Bab 2

1165 Kata
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya. Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku. Akhirnya foto berhasil kuambil dengan segenap kehati-hatian. Kuserahkan gawai mahal milik Dewi lagi pada pemiliknya. Maklum, namanya juga artis. Semua harus serba mahal pastinya demi menunjang penampilan. “Sini lihat! Duh kok miring-miring gini sih, Yu! Yang ini lagi … wajah akunya malah keambil separuh!” Dewi menekuk wajah ketika melihat gambar di dalam HP. “Duh, maaf, Dew! Gak biasa pegang HP mahal soalnya! Bingung tadi ngarahinnya!” Aku menjawab santai, padahal sengaja tadi yang kuambil gambarnya banyak itu Selvi dan Marwah. “Kita ulangi lagi, yuk, Vi, Mar! Minta ambilin gambarnya sama orang lain jangan sama dia! Ini tuh gak instragamable banget, tahu!” Dewi tampak mendelik ke arahku dan bibirnya mengerucut. Kulihat Selvi dan Marwah kembali saling bertukar pandang, tetapi pada akhirnya keduanya mengangguk. “Yu, titip dulu, ya! Kalau ada yang dateng lagi suruh isi kehadiran saja, ya!” tukasnya pada akhirnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Padahal sebelum Dewi datang, keduanya membicarakan Dewi dan katanya bangga padaku karena dulu sudah buat Dewi kehilangan muka. Namun giliran orangnya ada di depannya, keduanya kayak menghamba. “Iya, aku jagain sambil nungguin Harum!” Aku menyanggupi. Mereka pun gegas berlalu dan tampak menuju tempat duduk di mana ada Salsa dan Mirna di sana. Aku melihat mereka bercipika cipiki, lalu pada tertawa-tertawa. Beberapa orang sudah mulai berdatangan. Aku mengangsurkan lembar kehadiran dan meminta mereka mengisi. “Eh, Ayu yang jadi panitia, ya?” Isna yang datang bersama suami dan anaknya bertanya. “Panitia cadangan!” Aku menjawab singkat. “Sendirian saja, Yu? Eh apa belum nikah?” Rudi yang datang di belakang Isna berbasa-basi. “Iya masih jomblo, Rud!” Aku menimpali alakadarnya. Duh gak enak ya duduk di kursi panitia. Soalnya di sini orang-orang datang dan jadinya banyak pertanyaan. Namun kulihat Selvi dan Marwah masih cekikian di mejanya Dewi dan dua sahabatnya. Hadeuh, dasar ya mereka itu. “Iya mending gitu, Yu! Nikahnya sekali seumur hidup! Jangan sampai kayak gue, baru setahun nikah ditinggal selingkuh, huh! Nyeseknya di mana-mana!” Tanpa kusangka Rudi langsung saja bercerita. Wajahnya memasang wajah sendu. “Eh, sudah … jangan sedih!” Aku bingung harus menimpalinya kayak gimana. Rudi malah menarik kursi dan duduk di dekatku. “Iya sudah gak sedih kok, Yu! Hanya saja kadang pacaran lama itu gak jamin kalau pas nikah akan bahagia, Yu! Buktinya gue … padahal masalahnya sepele, hanya karena kerjaan saja! Dia pengen suaminya kerjanya lebih bergengsi, padahal tiap bulan itu gaji gue gak kurang dari lima juta dikasihin ke dia,” tukasnya sambil menghela napas. “Sabar ya, Rud!” Ah bingung juga harus nimpalin kayak gimana. Sudahlah kusuruh saja si Rudi itu sabar. Lagian mau komen apa juga, aku gak dekat dengan mereka. Aku kan dulu makhluk asing dan terpinggirkan di sekolah. Hanya punya satu orang teman yang menganggapku manusia yaitu Harum saja. “Iya, makasih, Yu! Eh kamu kerja apa sekarang?” Rudi malah nanya lagi. Sumpah, aku sudah gak nyaman. “Ngajar TK, Rud!” jawabku datar dan singkat. “Oh cuma ngajar TK ya, Yu? Sayang banget padahal sejak sekolah nilai kamu bagus terus!” Dia tampak menyayangkan, padahal aku saja yang menjalaninya baik-baik saja. Apa semua hal dinilai dengan materi di mata mereka. Ah, andai saja dia tahu hasil penjualan novelku dan hasil kontrak dengan production house dapat angka berapa. Namun, gunanya apa juga kalau kusombongkan padanya. Justru dengan aku menampakkan diri jadi orang gak punya, semua malah terlihat aslinya. “Iya sayang banget, Yu! Aku saja yang dulu nilainya rata-rata, kerjanya sekarang jadi customer service! Gaji UMR, ditambah fasilitas kantor lengkap! Tiap tahun dapat jalan-jalan juga dari perusahaan.” Ah siapa lagi yang datang. Rupanya Intan sudah berdiri dan tengah mengisi daftar hadir juga. Gini nih gak enaknya duduk di kursi panitia, huh. “Iya dapetnya itu!” jawabku lagi seraya mencoba tetap bersikap biasa. Intan ini memang dulu bukan bintang kelas dalam urusan nilai, tetapi seingatku dia itu supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Satu lagi yang membuat dia menang yaitu postur tubuh tingginya yang berbanding terbalik denganku. “Rudi, Intan! Sini!” Kudengar suara memanggil mereka. Salsa tampak melambaikan tangan ke arah lelaki itu. Akhirnya aku bisa bernapas lega ketika Rudi dan Intan berpamitan dan bergabung dengan geng Dewi dan teman-temannya dan tampak mereka berfoto-foto. Aku hanya menggeleng kepala melihat tingkah Dewi. Bagaimana tidak, di mana-mana orang yang ngefans yang minta foto sama artis. Ini dari tadi, setiap orang datang Dewi ajakin berfoto. Kayaknya hanya aku saja yang gak dia ajak, maklum makhluk astral dan gak selevel sama mereka. Waktu sudah setengah jam berlalu ketika tampak sosok seseorang yang kutunggu datang. Harum datang dengan menggendong Azril---anak lelaki berumur dua setengah tahun yang tengah aktif-aktifnya. “Ya ampuuun, Yu! Kamu jadi panitia, ya?” Harum gegas mengisi buku kehadiran. “Enggak, Rum!”Aku menjawab singkat seraya bangun lalu mencubit gemas pipi Azriel. “Lah terus ngapain di sini bengong sendirian!” tanyanya seraya meletakkan ballpoin. “Tadi gabung sama Marwah dan Selvi, eh merekanya ke sana. Masalahnya kan yang kenal sama aku kan kamu doang!” kekehku seraya bangkit lalu mengambilkan kotak kue untuk Azriel dan Harum. “Eh, Yu! Yang dikasih orang tuanya saja! Anggota keluarga tambahan kalau gak bayar gak dapet!” Kudengar suara Marwah. Aku menoleh padanya dan tersenyum. Rupanya ada Salsa juga yang datang dan hendak mengambil kue. “Ini jatahku, Mar! Aku kasih Azriel.” Aku tersenyum dan menoleh pada Silvi dan Marwah yang baru saja pada kembali. Mungkin mereka datang melihat sudah makin banyaknya alumnus yang sampai. “Oh ok, yakin kamu kasihin Azriel, Yu! Itu kuenya enak tahu! Kelas premium juga! Mana ada di jual diluaran!” tukas Marwah seraya menatapku. “Sudah sih biarin saja, Mar! Biasanya kalau lidah kampung itu gak cocok sama makanan kota! Aku sih yakin, pasti Ayu gak pernah tuh nyicip kue kayak ginian!” Ah, cabai mahal memang pedas, tapi mulut Salsa kok lebih pedas, ya? “Iya gak apa, kok! Lagian bener lidah kampung aku gak cocok juga makan kue mahal!” tukasku sengaja merendah. Merendahlah serendah-rendahnya biar mereka bingung mau rendahin aku kayak gimana lagi. “Ehmmm … tujuh tahun rupanya tak mampu membuat kebaikan kamu luntur, Yu! Inilah yang bikin kamu tuh selalu beda sama orang lain!” Eh, tiba-tiba suara seseorang muncul dan membuat kami menoleh. Seketika aku menelan saliva. Sosok tinggi tegap yang masih konsisten dengan alis tebalnya sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berada. Tatapan itu mengarah ke arahku. Sorot mata yang rasanya masih sama dengan waktu tujuh tahun lalu. Lingga Bardion---lelaki yang sudah menjadikan alasan Dewi membenciku setengah mati tengah tersenyum ke arahku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN