Kulihat Pak Faqih menelan saliva. Namun perlahan dia mengeluarkan satu buah amplop dari dalam sakunya.
“Kamu bisa baca ini nanti, ya! Saya tak bicara langsung di depan kamu, hanya karena saya tak mau kamu shock kalau langsung mendengarnya,” kekehnya.
Aku menautkan alis dan menerka-nerka isi amplop yang kini sudah ada di atas meja dan diangsurkan padaku.
Aku bergeming, tapi tak urung juga kutarik amplop putih yang bentukannya seperti amplop kondangan itu. Hati penasaran, apa isinya? Masa sih aku dikasih uang? Duh geer banget, ya?
“Hmmm, dikasih amplop gini, kok saya jadi deg-degan ya, Pak!” candaku seraya memasukkan amplop putih itu ke dalam tasku.
“Jangan sampai pas dibuka nanti pingsan,” kekeh Pak Faqih lagi. Justru hal ini makin buat aku penasaran.
“Duh makin penasaran jadinya. Buka sekarang saja, ya!” Aku mencoba menarik ujung amplop dari dalam tas.
“Acara sudah dimulai loh, Yu! Gak seru kalau pas dipanggil ke depan kamunya gak datang karena pingsan.” Dia bicara dengan pelan. Namun entah kenapa, aku merasa dirinya tengah menyembunyikan sesuatu hal.
“Sedahsyat itukah isi dari amplop ini, Pak?”
“Bisa jadi.”
“Justru makin dahsyat, makin pengen tahu saya isinya, Pak.”
Aku pun lekas mengeluarkan amplop itu di depan Pak Faqih karena memang benar-benar penasaran atas isinya. Dia berulang menarik napas panjang.
Ujung kertas sudah menyembul, tetapi suara Pak Faqih membuat tanganku tertahan dan menghentikan gerakan untuk mengambil amplop tersebut.
“Ahm, Yu! Saya ke toilet sebentar!” tukasnya.
“Iya, Pak.” Aku hanya mengangguk lalu menarik kertas itu dengan santai. Kubuka lipatannya, ternyata hanya sebuah surat. Entah surat apa sampai katanya bisa membuat aku pingsan. Sudah seperti lagi mau menunggu hasil kelulusan saja rasanya.
Beberapa orang berwara-wiri di lobi, tetapi tak mengubah fokusku pada lipatan yang lembarannya mulai kubuka ini. Rupanya hanya ada beberapa deret yang diketik dengan komputer.
[Assalamu’alaikum, Ayunda!]
Aku mengucap salam dulu dalam d**a menjawab satu kata berisi doa yang terucap dari bibirnya.
[Tujuh tahun sudah berlalu, kalian sudah bukan lagi siswa yang harus saya bimbing seperti dulu. Masa sudah membuat kamu menjadi dewasa, begitu pun dengan saya. Kita sudah menjadi dua orang dewasa yang memiliki jalan dan hidup yang berbeda.]
Aku menautkan alis, paragrafh pertama saja sudah terlihat jika isi surat ini bukan hal formal. Namun, masih penasaran, untuk apa dia sampai mengirimi surat seperti ini padaku? Aneh memang, padahal dari tadi saja ketemu, apa susahnya tinggal bilang. Lalu aku melanjutkan lagi pada paragraph berikutnya yang dia ciptakan.
[Dalam hal ini, saya berbicara bukan sebagai seorang guru lagi pada muridnya, tetapi sebagai seorang lelaki dewasa pada perempuan yang sudah terpilih setelah melalu serangkaian istikharoh yang saya lakukan.]
Duh, tangan mulai gemetar, nih. Pakai bawa-bawa istikharoh segala. Benar kali, ya … bisa-bisa aku pingsan kalau maksain buat baca, tapi aku penasaran, ya mau gimana?
[Bismillah, dengan ini … saya bermaksud menyampaikan niat baik saya pada Ayu, karena saya sudah yakin sekali jika Ayu adalah perempuan terpilih, dan hati saya sudah memilih Ayu. Pada penghujung surat ini, saya hanya ingin menanyakan apakah Ayu bersedia menjadi istri saya?]
Deg!
Seketika seperti ada tombol yang auto aktif dan membuat seluruh jaringan dalam pembuluh nadi saling terhubung. Kaki seraya tak menapak tanah ketika memebaca deret kalimat pada paragraph terakhir. Apakah ini maksudnya aku dilamar?
Aku masih mengumpulkan kewarasan ketika tiba-tiba sosok itu sudah ada lagi di depanku. Kali ini justru malah wajahnya yang tampak tenang. Aku yang kikuk, canggung dan bingung.
“Maaf, kalau buat kamu shock, Yu!”
Pak Faqih sudah berdiri tak jauh dariku dan di tangannya membawa satu ikat buket mawar. Aku tercekat dan menggeleng perlahan. Apa semua ini? Apakah sebenarnya ini yang membuat dia berulang membujukku untuk datang ke acara ini? Jadi yang dia bilang karena ingin memberikan pengharagaan untuk alumni berprestasi itu hanya sebuah alibi?
Aku tersenyum samar, bingung harus menjawab apa dan bertindak seperti apa sekarang. Namun aku memberanikan diri mengangkat wajah dan menatapnya.
“Hmmm … apa Bapak gak salah orang?” tanyaku memastikan.
“Tidak, sejak dulu saya memang sudah menilai kamu. Hanya saja, tujuh tahun lalu, saya merasa kita terhalang status. Guru pada murid, seperti tak bijak. Namun, sekarang … kita sudah sama-sama menjadi manusia dewasa dan kita dipertemukan kembali masih tak saling terikat!”
Duh, tenggorokanku terasa tercekat. Aku berulang kali menelan saliva agar kerongkongan ini terasa basah. Bahkan aku masih mengatur detak jantung yang bertalu lebih cepat. Tak menyangka, benar-benar tak menyangka akan mendapatkan ungkapan perasaan dari seseorang yang selama ini memang kukagumi karena kelembutannya. Ya, Pak Faqih adalah orang yang hampir tak pernah marah. Namun, jika ditanyakan apakah aku cinta, jawabannya pasti tidak. Bahkan hati ini masih belum bisa move on dari sosok Lingga Bardion yang bagiku memang dirinya terlalu sempurna.
Pak Faqih seperti paham jika aku benar-benar shock, dia pun mengangsurkan buket mawar merah yang sepertinya sudah dia persiapkan.
“Ini buat kamu! Biar kayak anak muda, pakai bunga!” kekehnya. Dia mengangsurkan bunga itu padaku.
Aku, bingung. Beneran bingung harus berbuat apa sekarang? Di tengah kebingunganku, kudengar suara baritonnya kembali membuka suara.
“Saya tak meminta kamu menjawab sekarang, Yu! Makanya ‘kan tadinya saya suruh kamu baca nanti biar gak shock. Eh, kamunya maksa,” kekehnya.
Aku menghela napas panjang seraya mengulas senyum yang dipaksakan. Benar, aku tadi yang ngeyel. Kan sekarang jadinya canggung dan bingung.
“M--Makasih, Pak.”
Aku menjawab dengan gugup. Tujuh tahun, hampir tak ingat lagi gimana ada orang yang memberikan perhatian seserius ini. Aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar setelah pulang ngajar, sudah seperti melupakan romansa yang memang terjadi di dunia nyata.
“Saya yang makasih sama kamu, Yu! Makasih karena sudah tak pingsan ketika membaca isi surat yang saya tuliskan!” kekehnya. Dia tampak mencoba bercanda dan mencairkan suasana, lalu dia kembali melanjutkan ucapannya, “Namun, saya sangat berharap kamu memberikan jawaban secepatnya pada saya! Andai kamu sudah menjawab, ya. Saya tak ingin menunggu waktu lama lagi dan akan segera datang ke rumah kamu, kita halalkan langsung hubungannya dalam ikatan pernikahan.”
Aku menunduk, tulang-tulang kaki seraya terlepas dengan betisnya. Mungkin ketika berdiri, aku bisa-bisa kembali ambruk dibuatnya. Jemariku kembali memilin ujung kerudung. Namun suara koor dari arah samping membuatku menoleh.
“Terima! Terima! Terima!”
Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka.
Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!