BAB 4 - CEMBURU

2932 Kata
“Iya…, biasa aja sih,” jawab Gibran ragu-ragu, tapi sukses membuat Saira kesal karena Gibran mengakui kecantikan Aliyyah dengan menjawab ‘iya’ meskipun menggantung. “Gak tau, belum ngabarin hari ini,” kini Saira masih dengan ketus. Tapi kemudian Saira menyadari kedudukannya yang bukan siapa-siapa. Jadi ia masih berusaha melanjutkan perbincangannya dengan Gibran, namun dengan senyum yang dipaksakan. Sementara obrolan Gibran dan Saira semakin kaku dan tidak selancar sebelum mereka membicarakan Aliyyah, kantin pun lambat laun menjadi semakin ramai oleh anak-anak yang baru datang dan ingin sarapan atau sekedar membeli cemilan sebelum memulai kegiatan belajar mengajar. “Saira kok tiba-tiba kayak ga mood?” menyadari ada perubahan pada respon Saira kini, Gibran mencari tau. “Hah? Enggak kok,” Saira menjawab, berpura-pura bersikap seperti biasa. “Yaudah, Saira masuk ke kelas aja. Saya gak bisa nemenin Saira ngobrol lagi nih. Ada yang harus dikerjain.” “Ngerjain apa?” “Banyak. Masak, angkat galon, anter makanan, cuci piring.” “Hahahah ditanya serius juga. Yaudah Kak, saya ke kelas ya,” Saira beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kelas. Terakhir, Saira melihat Gibran melambaikan tangannya sambil tersenyum, membuat Saira melupakan kekesalannya tadi.             Di kelas, Saira melihat Aliyyah dan Bian sudah datang. Aliyyah sedang bermain handphone, sedangkan Bian sedang mengecek peralatan untuk kegiatan belajar mengajar hari ini, kemudian dia duduk lagi dan Saira melihat Bian melirik Aliyyah, lalu Bian terlihat berpikir sebentar dan akhirnya memanggil Aliyyah. Saira segera masuk ke kelas dan menghampiri mereka.             “Al, semalam udah tidur ya?” tanya Bian, tampaknya ia belum menyadari keberadaan Saira. Saira mengerutkan kening karena pertanyaan Bian yang aneh.             Aliyyah diam sebentar lalu tersenyum dan menjawab, “Belum, tapi aku lupa balas chat kamu. Maaf, ya.” Melihat Saira yang sudah bergabung dengan mereka, Aliyyah kini gantian bertanya kepada Saira, “Saira kenapa semalam nanyain email Kak Gibran?”             Saira melotot karena kaget, sementara Bian langsung bertanya memburu, “Bang Gibran nge-email kamu apaan, Al?”             “Bukan, bukan aku yang di-email. Saira tuh,” Aliyyah mengklarifikasi.             “Oh.” Sahut Bian pendek, kemudian tidak peduli, “jadi email apaan?” namun akhirnya bertanya juga.             Saira makin penasaran. Siapa sih yang suka Aliyyah? Pasti Gibran.             “Gak tau. Isinya cuma ini,” kata Saira sambil menunjukkan handphone-nya pada kedua sahabatnya.             “Gak jelas, ya,” komentar Bian, dahinya mengerut tanpa bingung.             “Iya,” Aliyyah setuju, komentarnya pendek.             Kemudian fokus mereka teralihkan ketika Bian menanyakan soal tugas hari ini dan membahas beberapa poin yang sulit. Setelah itu Bian menanyakan soal rencana hari ini, dengan tujuan untuk mengajak Saira dan Aliyyah ikut menontonnya latihan basket, kemudian dia berjanji akan mentraktir mereka karena baru saja memenangkan lomba esai terbaik mewakili sekolah. Saat asik mengobrol, pembicaraan mereka terpotong oleh Nadia, teman sekelas mereka yang terkenal ceplas ceplos dan apa adanya. Karena itu pula banyak yang merasa dekat dengan Nadia dan merasa rahasia-nya aman di tangan Nadia, begitupun Saira. Meski tidak sering bersama, Nadia suka menanyakan kabar teman-temannya dan tidak sungkan untuk menanyakan langsung rumor yang beredar ke orang yang bersangkutan untuk menghindari kesalahpahaman.             “Sar, lo ngapain tadi sama Kak Gibran di kantin, hayooo?” Nadia bertanya blak-blakan sambil mencolek lengan Saira. Saira menoleh. Ia melihat seorang gadis dengan kulit sawo matang, rambut yang dikuncir kuda, dan wajah ramah yang seolah berkata, ada apa antara lo dan Kak Gibran hayo?             “Lo ngapain sama Bang Gibran?” Bian langsung bertanya, bahkan sebelum Saira menjawab pertanyaan Nadia.             “Ngobrol doang.” Saira menjawab pertanyaan Bian sekaligus Nadia.             “Yah jangan ngobrol doang dong. Gak asik deh,” kata Nadia bercanda, namun ada kekecewaan di wajahnya, karena sebenarnya ia berharap ada bahan untuk bergosip dan meledek Saira. Ia memang konyol.             “Obrolannya tapi asik, Nad,” timpal Saira menanggapi candaan Nadia. “Daripada ngobrol sama lo capek doang.” Nadia langsung meninju lengan Saira berpura-pura kesal, lalu tertawa.             “Jadiannya kapan, dong?” tanya Nadia lagi.             “Ye ngawur!” ujar Saira meskipun dalam hati mengaminkan.             “Halah, masa berduaan di kantin tapi gak jadian.” Nadia memang tidak pernah menyerah dalam mengorek cerita seseorang, sampai orang yang bersangkutan menceritakan semuanya. “Eh, ketua kelas,” Nadia beralih ke Bian. “Mana Bu Andin? Pelajaran pertama kosong nih?” Nadia bertanya garang dan meninju lengan Bian dengan keras.             “Oh iya!” Bian mengambil handphone di saku celananya dan memeriksa apakah ada pemberitahuan dari guru fisika yang tadi ditanyakan oleh Nadia. Kemudian dia menepuk dahinya, “Duh Nad! Gua gak ngecek hape. Bu Andin minta gua ke kantornya buat ambil tugas. Dia lagi ada rapat mendadak sama Pak Arnon,” tanpa sengaja Bian menceritakan keadaannya pada Nadia. Ternyata sang guru fisika sedang ada urusan dengan kepala sekolah, Pak Arnon.             “Yaudah Bian, kita ambil aja tugasnya sekarang. Gak apa-apa walaupun udah telat 15 menit. Aku temenin. Semoga kita gak dimarahin?” Aliyyah angkat bicara berusaha menenangkan Bian yang terlihat panik.             Bian mengangguk. Kemudian berjalan ke kantor guru, ditemani dengan Aliyyah, dan kembali dalam lima belas menit. Mereka berdua menenteng setumpuk kertas yang penuh dengan tulisan yang tampak seperti tugas. Melihat itu, Saira rasanya ingin pingsan karena benci pelajaran fisika dan tidak memiliki minat di semua hal yang berbau fisika. “Sekedar lulus aja, Sar. Jangan dipikirin banget,” kata Bian suatu hari. “Lagian udah tau gak suka fisika, malah masuk IPA,” adalah omongan hampir semua orang yang menjadi tempat Saira mengeluhkan pelajaran ini. “Aku kan masuk IPA karena bisa ambil semua jurusan pas kuliah,” Saira membela diri. Sebenarnya ini bukan hanya alasan Saira masuk IPA, melainkan alasan hampir 80% anak IPA memilih jurusan ilmu pasti tersebut. Mereka belum memutuskan profesi apa yang cocok untuk mereka, dan memilih jurusan IPA adalah zona aman yang perlu mereka masuki. Memang, sistem pendidikan perlu diperbaiki sedikit.             “Kok Bu Andin gak ngirim email aja sih?” tanya Nadia ketika Bian membagikan kertas tugas fisika yang baru saja diambilnya dari ruang guru. Aliyyah membantu membagikan dari baris yang lain.             “Gak apa-apa sesekali pakai kertas biasa. Pusing kan kalo semua pelajaran kita dipaksa ngeliat layar laptop,” Bian menjawab.             Aliyyah tersenyum, kemudian setelah ia selesai membagikan semua kertas di genggamannya sampai habis, ia berbisik pada Saira, “Padahal tadi Bian juga kesel karena Bu Andin kasih kertas, bukannya kirim email aja.”             “Lah terus?” tanya Saira.             “Terus aku jawab persis kayak yang Bian bilang ke Nadia.”             Nyatanya Bian mendengar bisikan Aliyyah dan Saira. Laki-laki yang tempat duduknya tepat di belakang Aliyyah dan Saira itu menyahut, “Kalo Aliyyah yang ngomong gue nurut, Sar.”             Saira bingung. Jelas dan telak bahwa Bian menyukai teman sebelahnya itu. Wajah Aliyyah memerah, dia pasti malu, pikir Saira. “Wow, ada apa ini?”             “Apaan sih, Sar.” Bian menjadi ketus, seperti ingin mengalihkan pembicaraan.             “Bian, nanti tugasnya dikasih ke lo lagi?” teriak Nadia.             “Kirim ke email Bu Andin-lah.”             “Yah sama aja boong. Mata gue kena radiasi juga,” timpal anak-anak di kelas. Bian diam saja. Aliyyah tertawa kecil, sementara Saira langsung menoleh ke arah Bian untuk melihat apakah Bian sedang melirik Aliyyah yang sedang tertawa. Dan benar saja, Bian sedang memandang Aliyyah yang duduk di sisi serong kanan di depannya. Bian tersenyum.             Dengan cepat Saira menoleh ke belakang dan berkata dengan pelan pada Bian, “Bi, Aliyyah cantik ya?” pertanyaan hati-hati yang Saira ajukan agar tidak terdengar oleh Aliyyah.             “He eh,” sahut Bian tanpa sadar, tapi tidak lama karena kemudian ia mendongak dan melihat wajah Saira yang puas karena mengetahui ada apa dengan Bian dan Aliyyah.             Saira kini gantian menoleh ke Aliyyah dan menannyakan hal yang sama, “Al, Bian ganteng ya?”             “Apa sih kamu, Sar?” tanggapan Aliyyah datar dan membuat Saira kesal. Sepertinya perasaan Bian bertepuk sebelah tangan, kata Saira dalam hati.   “Sar, lo jangan bilang-bilang Aliyyah, ya?” pinta Bian beberapa hari di minggu yang berbeda setelah kejadian di kelas. Mendengar itu, Saira tertawa dalam hati. Terkadang Bian memang polos dan ciut jika berkaitan dengan Aliyyah. Saira sadar itu.             “Itu masalah gampang,” jawab Saira. Saat ini mereka sedang berada di pinggir lapangan basket indoor, lapangan yang berbeda dengan saat Saira bertemu Gibran pertama kali, berdua saja sepulang sekolah di hari Kamis. Bian akan latihan basket hari ini, dan Saira sedang mengikuti ekskul tata boga yang sebenarnya jarang sekali ia ikuti. Ia lebih sering absen dibandingkan menghadiri sesi latihan. Saira mendaftar ekskul tata boga karena ketika hari terakhir pendaftaran ekskul, hanya ekskul tata boga-lah yang masih membuka pendaftaran. Sebenarnya alasan ekskul tata boga masih membuka pendaftaran adalah karena di tahun itu, hanya dua orang yang mendaftar. Perlu satu orang lagi, atau ekskul tata boga harus dibubarkan. Maka Saira menjadi penyelamat bagi mereka. Tapi bukan berarti Saira asal-asalan dalam memilih ekskul. Dikarenakan memiliki seorang ibu yang bekerja, Saira sering tinggal di rumah dan harus memikirkan urusan perutnya sendiri, menjadi terbiasa memasak. Tidak jarang Bunda memasak terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja, namun Saira yang memang banyak makannya, selalu kurang lauk karena harus berkompetisi dengan dua kakak laki-lakinya yang porsinya makannya pun banyak.             “Sar, Gibran enggak pernah email lo lagi?” tanya Bian kemudian.             “Kenapa emang?” tiba-tiba saja Saira tertarik dengan pembicaraan ini. Belakangan ini ia dan Gibran menjadi sering mengobrol, dan menjadi mereka semakin dekat. Tapi tetap saja, Saira merasa Gibran lebih tertarik pada pembicaraan mengenai Aliyyah dan Bian.             “Temen kamu yang namanya Aliyyah gimana sama Bian?” pernah suatu kali Gibran bertanya pada Saira, yang disambut Saira dengan wajah merengut, dan Saira sadar kala itu Gibran tersenyum.             “Saya cuma nanya, kan udah ada Saira,” waktu itu Gibran menjawab dengan ringan sambil tersenyum pada Saira. Bila diingat sampai sekaran pun jantung Saira masih dag-dig-dug karena jawaban Gibran.             “Kata Gibran kalo gue gak cepet-cepet deketin Aliyyah, biar dia aja yang deketin Aliyyah,” Bian menjawab pertanyaan Saira.             Mendengar jawaban dari Bian, Saira cepat cepat beranjak dari bangkunya dan sewot sendiri. Bian mengarahkan kepalanya pada Saira dan menunjukkan wajah heran, “Kenapa jadi lo yang sewot?”             Saira sadar bahwa Bian tidak mengetahui dirinya yang menyukai Gibran. Bian juga tidak tau bahwa selama ini Saira cemburu pada Aliyyah yang terus menerus ditanyakan oleh Gibran di sela-sela pembicaraan mereka. Memang, awalnya Saira-lah yang membicarakan Aliyyah lebih dulu di depan Gibran, “Kak, saya ngerasa Bian lagi deketin Aliyyah deh,” kata Saira pada Gibran yang kala itu sedang ada di depannya sambil meminum es teh manis. Waktu itu Saira membicarakan Aliyyah dan Bian, dengan harapan bahwa Gibran tidak akan bertanya-tanya lagi soal Aliyyah karena tau bahwa Aliyyah sudah dekat dengan Bian, tapi ternyata Gibran semakin sering menanyakan tentang mereka pada Saira.             “Bi, gue mau jujur deh,” kata Saira akhirnya.             “Apa? Lo suka sama Gibran?” tanya Bian santai. Ia menenggak air mineral di tangannya.             “Hah? Keliatan banget ya?” Saira panik.             “Ya lo aja sering banget keliatan berduaan sama dia. Ya curigalah gue. Lo pasti suka.”             “Berarti orang-orang juga mikir gitu?”             “Orang-orang juga mikir kalo lo suka sama Gibran, tapi mereka gak mikir kalo Gibran suka balik. Soalnya Gibran emang baik dan deket sama semua orang.”             Mata Saira melebar, “Lo tau dari mana?”             “Di club basket Gibran sering dibecandain sih. Katanya dia suka tebar pesona dan bikin perempuan-perempuan salah mengartikan kebaikannya.”             “Emang cowok suka ngegosip ya?”             “Emang cewek doang yang ngegosip? Cowok juga, cuma gak keliatan semangat aja. Cuma sekadar tau, cukup bagi kami.” Bian tertawa sendiri. Menyadari bahwa kaumnya juga menyukai hal-hal receh seperti gossip.             Diam-diam Saira sakit hati. Ia bahkan belum pernah merasa bahwa Gibran menyukainya. Gibran memang baik dan perhatian, sering kali perasaan Saira berubah-ubah karena perlakuan Gibran yang selalu baik, tapi obrolannya terkesan standar, mereka tidak seperti dua orang yang sedang melakukan pendekatan. Benar-benar berbeda dari cerita-cerita teman-teman Saira yang sudah pacaran lebih dulu, atau cerita-cerita romansa di film atau n****+.             “Padahal gue udah suka banget, Bi,” kata Saira. Wajahnya sedih.             “Nah, makanya saran dari gue, lo temenan juga aja sama Gibran, gak usah dibawa hati. Takutnya nanti lo sakit hati,” kata Bian memberi saran denga tulus. Ia tidak sampai hati jika Saira, temannya yang sebenarnya tak kalah polos dari Aliyyah itu harus patah hati saat merasakan cinta pertama.             “Tapi Bi, gue juga kadang ngerasa kalo Kak Gibran itu sering nanyain Aliyyah. Jangan-jangan Kak Gibran juga suka sama Aliyyah. Kan lo tau, temen kita yang satu itu cantik,” kata Saira.             “Yaudah, kita lihat aja siapa yang Aliyyah pilih. Jodoh kan gak kemana,” Bian menjawab santai. Tapi Saira tau bahwa sahabat laki-lakinya itu kini sedang was-was. Ia tau bahwa Bian benar menyukai Aliyyah. Dapat dilihat dari perlakuannya pada Aliyyah sehari-hari. Saira sering menjadi saksi ketika Bian membantu Aliyyah yang dimarahi guru karena lupa mengerjakan tugas bahasa Jepang. Bian saat itu mengaku bahwa ini adalah kesalahannya, ia lupa mengirim email tugas pada Aliyyah, yang berakhir dengan mereka berdua dikeluarkan dari kelas dan diberi tugas untuk menghafal 100 kosa kata baru dalam bahasa Jepang.             “Enak banget ya ngomongnya,” kata Saira. Tapi kemudian ia menjadi penasaran dengan hubungan kedua sahabatnya itu, “tapi lo sama Aliyyah jadinya gimana sih Bi? Gue liat sih lo belain dia mulu. Tapi, kadang gak keliatan gitu kalo lo suka sama Aliyyah. Apalagi lo ketua kelas, jadi kesannya lo belain dia sebagai ketua kelas aja.”             “Duh Sar,” Bian menghembuskan napas. “Temen lo yang satu itu emang lulusan pesantren banget. Gue kadang mau pdkt juga jadi malu sama diri sendiri.”             “Maksudnya?”             “Kalo gue chat dia nih malem-malem, dibalesnya cepet banget. Tapi singkat. Tanpa titik-titik, tanpa emoticon, tanpa nanya balik. Apalagi kalo gue nanyain hal gak penting kayak lagi apa atau ngebahas kejadian yang gak penting gitu, boro-boro deh chat gue dibales.”             “Lah, jadi lo sama dia belum ada kemajuan dong?”             “Makanya itu. Gue bahkan ngerasa dia lebih deket kalo kita bertiga chatting di grup,” Bian menggaruk kepalanya tidak gatal. “Tapi masa gue pdkt ada lo-nya.”             “Hahahaha,” entah kenapa Saira tertawa mendengar cerita Bian kali ini. “Jangan-jangan dia emang gak suka kali sama lo?”             “Gue pernah nanya sih ke Aliyyah.”             “Udah pernah lo tembak?” tanya Saira kaget.             “Bukan! Gue nanya dia lagi deket sama siapa sih?”             “Gak ada kan?”             “Iya. Aliyyah bilang dia deketnya sama kita berdua doang. Awalnya gue kira kan gue spesial karena dia bilang gitu, setelah gue pikir-pikir lagi, ya maksud dia deket sebagai temen aja sih.”             “Dia gak pernah bahas cowok sih sama gue. Dia juga risih setiap gue bahas-bahas cowok. Kayak bilang cakep atau gimana gitu, dia pasti bilang ‘Udah ah, Sar. Jangan ngomongin cowok mulu.’ Jadi ya gak gue lanjutin. Ngomongin Gibran ke dia aja gue gak enak. Makanya nih sekarang gue curhatnya ke lo. Terimakasih ya Bian, lo mau jadi sahabat gue.”             “Ih apaan sih lo? Geli dah,” Bian kemudian beranjak dan membuang botol minum bekas yang sudah tidak ada isinya. Semua isinya sudah dia habiskan saat bercengkrama panjang lebar dengan Saira. “Gue mau ganti baju dulu, ya. Kayaknya latihannya udah mau mulai deh. Tuh Gibran udah datang,” Bian menunjuk ke arah kantin dan benar saja, Gibran sedang berjalan dari arah kantin dan sudah berganti pakaian untuk latihan basket. Saira memandang Gibran dari atas sampai bawah. Hari ini Gibran memakai baju basket berwarna merah tua yang melapisi kaus berwarna hitam lengan pendek. Rambutnya yang hitam dan lurus dibiarkan terbelah di tengah dan jatuh, kemudian sesekali ia menaikkan poninya.             “Hai, adik kecil!” Gibran menyapa Saira yang masih melihat dirinya dari atas sampai bahwa. Bian sudah pergi untuk ganti baju.             “Siapa adik kecil?” tanya Saira heran, karena baru pertama kami mendengar Gibran memanggilnya seperti itu.             “Ya Saira-lah. Masa saya jadi adiknya,” jawab Gibran sambil tersenyum lebar. “Tadi sama Bian ngomongin saya, ya?”             Saira langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi pura-pura jijik karena narsisme Gibran barusan,”Iya, kata Bian kapten basketnya centil!” Saira menjawab sarkas dengan maksud bercanda dan wajah yang mau tertawa. Padahal, itu adalah kenyataan.             “Kan centilnya sama Saira doang,” kata Gibran.             Priiiit! Suara periwitan dari laki-laki dewasa berkepala plontos, seorang coach tim basket sekolah, membuat Gibran menoleh dan bersiap lari ke tengah lapangan. Saira juga melihat Bian kembali dari arah toilet dengan tergesa.             “Kamu gak sama Aliyyah?” sebelum berlari menuju lapangan, Gibran sempat-sempatnya menanyakan Aliyyah.             “Lagi persiapan ekskul besok dia. Tahfidz,” jawab Saira, meskipun kesal.             Bibir Gibran membentuk huruf O kemudian, dia memenuhi panggilan coach mereka. Sementara Saira sudah berjalan keluar dari lapangan basket menuju ruangan ekskul tata boga. From: Gibran Radu XI.IPA4 (gibranraduipa4@smaspm.co.id) To: Saira Bayu X.IPA4 (sairabayuipa4@smaspm.co.id) Hi Saira. Apa kabar? Gimana ekskulnya hari ini? Besok-besok kita ngobrol-ngobrol lagi, yaa! Saya boleh minta alamat emailnya Aliyyah? Please kindly reply my email, Saira! Thank you Saira Bayu! Sincerely, Gibran Radu 11 IPA 4 SMAS Pelita Mulia Jakarta             Email yang didapatkan Saira di kotak masuk emailnya malam ini membuat Saira kesal. Tapi ia tidak boleh menunjukkan kecemburuannya dan mengabaikannya surat elektronik dari Gibran. Akhirnya ia membalas dan mengirimkan alamat email sahabatnya itu pada Gibran. From: Saira Bayu X.IPA4 (sairabayuipa4@smaspm.co.id)  To: Gibran Radu XI.IPA4 (gibranraduipa4@smaspm.co.id) Dear Sir/Madam, Thank you for your email. Kindly see below for your inquiry: aliyyahomaripa4@smaspm.co.id Best Regards, Saira Bayu             Jawaban email yang formal menandakan Saira yang sedang kesal. *** "Aku kapan sih jadi tokoh utama kayak Aliyyah?" – Saira 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN