BAB 11 - ADA APA DENGAN ALIYYAH?

2340 Kata
              Saira memandangi wajah Aliyyah yang terlihat berbeda dari biasanya. Sahabatnya yang terkenal relijius itu tidak tersenyum dan hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Padahal waktu belum menunjukkan pukul 12 siang, yang artinya belum setengah hari dilewati dan tidak mungkin Aliyyah sudah menunjukkan wajah kelelahan dan tidak semangat. Sejak awal mengenal Aliyyah, ia adalah satu-satunya sahabat Saira yang paling konsisten mood-nya. Perempuan berkerudung itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda sedih, tidak mood, kelelahan, apalagi seperti sedang ada masalah. Aliyyah hanyalah Aliyyah, anak perempuan lulusan pesantren yang menyayangi adiknya Aisyah, memiliki keluarga yang relijius, memiliki banyak penggemar yang tidak pernah digubrisnya, dan hanya menghabiskan waktu untuk menghafalkan Al-Quran atau pergi ke club Tahfidz Quran sekolah. Sekalipun ada hal-hal di luar kebiasaan yang mengguncang emosinya seperti dimarahi oleh guru, dipandang tidak enak oleh senior-senior perempuan di sekolah yang iri padanya, Aliyyah hanya menghibur dirinya dengan memakai handsfree guna mendengarkan murrotal—rekaman suara Al-Quran—dan diam di bangkunya.             Tapi hari ini berbeda. Saira tidak bisa membaca apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Mungkinkah sesuatu terjadi pada Aisyah? Ataukah hafal Qur’an-nya hilang dari memorinya? Sebab Aliyyah pernah bercerita bahwa hal yang paling tidak ia inginkah adalah hilangnya hafalan dari dirinya. Karena itu merupakan hal yang paling Aliyyah jaga. Tapi tidak, Saira tau bukan itu alasan kemurungan Aliyyah hari ini.             “Kamu kenapa Al?” tanya Saira saat Bu Andin, guru fisika kelas satu keluar dari kelas setelah jam pelajarannya selesai. Masih ada dua pelajaran lagi, tapi itu akan dilanjutkan setelah istirahat dua puluh menit.             “Gapapa,” jawab Aliyyah malas, seperti tidak ingin memperlama obrolannya dengan Saira.             “Kamu gak sholat dhuha?” tanya Saira mengingatkan. Aliyyah memang rutin sholat duha di istirahat pertama. Padahal, di jam-jam segini kantin sedang begitu ramai dan Masjid sangat sepi. Tapi justru itulah hal yang Aliyyah sukai, “tidak perlu takut riya’,” katanya pada suatu hari saat Saira bertanya apa enak sholat sendirian ketika waktu sholat dhuha.             “Nanti deh,” jawab Aliyyah lagi. Ia langsung membuang muka dan tidak lagi memasang wajah di hadapan Saira. Saira merengut karena usahanya tidak berhasil dan memilih untuk kembali duduk dengan benar di bangkunya. Ia membuka netbook dan membaca materi untuk pelajaran selanjutnya.             Sampai waktu istirahat selesai, Saira tidak melihat Aliyyah keluar dari kelas untuk sholat dhuha. Saat sesekali Saira melirik, ia masih melihat Aliyyah dengan posisi yang sama sejak terakhir ia meninggalkannya. Aliyyah menghindari tatapan Saira dan membuang muka.             Tapi saat waktu sholat zuhur tiba di Masjid sekolah, Saira tau memang ada yang tidak beres dengan Aliyyah. Ia memergoki Aliyyah berdoa panjang setelah sholat dengan berurai air mata. Perempuan lulusan pesantren itu dengan khusyuk meminta sesuatu pada Sang Pencipta, yang tidak bisa Saira dengar sama sekali permintaannya. Tapi saat Aliyyah selesai sholat, Saira pun tidak berani bertanya. Alih-alih, ia memilih untuk begegas kembali ke kelas dan menemui Bian yang sedang membereskan tugasnya dan melihat schedule kehadiran guru di layar display dekat kelasnya.             “Bi, Aliyyah kenapa sih hari ini?” tanya Saira yang muncul secara mendadak, membuat Bian terkejut.             “Ngagetin aja lo, Sar,” sahut Bian.             “Aliyyah kenapa ya? Lo merhatiin gak?”             Bian menaikkan kedua bahunya tanda tidak tau. Saira mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres dengan kedua sahabatnya itu.             “Lo juga kenapa? Cuek banget sama Aliyyah, tumben.”             “Ya gue emang gak tau temen lo kenapa, Sar,” kata Bian menepis dugaan Saira bahwa ia juga bertingkah aneh.             “Coba tanyain deh,” jawab Saira.             “Lo udah tanya?” Bian bertanya sembari masih fokus pada layar display. Tampaknya ia meghafal seluruh isi kode guru dan kehadiran mereka untuk satu bulan ke depan.             “Dia gak jawab.”             “Kalo sama lo aja dia gak jawab, apalagi gue?” Bian mendengus.             Dalam hati Saira mengiyakan perkataan Bian. Aliyyah memang sahabatnya dan Bian, namun jika bisa lebih peka, sudah menjadi rahasia umum di antara mereka bertiga bahwa Aliyyah tidak pernah nyaman jika hanya berhubungan dengan Bian, seperti ada tembok besar antara ia dan Bian, dibandingkan dengan hubungan Aliyyah dan Saira.             “Lo ke kelas aja gih. Takut Aliyyah kenapa-kenapa,” kata Bian pada akhirnya. Saira tersenyum menyadari bahwa perkataan Bian barusn merupakan love language-nya pada Aliyyah.             Saira mengangguk dan kembali ke kelasnya.             “Hai!” seorang laki-laki dengan wajah ceria dan tubuh tinggi tegap atletis menghentikan langkah Saira. Hal ini pun turut membuat Saira menoleh dan tersenyum balik.             “Hai Kak Gibs!”             “Abis dari mana?” tanya Gibran saat ia menyadari Saira baru saja berjalan dari arah yang tidak biasanya. Layar Display memang ada di setiap gedung dan biasanya dekat dengan pintu masuk ruang guru yang menyambung ke setiap gedung. Ya, ruang guru memang sengaja didesain untuk dapat memiliki akses ke setiap gedung dan berada di antara satu gedung lain dengan gedung lainnya.             SMA Pelita Mulia yang terkenal elit ini memiliki 4 buah gedung. Gedung pertama adalah gedung anak kelas 1 yang berada di sebelah kiri ruang guru, sementara gedung kedua adalah gedung anak kelas 2 yang berada di sebelah kanan ruang guru, dan gedung ketiga adalah gedung anak kelas 3 yang berada di belakang gedung ruang guru. Baik kanan, kiri, maupun belakang sisi ruang guru, masing-masing memiliki akses untuk ke gedung pertama, kedua, dan ketiga. Sementara laboratorium, ruang olahraga, dan lainnya berada di gedung tersendiri dan merupakan gedung keempat yang tidak terhubung ke ruang guru atau gedung lainnya. Ruangan ini dibiarkan sendiri dan memiliki akses terbatas, karena hanya bisa dibuka oleh kartu pengenal milik guru atau ketua kelas.             “Abis liat Layar Display, Kak,” jawab Saira.             “Wow. Jadi ketua kelas sekarang?” tanya Gibran meledek. Ia tau betul bahwa Layar Display adalah tempat ketua kelas memeriksa daftar hadir guru-guru untuk beberapa waktu ke depan. Sementara daftar hadir guru perhari sudah diunduh ke web sekolah setiap harinya.             “Hahahaha kan ketua kelasnya Bian. Kak Gibran ngapain ke gedung anak kelas satu?”             “Ada perlu sama Bian.”             “Oh,” bibir Saira membentuk huruf O.             “Saira, nanti dijemput?” tanya Gibran. Saira yakin Gibran pasti merasa tidak enak karena tempo hari gagal mengantarnya pulang. Sejak saaat itu, meski sudah berganti bulan, Gibran rutin bertanya apakah Saira dijemput atau tidak hari ini.             Saira mengangguk dan memasang wajah sedih, “Kak Gibran gak bosen nanyain terus setiap hari?” tanya Saira yang kini sudah tersenyum.             “Selama Saira masih kasih lampu hijau sih, gue gak akan bosen. Boleh kan nanya setiap hari?”             “Kalau udah anter pulang, gak akan nanya lagi?”             “Gak dong, kan akan langsung anter setiap hari,” Gibran menjawab dengan nada akhir sengaja ia gantung, dan kemudian ia lanjutkan lagi, “Kalau saya gak sibuk sih, ya.”             “Hahahaha dasar. Udah ah, ke kelas dulu ya, Kak. Gak enak Aliyyah lagi aneh hari ini?”             “Aliyyah? Kenapa?” tanya Gibran menyelidiki.             “Gak tau.”             Gibran mengangguk dan mengisyaratkan perpisahan dengan lambaian tangan. Saira turut membalas. Saat pulang sekolah, Bian menghampiri Aliyyah yang matanya masih sembab karena tangisan di Masjid setelah sholat zuhur tadi. Saira memperhatikan apakah Aliyyah mau berbicara dengan Bian, karena sampai waktu pulang ini pun, Aliyyah masih tidak membuka dirinya pada Saira.             “Al, ayok ke bawah bareng,” Bian mengawali pembicaraan.             “Duluan aja. Aku hari ini mau ke ketemuan sama anak club.” Yang dimaksud Aliyyah dengan club pastilah club Tahfidz Quran yang ia ikuti, karena Aliyyah tidak mengikuti club lain.             “Bukannya ini hari Rabu, ya?” tanya Bian yang sudah hafal dengan jadwal perempuan yang disukainya itu.             “Iya.”             Baru kali ini Saira mendengar Aliyyah menjawab Bian dengan jawaban yang singkat. Ditambah lagi, Aliyyah tidak menatap wajah Bian sama sekali. Bukan karena menunduk dan menghindari tatapan lawan jenis, tapi karena Aliyyah menyibukkan diri dengan telepon genggam dan tasnya.             “Al, kamu kenapa?” Bian mencoba bertanya lagi.             “Gapapa.”             “Al, kamu kesal ya sama omongan aku waktu itu?”             “Gak.”             “Aliyyah!” Bian mulai bicara dengan serius. Saira sedikit merasa takut, karena ia tau ada ketegangan di antara Bian dan Aliyyah sekarang.             Aliyyah menoleh dan kini memandang wajah Bian dengan serius. Bian menang. Perubahan nada bicaranya yang ia sengaja berhasil membuat Aliyyah kini fokus dengan pembicaraan mereka.             “Kamu mau ngomong apa sih?” Aliyyah kini yang bergantian bertanya pada Bian.             “Kamu kenapa?” Bian mengulang pertanyaannya yang tadi hanya dijawab singkat oleh Aliyyah.             Aliyyah membuang napas. Ia tampak berusaha menenangkan diri. Lalu, ia menjawab pertanyaan Bian dengan jawaban yang sama. “Gapapa,” Aliyyah mengatakannya dengan perlahan-lahan dan lebih tegas dari sebelumnya.             “Kamu nangis?”             “Gak.”             “Kok gak nangis mata kamu sembab?”             “Gak apa-apa, Bi! Aku gapapa!”             Saira masih memperhatikan kedua sahabatnya yang berseteru. Aliyyah kemudian perlahan meneteskan lagi air matanya. Saira benar-benar belum pernah melihat Aliyyah seperti ini sebelumnya. Aliyyah yang biasanya tenang dan menyenangkan, kini diliputi degan emosi yang tidak ia jelaskan pada dirinya dan Bian.             “Gak ada hubungannya sama kamu, Bi,” kata Aliyyah, kini dengan nada yang lebih rendah dari kata-kata sebelumnya. Ia terlihat merasa bersalah dengan nada tinggi yang ia ucapkan.             “Al…” Saira ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan karena sendiri tidak tau harus berkata apa dalam situasi seperti ini.             “Aku duluan, ya. Kalian hati-hati,” kata Aliyyah pada akhirnya sambil memakai tas punggungnya dan mengantongi handpone-nya di saku rok panjangnya.             “Al!” Bian belum cukup puas dengan obrolannya dengan Aliyyah barusan. Tampaknya masih ada yang ingin ia sampaikan, terlepas dari apa yang membuat Aliyyah bermata sembab dan tidak mood sehariannya.             “Apa?”             “Soal yang waktu itu aku omongin ke kamu..” kata Bian terhenti tepat saat Aliyyah memotonganya.             “Bi, aku gak pingin tau soal itu. Kamu jangan bahas lagi, ya.” Aliyyah kemudian hendak keluar dari kelas. Meninggalkan Saira yang saat ini penuh dengan tanda tanya soal apa yang sedang dibicarakan oleh Aliyyah dan Bian.             “Maksud aku emang lupain aja, Al!” jawab Bian setengah berteriak, seperti sengaja agar Aliyyah yang sudah keluar dari kelas masih bisa mendengarnya. Dan Saira yakin, bahwa Aliyyah bisa mendengar kata-kata Bian meskipun Aliyyah tidak merespon.             Bian langsung memakai rompi katun warna biru yang hari ini ia pakai dan menyelempakan tas-nya di punggung sebelah kanan saja, kemudian pergi tanpa berpamitan dengan Saira yang saat ini semakin dipenuhi dengan tanda tanya. Ada apa dengan Aliyyah dan masalahnya hari ini? Dan ada apa antara Aliyyah dan Bian yang sudah ia lewatkan ceritanya? “Aliyyah kenapa ya, Kak?” tanya Saira pada orang di seberang telepon pada malam hari saat sudah pukul sepuluh malam. Ia sudah selesai mengerjakan semua tugas yang dikumpulkan besok, sudah mereview kembali materi yang diajarkan hari ini, dan sudah memeriksa email, berjaga-jaga kalau ada pengumuman tugas mendadak dari guru. Ia pun sudah memeriksa apakah ada pengumuman lain di luar masalah akademik, seperti ekstrakurikuler dan lainnya.             “Dia sampai nangis?” Gibran merespon. Entah kenapa Saira mendengar suara yang tidak asing memanggil nama Gibran.             “Itu suara ibunya Kak Gibs ya?” tanya Saira ingin tau. “Suaranya familiar banget.”             “Iya,” jawab Gibran begitu saja. Sejenak Saira tau bahwa Gibran mengaktifkan mute di telepon genggam­-nya untuk beberapa saat, sebelum setelahnya kembali berbicara pada Saira. “Jadi Aliyyah kenapa?”             “Gak tau.”             “Mungkin masalah keluarga, Sar. Saira jangan ditanya terus. Kalau udah satu kali nanya dan Aliyyah gak mau sharing, yaudah biarin aja. Mungkin Aliyyah pingin sendiri.”             “Keluarga Aliyyah bukan tipe keluarga yang akan ada masalah, Kak,” kata Saira jujur. Meskipun belum pernah bertemu dengan keluarga Aliyyah, jika dilihat dari kepribadian Aliyyah yang sangat baik, Saira dapat membayangkan betapa membahagiakannya kehidupan kekeluargaan Aliyyah dan atmosfer di rumahnya. Ditambah lagi, keluarga mereka adalah keluarga yang relijius. Membayangkannya saja Saira sudah merasa sejuk.             “Saira tau darimana? Semua orang kan pasti punya masalah.”             “Kak Gibran aja hidupnya enak banget. Udah terkenal di sekolah, banyak yang naksir, kapten basket, akademik lancar-lancar aja, punya temen banyak dan baik-baik, udah jelas lagi bisa masuk PTN,” kata Saira mengabsen semua kelebihan Gibran yang ia ketahui.             “Sok tau!”             “Hehe.”             “Lagian emang gue banyak yang naksir ya?” tanya Gibran, meskipun ia sendiri tau bahwa beberapa anak perempuan di sekolah menaruh minat padanya.             “Iya. Banyak banget!”             “Saira naksir gak?”             “Udah ah! Saira tidur dulu ya Kak.”             Gibran menggagalkan niat Saira untuk menyudahi pembicaraan setelah ia berkata bahwa ia tidak akan membahas mengenai hal seperti itu jika itu membuat Saira tidak nyaman. Ia pun juga mengakut bahwa ia tidak nyaman membahas kelebihannya yang sebenarnya Gibran anggap sebagia anugerah yang bisa diambil kapan saja. Apalagi soal anak-anak perempuan di sekolah yang suka padanya, Gibran sendiri hanya menganggap itu sebagai gossip atau euphoria setiap pertandingan basket usai, sehingga ada hal yang dapat ditulis di majalah sekolah oleh anggota ekskul jurnalistik.               Kemudian pembicaraan panjang mereka kembali ke soal Bian dan Aliyyah. Dugaan Gibran dan Saira sama. Tampaknya Bian sudah mengungkapkan perasaan pada Aliyyah, namun perasaan ketuas kelas X IPA 4 itu bertepuk sebelah tangan. Dan salah Bian sendiri, membahas perasaannya di hari dimana Aliyyah tidak mood seharian dan terlihat punya masalah pribadi. Wajar saja jika Aliyyah langsung telah menolaknya mentah dan tidak pikir panjang apakah kata-katanya akan menyakiti Bian atau tidak.             “Bian seharusnya bisa baca situasi tuh!” kata Gibran.             “Tapi salah gak Kak, kalo Bian confess ke Aliyyah?”             “Gak salah. Cuma memang harus tau waktu, Sar.”             “Maksudnya?”             “Dua orang jadian bukan cuma karena saling suka. Tapi juga karena ada kesempatan dan waktu yang tepat.”             Saira tertegun. Mungkinkah selama ini waktu Saira dan Gibran tidak pernah tepat?             “Hmmm.”             “Itu quote yang gue baca di i********: orang,” kata Gibran bercanda. Ia mencairkan suasana yang mulai awkward antara dirinya dan Saira.             Saira tersenyum tipis. Ia yakin betul itu bukan petikan yang Gibran temui di halaman i********: seseorang, melainkan sebuha petuah untuk dirinya. Gibran pasti ingin memastikan Saira untuk tidak menyatakan perasaannya. *** “Aku suka Kak Gibran” – Saira
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN