Bab 7

1270 Kata
“Yon, Yu! Ini kartu nama paksu, di sini ada alamat kantornya! Kalian nanti janjian saja, ya! Kita ketemu di sana nanti dan bahas masalah ini lagi.” Renata mengulas senyum penuh harap. Aku dan Dion sama-sama saling menerima kartu nama tersebut. Terima saja, dulu. Mikirnya nanti saja setelah hatinya tenang. Aku bisa tanya dulu sama Ibu untuk minta pertimbangan. Entah apa sekarang tujuanku, beneran buat minimarket ini atau buat Dion? Duh, kacau lah kalau urusan hati. Aku ini memang sedikit plin plan kalau sudah bicara soal Dion. Lelaki yang namanya terukir pertama kali di dalam lubuk hati sini. Hmmm … tapi apakah dia masih menyimpan rasa itu untukku? Kartu nama dari Renata aku simpan juga. Ada alamat kantor suaminya di sana. Begitu pun dengan Dion. Dia pun memasukkan kartu nama itu ke dalam dompetnya. Bahasan beralih seiring dengan datangnya Pak Faqih. Namun tak berapa lama, terdengar suara panitia yang membawakan acara menyita perhatian. Obrolan kami terhenti dan beralih menatap ke arah depan. Rupanya yang didaulat menjadi pembawa acara yaitu Karmin---lelaki yang sedikit gemulai dan juga Hana---teman kelas kami yang jago olah raga dan cukup tomboy. Para mantan siswa yang sudah berdatangan dari semua kelas angkatan kami, sudah memenuhi ballroom berkapasitas lima ratus orang ini. Hanya terisi setengahnya lebih sedikit. Beberapa mampir ke meja di mana kami duduk, menyapa lalu beralih mencari gengnya masing-masing. Begitulah, namanya saja reuni kelas seangkatan, padahal yang benar-benar pengen ditemui hanya segelintir orang. Ya, meskipun tak menampik jika aku cukup salut dengan antusiasme semua teman-teman kami. Bahkan ada yang datang dengan membawa anaknya yang masih berusia bayi. Banyak yang sudah menikah dan memiliki anak, beberapa masih single sepertiku. Ada juga yang sudah menduda atau menjada. Aku, lebih banyak jadi pendengar ketika semua hiruk pikuk itu sudah mulai ramai. Kudengar MC melantunkan guyonan, beberapa orang riuh tergelak melihat aksi lucu Karmin dan Hana. Dua manusia yang statusnya sama-sama masih single. “Baiklah … tak ada waktu yang terkikis habis di antara kita, untuk mempersingkat waktu dan meringkas acara, yuk yang mau ngasih sambutan! Siapa sekarang Hana?” Karmin berucap dengan lincah, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan lincah. Jemarinya yang lentik memegang microphone, sementara sebelahnya memegang kertas satu lembar yang entah apa isinya. “Dih, nanya gue lagi! Makanya yang diisi itu bukan hanya perut, Mas Bro! Otak sama kantong juga perlu!” seloroh Hana seraya mencebik. Rambutnya yang tipis tampak mengembang karena menggunakan hair spray dan dibuat keriting menggantung. Dress panjang yang warnanya diset senada dengan Karmin tak juga membuat postur tubuhnya yang tinggi menjulang menjadi anggun dan elegan. Gaya berdiri dan jalannya masih terlalu gagah untuk disebut jika penampilannya sudah seperti perempuan. “Duh, maafkan kami, Bestie! Kadang di mulut berlainan, tapi di hati sih masing-masing!” Karmin tergelak. Meski menurutku gak ada lucu-lucunya. “Marilah kita sambut Lingga Bardion---ketua acara reuni angkatan millenial yang katanya masih single dan makin kece badayyyy! Mas Bro Dion, ditunggu!” Hana pada akhirnya memanggil penanggung jawab acara. Eh, rupanya dia yang menjadi penanggung jawab acara. Ah, dasar aku bahkan tak membaca siapa yang tanda tangan pada surat edaran yang hanya dikirim melalu w******p itu. Aku hanya lihat tanggal saja setelah Pak Faqih datang ke rumah itu pun. Lalu, apakah artinya Dion tahu terkait penghargaan yang katanya Pak Faqih mau diserahkan padaku atas keberhasilan novelku yang masuk rumah produksi? Ah entahlah … tapi sudut mataku menatap ke arahnya. Dia berdiri dengan penuh percaya diri lalu melangkah dan menuju panggung dengan gagah. Jika melihatnya kayak gitu, aku kok jadi ragu. Apa iya dia masih single? Dalam artian, apakah cowok sekeren dan seganteng itu bener-bener belum punya calon istri? Lagian tak pernah juga ada kata jadian dulu tuh, hanya mendengar pernyataan dia di depan teman-temannya dan jalan gitu saja. Jadi, aku juga gak bisa claim kalau dia itu calon masa depanku, dahlah. “Ahm, Yu! Saya mau ada yang dibicarakan, bisa ikut sebentar!” Kudengar suara Pak Faqih yang duduk di seberang meja. “Bicaranya di mana, Pak?” Aku menatap lelaki berpostur tak terlalu tinggi itu. Namun tatapannya yang meneduhkan dan senyumnya yang manis dengan cekungan pada pipi kirinya membuat penampilannya cukup bisa dibilang enak dipandang. “Ikut saya, Yu!” tukasnya seraya bangkit. Aku menoleh pada Harum yang memang duduk di sampingku. Sepertinya hanya dia yang menyimak obrolan kami. Selebihnya tatapannya terfokus pada Dion yang sudah memegang mic yang diberikan Hana dan sudah berdiri dengan penuh pesona. “Aku pergi dulu ya, Rum!” Dia mengangguk seraya mengambil air mineral lalu memberi Azril yang tengah makan kue itu minum. “Iya, Yu! Tar balik sini lagi, ya!” Aku mencondongkan tubuh ke arah Harum lalu berbisik. “Tar aku cari meja lain yang kosong saja, Rum! Kamu betah semeja dengan mereka?” “Oh, oke, oke!” Harum mengangguk tanda setuju. Aku bangkit, lalu berjalan mengikuti langkah Pak Faqih. Sesekali dia mengangguk dan melambaikan tangan ketika beberapa mantan siswa itu menyapa. “Cieee, mau ke mana?” Bu Isma---guru bahasa Indonesia yang tengah duduk dengan beberapa orang guru yang juga kukenal menyapa. “Ibu kok pakai cie, cie segala! Gimana sehat, Bu?” Aku menghampiri mereka lalu mengulurkan tangan dan menyapa mereka satu per satu. Basa-basi sebentar dengan para orang yang sudah memberikanku bekal ilmu pengetahuan. Bu Isma mencondongkan tubuh ke arahku lalu berbisik seraya melirik ke arah Pak Faqih yang turut menyapa mereka juga. “Biasanya dia gak ikut, tapi kemarin semangat banget karena mau ngundang kamu.” Eh, apa ini maksudnya? Aku hanya bisa menautkan alis dan tersenyum samar pada Bu Isma. “Kok bisa gitu sih, Bu?” selidikku sedikit berbisik juga. “Nanti juga kamu tahu sendiri,” kekehnya. Namun lirikannya pada Pak Faqih tampak penuh makna. “Ayu, mari!” Kudengar Pak Faqih memanggilku. Aku pun mengangguk dan berpamitan pada Bu Isma. Lalu mengikuti langkah Pak Faqih yang berjalan menjauhi ball room dan menuju ke arah lobi hotel. “Duduk di sini, Yu! Maaf minta waktu kamu sebentar,” tukasnya seraya mengajakku duduk pada kursi yang masih kosong dan sedikit terpisah. “Gak usah minta maaf juga lah, Pak! Sudah kayak sama siapa?” Aku mengikuti instruksinya dan duduk pada kursi yang berseberangan dengan dia. Kami hanya terhalang meja kotak segi empat dengan masing-masing satu kursi kosong di sisi kami. Dia terkekeh, lalu tampak sedikit salah tingkah dengan menyugar rambutnya yang sebetulnya tak panjang. “Saya bangga sama kamu, Yu! Tujuh tahun menghilang tanpa kabar dan tak pernah datang dalam acara reuni, eh tahu-tahunya ada kru film yang datang ke sekolah dan minta izin buat syuting beberapa adegan!” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Memang aku tak memberitahukan awalnya terkait pinangan ini. Namun memang ada beberapa setting lokasi yang kuambil di sekolahan dan dari kru film, ingin mengambil setting di sekolah asli. Katanya biar terasa lebih nyata dan feelnya ada. “Alhamdulilah, rejeki saya, Pak.” Aku hanya menjawab singkat. Meskipun memang aku tak menggembor-gemborkan nama penaku pada dunia luar, tetapi aku juga pada akhirnya tak bisa menyembunyikan dari pihak sekolah karena kru film memaksa ingin mengambil setting di lokasi aslinya. “Semoga ajang penghargaan dalam reuni angkatan kalian ini, bisa menjadi untuk teman-teman yang lain untuk tetap berkarya di mana saja. Namun, sebetulnya ada hal lain yang ingin saya sampaikan.” Dia tampak sedikit kikuk. “Hal apa, Pak?” tanyaku penasaran. Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya. “Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya. Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN