BAB 5 - ALIYYAH YANG CANTIK

3322 Kata
Saira diam di depan pusara ayahnya sejak satu jam yang lalu. Sendirian. Bukan karena tidak ada yang mau menemani dirinya. Bundanya, dua kakak laki-lakinya pasti mau menemani Saira untuk mengunjungi makam ayahnya. Hanya saja Saira memang ingin datang sendiri, dan tidak membiarkan salah satu dari anggota keluarganya mengetahui bahwa kali ini ia sendirian datang ke sana.             “Hai, Ayah. Ini Saira. Baru kali ini Saira ke sini sendiri. Padahal kita belum pernah ketemu. Kata Bunda, Ayah orangnya baik. Saira percaya dan yakin,” kata Saira sambil mengusap tangannya satu sama lain tanda gugup.             Saira memang belum pernah bertemu dengan ayahnya seumur hidup. Ayahnya meninggal saat ia masih di dalam kandungan. Dan selama itu pula ia dibesarkan oleh bundanya dan kedua kakak laki-lakinya. Bundanya selalu bilang padanya bahwa ayahnya adalah orang baik yang selalu mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Ayahnya juga seorang yang selalu berkorban, terutama untuk anak-anaknya. Bahkan sehari sebelum kematian ayahnya yang mendadak karena kecelakaan motor, ayahnya sudah menyiapkan nama untuk Saira dan menitipkan tabungan pendidikan serta kelengkapan rumah pada bunda.  Konon, beberapa hari setelah bunda dinyatakan mengandung anak perempuan, ayahnya sudah sering bilang, “Saira akan menjadi anak yang ceria dan menyenangkan. Akan ada banyak orang yang menyukainya. Jadi, namaku cocok ada di belakangnya.”             “Yah, Saira lagi suka sama orang. Dia juga sekolah di sekolahnya Saira…,” kata-kata Saira menggantung saat mau meneruskan. “…tapi kayaknya dia enggak suka sama Saira. Soalnya Saira kan emang biasa aja, Yah. Pinter enggak, cantik enggak, famous juga enggak.”             Saira masih terus asik berbicara saat seseorang di ujung gerbang makam menghembuskan napas pertanda bahwa ia lega karena telah menemukan Saira. Seseorang dngan celana jeans, baju kaus dan jaket jeans. Fatih.             “Sar, tumben kamu ke sini sendirian?” Tanya Fatih saat menghampiri Saira sambil menepuk punggungnya.             Dengan jantung berdetak kencang—karena imajinasi bahwa ini adalah makam, tempat orang yang sudah tidak bernyawa diistirahatkan—dan reflex tubuhnya, Saira langsung menoleh menemukan kakak favoritnya ada di sana. Ia merasakan kelegaan yang hampir sama dengan saat Fatih menemukan Saira di depan makam ayahnya.             “Mas Fatih tau darimana Saira di sini?” Tanya Saira heran. Dia benar-benar tidak berpikir bahwa ada orang yang akan mengetahui keberadaan-nya. Ia yakin betul bahwa bundanya, kakak-kakaknya, dan seluruh keluarga besarnya berpikir bahwa ia sama sekali tidak memiliki ikatan dengan ayahnya yang sudah tiada sebelum Saira dilahirkan. Itu jugalah alasan Saira menjadi pemiliki nama ayahnya di belakang nama Saira, Saira Bayu. Sementara kakak-kakanya hanya diberi nama Muhammad Salman dan Muhammad Fatih.             “Aliyyah yang bilang,” jawab Fatih.             Mendengar nama temannya disebut, Saira menyipitkan mata tanda curiga, “Sejak kapan Mas Fatih sama Aliyyah deket?”             Fatih tersenyum seperti kepergok dan tidak sengaja membeberkan rahasia besar. Sementara itu Saira geleng-geleng dan berkata dengan serius, “Aku enggak mau jadi adik iparnya Aliyyah.”             “Pikiran kamu kejauhan,” Fatih menunjuk dahi adik perempuannya dan mendorong dengan pelan, “Aliyyah susah banget tau dideketinnya. Dia emang sealim itu ya?”             “Aduh! Kepala aku ditoyor,” kata Saira mengaduh. Kemudian ia mengangguk, “Iya Mas, Aliyyah sealim itu. Dia kayaknya enggak punya niat pacaran. Lagi pula, saingan Mas Fatih terlalu banyak.”             “Yah, Mas langsung ajak nikah aja deh.”             “Benerin dulu sholat Mas. Jadi makmum aja jarang, mau jadi imam!”             “Udah ah! Ayo pulang. Kamu udah selesai?” Tanya Fatih sembari melirik makam ayahnya.             “Udah. Mas Fatih enggak mau doa dulu?”             Fatih mendekat ke pusara ayahnya dan berdoa. Setelah itu, ia menarik Saira ke tempat motornya diparkir dan memberikan helm kepada adik satu-satunya itu. Fatih memang selalu membawa dua helm. Ia tau beberapa temannya akan minta tumpangan sepulang dari kampus untuk kembali ke kosan atau ke rumah—jika searah—dan Fatih tidak pernah keberatan untuk itu.             “Kamu ngapain ke makam ayah?” Teriak Fatih pada Saira di perjalanan, mencoba mengalahkan suara angin yang berlawanan dengan arah motornya.             “Curhat sama ayah,” jawab Saira enteng.             “Curhat apa?” Tanya Fatih bingung.             “Nanti di rumah Saira ceritain ya, Mas. Tapi jangan bilang ke Bunda.”             Mendengar jawaban Saira, Fatih melajukan motornya dengan lebih cepat. Ia tak sabar. Apa yang membuat adiknya yang bahkan tidak pernah bertemu dengan ayahnya, sampai datang sendirian ke makam ayahnya dan bercerita? Memangnya tidak ada orang lain yang bisa mendengarkan cerita Saira?   Saira sedang membaca komik lama-nya ketika Salman baru pulang dari kampus dan memanggil Saira untuk minta diambilkan minum. Tipikal kakak laki-laki pertama yang keras dan bossy kepada adik perempuannya. Tapi ketika Saira membutuhkan bantuan Salman, jangankan lengan, kaki, kepala, tenaga, waktu, uang, bahkan akan Salam kerahkan untuk kesayangannya tersebut. Semua orang tau bahwa Salman sangat menyayangi Saira. Ibunya, Fatih, saudara-saudara mereka dari keluarga besar, bahkan tetangga mereka pun tau betul bahwa Salman sangat menyayangi Saira. Semuanya mengetahui, kecuali Saira sendiri.             “Apa sih Mas? Ambil sendiri dong. Saira lagi capek,” Saira menjawab perintah kakak pertamanya dengan kesal.             “Mas kan baru sampe, penuh kotoran. Nanti kalo masuk dapur, Mas malah bawa penyakit,” kata Salman logis.             “Alasan banget. Mandi dulu aja kalo gitu,” sahut Saira sewot.             “Mas haus.” Jawab Salman pendek.             Fatih mendengar suara dua saudaranya dan langsung keluar kamar.             “Kalian berdua ngapain sih?” Tanya Fatih, merasa terganggu.             “Biasalah Mas, Mas Salman nyuruh-nyuruh. Padahal bisa dikerjain sendiri,” Saira mengadukan kakak pertamanya pada kakak keduanya.             “Aku minta ambil minum aja,” kata Salman datar.             “Aku ambilin yo Mas. Tapi inget Sar, kamu utang cerita sama Mas,” Fatih menengahi sambil menagih janji cerita adiknya. Ia kemudian berjalan ke arah dapur dan mengambil gelas bersih yang kemudian ia isi dengan air mineral dingin.             “Cerita apa?” Tanya Salman penasaran, tapi terlihat acuh tak acuh. Menunjukkan perhatian pada adiknya hanya akan melukai harga dirinya. Sebagai kakak laki-laki pertama yang ditinggal oleh ayahnya sejak berumur delapan tahun, membuat Salman menjadi laki-laki yang keras dan pandai menyembunyikan perasaan. Ia juga seorang laki-laki dengan tujuan yang jelas dan penuh perencanaan. Tidak heran, ia berhasil masuk universitas negeri dengan nilai ujian nasional yang nyaris sempurna. Selain itu, ia pun sudah sering membantu bunda mencari uang sejak kecil. Ia sering membeli makanan atau minuman dalam jumlah banyak dengan harga yang murah. Kemudian, makanan atau minuman itu diolah lagi oleh Salman sehingga dapat menaikkan daya jual makanan atau minuman tersebut. Selain itu, kini ia sudah memasuki semester 7 dan hendak menyelesaikan kuliahnya di semester ini jika tidak ada halangan.                “Enggak usah banyak tanya. Enggak akan dikasih tau juga sama Mas Fatih. Mas Fatih udah janji,” Saira menjawab pertanyaan Salman, sembari melirik ke Fatih untuk menagih janjinya untuk merahasiakan ceritanya. Fatih yang menangkap maksud dari lirikan mata Saira mengangguk otomatis.             “Mas juga enggak peduli rahasia anak kecil.” Salman merespon angkuh sambil menenggak segelas air yang diberikan Fatih, kemudian melangkah ke kamar mandi.             Mendengar kata-kata Salman, Saira semakin kesal pada kakak pertamanya dan berjanji dalam hati untuk tidak akan pernah akur dengan Salman seumur hidupnya.             Fatih yang bisa membaca situasi langsung mencairkan suasana, “Udah ayo cerita. Mas Salman udah pergi tuh.” Mereka berjalan menujuk kamar Saira.             Kepada Fatih, Saira bercerita panjang lebar mengenai laki-laki yang ia ceritakan didepan pusara ayahnya tadi siang. Gibran. Ia menceritakan bagaimana ia pertama kali mengobrol dengan Gibran saat Fatih terlambat menjemputnya dan sejak kapan Saira mulai menyukainya. Saira juga bercerita bahwa belakangan ini ia semakin dekat dengan Gibran, sering bercerita layaknya teman yang sudah lama kenal. Tapi yang jadi masalah adalah, Saira tidak bisa membedakan perlakuan Fatih dan Gibran. Saira khawatir bahwa Gibran hanya menganggapnya adik.             Fatih menghembuskan napas kesal, “Mas kira kamu cerita masalah apa gitu Sar, yang enggak mungkin didengerin sama Bunda, Mas Salman, atau sama Mas Fatih.”             “Contohnya?” tanya Saira bingung, sekaligus polos. Saat mengatakan itu, Fatih bisa melihat dengan jelas bahwa adiknya masih kecil dan sangat menggemaskan. Sulit baginya untuk menahan keinginan mencubit pipi adiknya yang sedikit chubby. “Udah ah, Mas mau belajar. Besok ada kuis. Dah…,” kata Fatih mengakhiri pembicaraan saat Saira masih mengaduh dan mengelus pipinya sendiri karena Fatih mencubitnya. Lalu Saira merengut dan melihat Fatih berjalan keluar dari kamar Saira. Ia menuju kamarnya sendiri setelah sebelumnya menutup pintu pagar dan pintu rumahnya. Bunda masih di luar kota, tidak ada yang ditunggu oleh keluarga itu sekarang ketika sudah larut. Setelah Fatih keluar dari kamarnya, Saira menghembuskan napas kesal karena kejadian terakhir saat Gibran mengiriminya surat elektronik dan meminta alamat email Aliyyah. Sejak saat itu Gibran belum lagi kelihatan batang hidungnya. Sementara Aliyyah tidak bercerita apa-apa, dan Saira juga enggan bertanya. Ia takut jawaban Aliyyah akan menyakiti hatinya. Ia hanya bercerita pada Bian yang disambut dengan ketus, “Aliyyah juga cuek banget sama gue,” katanya. Jawaban Bian membuat Saira mengurungkan niat untuk bercerita lagi pada sahabat laki-lakinya itu. Sepertinya Bian bahkan lebih kacau dan patah hati ketimbang Saira. Saira sempat berpikir, jika memang Aliyyah sebaik, sepolos, dan seagamais pikirannya, maka tidak akan ada juga kesempatan bagi Gibran. Aliyyah tidak akan merespon Gibran. Tapi siapa tau jika Gibran sudah turun tangan untuk mendekati seorang perempuan, Saira yakin siapapun akan luluh. Tak heran jika di sekolah banyak yang menyukainya. Sambil memandang jendela kamarnya yang menembus ke luar dan menampakkan tetesan air hujan sisa tadi sore, Saira teringat kecantikan Aliyyah yang membuatnya iri pada sahabatnya yang baik itu. Sifat halus nan lembut dan pemalunya itu juga merupakan factor utama para kakak kelas dan teman-teman di angkatannya menyukai Aliyyah. Aku kapan sih jadi karakter utama kayak Aliyyah? tanya Saira dalam hati. Fatih, Bian, bahkan Gibran pun menyukai Aliyyah. Sebenarnya Saira pun tidak heran, karena banyak sekali alasan seseorang untuk menyukai Aliyyah. Jika dijabarkan dengan kertas A0 dengan besar huruf 12, maka 10 lembar kertas A0 pun tidak akan cukup menceritakan alasan-alasan seseorang dapat menyukai Aliyyah. Bahkan dibandingkan dengan teman-temannya yang lain di kelas, Saira pun tetap memilih Aliyyah sebagai sahabatnya karena kebaikan Aliyyah yang tidak ada dua. Hanya satu hal kelemahan Aliyyah, ia suka pura-pura tidak sadar bahwa ia cantik dan banyak laki-laki menyukainya. Semua laki-laki tidak ia acuhkan. Padahal, tahun ini barulah tahun pertama mereka di SMA Pelita Mulia. Aliyyah memang tidak pernah cerita, tapi Saira tau dari teman-teman di kelasnya bahwa selama ini banyak sekali kakak kelas dan anak laki-laki di sekolahnya, dari yang tampan sampai yang tidak tampan sama sekali, yang mengajak Aliyyah berpacaran. Tapi jawaban Aliyyah hanya satu, “Tidak.” Siapa sih sebenarnya yang Aliyyah suka? Tanya Saira dalam hati karena penasaran. Sebenarnya ia sempat berpikir, akankah lebih baik jika ia membantu Gibran dalam mendapatkan hati Aliyyah. Jika tidak bisa menjadi pacarnya, Saira merasa akan baik-baik saja dengan hanya menjadi orang kepercayaan Gibran. Tapi, nyatanya tidak mudah karena selama ini kecemburuannya saja tidak dapat ia kendalikan di depan Gibran. Saira selalu menunjukkan dengan jelas bahwa ia kesal saat Gibran menanyakan saudaranya itu. Aliyyah Omar  : Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Sairaa. Besok aku ke rumah kamu ya? Sebuah chat dari Aliyyah menginterupsi pikirannya. Saira sampai terkejut karena orang yang ia pikirkan tiba-tiba menghubunginya.             Saira Bayu : Waalaikumsalam Al. Oke ke sini aja. Mau ngapain Al? Saira teringat bahwa besok adalah hari Sabtu. Pantas saja Aliyyah mau main ke rumahnya.             Aliyyah Omar : Aku mau kasih kue. Besok pagi aku bikinin kamu kue, siangnya aku ke rumah kamu.             Aliyyah Omar : Kamu suka brownies kan? Saira menjadi merasa bersalah karena sempat iri dan cemburu pada sahabatnya yang baik itu. Saat ini bahkan Saira berpikir bahwa Aliyyah memang bukan tandingannya. Pantas jika Gibran, Bian, Fatih, bahkan seluruh manusia dia dunia ini menyukai Aliyyah.             Saira Bayu : Suka!             Aliyyah Omar : OK! Sampai ketemu besok yaa.             Saira Bayu kemudian berniat untuk menanyakan tentang Aliyyah dan Gibran besok saat sahabatnya itu bermain ke rumahnya.   Esoknya Aliyyah memang datang pukul satu siang ke rumah Saira. Saat itu hanya ada Fatih dan Saira di rumahnya. Karena Salman sedang magang di sebuah café dekat kampusnya untuk memebantu tugas akhirnya. Café itulah yang saat ini menjadi bahan tugas akhirnya sebagai seorang mahasiswa jurusan bisnis dan manajemen.             Tepat saat Saira mendengar suara halus seorang perempuan memberi salam, Saira langsung berlari ke depan rumah dan menemuka Aliyyah lebih cantik dari biasanya. Saira memang belum pernah melihat Aliyyah berpakaian selain seragam sekolah mereka. Hal itu dikarenakan rumah mereka berjauhan, sehingga baru kali ini Saira dan Aliyyah bertemu di luar jam sekolah. Biasanya mereka hanya saling menelepon atau berkirim pesan.             Aliyyah memakai baju terusan panjang dan tertutup berwarna coklat tua dengan motif coklat muda. Dengan tali di kedua sisi yang diikat ke belakang menjadi pita, membuat tubuh Aliyyah terlihat sangat feminine. Kerudung dengan warna senada yang menutup d**a membuat Aliyyah terlihat anggun, ia juga mengenakan flat shoes berwarna hitam polos dengan bandul silver di tengahnya. Aliyyah persis seperti gadis di film-film timur tengah.             “Kamu cantik banget, Al,” kata Saira. Sebagai seorang perempuan, Saira merasa takjub. Sejak memasuki taman kanak-kanak di usia 4 tahun, kemudian sekolah dasar di usia 6 tahun, Saira belum pernah memiliki teman yang lebih cantik dari Aliyyah. Ia selalu merasa bahwa Aliyyah adalah manusia biasa dengan wajah artis.             “Apasih, Sar. Aku gak dandan dan niat centil-centilan loh,” jawab Aliyyah. Ia memang selalu rishi saat dipuji.             Keduanya memasuki rumah Saira, dan duduk di ruang tamu. Aliyyah langsung menyerahkan kue yang dibawanya dan meminta Saira segera mencobanya. Fatih yang turun dari lantai atas dan diam mematung dan melihat Aliyyah seperti belum pernah lihat sebelumnya. Kemudian saat sadar bahwa Aliyyah merasa sedang diperhatikan dan kemudian menunduk, Fatih ikut menunduk.             “Mas Fatih ngapain?” tanya Saira saat menyadari bahwa Aliyyah risih dengan pandangan kakak keduanya itu.             “Mau ambil minum,” tiba-tiba Fatih bersikap cuek. Kemudian dia berjalan ke dapur.             Saira pun ikut ke dapur dan mengambil pisau untuk brownies yang Aliyyah bawa. Di dapur, Fatih dan Saira sempat berbincang sendiri.             “Temen kamu cantik banget sih, Sar,” kata Fatih.             “Udah sana ah! Nanti dia takut loh, enggak ramah kayak dulu lagi waktu pertama kali ke sini,” Saira mengingatkan. Ia tau betul bagaimana sikap sahabatnya jika ada laki-laki yang berlebihan mendekatinya.              “Oh iya. Mas harus keliatan cuek dan humoris ya,” kata Fatih jenaka. Saira yang mengetahui bahwa kakak laki-lakinya memang orang yang humoris langsung tertawa.             Keduanya keluar dari dapur dan berjalan menuju Aliyyah. Saira memotong brownies yang dibawakan Aliyyah, setelah sebelumnya memberi Aliyyah segelas air putih dingin dari dapur.             “Hai cantik,” sapa Fatih percaya diri dengan nada bercanda.             Aliyyah tampak bingung harus merespon apa, kemudian diam dan menunduk. Fatih tau ia salah langkah, kemudian bertanya seolah-olah Aliyyah adalah saudara jauh yang sedang berkunjung ke rumah.             “Aliyyah tadi naik apa ke sini? Keluarga di rumah sehat?”             Saira tertawa cekikikan sembari mengambil satu potong brownies buatan Aliyyah dengan topping keju parut di atasnya.             “Tadi Aliyyah naik TransJakarta, Kak. Alhamdulillah keluarga di rumah baik,” jawab Aliyyah, lalu saat melihat Saira sedang asik makan brownies yang dibawahnya, Aliyyah mengalihkan, “Gimana Sar? Enak enggak?”             Saira mengangguk. Sebagai seorang yang suka masak dan sekaligus suka makan, Saira tau bahwa ini bukan brownies dengan adonan sembarangan. Brownies buatan Aliyyah lembut, namun kering dan tidak berlemak. Sejak gigitan pertama sampai terakhir, Saira terus ingin memakannya.             “Alhamdulillah,” sahut Aliyyah tampak senang.             “Kok kamu jauh-jauh sih ke sini buat kasih kue doang?” tanya Saira.             “Gak apa-apa sih. Kan memberi hadiah itu sunnah. Terus aku tau kalo Saira suka brownies kan? Walaupun masakan kamu pasti lebih enak ya, Sar?”             “Aku belum pernah makan brownies seenak ini malah,” kata Saira jujur, meskipun sebenarnya brownies buatan Saira pun sama enaknya.             “Makasih ya Saira untuk kind wordsnya. Tapi Saira bisa masak lauk pauk yang asin-asin gitu ya?”             “Bisa! Saira masakannya enak!” tiba-tiba Fatih memotong pembicaraan dan menjawab pertanyaan Aliyyah sambil mencomot sepotong brownies.             “Hebat deh. Aku boleh belajar gak?” tanya Aliyyah.             “Brownies-nya enak banget, Aliyyah. Kamu beneran bikin sendiri? Hebat banget. Sering-sering ke sini, ya!” kata Fatih. Lagi-lagi memotong pembicaraan.             “Makasih, Kak,” sahut Aliyyah.             “Aliyyah sering-sering aja main ke sini. Kan bisa belajar masak sama Saira,” kata Fatih.             “Boleh, Sar?” tanya Aliyyah, kini menoleh ke Saira yang masih asik mengunyah.             “Bolehlah Al. Tapi kamu enggak apa-apa? Kan rumah kamu jauh.”             “Mas Fatih anter jemput aja,” Fatih menyambar.             “ENGGAK!” reflek, kedua sahabat itu, Saira dan Fatih langsung menolak. Membuat Fatih kaget dan bingung.             “Aliyyah naik TransJakarta aja. Aliyyah suka jalan-jalan sendirian,” Aliyyah menjawab tegas dan jelas.             Kemudian waktu mereka habiskan sampai jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Fatih yang sejak tadi tidak kembali ke kamarnya dan malah ikutan ngobrol dengan Saira dan Aliyyah pun tampak betah. Topik yang mereka bicarakan lumayan beragam. Dari dunia SMA, sampai dunia perkuliahan. Sesekali obrolan mereka diisi dengan candaan Fatih mengenai guru-guru SMA-nya yang megundang gelak tawa. Tidak kaku seperti awal datang, Saira pun kadang menanyakan beberapa hal mengenai kampus dan lain sebagainya pada Fatih. Kali ini pun Fatih sadar bagaimana membuat perempuan di depannya nyaman. Ia tidak lagi menggoda-goda Aliyyah.             “Kayaknya udah adzan deh. Aku boleh numpang sholat, Sar?” Aliyyah memotong obrolan mereka.             Saira mengangguk dan mempersilahkan Aliyyah untuk wudhu terlebih dahulu. Sementara dirinya akan mempersiapkan mukena untuk Aliyyah.             “Nanti aku yang imamin, ya?” tanya Fatih percaya diri.             “Kak Fatih enggak ke Masjid?” tanya Aliyyah terlihat heran.             “Biasanya aku ke Masjid pas Jumat aja, sih. Di kampus.”             “Laki-laki itu sholatnya di Masjid, Kak,” Aliyyah berkata pelan sambil tersenyum. Saira tidak mendengar. Hanya Fatih yang mendengar.             Fatih tertegun. Ia pernah dengar perkataan ini sebelumya. Kemudian ia teringat ayahnya. Ayahnyalah yang selalu mengatakan ini padanya dulu ketika masih hidup. Ketika ia baru pertama kali diajak ayahnya ke Masjid, saat masih berumur 5 tahun. Ia ingat ayahnya pernah mengajarkan itu. Dan tak heran Salman juga selalu ke Masjid setiap sholat wajib dan selalu mengajaknya. Namun karena Fatih sulit sekali untuk diajak, lama kelamaan Salman menyerah.             Aliyyah kemudian berjalan menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.             “Al, mumpung gak ada Mas Fatih, aku mau nanya,” kata Saira saat ia dan Aliyyah sudah mengambil air wudhu dan sedang berada di dalam kamar Saira dan hendak sholat. Keduanya pun sudah menggelar sajadah dan memakai mukena putih dengan motif kuning keemasan.             “Apa, Sar?” tanya Aliyyah.             “Waktu itu Kak Gibran minta alamat email kamu.”             “Terus?”             “Terus aku kasih.”             “Iya, aku tau. Dia udah email aku.”             “Dia email apa?” Saira berani bersumpah bahwa jantungnya saat ini berdegup penuh kekhawatiran. Ia takut jawaban dari Aliyyah akan menyakiti hatinya dan membuatnya kecewa.        “Dia minta nomor kamu. Terus dia nanyain tentang kamu. Dia nanya kenapa kamu di lapangan basket keliatan deket banget sama Bian, ada apa di antara kalian. Terus aku jawab enggak ada apa-apa karena kalian memang deket.”             “Serius? Terus?” mata Saira membesar. Belakangan ini sering sekali mata Saira membesar karena mendengar berita-berita yang mengejutkan.             “Udah gitu aja. Terus di akhir dia titip salam untuk Bian. Aneh, ya?”             “Hah?”             “Eh ya Allah tapi aku salah deh. Aku ngerasa gak amanah nih, Saira,” kata Aliyyah tiba-tiba panik.             “Kenapa?”             “Kata Kak Gibran jangan kasih tau kamu kalo dia nanyain nomor kamu ke dia. Katanya biar dia sendiri yang kasih tau.”             Saira tersenyum mendengarnya.             “Dia kayaknya suka sama kamu deh, Saira. Dia bilang kamu Saira si anak menyenangkan”             Saira tersenyum lagi dan kini memeluk Aliyyah. Saira merasa bersalah karena sempat berpikir yang tidak-tidak pada sahabatnya. Kini ia lega, tapi jantungnya tetap dag-dig-dug. Benarkah Gibran Radu menyukai dirinya? Karena itukah selama ini Gibran sangat baik dan perhatian padanya?                  “Eh Sar, Kak Fatih mana?” tanya Aliyyah yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Fatih setelah dirinya keluar dari kamar mandi habis berwudhu.             “Katanya mau sholat di Masjid,” jawab Saira sambil mengangkat bahu. *** "Kalau cuma dianggap adik, kakakku udah banyak" – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN