BAB 6 : Kanz Ariq Agam - Kemarahan Kanz

1127 Kata
Zariq adalah panggilan kecil dari Deni untuk Kanz. Diambilnya dari huruf belakang Kanz dan disambungnya dengan Ariq. Kreatif dikit lah. Deni sedikit tidak suka memanggil nama aslinya karena dia tau arti nama Kanz menurut buku bahasa arab yang dulu pernah dia pelajari adalah 'Harta yang tersimpan'. Tanpa dipanggil dengan sebutan itu juga, hartanya udah melimpah ruah. Lebih baik dipanggil Zariq menurutnya karena memiliki arti senang bergaul dan pengertian. Sebuah doa baik untuk sang sahabat. “Bi, saya pergi dulu. Kalau ada yang cari, bilang saya ke Bandung. Jangan terima tamu gak penting, jangan lupa rumah ini harus selalu bersih. Saya mungkin aja pulang hari ini juga,” ujar Kanz sebelum pergi pada kepala pelayan yang berumur sekitar 50-an. “Iya, Tuan.” Kanz bermain mata pada wanita tua itu. “Haha, Tuan mah bisa aja, kalau mau main mata jangan sama nenek-nenek. Sama wanita muda, Tuan!” ujar Bi Asih sembari tertawa kecil. Kanz tersenyum dan mengangguk ringan lalu pergi dari hadapannya. “Kita pakai mobil masing-masing saja, deh,” kata Kanz. “Lho, tidak jadi ikut mobil aku?” tanya Deni. “Enggak,” jawabnya. “Mati aku! Kau isi minyak mobilku ya?” pinta Deni. Kanz menghentikan langkahnya. “Laki tak bermodal.” Kanz melirik sinis pada Deni. “Eh, sembarangan! Kan tidak sesuai janji. kau bilang semalam itu, mau pake mobilmu saja, ternyata sendiri-sendiri.” “Iya, nanti diisi.” “Oke, rebes deh.” TUT.TUT. Bunyi alarm kunci mobil terdengar, Kanz meletakkan tasnya di kursi samping lalu berjalan ke kursi pengemudi. Ia masuk dan memasang sabuk pengaman. Memperbaiki kaca spion dan segera keluar dari garasi mobilnya. Mereka keluar dari pekarangan rumahnya dan berjalan beriringan awalnya, tapi Kanz ingin membuat Deni sedikit kesal. Wuuzzz! Kanz meninggalkan Deni jauh di belakang, secara mobil sporti Bugatti Chiron miliknya memang memiliki kecepatan maksimal 420 Km/Jam. Sementara mobil milik Deni tak mampu secepat mulutnya kala sedang mengoceh sepanjang hari. Deni hanya bisa menghela napas dan usap-usap d**a. Iya deh, kau menang. Mobilku kalau disamain sama dia punya pasti bagaikan bajai roda tiga dan Lamborghini, gumamnya dalam hati. Ponsel Deni berdering, panggilan dari Kanz. “Den, singgah ke kafe dulu. Ada yang mau aku ambil,” kata Kanz. “Sip.” Lima belas menit kemudian mereka tiba di kafe milik Kanz tidak jauh dari lokasi rumahnya. Terpampang nyata tulisan ‘Kanz Kafe’ di depannya. Kafe yang mengambil konsep alami dengan bangunan dari kayu berlantai dua itu sangat nyaman di pandang mata. Saat orang yang datang, duduk menyesap kopi serta cemilannya, pasti akan lupa waktu. Kanz memang memberi sentuhan ala rumahan di sana. Kebersihan dan keramahan pekerja nomor satu meski dirinya sendiri sulit ramah pada mereka. Mukanya yang dingin sering membuat pekerjanya takut. “Woi, Pak Kanz datang!” jerit salah seorang dari pekerjanya. Membuat mereka berhamburan dengan posisi sok sibuk agar dia tidak marah ketika mendapati mereka bersantai. Deni turun dan melihat situasi kafe sangat ramai. Kanz sudah turun lebih dulu dan melihat ekspresi Deni yang tercengang. “Sukses usaha kau ya, Zariq,” komen Deni. “Mmh, berkat keinginan dengan realisasi tanpa henti.” Kanz mencari sesuatu dalam tasnya sebelum jalan ke arah kafe. “Wih, karyawanmu cakep-cakep ternyata, nyesel Gue jarang kemari sekarang.” Kan tersenyum miring. “Apa lagi yang ada di atas itu,” tunjuk Deni pada seorang gadis yang sedang tersenyum manis pada pelanggan. Deni silau melihat wajahnya yang bersinar. “Siapa itu namanya, Riq?” tanya Deni. Kanz spontan melihat ke arah atas dari posisi mobilnya parkir saat ini. “Oh, itu Maira,” jawab Kanz. “Lu mau masuk atau di sini aja?” tanya Kanz. “Di sini saja.” Deni ingin melihat kafenya sekalian cuci mata. Kanz berjalan ke arah pintu kafe. Pekerjanya membukakan pintu lalu menyapanya hangat. “Selamat Siang, Pak.” “Siang.” Kanz menjawabnya singkat lalu berjalan ke arah tangga. Ruangan khusus miliknya ada di sana. Kanz menuju lemari dan mengambil berkas yang ketinggalan kemudian memeriksanya dulu sebelum di bawa sambil berdiri di depan meja kerjanya. Tiba-tiba sesuatu terjadi, keributan terdengar di luar. BRAK! Suara yang sangat memekakkan telinga terdengar. Suara alarm mobil yang membuat semua menoleh. Suara alarm mobil itu juga terdengar oleh pemiliknya, Kanz. Perasaannya gak enak karena alarm itu dirasanya familiar. Saat Kanz turun, orang-orang pada mengerumuni sesuatu. “Ya, Allah, Zariq!” jerit Deni memegang kepalanya. Kanz terkejut menatap sebuah pot bunga menancap di kaca depan mobilnya. Mukanya merah padam kejadian tersebut. Kanz langsung mengarahkan wajahnya ke atas, pekerjannya yang bernama Maira itu sedang mengerutkan mukanya. “SIAPA YANG MELAKUKANNYA?” bentak Kanz bertujuan nanya pada semua yang ada di sana. Deni mengetahui bahwa Maira tidak sengaja menyenggol pot bunga dan menjatuhkannya. Deni berusaha menenangkan temannya yang sudah ingin memuntahkan amarahnya itu. “Riq, Riq, tenang dulu.” Deni memegangi Kanz yang berjalan menuju tangga. “Riq, dia tidak sengaja. Benar, aku tidak bohong! aku melihat kejadiannya.” “Lepaskan aku! Dia baru kerja di sini, tapi udah buat ulah.” “Zariq, tolonglah, kau jangan marahin dia di depan semua orang. Kasihan dia ya.” Kanz tetap mendatanginya dan langsung menarik dia ke ruangan. Deni menghela napas, akhirnya Kanz menurutinya untuk tidak melabrak perempuan itu di tempatnya berdiri. Deni menyusul mereka untuk menyelamatkan Maira. Gedebuk! Kanz mendorong Maira sampai terjerembab ke kursi dengan kuat. Hidungnya terkena pegangan kayu. Sedikit mengeluarkan darah yang bisa dirasakan oleh Maira. “KAU BISA KERJA ATAU ENGGAK?” tanya Kanz dengan gaya bertolak pinggang sebelah. “Maaf, Pak. Tadi itu-“ Ketika Maira mau menjelaskan, ucapannya terpotong. “AKU BISA SAJA MEMECATMU KARENA KELAKUANMU BARUSAN, TAPI AKU INGIN MEMBERIMU PELAJARAN SEBELUM MELAKUKANNYA!” Maira menyeka sesuatu dari hidungnya, darah itu menetes lumayan deras dan membuat punggung tangannya belepotan. Kanz tidak mau tau dengan keadaannya saat ini. Deni masuk dan melihat Maira sedang dibentak olehnya sambil memegang hidungnya. “Astaghfirullah, Riq. Apa yang kau lakuin? kenapa sampai mimisan begini dia?” tanya Deni mendekati Maira dan memberikan tisu. “Tidak apa-apa, Pak,” sahut Maira pada Deni. Deni mendatangi Kanz. “Dia tidak salah, Riq. aku lihat dia sedang menghindari seorang anak kecil yang sedang berlari tadi.” “Harusnya dia lebih berhati-hati.” Kanz masih bersungut. “Dia juga manusia, Riq.” “Makanya harus sadar lebih cepat sebelum membuat kesalahan!” Kanz terus menjawab pembelaan Deni akan Maira. Deni menggelengkan kepala. “Maaf, Pak. Saya akan menggantinya. Saya janji.” Maira membungkuk. Kanz melihatnya dengan amarah memuncak. “Aku pegang ucapanmu, jangan berniat lari sedikit pun. Kau tak akan bisa lari dariku meski hanya satu sentimeter!” erangnya mendekati Maira dan menunjuk ke arah wajahnya. Kanz melihat sisa darah di hidungnya lalu pandangannya menurun ke tangan. Ada rasa penyesalan, tapi dia harus menahannya demi wibawanya sebagai atasan. Kasihan juga, sih, tetapi aku harus menghukumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN