sudah siap berangkat ke sekolah. Ia berjalan menuju dapur untuk mencari kotak bekal makan saat ia mendapati kotak makan yang biasa ia gunakan sudah di isi dengan nasi uduk lengkap dengan lauknya, hanya saja belum ditutup karena makanan di dalamnya masih panas. Saira mencari berkeliling dan sadar bahwa Salmanlah yang menyiapkan kotak bekalnya. “Siapa yang pakai kotak bekal Saira?” tanya Saira, tidak ingin menujukkan bahwa ia senang kotak bekalnya sudah siap. “Mas yang isi.” Salman mengakui. “Tadinya mau pakai untuk ke café, tapi kata Fatih itu punya kamu, jadi mas tinggalin gitu aja.” Salman berkata dengan acuh tak acuh. Mendengar jawaban Salman yang cuek, Saira jadi kesal. Ia langsung menutup kotak bekalnya dan berjalan menuju pintu rumahnya sambil menarik Fatih yang sedang memakai jaket. “Eh nanti dulu. Kunci motornya masih di atas buffet,” Fatih tampak kaget dengan perlakuan Saira. Ia tidak memperhatikan perbincangan singkat antara kakak dan adiknya, karena sedang sibuk memperhatikan berita di tv yang sendang membahas e-sport­. Kadang Fatih ingin sekali menjadi atlet e-sport­, namun Bunda melarangnya. “Buruan!” kata Saira kesal dan melepaskan genggaman tangannya pada jaket Fatih yang kusut akibat perbuatannya. Ia langsung meninggalkan Fatih keluar rumah dan memakai sepatu hitamnya. “Iya. Pagi-pagi udah ngomel aja sih,” kata Fatih, “Mas Salman gangguin ya?” Salman yang mendengar namanya disebut hanya menaikkan kedua bahunya tanda tak tahu—atau tidak peduli. “Nanti yang jemput kamu Mas Salman ya, Sar,” kata Fatih saat di perjalanan menuju sekolahnya. Saira yang tadinya sudah tidak kesal lagi dan mulai melupakan respon Salmana yang cuek dan menyebalkan pagi ini, merasa emosinya dipancing. “Kenapa enggak Mas Fatih aja?” “Mas ada kelas nanti siang. Mas Salman hari ini kosong.” “Katanya Mas Salman hari ini mau ke café?” “Enggak, tadi udah bilang di Masjid mau jemput kamu karena hari ini gak ada rencana kemana-mana.” Saira mengerutkan dahi. Apa sih maksudnya? Saat sampai di depan gerbang sekolah, Saira mendapati Bian sedang berjalan kaki menuju gerbang sekolah dengan santai. Saira sudah bisa menebak bahwa Bian pasti minta diturunkan jauh dari gerbang pada supirnya karena tidak enak diantar sampai depan gerbang dengan mobil miliknya. Sebenarnya banyak sekali siswa yang diantar dengan menggunakan mobil sampai gerbang sekolah, apalagi SMA Pelita Mulia memang sekolah dengan biaya pendidikan yang tidak murah. Hanya orang-orang yang mampu secara finansiallah yang bisa masuk ke sana, kecuali anak tersebut memang mendapat beasiswa, itu pun harus dengan syarat yang tidak mudah. Prestasi di bidang olahraga misalnya. Yang membuat Bian minta diturunkan jauh dari gerbang sekolah adalah karena semua orang tau bahwa mobil yang Bian pakai bukanlah mobil pasaran yang bisa dibeli dengan Sembilan digit rupiah, melaikan 10 hingga 11 digit rupiah. “Bian!” Saira memanggil dengan teriakan kencang. Bian menoleh, tapi dari wajahnya, Saira tau Bian mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Saira. “Gak telat lagi?” tanya Bian. Hari ini sahabatnya itu memakai rompi berwana biru tua berbahan wol. “Gak dong. Gue kan disiplin.” Saira melihat Bian tersenyum. “Kirain lo sengaja telat biar dibeliin roti lagi sama Gibran,” mendengar perkataan Bian, Saira merengut dan diam saja. “Lo sama Aliyyah gimana?” Saira mengalihkan pembicaraan. “Aliyyah susah dijangkau, Sar,” jawab Bian dengan wajah datar yang dibuat-buat. Sudah ada dua orang yang bilang bahwa Aliyyah susah dijangkau. Fanboys-nya Aliyyah memang sejenis. “Lo enggak usaha kali,” kata Saira. “Dianya enggak mau diusahain, Sar.” Saira tidak tau harus bilang apa dan hanya bisa menepuk pundak sahabatnya itu. “Sar! Bi!” Saira mengetahui itu suara Gibran yang datang dari arah kantin. Pagi ini Gibran menggunakan jaket baseball hitam dengan garis putih di lengannya. Tampaknya ia belum berganti pakaian menjadi seragam sekolah. Saira dan Bian menoleh bersamaan dan Bian menyambut sapaan Gibran dengan ceria. Dapat Saira duga, bahwa Bian mengagumi Gibran karena kemampuan Gibran menarik hati anak perempuan di sekolah, bahkan tanpa wajah tampan dan kepastian. “Masih pagi udah jalan berdua aja, kalian gak pacaran kan?” tanya Gibran, ia bertanya dengan senyum sumringah. “Ya enggaklah, Bang,” jawab Bian. Saira hanya diam saja. “Soalnya kalo kalian nanti pacaran, gue gimana?” tanya Gibran. “Kenapa? Lo mau sama gue, Bang?” tanya Bian bercanda. Saira nyengir karena lelucon Bian barusan. “Yeee, enak aja lo! Kemarin abis latihan langsung cabut kemana? Udah ilang aja,” Gibran bertanya pada Bian. “Biasalah,” jawab Bian santai. Kini Gibran, Bian, dan Saira berjalan menuju kelas masing-masing. Sepuluh menit lagi bel tanda masuk akan berbunyi. “Bi, temen lo ngediemin gue, nih,” kata Gibran sambil melirik Saira saat mereka hampir berpisah dipersimpangan untuk menuju ke kelas masing-masing. “Siapa?” tanya Bian, ia belum sadar bahwa yang dimaksud Gibran adalah Saira. Saira menoleh pada Gibran dan sadar bahwa Gibran menyindir dirinya. “Tanya dong sama temen sebelah lo,” jawab Gibran. “Saira?” “Enggak ah! Gue biasa aja,” Saira mengelak. “Ampe gak bisa tidur gue, Bi,” Gibran menambahkan usil. “Ye, buaya lo Bang,” kata Bian yang kini telah bisa membaca situasi. “Enak aja lo.” Gibran kemudian menghentikan langkah Saira dengan berdiri tepat di depannya dan bertanya dengan jelas, “Saira mau pulang sama gue gak hari ini?” Saira kaget dengan wajah Gibran yang serius. Ia merasakan jantungnya berdegup cukup kencang. Ia tidak lagi ingat kenapa bisa kesal pada Gibran belakangan ini. Tanpa ia sadari, ia membenarkan perlakukan Gibran yang baik pada semua orang, dan memaklumi Gibran yang senang berada di dekat dirinya yang tidak terlihat akan menyukai Gibran. “Mau? Kalau emang enggak, gak apa-apa. Gue gak akan nanya-nanya lagi. Takut Saira risih.” Semua orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Bian pun tidak menunggu langkah Gibran dan Saira yang terhenti, ia bahkan meninggalkan mereka menuju gedung kelas 1 di sebelah kiri persimpangan. Tapi bukan karena ia tidak peduli, hanya saja detailnya akan dia tanyakan langsung pada Saira nanti di kelas. Di tengah kesibukan semua orang saat ini, Saira merasa dunia terhenti karena ingin mempersilahkan Gibran dan Saira untuk memiliki momen ini bagi mereka berdua saja. Saira seperti sedang masuk ke sebuah drama dan seluruh crew memperhatikan interaksi atara mereka. Padahal Gibran hanya menanyakan apakah Saira mau pulang dengannya atau tidak. Anak perempuan yang belum pernah pacaran memang terkadang berlebihan. “Gue udah seneng kok, Saira mau chat, telfon, ngobrol, temenan sama gue,” Gibran menambahkan lagi. Tatapannya masih serius. “Oke, Kak,” jawab Saira pendek. Gibran tersenyum. “Oke. Nanti kalau gue tembak, jawabannya oke juga ya?” “Hah?” Saira terkejut dengan perkataan Gibran. “Bercanda.” Saira yang tadinya terkejut kemudian mengangguk. Ia tau bahwa Gibran hanya bercanda dan tidak mungkin serius. Saira sudah mulai terbiasa dengan “gaya” bercanda Gibran. “Sar, bantuin gue mau gak?” tanya Gibran kemudian. “Apa?” “Comblangin Bian sama Aliyyah sampai mereka jadian. Gue pingin mereka jadian. Mereka cocok, lucu lagi. Bian orangnya baik, cocok sama Aliyyah.” Sesaat Saira diam. Ia memproses kata-kata Gibran. “Kenapa?” “Bian baik, Aliyyah baik, jadi cocok. Bian juga suka sama Aliyyah.” “Kak Gibran gimana? Gak sedih Aliyyah jadian sama Bian?” tanya Saira usil. Ia sudah bisa kembali usil pada laki-laki yang disukainya itu karena mengetahui bahwa Gibran ternyata mau menjodohkan kedua sahabatnya itu. Pantas saja selama ini Gibran sering sekali menanyakan perihal Bian dan Aliyyah. “Buat saya Aliyyah dan Bian sudah kayak adik,” Gibran menjawab. “Kalau Saira beda.” “Kalau Saira apa?” Saira cepat-cepat bertanya karena ingin tau jawabannya. “Saira itu….kakak. Gimana, mau enggak jadi kakak? Gue masih belum punya kakak,” jawab Gibran sambil tertawa. Dia melambaikan tangan pada Saira dan berjalan menuju kelasnya di arah sebelah kanan dari persimpangan. “Sampai ketemu pas pulang!” Saira mengerutkan dahinya karena candaan Gibran yang tidak lucu. Ia sedikit kesal, tapi juga menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan Gibran yang konsisten membuat dirinya terbang karena kata-kata manisnya, dan kemudian jatuh keras di tanah dengan candaan yang tidak lucu. Saira berjalan ke kelasnya. Saat pulang sekolah, Saira sengaja bersiap untuk pulang dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak ingin sampai di gerbang lebih dulu, atau bertanya pada Gibran apakah hari ini Gibran jadi mengantarnya pulang atau tidak. Ia sungguh menghindari menanyakan Gibran duluan. Maka, Saira masih berada di hadapan lokernya di belakang kelas dan berpura-pura mengembalikan modul yang dipakai hari ini dan membawa pulang beberapa modul yang dibutuhkannya untuk mengerjakan tugas hari ini. Ia pun dengan sengaja belum mematikan netbook putihnya dan masih membiarkannya dalam keadaan hidup di atas meja.             Bian menghampiri Saira, sambil menunggu Aliyyah yang juga membereskan mejanya dengan teliti.             “Hari ini lo jadi pulang sama Gibran?” tanya Bian.             “Iya,” jawab Saira dengan suara sangat pelan yang nyaris tidak bisa Bian dengar. Hanya saja saat ini hanya ada dirinya, Saira, dan Aliyyah.             “Ke bawah bareng yuk. Kalo gue ajak Aliyyah doang, pasti dia gak mau,” kata Bian.             “Ayok.”             Saira dan Bian beralih ke Aliyyah yang tampak sedang serius memandang telepon genggam-nya. Saira melirik, hendak mencari tau apa yang sedang Aliyyah baca. Dan ternyata Aliyyah sedang membukan aplikasi membaca Al-Quran. Saira dan Bian langsung saling pandang. Jauh di lubuk hati Saira, ia takjub.             “Lagi apa, Al?” tanya Saira.             “Lagi nunggu kalian,” jawab Aliyyah yang langsung mematikan layar telepon genggam-nya dan tersenyum pada kedua sahabatnya.             “Kamu tadi baca Al-Quran ya?”             “Aku lagi ulang hafalan, soalnya minggu ini ada tes,” jawab Aliyyah menjelaskan.             Kemudian telepon genggam Saira menerima chat masuk dan Saira langsung mengeceknya. Gibran: Gue di gerbang             Saira mengangguk dan tersenyum, “Yuk pulang.”             Saira, Bian, dan Aliyyah berjalan menuju gerbang. Saat hendak turun tangga, Saira merasa telepon genggamnya bergetar lagi, namun karena ia sudah menyimpannya di dalam tasnya, ia harus membuka lagi tas punggungnya untuk mengambil telepon genggam. Saira yang pemalas menolak ide tersebut, alih-alih ia berniat untuk mengeceknya ketika sudah di gerbang dan bertemu Gibran nanti. *** “Bye Saira!” – Gibran
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN