Kenyataan Menyakitkan

2424 Kata
"Ke mana kau akan mengajakku?" Pertanyaan Yaoshan itu terjawab sudah saat Guru Zhao rupanya mengajak dia memasuki area istana. Tempat yang sangat dirindukan Yaoshan karena menyimpan banyak kenangan tentangnya dan orang tuanya kini terpampang di depan mata. "Kenapa kau mengajakku ke sini?" "Karena kau harus melihat bagaimana kondisi istana sekarang. Lagi pula apa kau tidak penasaran bagaimana kondisi istana setelah kau tinggalkan?" Yaoshan tertegun, benar dia memang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi dengan istana ini setelah kepergiannya dan kematian orang tuanya. Mereka berjalan menelusuri lorong istana, tentu saja tak ada yang bisa melihat mereka karena sosok mereka hanyalah jiwa dan bukan raga asli. Langkah mereka terhenti saat mereka melihat sebuah keramaian tak jauh dari tempat mereka berada. "Ada apa di sana?" tanya Yaoshan, tentu merasa penasaran karena orang-orang tampak berkerumun. Tidak salah lagi itu merupakan beberapa prajurit istana yang entah sedang melakukan apa karena selain berkerumun, mereka juga menimbulkan keributan karena terdengar suara tawa mereka yang saling bersahut-sahutan. "Untuk menjawab pertanyaanmu itu, kenapa tidak kau lihat sendiri apa yang sedang terjadi di sana?" Yaoshan tahu percuma dia bertanya pada pria tua di sampingnya, karena itu dia pun maju mendekati kerumunan itu. Mengingat tubuhnya transfaran dan bisa menembus tubuh-tubuh prajurit yang sedang berkerumun itu, dengan mudah dia bisa maju ke depan dan melihat pusat kerumunan. Di detik berikutnya, Yaoshan melebarkan mata. "Tolong ampuni kami." Suara lirih penuh permohonan yang menyayat hati itu berasal dari beberapa dayang yang rupanya sedang dianiaya oleh para prajurit. Kondisi mereka menyedihkan karena tampaknya para prajurit sedang melecehkan mereka. Pakaian mereka dilucuti hingga menyisakan pakaian dalam saja. Ironisnya kejadian keji ini terjadi di tempat umum yang bisa dilewati siapa saja, alih-alih di dalam ruangan yang tertutup. "Mengampuni kalian? Cih, itu tidak mungkin. Salah kalian yang lebih memilih tetap setia pada majikan kalian yang sudah mati. Kaisar, permaisuri dan putra mahkota sudah mati, tapi kalian tetap bersikeras mengabdi pada mereka dan menolak mengabdi pada majikan kalian yang baru," ujar salah seorang prajurit yang berdiri di baris depan dan tampaknya menjadi orang yang paling bersemangat melecehkan para dayang yang jika dihitung berjumlah empat orang tersebut. Yaoshan yang mendengarnya terbelalak, jadi itu alasan para dayang itu dilecehkan, hanya karena mereka tidak mau mengabdi pada para pemberontak dan memilih tetap setia pada majikan mereka yang dulu. Yaoshan mengepalkan tangan terutama saat dia menelisik penampilan para dayang yang sudah berpenampilan setengah telanjang itu dan menyadari mereka memang dayang-dayang yang sudah tidak asing baginya. Para dayang itu tidak lain merupakan dayang-dayang yang bertugas melayaninya di istana kediamannya dan juga melayani sang ibu di istana kediaman permaisuri. Kedua tangan Yaoshan terkepal erat, amarah menguasainya. Ada rasa ingin menolong dayang-dayang itu, tapi dia tak tahu harus melakukan apa untuk menolong mereka. "Cepat kalian katakan menyesali perbuatan kalian dan mulai sekarang akan mengabdi dan melayani Pangeran Changhai dan juga keluarganya yang akan menjadi penghuni baru istana ini sekaligus majikan baru kalian!" Walaupun perintah itu mengalun dengan keras, keempat dayang tetap bersikeras pada keputusan mereka. Mereka tak akan pernah melupakan sumpah yang sudah mereka ikrarkan saat pertama kali terpilih sebagai dayang istana dan ditugaskan untuk melayani Permaisuri Liu Fei dan Putra Mahkota Liu Yaoshan. Kepala mereka pun menggeleng dengan serempak. "Oh, begitu. Baik, karena kalian tetap keras kepala dan berani menentang perintah, kami tidak akan segan-segan lagi pada kalian. Cepat beri mereka pelajaran!" Dengan mata kepalanya sendiri, Yaoshan melihat keempat dayang itu disiksa sedemikian rupa. Mereka dicambuk menggunakan cambuk berduri sehingga tubuh mereka penuh dengan luka sobekan yang mengeluarkan darah segar. Hanya suara teriakan kesakitan yang terdengar sangat memilukan dari keempat dayang yang malang itu. Yaoshan yang melihatnya tak kuasa menahan kesedihan sehingga kedua matanya berkaca-kaca, suara teriakan kesakitan para dayang membuat hatinya sakit bukan main. Ingin rasanya dia menolong mereka sehingga dia pun maju ke depan. "Berhenti! Berhenti kalian semua! Jangan siksa mereka lagi!" teriak Yaoshan pada beberapa prajurit istana yang sedang mencambuki keempat dayang yang hingga detik ini masih mengalunkan teriakan kesakitan. Namun, tentu saja usaha Yaoshan untuk menghentikan para prajurit itu tak membuahkan hasil apa pun karena suaranya tak bisa mereka dengar. Jangankan suara teriakan, bahkan sosok Yaoshan yang berdiri di depan keempat dayang, menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindungi mereka pun tak bisa terlihat. "Siram mereka dengan air garam!" Perintah yang lebih kejam dibandingkan sebelumnya kembali mengalun. Tubuh yang penuh dengan luka robek mengeluarkan darah segar, jika disiram dengan air garam tentu rasa perihnya tak akan tertahankan. Yaoshan terbelalak, tak mampu membayangkan penderitaan dan siksaan yang sebentar lagi akan diterima para dayang tersebut. "Hentikan! Aku mohon hentikan! Jangan siksa mereka lagi!" Yaoshan kembali berteriak mengutarakan permohonannya seolah dia lupa bahwa tindakannya itu hanya sia-sia. Pria itu merentangkan tangan ke samping, menjadikan dirinya sekali lagi sebagai tameng untuk melindungi keempat dayang, akan tetapi hasilnya tetap sama. Usahanya untuk menolong para dayang tak membuahkan hasil apa pun. Suara jeritan kesakitan para dayang tetap menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Yaoshan memejamkan mata, tak sampai hati melihat penyiksaan tanpa belas kasihan itu terpampang nyata di hadapannya. Dia lalu menutup telinga dengan kedua tangannya, berharap dengan itu dia tak akan lagi mendengar suara teriakan kesakitan para dayang, nyatanya semua usahanya gagal total karena suara jeritan memilukan itu tetap terdengar dengan jelas. "Apa sekarang waktunya kita membunuh mereka?" "Tidak, jangan dulu. Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu dengan tubuh mereka sebelum melenyapkan nyawa mereka?" "Ah, itu ide yang bagus. Lagi pula Yang Mulia Pangeran Changhai mengizinkan kita melakukan apa pun yang kita suka pada para pengkhianat seperti para dayang bodoh ini." "Ya, kau benar. Ayo kita bersenang-senang dengan mereka dulu." "Bagaimana kalau kita seret mereka ke dalam ruangan?" "Huh, untuk apa melakukannya di dalam ruangan? Kita lakukan saja di sini?" "Hah? Yang benar saja? Ini di luar, tempat umum yang bisa dilewati siapa saja?" "Memangnya kenapa kalau ini tempat umum? Malah bagus karena jika ada dayang lain yang melihat perbuatan kita pada rekan-rekan mereka yang berkhianat ini, itu akan jadi pelajaran untuk mereka agar mereka tidak berani melawan kita atau mereka akan bernasib sama dengan rekan-rekan mereka yang para pengkhianat ini. Dan jika prajurit lain yang melihat, itu juga bagus … mungkin mereka ingin bergabung bersama kita." "Ah, kau benar juga. Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo kita bersenang-senang sekarang." Para prajurit istana yang jika dihitung berjumlah sekitar tiga belas orang itu pun benar-benar melakukan niat b***t yang mereka perbincangkan tadi. Mereka berniat melecehkan keempat dayang yang tubuh mereka sudah dipenuhi luka menyakitkan. Yaoshan merasa tindakan para prajurit itu sudah tak termaafkan lagi. Dia ingin menyelamatkan para dayang, tapi tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan mereka karena tadi pun semua usahanya untuk menyelamatkan mereka berakhir sia-sia. Hingga dia teringat pada sosok yang membawanya ke tempat itu. Yaoshan berlari, meninggalkan kerumunan dan menghampiri sosok pria tua yang sejak tadi berdiri di tempat yang sama, tak beranjak selangkah pun. "Aku mohon kau selamatkan dayang-dayang itu," pinta Yaoshan setelah berdiri di depan Guru Zhao. "Kenapa kau berpikir aku bisa menolong mereka?" "Karena kau memiliki kekuatan luar biasa. Kau bisa menyelamatkan aku yang jatuh ke jurang, aku yakin kau pun bisa menyelamatkan para dayang itu." Guru Zhao menggelengkan kepala. "Sayangnya aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong mereka. Kondisiku sama denganmu, kita berdua hanya jiwa di sini. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menyaksikan kejadian yang terjadi di sini." Yaoshan menggeram tertahan tampak kecewa mendengar jawaban Guru Zhao tersebut. "Jika kita tidak bisa melakukan apa pun di sini, lalu kenapa kau membawaku ke sini? " "Sudah kukatakan agar kau tahu kengerian apa yang terjadi di istana setelah kepergianmu dan orang tuamu. Aku sudah menjelaskannya sejak awal. Aku harap setelah melihat semuanya, kau bisa menentukan jalan hidupmu untuk ke depannya, apa yang akan kau lakukan kelak untuk melanjutkan hidup, aku harap kau bisa menentukan pilihan setelah melihat kenyataan yang mengerikan ini." Yaoshan tertegun, merasa dirinya tidak berguna saat ini. Padahal ada pengikut setianya yang harus mengalami nasib tragis seperti ini karena mereka tidak ingin mengkhianatinya dan orang tuanya. "Aaaakhh!" Suara teriakan dari para dayang yang ketakutan karena para prajurit sudah mulai melancarkan aksi mereka mengalun sampai ke telinga Yaoshan. Dia tak tahan mendengarnya sehingga dengan cepat dia membekap telinga dengan kedua tangannya sendiri. Lalu suara tawa para prajurit yang tampak puas dan menikmati kesenangan mereka itu pun tak luput dari indera pendengaran Yaoshan. "Aku ingin pergi dari sini. Aku tidak tahan melihat kebiadaban mereka. Mereka tidak pantas lagi disebut manusia. Mereka lebih b***t dari binatang." Guru Zhao mengulas senyum. "Ya, kau benar. Sekarang kau sudah tahu bahwa orang-orang yang selama ini berpura-pura baik dan patuh di depanmu ternyata memiliki kepribadian buruk seperti itu. Ini yang ingin aku tunjukan padamu. Sekarang ikut aku, akan kuperlihatkan tempat lain padamu." Sebelum melangkahkan kakinya mengikuti Guru Zhao yang sudah dulu melangkah pergi, Yaoshan menatap sekali lagi pada pemandangan menjijikkan tak jauh darinya, di mana keempat dayang tengah dinodai secara bergiliran oleh ketiga belas prajurit tersebut. Yaoshan mengepalkan tangan, pemandangan menjijikkan nan menyayat hati ini tak akan pernah dia lupakan sampai kapan pun. Tak tahan menyaksikannya lebih lama lagi, Yaoshan pun mengikuti langkah Guru Zhao yang sudah cukup jauh di depannya. Tempat selanjutnya yang mereka datangi ternyata istana kediaman Permaisuri Liu Fei atau ibu kandung Yaoshan. Dengan mata kepalanya sendiri Yaoshan menyaksikan istana kediaman sang ibu kini ditempati oleh calon permaisuri yang baru atau istri Pangeran Changhai. Wanita yang tampak arogan itu tengah menikmati semua kemewahan yang seharusnya menjadi milik Permaisuri Liu Fei. Namun, kini direbut paksa oleh wanita itu. "Cepat keluarkan semua koleksi perhiasan permaisuri sialan itu dan tunjukan ke hadapanku!" titah wanita itu pada para dayang yang sejak tadi melayaninya. "Baik, Yang Mulia." Dengan serempak para dayang menyahut dengan patuh, lalu mereka mengeluarkan semua perhiasan yang begitu disayangi Permaisuri Liu Fei. Wanita arogan yang bernama Liu An itu tampak berbinar senang tatkala begitu banyak perhiasan yang kini diletakkan tepat di hadapannya. "Ternyata permaisuri sialan itu memiliki banyak koleksi perhiasan yang indah. Bagus, sekarang semuanya menjadi milikku. Hahaha." Suara tawanya terdengar membahana di dalam istana tersebut. "Bagaimana dengan pakaian mendiang Permaisuri Liu Fei, Yang Mulia?" Liu An mengibaskan tangan tampak tak berminat. "Buang dan bakar saja semua pakaiannya. Aku tidak sudi mengenakan pakaian orang yang sudah mati dan sekarang berada di neraka." Yaoshan yang mendengarnya tentu diliputi amarah dalam dirinya, wanita yang sebenarnya berstatus sebagai bibinya itu bertindak semena-mena pada barang-barang peninggalan mendiang ibunya. Yaoshan tak bisa menerima dan memaafkannya tentu saja. "Yang Mulia, ada banyak lukisan Permaisuri Liu Fei juga. Apa yang harus kami lakukan pada lukisan-lukisan itu?" tanya beberapa dayang yang baru saja menemukan koleksi sang mendiang permaisuri yang lain tersimpan di istana itu. "Lukisan? Coba bawa ke hadapanku." "Baik, Yang Mulia." Tak lama kemudian, beberapa dayang membawa banyak lukisan indah. Liu An mengernyitkan dahi saat melihat lukisan-lukisan tersebut. Sedangkan Yaoshan menatap sedih pada lukisan-lukisan yang sangat familiar baginya. Karena saat sang ibu membuat lukis-lukisan itu ada dirinya yang menyaksikan. Ya, semua lukisan itu mendiang ibunya yang membuat dengan tangannya sendiri, tanpa sadar Yaoshan mengulas senyum karena teringat kenangan indahnya yang banyak dia habiskan bersama sang ibu, dan lukisan-lukisan itu menjadi saksinya. "Lukisan-lukisan ini sangat indah. Siapa pelukisnya?" Suara Liu An kembali mengalun, menatap takjub pada lukisan-lukisan yang diletakkan di hadapannya. "Permaisuri Liu Fei sendiri yang membuatnya, Yang Mulia." Liu An melebarkan mata karena dia tak pernah tahu menahu bahwa mendiang permaisuri memiliki keterampilan melukis yang sangat hebat terbukti dari betapa indah lukisan-lukisan hasil tangannya. "Cih, jadi permaisuri sialan itu pandai melukis. Coba aku lihat apa saja yang dia lukis. Cepat tunjukan padaku!" Para dayang tak ada yang berani membantah sehingga mereka langsung melaksanakan seperti yang diperintahkan Liu An. Kini lukisan buatan tangan permaisuri Liu Fei dijejerkan di hadapan sang calon permaisuri yang baru. Liu An menelisik satu demi satu lukisan itu, hingga sebuah dengusan meluncur dari mulutnya saat melihat sebuah lukisan yang paling mencolok dan menarik perhatiannya. "Itu lukisan putra mahkota, bukan? Jika diperhatikan, dia pemuda yang tampan. Sayangnya dia tidak berguna. Awalnya aku berniat menjodohkan dia dengan putriku, agar putriku kelak bisa menjadi permaisuri, tapi ada bagusnya aku mengurungkan niat itu karena kupikir kasihan putriku jika harus menikahi pria manja, lemah dan tidak berguna seperti Pangeran Yaoshan. Oh, ya. Apa kalian sudah mendengar kabar tentang pemuda itu?" tanya Liu An seraya menatap para dayang yang berdiri di hadapannya secara bergantian. "Saya dengar putra mahkota telah tiada, Yang Mulia. Saat para prajurit mengejarnya, dia jatuh ke jurang di dalam hutan." Salah satu prajurit memberikan jawaban. Seketika Liu An memasang raut sumringah di wajahnya. "Benarkah itu? Jadi putra mahkota tidak berguna itu sudah mati?" "Benar, Yang Mulia. Itulah kabar yang saya dengar dari para prajurit yang telah kembali ke istana setelah mereka mengejar putra mahkota." Detik itu juga suara tawa Liu An kembali mengalun, lebih kencang dibandingkan sebelumnya. "Ah, artinya keputusanku tepat membatalkan niat menjodohkan putriku dengan putra mahkota manja itu. Kasihan putriku jika harus menjadi janda di usia muda." Suara tawa wanita itu pun kembali mengalun, terlihat sangat puas mendengar kabar kematian Yaoshan. "Lukisan-lukisan itu kalian bakar saja. Aku tidak sudi menyimpan barang buatan tangan permaisuri sialan itu!" "Baik, Yang Mulia." Mendengar perintah Liu An itu, tentu saja Yaoshan tak bisa menerimanya. Lukisan-lukisan yang menyimpan banyak kenangan indah dirinya dan sang ibu tidak akan dia biarkan dihancurkan begitu saja. Yaoshan mencoba menghentikan. Dia berlari, menghampiri para dayang yang sedang membawa lukisan-lukisan itu, siap untuk mereka bakar seperti yang diperintahkan Liu An. "Hentikan! Jangan bakar lukisan buatan ibuku! Hentikan kalian semua!" teriak Yaoshan seolah dia lupa tindakannya itu sama sekali tidak ada artinya maupun tidak berpengaruh sedikit pun. Yaoshan berusaha menghentikan dengan terus berteriak memohon agar lukisan-lukisan itu tidak dibuang, apalagi sampai dibakar. Dia mengejar para dayang yang tengah membawa lukisan, mencoba menghalangi langkah mereka dengan berdiri sambil merentangkan kedua tangan di depan mereka, tapi hasilnya selalu nihil. Jangankan bisa menghentikan mereka, bahkan tubuhnya ditembus dengan mudah oleh para dayang, suaranya pun tak bisa didengar. Yaoshan belum mau menyerah karena itu dia berlari menghampiri Guru Zhao yang sejak tadi hanya berdiri dalam diam tanpa melakukan tindakan apa pun. Hanya menyaksikan tanpa menghentikan tindakan semena-mena yang dilakukan Liu An. "Tolong hentikan mereka, aku mohon," pinta Yaoshan seraya menangkupkan kedua tangan di depan d**a berharap Guru Zhao akan iba dan bersedia melakukan sesuatu untuk membantunya menghentikan kejadian ini. "Percuma kau memohon padaku, Pangeran. Kau tahu persis apa jawabannya karena tadi aku sudah menjelaskan keadaan kita yang tidak berdaya ini." Setelah itu, Yaoshan hanya bisa meneteskan air mata. Bahkan menyelamatkan benda peninggalan yang sangat berharga dari mendiang ibunya pun tak bisa dia lakukan. "Kuatkan hatimu, Pangeran. Karena setelah ini masih banyak kebenaran yang menyakitkan hatimu yang akan kau lihat sebentar lagi." Yaoshan tak mengatakan apa pun karena sungguh sekarang dia sedang merutuki dirinya yang lemah dan tidak berdaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN