“InsyaAllah saya tidak akan lari. Saya akan bertanggung jawab,” jawab Maira menunduk.
“PERGILAH!” pinta Kanz dengan kasar sambil menunjuk ke arah pintu.
Maira keluar dengan kondisi hidung disumbat tisu. Masih ada darah yang mengalir hingga sekarang.
“Maira, hati-hati!” jerit Deni lalu melirik sahabatnya dan berjalan menuju meja. “Minum, Riq.” Deni memberikan segelas air padanya.
Kanz meneguknya sampai tandas. Perempuan itu, membuatku naik tensi.
“Istighfar, Riq. Istighfar.”
“Sudahlah, ayo kita pergi. Nanti biar orang bengkel saja yang menderek mobilku.” Kanz merampas map di atas meja dan menuruni anak tangga. Tidak sengaja melihat Maira menangis di sudut dekat gudang. Seorang pekerja lain menghiburnya. Kanz menarik pandangannya tanpa senyuman dan keluar dari kafe menuju mobil Deni.
Deni melihat Maira tesedu-sedu. ‘Ck, Zariq keterlaluan!’ gumamnya lalu mendatangi Maira.
“Maira, kau baik-baik saja?” tanya Deni.
Maira menyeka air matanya kemudian mengangguk. “Iya, Pak! Saya tidak apa-apa.”
TIN.TIN.
Kanz membunyikan klakson agar Deni segera keluar. Waktu janjiannya tidak akan terkejar bila dia masih tenggelam dalam masalah hari ini.
Deni berlari menuju mobil dan segera melaju cepat sesuai instruksi dari Kanz.
Dalam perjalanan, Deni tidak lagi membahas mengenai Maira, takut kalau temannya itu malah mendendam sangat kuat pada kejadian tadi.
Kanz sedang memperhatikan isi surat perjanjian yang akan dibicarakan dengan pihak investor di Bandung.
“Riq, apa mama papamu tahu kalau kau bangun usaha baru?”
“Enggak. Jangan sampai kau kasih tahu ya!”
“Iya, tenang saja. Aku tidak bakalan bilang ke mereka.”
“Baguslah.”
“Jadi perusahaan baru mu ini bergerak di bidang apa, Zariq?” tanya Deni.
“Perancangan dalam dan luar ruangan,” jawabnya.
“Berarti kau bakalan rekrut pegawai baru dong?”
“Mmh.”
"Aku ada kesempatan jadi karyawanmu tidak?” Deni berusaha menawarkan diri.
“Kau bisa apa?” tanya Kanz.
“Asem ya, Riq! Teman sendiri tidak tahu apa bakatnya. Percuma kita sama-sama beberapa tahun ni.”
“Haha, aku mana paham dirimu seratus persen. Aku cuman tahu kau itu maniak sama perempuan.” Kanz cekikikan.
Deni mengambil tisu di sampingnya lalu melempar Kanz dengan benda itu. Kanz menangkapnya lalu meletakkannya kembali dengan tertawa.
“Nanti deh, aku pikirin lagi. Kau persiapkan saja bakat terbaik dan bekal saat wawancara. Palingan nanti aku cari tukang instalasi listrik dan kau kan paling jago dalam hal itu.”
“Nah, Cakep!”
Kanz tersenyum, menutup mapnya dan meletakkan ke jok belakang. Kanz mengambil ponselnya dan menghubungi montir yang biasa menangani mobil-mobil mewahnya.
“Jemput mobil saya di kafe. Kacanya pecah, perbaiki kerusakan dalam waktu cepat. Tulis semua rincian perbaikan dalam file, harus terdata lengkap, saya gak mau ditagih kalau gak ada rincian biayanya seperti kemarin.”
“Siap, Bang!”
Kanz menutup telepon dan mengantonginya lagi.
“Cewek itu, buat aku pusing saja. Berani-beraninya dia buat masalah samaku,” gerutu Kanz mengingat wajah Maira yang sok polos di rasanya.
“Jangan gitulah, Riq. Dia kan tidak sengaja.”
“Kau tau berapa biaya perbaikannya? Bisa aku tangguhkan gajinya selama setahun!”
“Kau harus selidiki latar belakangnya, nanti kau menyesal memperlakukan karyawanmu begitu. Entahnya dia punya tanggungan di rumah? kalau kau tahan gajinya setahun, bagaimana dia makan?”
Kanz menghela napas panjang.
“Lagian ni ya, hartamu kan seabrek-abrek juga, tidak bakalan berkurang jumlahnya kalau cuma keluar jutaan.”
“Jutaan? Haha, bisa habis puluhan juta itu, Den.”
“Ya sudah, kau ingat kata-kataku. Sebelum suruh dia bayar penuh, kau harus perhatikan latar belakang keluarganya.”
Kanz diam saja dan fokus memperhatikan jalan, sifat keras kepalanya kadang membuat Deni kesulitan.
“Dia tidak sengaja, kalau kau tidak percaya samaku, kau lihat saja CCTV. Semoga saja ada buktinya,” lanjut Deni.
Pertemuan yang dikejar, akhirnya selesai juga. Investor yang sedang dimintanya bekerja sama menyetujui perjanjian.
Kanz merasa senang. Sedikit lagi langkahnya akan terpenuhi untuk menjalankan bisnis baru yang dibuat tanpa embel-embel nama papanya.
Kanz ingin sukses dengan jerih payahnya sendiri. Seperti kafe yang saat ini telah beroperasi merupakan kegigihannya mencari rating tersendiri untuk bisnisnya.
Papanya terus memaksa Kanz sebagai putra tunggal perusahaan dari pria makmur yang telah menjalani bisnis turun temurun dari sang kakek untuk meneruskan bisnis papanya. Namun, Kanz menolaknya dengan alasan ingin mandiri.
“Selamat ya, Riq. aku turut senang dengan usahamu.” Deni memeluk temannya sebagai ucapan selamat pada sahabat.
“Ya, makasih. Aku harap semuanya berjalan lancar.”
“Hmm, yang penting nanti pas kau dapat untung banyak, kau bagi-bagi ke aku ya,” sahut Deni.
“Hahaha.” Kanz tertawa cekikikan. “Kau mau laba saja, nanti giliran ruginya, kau lari dari peredaran, pura-pura tidak tahu."
“Iisshh! Apa pernah aku begitu? Ah, kau mengada-ngada saja.”
“Bagus lah, kalau kau tidak pernah begitu, Riq. Meski slengean begini, aku tetap sayang sahabat.” Deni tersenyum sombong, tangan Kanz menyapu mukanya yang memuakkan.
“Balik, yuk!” ajak Kanz.
Cerita singkat tentang papa dan mama Kanz.
Abdilah Abqari Agam, papanya Kanz. Seorang pria bertalenta tinggi dengan keramahan luar biasa dengan pengalaman hidup keliling dunia.
Telah menyapa semua pengusaha minyak di seluruh dunia. Keberadaannya di Indonesia sangat jarang sekali.
Lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang istri di Uni Emirat Arab. Terkadang tiga bulan tidak pulang, bahkan setengah tahun sekali baru kembali ke Indonesia.
Tiga puluh dua tahun silam, Abdilah bertemu dengan seorang wanita bernama Murni Syifa di sebuah dermaga ketika Abdilah dan rekan lainnya berlabuh di pelabuhan Makassar.
Jatuh cinta kemudian menjalin asmara jarak jauh selama dua tahun dan memutuskan untuk menikah lalu membawa Syifa ke mana pun Abdilah berlayar.
Hingga saat Syifa hamil anak pertama, Abdilah memutuskan untuk membangun rumah di daerah Jakarta. Lama kelamaan Abdilah merasa mereka perlu pindah ke Bogor untuk menempati rumah yang jauh lebih luas dari itu.
Sebab bila keluarga Abdilah datang mengunjungi Syifa dan Kanz, akan datang rombongan dalam jumlah banyak. Bisa sampai lima belas orang dan itu hanya sebagian kecil dari keluarga besar Abdilah yang tinggal di luar negeri.
Sikap keras dan tegas Kanz diturunkan dari sang mama. Jika dia menurunkan sikap papanya maka Kanz akan sangat baik serta ramah seperti Abdilah.