“Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!”
Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku.
“Hey, Dion! Ya ampuuun … kok lo makin tua malah tambah ganteng saja, sih!” Salsa yang tengah mengambil kotak cateringan berisi kue menghentikan kegiatannya dan menyempatkan dulu muji Dion.
“Tua-tua kelapa, Sa! Makin tua makin banyak yang suka.” Dia mendekat menghampiriku dan Salsa yang berdiri di dekat meja yang berisi tumpukkan kue.
“Lo bisa saja, Yon! Sini gue ambilin punya lo, ya! Duduknya di sana, yuk! Ada yang nungguin lo dari tadi!” Salsa langsung mengambil kotak kue milik Dion.
“Yuk!” Dia gegas berjalan dan menarik lengan Dion agar mengikuti langkahnya.
“Ahm, Sa! Punya gue buat Ayu!” tukasnya datar dan beranjak mengambil kotak yang sudah dibawa oleh Salsa.
Eh, aku sedikit kikuk ketika tiba-tiba dia meraih tanganku dan meletakkan kotak kue itu pada telapak tanganku.
“Tetap jadi orang baik, ya.” Dia tersenyum. Sejenak tangan kami bersentuhan dan membuat degup jantungku bertalu luar biasa.
“Yon! Ayo, ih!” Dengan tak tahu malunya Salsa menarik ujung pakaian Dion dan merengek mengajaknya duduk ke tempat Dewi.
Bersamaan dengan itu, kudengar suara salam dari seseorang. Pak Faqih---orang yang mengundangku rupanya sudah datang. Guru muda itu kini tampak lebih dewasa. Kami menjawab salam serempak lalu berbondong-bondong menyalami Pak Faqih yang sudah berdiri tak jauh dari kami.
Aku dan Harum pun termasuk orang yang berada di dalamnya. Pak Faqih---mantan wali kelas kami yang murah senyum itu menyapa kami satu per satu.
“Wah kalian itu pada cepat besar, ya! Ini Salsa, Ayu, Harum, Selvi, Marwah, Dion! Wah untung ingatan Bapak masih kuat, ya?” kekehnya seraya mengedarkan pandang pada kami bergantian. Yang pastinya kalimat itu bukan buatku. Tinggiku dari sejak lulus SMA tetap saja segini, bahkan pakaian zaman SMA saja masih pada muat. Yang dimaksud pastinya teman-teman lainnya. Karena aku dan Pak Faqih sama, sama-sama minimalis.
“Iyalah, Pak! Seperti Bapak yang selalu ingat kalau aku sama Dewi gak ngerjain tugas!” kekeh Salsa menyela. Riuh tawa dari teman-teman yang lain menghidupkan suasana. Pak Faqih menoleh pada Dion. Sepertinya semua orang merasa kehilangan karena kabarnya yang redup selama tujuh tahun ke belakang.
“Iya Bapak masih inget, hehehe. Sekarang kamu sibuk apa, Yon? Kayak makin ganteng saja sekarang?” sapanya ketika Dion beranjak dan mencium lengannya.
“Bisa aja Bapak ini, kan dari dulu Bapak tahu kalau yang konsisten dari diri saya hanya tinggi badan, muka, sama perasaan saya buat seseorang,”kekeh Dion bergurau. Namun sekilas sudut mata kami bersitatap. Lalu aku lekas menunduk untuk meredakkan detak yang makin bertalu di dalam sini.
“Cieeee buat Dewi pasti, nih!” Salsa langsung saja menyahut. Sejak dulu, dia sangat bersemangat mendukung perasaan Dewi untuk Dion. Bahkan sepertinya Dewi sengaja belum menikah pun karena menunggu Dion, deh. Beda halnya denganku, aku belum menikah karena memang belum ada yang mau.
Rata-rata orang tua zaman now, milih mantu juga maunya yang berkelas. Yang gajinya besar, katanya biar gak menghabiskan uang gaji anak mereka yang sudah susah payah di sekolahkan. Sementara itu, pastinya semua orang tahu besaran gaji guru TK sepertiku. Tak separuhnya dari upah minimum yang diterapkan pemerintah setiap tahunnya, bahkan jauh di bawah itu.
“Bisa saja anak-anak, Bapak.” Pak Faqih menepuk-nepuk bahu Dion.
“Alhamdulilah, Pak … Saya baru lulus S2, Pak. Namun ya gitu, kelamaan nyari ilmu, jadi belum sempet nyari duit, sekarang masih jadi pengacara alias pengangguran banyak acara.” Dion terkekeh seraya menjelaskan statusnya kini pada Pak Faqih. Senyumnya itu sontak membuat garis ketampanannya makin kentara. Padahal yang kudengar dari teman-teman, dia sudah merintis bisnis juga, tetapi tetap saja low profile.
Pantas saja gak pernah mendengar kabar Dion selama tujuh tahun ini, rupanya dia mengejar magister juga setelah lulus S1. Rumah aku dan Dion memang masih satu kecamatan, tetapi beda desa. Namun pernah mendengar jika dia kuliah lagi di UI. Ya pastinya orang berada akan memilih kuliah yang bergengsi. Berbeda denganku yang mengambil kuliah kelas karyawan setiap sabtu dan minggu saja, itu pun memaksakan karena upah dari mengajar di TK memang tak seberapa.
“Gak apa, yang penting ijazah sudah ditangan! Bisnis orang tua kamu juga banyak, paling kamu gak akan dikasih kerja di orang, Yon!” tukas Pak Faqih menatap dengan bangga.
“Hmmm … rencanaya sih gitu, tapi kayaknya saya pengen cari pengalaman dulu sih, Pak! Tapi memang sudah mulai rintisan bisnis kecil-kecilan juga.”
“Bapak itu bangga sama kalian semua! Dion sudah sukses lulus S2, Salsa, Selvi dan Marwah sudah kerja juga, ya, Sa? Harum sudah terbukti dan teruji jadi Ibu rumah tangga yang baik, sedangkan Ayu … diam-diam dia selalu memberikan kejutan dan kebanggaan untuk sekolah kita!” Pak Faqih mengulas senyum dan melirik ke arahku.
“Wah ada kejutan apa nih, Yu?” Beberapa pasang mata kini beralih menatapku. Aku mendadak gugup dan kikuk. Namun belum sempat aku menjawab, saura orang yang sejak tadi paling sok famous terdengar mememcah fokus mereka.
“Dion! Ya ampuuun! Ngapain lama-lama di sini, sih? Kamu gak kangen sama aku emang, ya?” Dewi datang dengan langkah super konfiden dan mendekat ke arah kami yang masih berkerumun dekat meja panitia.
“Ah ini Dewi, ya? Wah Bapak sering lihat kamu nongol di tivi, Wi! Sudah jadi artis ya, sekarang?” Pak Faqih menyapa Dewi dengan antusias seperti biasa. Begitulah dia yang selalu menyamaratakan kami semua. Baginya semua muridnya itu istimewa dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini.
“Iya, Pak! Alhamdulilah walau dulu ketika sekolah sering gak ngerjain tugas dari Bapak, tapi karir saya baik-baik saja,” kekeh Dewi seraya menutup bibir merahnya yang menynggingkan senyum penuh kepercayaan diri.
“Jadi, ternyata sukses itu gak selalu dari nilai akademik tinggi ‘kan ya, Pak? Sudah terbukti kok sekarang juga, fakta di luar yang berbicara.” Dewi melirik ke arahku dengan sinis. Aku tahu, maksudnya apa. Dia pasti tengah membandingkan pencapaiannya yang sudah sukses jadi bintang iklan, denganku yang dia anggap tak menjadi apa-apa.