BAB 1
“Ya ampuun, Ayu … tujuh tahun berlalu, penampilan kamu masih kayak gini saja! Masih saja norak tahu gak sih?” pekik seseorang ketika aku baru saja duduk di meja yang sedikit ujung. Dia memindai penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mendadak perasaanku menjadi tak nyaman. Aku sadar, penampilanku memang tak semewah mereka. Hanya mengenakan kerudung segi empat warna krem yang dipadu padankan dengan tunik bermotif kotak dan celana pensil warna hitam. Alas kakiku hanya menggunakan sandal seharga enam puluh ribuan.
“Hush, Dew! Kamu kayak yang gak inget saja siapa, Ayu! Sudah, ih! Kasihan dia!” Mirna---ceesnya Dewi kudengar menimpali. Mirna baru saja menghampiri Dewi bareng Salsa.
“Ah iya, lupa. Cuma anak tukang nasi uduk saja belagu! Cuma males saja kalau inget dia yang sok kecakepan kayak dulu! Harusnya sadar diri! Kalau emang beda level, jangan sok kecentilan! Aku ini aktris menuju papan atas, bahkan sudah dapatkan peran juga dalam n****+ terbaru karya Peri Aksara yang sedang booming sekarang! Ya, walaupun masih peran figuran! Namun ini kan sudah termasuk pencapaian yang luar biasa, iya gak, sih?”Dewi terdengar terus-terusan membanggakan diri.
Aku memilih bangkit dan menjauh. Ini yang paling aku khawatirkan ketika reuni. Dewi dan teman-temannya masih mempermasalahkan kejadian tujuh tahun silam. Kejadian di mana Dewi harus patah hati karena Lingga Bardion alias Dion menolaknya dan menjadikan aku sebagai alasan.
Ah, benci sekali jika ingat hal itu. Karena itu juga, Dion dipaksa orang tuanya untuk kuliah ke luar kota agar tak bertemu denganku. Aku dan Dion itu beda kasta. Orang tuanya berada, sedangkan aku, bisa selesai sekolah SMA-pun hanya mengandalkan beasiswa.
Awalnya aku pun enggan datang ke acara reuni ini, setelah dua kali absent, aku merasa tak enak juga ketika harus menolak undangan Pa Faqih untuk ke sekian kalinya. Aku datang ke sini hanya karena gak enak dengan undangan Pak Faqih---mantan wali kelasku yang bahkan datang sendiri ke rumah mengantarkan undangan reuni kali ini dan ada penghargaan yang akan diserahkan oleh pihak sekolah karena novelku yang bertema inspirasi pada akhirnya mampu menembus dapur film. Belum ada yang tahu jika nama yang mulai melejit dan berlindung dibalik nama Pena Peri Aksara itu adalah aku.
Akhirnya aku hanya memasang wajah datar dan mengangguk pada Dewi dan teman-temannya. Dulunya dia adalah siswi yang paling populer di angkatan kami. Kini karirnya tengah melejit, katanya. Nasib baik berpihak karena kenalan Om nya yang berasal dari dunia entertainment. Dewi, kini menjadi seorang model dan bintang iklan. Menjadi kebanggaan para teman-teman gengnya dan pastinya dipuji oleh semua orang yang datang.
"Permisi!” tukasku seraya beranjak. Aku hanya tengah menunggu Harum---orang satu-satunya yang sejak dulu sampai sekarang menganggapku manusia.
“Eh mau ke mana, Yu?” Kudengar Salsa berbasa-basi. Sementara itu, kulihat Dewi mencebik dan memutar bola matanya ke atas dengan malas.
“Ke toilet!” jawabku berbohong.
Gegas aku meninggalkan Dewi dan dua temannya. Meskipun aku tak akrab dengan teman SMA-ku yang lain. Namun setidaknya aku tak berada satu meja dengan orang yang membenciku.
Berjalan menuju ke arah toilet, lalu berhenti dilorong sejenak sambil menunggu waktu. Jam tangan baru saja menunjukkan pukul sembilan. Beginilah aku yang selalu datang awal. Acara baru akan dimulai pukul sepuluh pagi, tapi pukul sembilan aku malah sudah datang.
Gegas aku mengeluarkan gawaiku. Ponsel jadul yang harganya ramah di kantong. Segera aku hubungi Harum. Duh, berasa lama banget berada dalam suasana asing ini sendirian. Salah sendiri, aku dulunya hanya seorang introvert yang tak punya banyak teman. Hanya Harum yang akrab denganku dan beberapa orang staff TU dan para guru.
Harum mengatakan jika dia masih di jalan. Dia sudah menikah dan sedikit repot dengan anaknya yang dia bawa.
Karena terlalu lama berada di lorong dan merasa tak enak juga, akhirnya aku kembali ke aula dan memilih duduk di meja panitia. Aku kenal dia, meski tak akrab.
“Hey, Yu! Sudah isi data belum?” Marwah menatapku ketika aku permisi ikut duduk.
“Sudah, tadi aku kepagian datangnya, Mar!” jawabku sambil tersenyum.
“Eh iya, udah! Box kuenya udah ambil belum?” tanyanya ramah.
“Ahm, nanti saja. Nunggu Harum!” jawabku lagi.
“Ah dari dulu ceesannya sama Harum mulu!” timpal Selvi yang duduk berjejer di kursi panitia bareng Marwah.
“Ya, cuma dia yang mau temenan sama orang aneh kayak aku, Vi!” tukasku seraya mengulas senyum.
“Dih, kamu mah suka gitu! Kita juga sebenernya bukan gak pengen akrab sama kamu, tapi kami itu minder, Yu! Secara peringkat kamu gak pernah geser dari tiga besar! Lah kita mah tiga besar dari ujung ya, Mar!” Selvi terkekeh.
“Mana ada, Vi! Aku yang minder. Kalian itu selalu kekinian. Aku selalu ketinggalan zaman.” Aku membantah.
“Iya, kita emang bedanya di sana … kamu fokus sama otak, kami sama style. Tapi aku beneran kagum sama kamu loh, Yu! Apalagi kamu berani banget buat muka Dewi dulu yang selalu merasa paling populer itu tergadai!” kekeh Marwah.
Aku menggeleng sambil ikut tersenyum. Entah benar atau tidak alasannya, tetapi memang yang dia ucapkan adalah fakta. Aku memang mati-matian bertahan di tiga besar. Sebetulnya bukan karena gengsi atau mengharapkan popularitas, tapi aku hanya mengharapkan nilai tinggi itu agar dapat beasiswa. Secara aku sekolah hanya modal niat dan nekat. Biaya kadang ngutang, sebagiannya ketutup dari nilai. Meskipun sebagian biaya dibayari oleh kepala sekolah karena ayahku seorang penjaga sekolah di sana, tetap saja banyakan kurangnya.
“Ehmmm! Kalian betah banget duduk bareng orang udik, sih? Apa gak pengen minta foto sama tanda tangan aku?”
Ah suara itu. Aku, Marwah dan Selvi menoleh ke arah suara. Dewi sedang berdiri di dekat stand box kue dan mengambil jatah.
“Ah iya, Dew! Boleh, deh! Mumpung belum ramai!” Marwah dan Selvi tampak saling tukar pandang. Lalu keduanya mengangguk dan menghampiri Dewi yang tengah mengambil box kue.
“Ahm, bisa fotoin!” Sialnya. Lagi-lagi aku harus terlibat dengan Dewi. Namun, tak elok jika aku harus menolak.
Aku bangkit dan menoleh pada Selvi lalu meminta ponselnya.
“Pakai punya kamu saja dulu!” tukas Selvi.
“HP-ku kameranya gak bisa dipakai, Vi! Maklum HP model lama dan sudah agak rusak!” jelasku.
“Pakai punyaku saja, Vi! Tangkapan kameranya pasti bening dan kinclong! Jadi muka kalian nanti kelihatan lima hari lebih muda!” kekeh Dewi seraya mengangsurkan ponsel mahalnya ke arahku.
Aku pun menerimanya dengan hati-hati. Aku tahu harga ponsel ini berapa. Karena itu dengan hati-hati, aku mengarahkan kamera itu pada mereka bertiga.
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya.
Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku.