BAB 10 - PULANG BERSAMA

2193 Kata
            Dari ujung lorong, Saira sudah bisa melihat Gibran dengan jelas. Ia terlihat sedikit berantakan, mungkin karena sudah menghabiskan waktu lama di sekolah. Gibran membuka dua kancing kemejanya, sehingga terlihat kaus putih polos. Selain itu, ia juga mengeluarkan kemejanya asal, membuat tali pinggangnya tidak terlihat. Saira juga memperhatikan rambut Gibran yang berantakan. Rambut belah tengah yang hitam itu jatuh begitu saja di kedua sisi kepalanya, yang entah bagaimana terlihat cocok untuk Gibran.             Saira berusaha menyembunyikan wajah malunya dan jantungnya yang berdegup saat Gibran melambaikan tangan dari arah parkiran dengan tersenyum ke arah Saira. Kapten basket sekolah itu menggenggam helm coklat yang sudah bisa Saira duga pastilah untuk Saira pakai saat Gibran memboncengnya nanti.             “Kamu janjian sama Kak Gibran?” Aliyyah bertanya dengan suara halus di sebelah Saira. Saira memang belum menceritakan apapun pada Aliyyah ataupun Bian. Tugas sekolah yang harus mereka kumpulkan hari ini banyak sekali, ditambah lagi laporan praktikum yang harus selesai lima menit sebelum bel pulang berbunyi.             Aliyyah pasti bisa menebak bahwa Gibran dan Saira ada janji hari ini, karena melihat Gibran membawa helm dengan wajah tersenyum dan lambaikan tangannya yang bersemangat.             “Iya Al. Kak Gibran nawarin aku pulang bareng,” jawab Saira sambil menolehkan wajahnya ke Aliyyah untuk melihat wajah sahabatnya itu. Aliyyah mengangguk dengan wajah datar.             Saira sedikit bingung dengan tatapan wajah Aliyyah yang tidak menunjukkan kebahagiaan yang sama dengan dirinya. Bukannya akan lebih baik kalau kamu turut berbahagia saat teman kamu berbahagia? Selain bingung, Saira juga agak sedikit kesal.             “Kamu kok diem aja Al?” tanya Saira.             “Gak apa-apa. Hati-hati ya Saira pulangnya,” kata Aliyyah yang kemudian melambaikan tangannya menyuruh Saira pergi.             “Kamu pulang diantar Bian?” Saira balik bertanya pada Aliyyah sebelum berpisah. Bian ada di sebelahnya.             “Enggak,” Aliyyah menjawab dengan senyum kali ini.             “Kenapa? Aku gak ada latihan loh hari ini,” Bian langsung menggubris jawaban Aliyyah dengan cepat.             “Biasa aja kali ngomongnya,” Saira menoleh pada Bian dan meninju perut laki-laki berkacamata itu. Aliyyah tertawa kecil.             “Masa aku pulang sama kamu aja, Saira kan gak ikut,” jawab Aliyyah masih dengan tersenyum.             “Emang kenapa?” tanya Bian bingung.             “Gak enak, Bi,” Aliyyah menjawab pendek. Ia kemudian tersenyum dan menunduk. Saira tau pastilah Aliyyah memang tidak ingin disangka ada apa-apa dengan Bian. Sementara, Bian terlihat begitu kecewa. Dari sekian banyak momen pulang sekolah yang mereka lalui, baru kali ini Bian mengajak Aliyyah pulang bersama. Selama ini pun, ketika mereka pulang bersama, Aliyyah selalu ikut berhenti di rumah Saira. Dengan kata lain, Bian tidak pernah mengantar Aliyyah pulang sampai di depan rumahnya.             Terkadang Saira berpikir bahwa banyak sekali yang Saira tidak bisa tebak dari jalan pikiran Aliyyah. Ada kalanya Aliyyah terlihat begitu tertutup dan tidak akan berkomentar mengenai hal-hal menyenangkan dan gossip-gosip di sekolah. Aliyyah juga terkadang bersikap misterius dan tidak pernah memperbolehkan Saira dan Bian mampir ke rumahnya. Di waktu yang lain Aliyyah ingin sekali bermain dengan Saira dan cenderung ingin bermain di rumah Saira. Tapi lebih dari itu semua, Aliyyah tidak pernah menceritakan apapun mengenai dirinya kepada Saira, kecuali tentang dia dan kedua orang tuanya yang sangat menyayangi Aisyah, adiknya. Yang Saira tau, Aliyyah hanyalah anak perempuan yang sangat cantik, lulus dari pesantren dan anggota club hadifz quran.             Aliyyah kemudian memecah suasana dan pamit pada kedua sahabatnya, “Kalo gitu, aku pamit pulang deh.” Ia melambaikan tangan pada Saira dan Bian, yang dibalas dengan lambaikan juga. Wajah Bian masih terlihat agak kecewa, sementara Saira berbaik sangka bahwa Aliyyah memang tidak ingin diisukan yang tidak tidak dengan Bian.             Saira menepuk-nepuk punggung Bian yang masih memandangi punggung Aliyyah yang berlalu dan kini sudah jauh. Saira pun turut pamit untuk pulang dan menghampiri Gibran yang sedari tadi sudah menunggu, kini ia sedang mengisi waktu dengan membuka telepon genggam-nya.             Motor Gibran bukanlah motor mewah khas anak-anak basket SMP Pelita Mulia yang Saira tau. Motor Gibran bukan motor gede, motor balap, motor classic, dan bukan pula motor bebek matic yang biasa Saira tumpangi saat naik ojek online. Saira melihat motor supra yang sudah lama sekali namun masih terawat dengan baik. Saira memuji Gibran yang sederhana di balik ketenarannya di sekolah.             Saira hendak mengambil helm dari tangan Gibran dan ingin memakainya, tapi Gibran menepis keinginan Saira dengan menjauhkan helmnya dari tangan Saira, seolah tidak ingin helm itu diambil.             “Gua pakein,” kata Gibran. Mata Saira membesar. Untunglah parkiran saat ini sudah sepi karena Saira memang sengaja turun dari gedungnya agak lama menuju ke parkiran. Sebagian motor sudah sepi, hanya tersisa beberapa dan tidak ada tuannya.             Saira yang saat itu sedang digerai rambutnya mengangguk. Sementara Gibran terlihat mempertimbangkan sesuatu, kemudian berkata, “sebentar,” lalu ia meletakkan helm untuk Saira di stang motor, “sorry, ya.” Gibran menyelipkan rambut Saira ke belakang telinga perempuan anggota club tata boga itu. Saira kaget, namun tidak berkutik. Dia merasakan jatungnya berdebar tidak karuan. “Nah, sekarang dipakai deh!” Gibran mengambil kembali helm dari stang motornya dan memakaikan helm tersebut ke kepala Saira. Tidak lupa pula ia membantu Saira mengaitkan strap helm-nya. Kemudian, ia turunkan kaca helmnya untuk Saira.             “Ketutup kaca gini masih cantik, ya,” kata Gibran yang tidak tau harus dijawab apa oleh Saira, sehingga ia diam saja.             “Saira!” Saira mendengar dengan jelas suara kakak pertamanya saat Gibran sudah di atas motor dan Saira hendak naik ke pedal motor. Saira menepuk dahinya yang kini tertutup helm karena ia baru ingat bahwa Salman berjanji akan menjemputnya hari ini. Habislah ia, apalagi jika tadi Salman melihat dirinya dipakaikan helm oleh Gibran.             Saira menoleh pelan-pelan karena ia tau bahwa kakak laki-laki pertamanya itu tidak akan ramah kepada sembarang orang dan dirinya. Selalu ada masalah antara mereka berdua.             Saira melihat Salman menarik napas panjang, kemudian berbicara dengan tenang dan nada suara rendah yang membuat Saira terkejut, karena ia pikir Salman akan memakannya hidup-hidup sore ini. “Kan Mas udah bilang kalau Mas akan jemput. Kok Saira malah pulang sama temen?” Salman menatap Saira, namun Saira yakin ia tidak salah lihat bahwa baru saja Salman memandang Gibran dari ujung kaki hingga kepala.             “Soalnya Mas Salman gak dateng-dateng kan udah sore,” jawab Saira berbohong. Gibran turun dari motornya dan membuka helm yang ia kenakan.             “Halo Mas. Saya Gibran. Tadi saya yang ajak Saira pulang bareng,” Gibran mengaku. Entah saat ini Salman berpikir apa, memang Gibran yang mengajaknya pulang, atau Saira hendak pulang bersama Gibran karena kakak pertamanya itu tidak kunjung datang.             “Kak Mas kirim chat, Mas ke café dulu sebentar,” Salman menjawab pertanyaan Saira dan merespon perkenalan diri Gibran dengan acuh tak acuh, “Halo Gibran.”             Saira mengingat bahwa tadi sempat ada notifikasi yang masuk di telepon genggam-nya saat ia menuruni tangga bersama Aliyyah dan Bian. Notifikasi yang jelas-jelas ia abaikan dan tidak ia periksa ketika sudah di parkiran sekolah karena lupa.             “Iya, Mas. Hapenya Saira simpen di tas, gak Saira cek,” jawab Saira, kali ini dengan jujur.             “Yaudah pulang sama Mas, kan Mas udah dateng,” Salman langsung berjalan menuju motor bebeknya tanpa menunggu persetujun adik perempuannya dan tanpa pamit pada Gibran yang berusaha terlihat tidak tegang setelah Salman menjawabnya cuek tadi.             Saira menoleh pada Gibran dan melepaskan helm dari kepalanya sendiri tanpa bantuan siapapun. Gibran tersenyum tipis dan mengangguk kecil seolah berkata, “It’s okay, Saira.”             “Duluan ya, Kak,” kata Saira.             “Sar!” Salman memanggil Saira lagi. Kini ia sudah duduk di motornya dan memperhatikan Saira dan Gibran dari kaca spion motor.             “Bye, Saira,” Gibran melambaikan tangan dan Saira tidak membalasnya karena takut pada Salman. Ia berlari kecil menuju motor Salman dan duduk di boncengan belakang.             Sebelum Salman mulai menjalankan motornya, Saira mendengar Salman berbicara, “Mas bilangin Bunda ya kamu.”             Saira merasakan jantungnya berdegup, tapi jelas berbeda dengan apa yang ia rasakan saat Gibran memakaikannya helm tadi. Seharian Saira mengurung diri kamar karena kesal pada Salman, ia tidak menyiapkan makan malam ataupun memakan cemilan seperti yang biasa ia lakukan. Saira tidak menjawab saat Salman memanggilnya dan hanya menjawab saat Fatih mengetuk pintu kamarnya.             “Sar, gak makan? Bunda udah masak nih,” Fatih mengetuk pintu kamar adik semata wayangnya dan Saira bisa mendengar dengan jelas bahwa Fatih menahan tawa saat berbicara barusan. Salman pasti sudah menceritakan pada Fatih bahwa hari ini Saira hampir saja pulang dengan teman laki-lakinya. Ditambah lagi, Saira tidak tau bahwa bunda sudah pulang kerja dan sudah selesai menyiapkan makan malam. Pasti bunda lelah sekali karena tadi sudah berangkat dini hari dan kini harus menyiapkan makan malam karena Saira diam di kamar.             Saira membuka pintu kamarnya dan menemukan Fatih menahan senyum sambil menunggu respon Saira. Saira kesal memukul Fatih dengan kencang.             “Aduh!” Fatih mengerang. “Kok tiba-tiba Mas Fatih dipukul sih! Lagi PMS ya? Lagi berantem sama Gibran ya?” Fatih mencoba menggoda adiknya yang membuat Saira semakin kesal dan masuk kembali ke kamarnya sambil membanting pintu di hadapan Fatih. Untung saja Fatih sempat menahan pintu itu sebelum tertutup rapat.             “Ayo makan,” kata Fatih.             “Gak laper. Sana!”             “Gibran dateng nih,” Fatih menggoda lagi.             “Fatih,” bunda memanggil nama anak tengahnya dengan nada memperingatkan. Fatih diam dan menghentikan tingkahnya. “Saira, ayo makan sayang. Gak usah didengerin Mas Fatih.”             Karena bunda yang memanggil, Saira tidak sampai hati untuk mengabaikannya. Apalagi bunda sudah susah payah memasak makan malam setelah seharian ini bekerja. Saira Bayu keluar dari kamar dan mengambil makanan seadanya dan duduk di dekat bunda. Ia tidak mau memandang Salman dan Fatih sama sekali.             “Saira tadi mau pulang sama temennya ya?” tanya bunda di pertengahan makan malam. Saira yang sedang asik mengunyah ayam goreng buatan bunda hampir tersedak, karena ia sedang mengunyah ayam goreng besar dengan terburu-buru. Ternyata berdiam diri di kamar pun menguras banyak enerji. Ia sangat lapar.             “Iya, Bunda,” jawab Saira berusaha terlihat biasa aja.             “Lain kali kalau mau pulang sama temen, bilang dulu. Kan kasian Mas Salman udah jemput,” bunda menasehati, kemudian menambahkan, “Lagian kenapa pulang sama temen? Emang kamu punya helm?”             “Dipinjemin juga tadi, Bun.”             “Kok dia bisa bawa dua helm ke sekolah?”             “Kamu udah sering dianterin pulang ya sama Gibran? Makanya dia bawa dua helm?” Salman ikut bertanya.             “Baru juga hari ini,” jawab Saira cepat. Ia tidak ingin bunda dan kedua kakaknya salah sangka. “Emang kalo nebeng sama temen, salah ya Bun?”             “Gak salah, sih. Cuma kalau bisa jangan numpang teman terus, karena takut ngerepotin teman kamu. Siapa tadi namanya? Gibran?”             “Iya, Bun.”             “Kamu biasanya pulang sama Bian dan Aliyyah. Mereka kemana?”             “Soalnya Aliyyah gak bisa pulang bareng tadi. Jadi, Bian gak mau anterin pulang kalau cuma Saira,” jawab Saira asal, walau sebenarnya ia merasa tidak enak karena memfitnah Bian. Bian sendiri adalah teman yang sangat baik dan tidak perhitungan. Ia akan mau-mau saja jika Saira memintanya untuk diantar pulang meskipun tidak ada Aliyyah.             “Kenapa gitu?” tanya Bunda.             “Mana Saira tau, Bunda.” Kini Saira sudah malas menjawab pertanyaan, ia takut ketauan berbohong.             “Bohong! Bian kan baik, masa perhitungan gitu.” Sekarang Faih yang ikut menyumbangkan diri untuk memojokkan Saira. “Jangan-jangan Gibran itu yang waktu itu ya?” tiba-tiba Fatih teringat bahwa Saira pernah menceritakan tentang laki-laki pada dirinya. Laki-laki yang Saira bicarakan di pusara ayahnya.             Saira hanya menolehkan wajahnya ke wajah Fatih dan melirik tajam. Sudah cukup bagi Fatih untuk diam kalau tidak mau Saira mogok bicara padanya.             “Yaudah udah, lanjutin makannya. Besok tanya dulu sama kakak-kakak kamu, bisa jemput atau enggak. Kalau gak bisa, baru kamu boleh minta diantar sama teman kamu. Tapi jangan keseringan ya, Bunda takut merepotkan,” kata bunda panjang lebar, kemudian melanjutkan makannya.             Saira merasa sudah aman. Sepertinya peristiwa memasangkan helm tadi tidak dilihat oleh Salman. Karena kalau Salman melihatnya, seisi rumah pasti sudah tau.             “Oke, Bunda.”             Tidak berapa lama setelah meja makan Saira, Bunda, Fatih dan Salman dihiasi keheningan, Bunda bertanya lagi, “Gibran itu temen sekelas kamu juga?”             “Kak Gibran itu anak kelas dua, Bun,” jawab Saira jujur.             “KELAS DUA???” tanya Salman terlihat kaget.             Saira mendongak dan berpikir apa yang salah dengan kelas Gibran.             “Kenal dari mana?” tanya Salman lagi.             “Mas Salman nih pingin tau aja deh. Biarin aja dong adenya punya banyak temen,” Fatih yang sekarang sudah bisa mengaitkan benang merah antara apa yang pernah Saira ceritakan dan apa yang baru saja terjadi di sekolah Saira, mulai mencoba membela adiknya.             “Ya hebat aja bisa kenal sama kakak kelas padahal masih kelas satu,” kata Salman. Padahal ia tau betul bahwa ini adalah hal yang biasa, dan sudah pasti Saira dan Gibran memang sedang dekat dan lebih dari sekedar teman.             “Ga pernah muda ya?” kata Fatih usil pada Salman.             “Kamu jangan pacaran loh, Sar. Belajar aja biar masuk PTN,” kata Salman.             “Iya biar kayak Mas Salman, Sar. Udah mau lulus kuliah tapi belum pernah pacaran,” Fatih meledek masnya. Yang diledek bukannya tersinggung, wajah Salman malah tanpa ekspresi. *** “Bi, aku gak pingin tau soal itu” – Aliyyah
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN